Pantry yang tidak luas itu terasa lebih lapang sebab lengang. Meski auranya panas dan penuh bara api. Sazlina hingga menahan napas dan tegang. Menduga jika Khaisan sedang sangat marah. Bersyukur dirinya tidak mengeluh berlebihan. Bukan dirinya yang dipikirkan, tetapi Daishin yang akan mendapat murka dari suaminya. “Ulangi tadi apa yang kamu bilang pada istriku, Daishin…!” Khaisan memecah hening dari kebungkaman mereka yang lama. Suaranya tajam dan keras. Cukup menggema di sekitaran ruang pantry dan penjuru lantai dua. Daishin mungkin sudah menduga, tetapi gerakan tangan dari mengaduk sup di mangkuk terjeda. Seolah sedang berpikir apa yang akan dia ucapkan. Lalu memutar kursi dan berhadapan pandang langsung dengan Khaisan. “Maaf, Mas. Mungkin aku lancang kali ini. Tetapi aku sudah tidak bisa menahan diri. Jujur, aku pernah suka dengan Sazlina saat di agensi. Tetapi dia terus menolak dan tiba-tiba pulang ke Indonesia. Sekarang tiba-tiba bertemu dan tiap hari melihat, perasaan itu da
Hana dan Daishin telah selesai berbicara. Meski tidak lama, lumayan menyampaikan segala masalah mengganjal pada keduanya. Hana berniat meninggalkan ruang pantry. “Matikan airnya, Shin.” Hana menegur Daishin yang membiarkan air dari kran di wastafel terus mengalir. Lelaki itu terus menadah tangan di bawahnya dengan bungkam dan mematung. Mungkin omongan Hana barusan cukup mengena dalam di perasannya kali ini. “Mama akan turun. Kamu cepat istirahat. Jika kondisimu bagus, kita juga nyusul ke Osaka besok saja. Semoga kondisi ibu mertua lekas membaik. Hmm… apa kereta tercepat masih ada malam-malam begini?” Hana berbicara lagi setelah Daishin mematikan kran hingga airnya mati total. Nada suara yang biasa dan seolah tidak ada hal mengganjal apa-apa lagi di hatinya. Hana teringat pada Sazlina dan Khaisan yang seharusnya sudah siap meluncur ke Osaka. Jika siang akan mudah dengan menaiki kereta cepat Nozomi Shinsaken. Namun, jika malam begini, adakah? Sedang jam operasi maksimal untuk stasi
Bukan taksi yang membawa Khaisan dan Sazlina dari stasiun menuju rumah Oma di Osaka. Tetapi Daehan sendiri dengan mobil sang nenek yang hanya sentiasa terparkir di garasi sebagai pajangan selama ini, amat sangat jarang digunakan. Apalagi setelah suami tiada beberapa bulan lalu. Sopirnya pun sudah dipensiunkan. Hanya kadang akan mencari sopir sewa atau menaiki taksi saja untuk bepergian. Itu pun sangat jarang, mengingat kondisi Oma yang menghalangi untuk membuat perjalanan jauh. “Kamu yakin, Oma baik-baik saja di rumah?” tanya Khaisan dengan nada gusar. Menatap Daehan yang mengemudi di sebelahnya. Sazlina dibiarkannya duduk sendiri di belakang. “Soal itu… dia barusan kritis, mana bisa yakin. Shanumi dan perawat sedang jaga di rumah. Selama mereka gak ngasih kabar buruk, anggap saja Oma lagi aman. Lagipula sambil beliin dia resep Kampo.” Daehan menjelaskan sambil fokus mengemudi. Terlihat santai yang jauh dari panik. Khaisan terdiam, merasa sedikit lega akan kondisi lumayan omanya.
