Bagus, Nan. Jangan iya-iya aja. Mbak Suri udah banyak manfaatin kamu. Yaaa walaupun kamu sendiri yang inisiatif bantuin dia sih😌 Sekarang gantian kamu yang minta balesan. Pamrih gpp. Namanya juga hidup kan emang give and take. Jadi jangan sampe rugi WKWKWK
Dalam keremangan cahaya lampu pantry, Adnan menyesap cairan berwarna kuning bening yang rasanya sudah tidak terlalu pekat lagi karena balok-balok es batu di dalamnya sudah mencair. Tatapan matanya tidak lepas dari kata demi kata pada selembar kertas yang ada di atas meja. "Kamu benar-benar rela melakukan segalanya untuk Andaru ya, Ri." Pria itu menggumam geli. "Walaupun itu berarti kamu terpaksa menjual jiwamu untuk seseorang yang tidak kamu cintai." Di selembar kertas itu tertulis beberapa hal—lebih dari dua puluh poin—yang Suri tawarkan pada Adnan. Suri menuliskannya dengan rapi sekali dan itu membuat Adnan tersenyum. Dari hal-hal kecil yang begitu sederhana hingga hal-hal besar yang selama ini hanya pria itu bayangkan di kepala tanpa pernah ia ungkapkan. Sebab, ia tak punya keberanian untuk memintanya kepada wanita yang masih patah hati itu. Setelah menandaskan segelas whiski-nya hingga hanya menyisakan balok-balok es, Adnan meraih pena yang ia ambil dari ruang kerjanya beberapa
"Kalau sampai siang ini kamu belum memberikan jawaban yang memuaskanku, terpaksa aku akan membeberkan rahasiamu dan Adnan ke keluarga besar kami. Kamu pasti tahu betul kalau itu bukan sesuatu yang baik untukmu dan reputasi Adnan." Suri menggigit bibir dengan gelisah saat membaca sederet kalimat dalam pesan yang masuk beberapa waktu lalu. Pesan itu datang dari sebuah nomor baru yang belum tersimpan di kontaknya. Namun, tidak sulit untuk mengetahui pengirimnya. Siapa lagi kalau bukan mantan suaminya yang mendadak obsesif? Kemarin, Pram sudah memperingatkan dirinya tentang ancaman-ancaman yang mungkin akan pria itu lakukan jika Suri tidak mewujudkan keinginannya untuk kembali bersama. Meski sudah ada rencana baru dengan Adnan, ia tetap khawatir kalau Pram bergerak lebih cepat dan mengacaukannya. "Kenapa, Ri? Ada masalah?" Adnan hanya melirik Suri sekilas karena sedang fokus menyetir. Suri menggeleng. "Bukan hal penting, kok." "Beneran?" Adnan tampak sangsi saat kembali menatapnya,
'Aku harus bagaimana ini?' Tak jua mendapat ide untuk membalas pesan ancaman dari Pram, dengan kesal wanita itu mengantukkan kening berkali-kali ke meja. Biasanya cara itu ampuh untuk membuat otaknya mau diajak berpikir. Suri sudah sempat mengetik balasan, yang intinya menolak Pram dengan berbagai alasan yang menguatkannya, tetapi ia hapus lagi di detik-detik terakhir. Ia tidak yakin hal itu akan berhasil membuat pria itu mundur dari usahanya. Gerakannya terhenti saat tiba-tiba pintu ruangan Adnan terbuka. Memunculkan sosoknya yang tampak gusar saat suaranya saat bicara dengan seseorang melalui ponsel terdengar dengan jelas olehnya. "—kondisi Kakek sekarang?" Adnan membuang napas dengan kasar. "Sialan! Pria tua itu nggak bilang apa-apa padahal kami ngobrol panjang kemarin sore!" geramnya lalu menyudahi sambungan telepon itu tanpa basa-basi apa pun. Suri berdiri dan keluar dari kubikelnya untuk mendekati Adnan. "Ada apa, Nan?" tanyanya hati-hati saat pria itu berdiri di depannya.