Sazlina tidak sengaja memandang Khaisan yang ternyata juga tengah menolehnya. Mereka saling menatap sejenak dengan pikiran yang sama-sama berputar. Ekspresi mereka tegang dan tanpa senyuman. “Tunjuklah, kamu yang mana, Sazlina?” tegur Khaisan kemudian tanpa berpaling pandang. “Ini sebenarnya kalian kegiatan apa sih di foto itu? Kok ternyata kalian gak saling tahu?” tanya Shanumi heran dan tidak sabar juga. “Lokasi foto itu adalah di pemandian air panas di Cangar, Shan dan itu bukan kegiatan,” ucap Sazlina lirih tetapi yakin. “Kamu yang mana, Sazlina?” tegur Khaisan lagi. Merasa tidak sabar dengan Sazlina yang tidak juga menunjukkan fotonya yang mana. “Aku… yang berdiri di samping Bapak Tentara ini. Pake kerudung warna pink.” Sazlina menjawab yakin sambil menatap foto dan Khaisan bergantian. “Jadi, kamu benar-benar yang itu?” tanya Khaisan sambil menunjuk foto dengan ekor mata. Gadis polos belia berkerudung warna pink yang imut dan manis. Terlihat lebih mencolok dari para perempu
Dengan bungkam, Sazlina mengambil gamis dan kerudung dari ransel. Berniat membawa masuk ke dalam kamar mandi di pojok ruang. Melewati Khaisan yang duduk di ranjang sambil terus melihatnya. “Kenapa bawa baju ke dalam? Itu kan ribet, Saz. Lagipula kamar ini cukup luas hanya untuk menampungmu bertukar baju,” tegur Khaisan menahan gelisah dan kesal. Sazlina benar-benar terus menghemat suaranya. Sial lagi, sejak terungkap hal besar bahwa sang istri adalah penyelamat di masa lalu, membuat perasaannya canggung dan segan. Khaisan seperti mati kutu dengan tatapan dingin Sazlina. Menjadikannya serba salah. Perempuan yang ditegur tidak menyahut. Terus berjalan hingga tenggelam di balik pintu kayu kamar mandi yang mengkilat berpelitur. “Ck…!” Khaisan bedecak keras sebab merasa suntuk. Tidak terima dengan sikap Sazlina yang berubah acuh tak acuh dan mengabaikan. Namun, sesuatu yang teronggok di atas karpet membuatnya tersenyum dan berdiri dengan cepat. Itu adalah barang pribadi milik Sazlina
Meski salju sudah lama turun dan berhenti dari awal datang. Namun, hawa dingin masih seperti membekukan. Sazlina merasa dirinya jauh lebih sensitif pada cuaca belakangan ini. Bahkan timbul rasa meriang kadang-kadang. “Rambutmu pada berdiri, Saz. Apa sebab aku …?” tanya Khaisan dengan tatapan redupnya. “Bukan, bukan sebab kamu. Aku memang sangat dingin. Bukankah dari berangkat aku selalu mengeluh dingin? Tapi aku berharap ada salju yang kusentuh ….” Sazlina buru-buru menyela ucapan Khaisan. Meski sentuhan suaminya sudah sangat tidak sopan, namun memang hawa dinginlah yang membuat kulitnya meremang. “Salju turun di Osaka sangat sebentar, itu pun jarang terjadi. Sama juga dengan di Tokyo, moment yang tidak terduga. Jika ada pun, hitungan menit saja seperti malam ini.” Khaisan menjelaskan dan kemudian tersenyum. Merasa suka dengan respon Sazlina yang terus bergerak-gerak bak cacing kebingungan di bawah kungkungannya. Lebih semangat lagi, istri yang semula bersikap dingin dan marah, tid
Tok Tok Tok“Ada orang…!” respon Sazlina dengan raut waswas. Mendorong Khaisan untuk menyingkir. “Mungkin Daehan atau Shanumi.” Khaisan tidak berat hati untuk menjauh dari menindih istrinya. Sadar jika panggilan di pintu sangatlah penting kali ini. “Mau ke mana?” Daehan menarik tangan Sazlina untuk mundur kembali. “Bukain pintu…,” sahut Sazlina bingung dan kaget. “Kamu pergilah ke kamar mandi. Biar aku yang buka pintu. Itu belum tentu Shanumi, mungkin juga si Daehan. Sedang kamu… nggak pakai boxer.” Khaisan bicara santai sambil berdiri. Lelaki itu terlihat tetap rapi meski ulahnya sangatlah kelewatan. Hanya zipper celana yang mungkin agak turun, tampak sedang dibenarkan sambil jalan. Sazlina menurut dan tidak membantah. Menyadari keadaannya yang sudah kembali ke semi higienis dan bukan bersih yang sempurna. Berharap yang di luar adalah Daehan dan bukan Shanumi. Sangat tidak nyaman jika harus berbincang dengan keadaan berantakan, Sazlina melesat ke dalam kamar mandi. Lima belas
Tok Tok Tok! Bunyi ketukan sangat keras. “Ada orang …!” Sazlina memekik kaget. Keluar dari kamar Oma dengan perasaan lega, tiba-tiba terdengar ketukan nyaring di ruang tamu. Posisi pintu utama rumah tidak jauh dari yang sedang dilewati bersama sang suami. “Siapa bertamu larut malam seperti ini …,” gumam Khaisan. Merasa keluarga di Tokyo tidak ada yang berencana datang ke Osaka malam ini. Hanya dirinya dan Sazlina. Namun, Khaisan gegas melangkah mendekati pintu. Tidak suka akan ada ketukan keras lagi berikutnya. Menyingkap sedikit tirai guna memastikan keamanan. Bereaksi terkejut dan kini diam sambil memandang Sazlina.“Siapa di luar …?” Sazlina mendekat dan bertanya rendah. Merasa janggal dengan reaksi suaminya. “Keponakan Oma,” sahut Khaisan dan terlihat enggan. Tidak juga kembali menghadap pintu. “Kenapa tidak cepat dibuka? Di luar pasti dingin, kasihan …,” ucap Sazlina heran. Sambil akan merapat ke pintu. “Biar aku yang buka, Saz!” Khaisan setengah berseru lirih sambil meng
Pintu yang sudah dibuka lebar memberi pandangan jelas tanpa halangan. Lelaki pertama adalah security gagah dan tampan di rumah Amira yang Osara tidak terlalu mengenalnya. Satu lagi lelaki berkulit sawo matang dan berwajah manis yang lamat-lamat dia kenal tetapi tidak ingat siapa. Oh, mungkin ex boyfriend Amira! “Amirah … tidakk adah….” Osara dengan cepat berbicara sambil menahan sakit hebat di perut yang sedari tadi belum mereda. Tangannya memegang daun pintu sangat erat dan tampak gemetaran. “Mbak Osara…. Apa kabar? Lupa pada saya?” tanya lelaki di sebelah security tiba-tiba. Osara terkejut dan terlihat juga meringis. Menatap lekat wajah lelaki yang semakin tidak asing tetapi sungguh masih lupa. Coba diingat keras tetap saja tidak berhasil. “Maaf, Anda … siappaah?” Osara menyahut sambil merasa sangat sakit. Berharap urusan dengan mereka berdua lekas selesai dan mereka pun cepat pergi. “Saya Dimas, Mbak. Mohon diingat, saat itu saya sebagai pembantu umum di Daosa Galeri…,” u
Di sebuah kerajaan yang berseberangan dekat dengan negara Indonesia…. Perempuan hamil berbadan kurus dan hanya perutnya saja yang tebal, sedang memilah-milah banyak jenis coklat dengan kemasan warna-warni disampingvtempat tidur. Jika tiga bulan lalu masih menangis setiap melihat coklat dalam kotak ini, sekarang sudah tidak berguna lagi. Meski desir pedih terus menggores di sepanjang kenanangan yang berkelebat dalam benaknya. Ini adalah kehamilan Osara yang ke sembilan bulan dan diprediksi akan melahirkan dalam waktu dekat oleh dokter kandungan pilihannya. Dokter menyarankan untuk terus beraktivitas seperti biasa bahkan sedikit meningkatkan pergerakan guna kian melentutkan otot-otot. Tok Tok Tok “Ma….” Osara menyambut kedatangan Mama Azizah, selaku pengetuk daun pintu di kamarnya. “Jadi ke tempat Amira kah, Osa?” tanya wanita yang sudah berdandan cantik pagi ini. Ada acara undangan bagi salah satu wali murid untuk setiap anak di sekolah. Papa Handy sedang ada urusan kerja luar
Clara tampak pucat pasi saat Erick menyebut dirinya sebagai pembunuh. Mata indahnya membelalak semakin lebar selapangan. Bukan hanya Clara, Mama Hana pun terperanjat. "Apa kamu bilang, Rick?" tanyanya lembut pada Erick yang sedang menuding Clara. “Jangan ingkar jika kaulah pemicu utama kematian Daishin, Clara! Fitnahmu membuatnya tidak tenang. Jangankan tidur denganmu, menyentuhmu saja dia tidak sekali pun. Dia bukan lelaki rakus yang memakan saudar sendiri. Buka lebarlah otak serta matamu itu! Tapi kau bilang dalam perutmu adalah anaknya. Bisa-bisanya kau!” Erick sambung bicara dengan cercaan tajam dan pandangan sinis. Apa yang dia bilang adalah benar dan bertujuan memberi tekanan pada Clara yang kabarnya sedang depresi. Erick ingin, wanita seperti itu jika ingin mati, matilah. Atau jika gila, langsung gila saja bukan sekedar depresi yang justru merepotkan Mama Hana. “Kau wanita yang lebih jahat dari ular. Fitnahmu tidak mempan, kau mengirim wanita hamil lain untuk mendatan