"Tunggu aku ya, Ri. Aku akan ke sana secepatnya." Senyum Suri memudar begitu cahaya di layar ponselnya meredup lalu menggelap. Adnan tidak mengatakan akan segera pulang seperti biasanya setelah melakukan perjalanan dinas ke luar kota. Pria itu hanya berkata akan datang, dengan nada sedih yang bercampur ketidakpastian. Yang artinya, jika pria itu benar-benar datang ke Surabaya kemungkinan ia akan pergi lagi. Dan hal itu menimbulkan perasaan tidak nyaman di hati Suri. Wanita yang hari ini menggerai rambut panjangnya itu mendesah. "Sudah sewajarnya Adnan kembali ke Jakarta. Rumah tempatnya pulang ada di sana, bukan?" gumamnya. Suri menyandarkan tubuh pada pagar pembatas dari besi di atap gedung kantornya. Kepalanya sedikit mendongak dan matanya menyipit saat berserobok langsung dengan cahaya matahari yang sangat terik siang itu. Napasnya pun terembus pelan. Beberapa kali ia tak sengaja mendengar pembicaraan Adnan dengan seseorang di telepon saat mereka sedang di kantor. Wanita itu t
"Aru nggak punya Papa lagi ya, Ma?" Jantung Suri dibuat mencelus oleh perkataan Andaru yang pandangannya sejak tadi tidak lepas dari layar televisi. Awalnya, ia bingung mengapa Andaru mendadak mencetuskan pertanyaan itu. Tetapi begitu memerhatikan lebih jauh jalan cerita pada kartun yang ditonton anaknya, wanita itu perlahan mengerti. Kartun itu menceritakan tentang kehidupan sehari-hari sebuah keluarga lengkap--ada Ibu, Ayah, dan kedua anaknya--dan para tetangganya di sebuah desa. Andaru selalu menginginkan itu--sebuah keluarga lengkap. "Kenapa Papa Adnan nggak mau jadi papanya Aru lagi, Mama?" Sekali lagi Andaru melontarkan pertanyaan yang membuat Suri termenung sedih. "Kok ngomong gitu, sih, Nak?" "Soalnya Aru nggak bisa bobok bareng Papa Adnan lagi. Aru cuma main sama Mama dan Miss Dina aja di rumah." Tatap mata Andaru kini sepenuhnya tertuju pada sang ibu, yang masih mengenakan pakaian kerjnya meski sudah tiba di rumah sejak satu jam yang lalu. "Kita juga nggak pernah lagi
"Kejutaaaan!" Seruan Adnan saat pintu rumah Suri terbuka lebar bersambut oleh Andaru yang menghambur ke pelukan pria itu dan memekik girang. "PAPA ADNAN! PAPA PULANG!" "Iya, Sayang. Papa pulang!" Adnan mengangkat tubuh Andaru tanpa kewalahan lalu mengecupi puncak kepalanya berkali-kali dengan gemas. Di ciuman terakhirnya, Adnan memejamkan mata dan menenggelamkan wajahnya di rambut tebal Andaru. Kedua tangannya merengkuh semkain erat. Mngonfirmasi kerinduannya yang sudah membengkak. Detik berikut, Adnan pura-pura melempar Andaru ke atas lalu menangkapnya kembali. Adnan melakukannya beberapa kali karena Andaru memekik-mekik kesenangan. Mencipta tawa gemas dari bibir pria itu. Selama beberapa waktu, kedua sosok berbeda usia itu larut dalam dunia mereka sendiri. Seolah hanya ada mereka berdua di sana. Saat pandangan Adnan tak sengaja tertumbuk padanya, pria itu semakin melebarkan senyuman. Suri sontak membuang muka. Cepat-cepat mengusap ujung mata yang berair karena keharuan menyelim
Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Suri tak cukup percaya setelah mendengar pengakuan Adnan, meski tidak ada nada bercanda dalam suaranya. Pria itu justru terlihat gugup. Seolah-olah untuk mengucapkan pertanyaan itu harus mengumpulkan sejuta keberanian. Pun begitu, matanya juga memancarkan harapan penuh agar perasaannya berbalas. "Jangan diam saja, Ri," bisik Adnan yang tatapnya berangsur-angsur gelisah. Suri masih membisu. Tidak mengatakan tidak atau mengiyakan secara gamblang. Wanita itu menatap Adnan dengan dilema memenuhi wajah. Seolah takut jika mengucapkan satu kata saja—yang benar-benar jujur dari sudut hatinya yang terdalam, segala hal yang sudah ia bangun selama bertahun-tahun terakhir akan runtuh. Lagi-lagi, karena Suri teringat janji kepada dirinya sendiri untuk segera menepis rasa apa pun yang hadir karena sosok Danuarta. Sebuah janji yang ia buat bukan tanpa alasan. Sebab, ia masih meyakini bahwa menjatuhkan hati pada Danuarta, untuk yang kedua kalinya—meski kepa
"Aku punya solusi untuk situasi kita sekarang," ucap Adnan seolah bisa membaca isi hati Suri. "Solusi?" Tersenyum, Adnan menyentil kening Suri dengan gemas. "Apa yang kamu pikirkan tergambar jelas di wajah kamu, Ri. Kamu khawatir soal hubungan jarak jauh kita. Kamu khawatir soal Andaru. Kamu mengkhawatirkan banyak hal, lebih tepatnya, tapi kamu takut dan ragu untuk membicarakannya denganku." Melihat Suri yang hanya diam, Adnan tahu bahwa tebakannya benar. Sesungguhnya, tidak hanya wanita itu yang khawatir. Terpisah selama dua minggu membuat Adnan nyaris gila karena tak bisa berhenti memikirkan Suri dan Andaru. Walau ada Wirya yang tanpa diminta selalu mengabarkan tentang keseharian Suri dan juga Andaru kepadanya secara detail, Adnan tetap tidak bisa tenang. Dan tidurnya tak pernah lelap karena rasa rindu yang tumbuh subur di hatinya. "Kita sudah mau menikah, Ri," sambungnya. "Jangan apa-apa dipendam sendirian. Sudah kubilang, aku mau dilibatkan dalam setiap masalah yang sedang ka