Rumah besar milik orang tua Daehan yang pastinya kelak juga akan menjadi milik lelaki itu, terang benderang dengan lampu melimpah sebagai penerang malam hari. Di semua sudut dan sisi pagar membentang mengelilingi rumah, pasti terpasang lampu besar dan terang. Security tidak mempersulit keinginan Erick untuk menemui tuan rumah sebah sudah sering kali melihat datangnya. Meski biasanya berjalan tegap dan gagah melewati gerbang pagar, kini duduk tidak berdaya di atas kursi roda yang di dorong seorang asisten laki-laki. Meski sangat ingin tahu, tetapi tidak ada keberanian untuk bertanya kronologinya. Tok Tok Tok Ce Klerk Mama Hana terkejut bukan main saat membuka pintu rumah yang barusan diketuk dari luar. Erick telah di depan pintu dan menatapnya lelat-lekat. Menyertainya lelaki yang terus setia mengikuti ke mana-mana belakangan ini. “Erick sama Dimas… kalian datang?! Ah, tidak menyangka! Ayolah masuk!” Meski terkejut, sikap Mama Hana reflek sebagai ibu yang sedang kedatangan ana
"Papa sudah bilang, Osa. Tidak perlu singgah lagi. Sudah dua malam Papa tidur di rumahmu, sudah cukup itu. Jangan merasa bersalah meninggalkannya. Daripada justru penyakit yang kamu dapat jika mendatangi rumahmu. Ikhlaslah, Osa. Papa mohon.” Papa Handy bicara tegas saat Osara gemetaran mencekal kuat lengan tangannya. Mereka baru saja singgah di rumah duka atas keinginan Osara kembali. Nyatanya, hal sama masih saja terulang sekali lagi. Tumbang.... “Benar, Osa. Sudah, ikhlas ya. Jangan ada yang disesali. Apapun yang kamu sesali, tidak akan membuatnya kembali. Yang ada kamu justru tidak tenang dan dia juga tidak tenang di alamnya. Fokuslah dengan kehidupanmu sekarang dan masa depanmu bersama anak dalam kandungan. Jika kondisimu gini terus, takutnya mengganggu perkembangan pada kehamilanmu.” Mama Hana mengambil Osara dan membawanya masuk ke dalam mobil. Memeluk perempuan hamil yang sedang berjuang menenangkan dirinya perlahan. Mama Hana sambil meminta pada Agung untuk membawa mob
Shanumi baru selesai shalat isya dan keluar dari kamar. Pemandangan pertama yang dilihat adalah seperti biasa. Osara duduk di sofa menonton televisi tetapi dengan pandangan kosong saja. Pasti pikiran pergi jauh dan bukan lagi ke acara yang ditayangkn televisi. Pemandangan seperti itu memang sudah biasa dan sering terciduk melamun. “Osa, itu makanannya di makan, yuk! Dingin banget nanti kurang enak!” Shanumi duduk menghenyak di sofa seberang Osara. “Iya, Mbak. Yuuk.” Osara langsung tanggap dan mengiyakan sebab memang sedang menunggu Shanumi untuk makan malam bersama. Dirinya sudah tunai isya jauh lebih dulu. Sejak mendapat cobaan begitu besar kehilangan suami, dirinya berusaha untuk tepat waktu beribadah. Mereka berdua makan bersamaan tetapi dengan berbeda kecepatan. Shanumi habis lima suapan, Osara masih mengulum suapan yang kedua. Begitu lambat hingga sering juga sambil minum. Demi mendorong makanan dari mulut ke lambung. Shanumi benar-benar merasa tidak tenang. Begitu resah deng
Mereka bertatapan mata sekilas. “Jika ada apa-apa, jangan segan bilang padaku, Osa.” Erick berpesan saat Papa Handy dan Osara berpamitan. Perempuan hamil itu diam saja, tidak merespon ucapannya. Mengangguk saja pun tidak. Sungguh jadi trenyuh, seperti tidak habis-habis rasa bersalah dan sesalnya. Seperti enggan melepas tangan lembut yang sedang menyalami. Dalam pandangannya sekarang, perempuan berperut buncit itu demikian rapuh, kurus dan pucat. Jauh beda waktu pertama dilihatnya saat dibawa Rasyid di Fuji kala itu. Tampak sehat, cerah dengan wajah berbinar walau sedang dalam tekanan dan ketakutan. Belum lagi, wajah itu sangat cekung dan badannya tampak kurus! Padahal, kesedihan ini belum ada satu minggu! Sebab setelah itu, Erick tidak pernah bertemu lagi meski sudah pindah dan tinggal di perumahan Surabaya. Hanya almarhum sendirian yang datang berkunjung sebab masalah kerja sama di jual beli perhiasan. Juga sesekali janji temu di luar yang Osara tetap saja tidak pernah dibawa
“Pa, besok saja aku ke rumah. Kita langsung ke rumah sakit saja. Khawatir jika kemaleman, Mas Ericknya nggak boleh dikunjungi.” Osara beralasan, padahal sangat sadar jika diri lagi-lagi tidak sanggup. Rasanya sungguh berdebar, sesak, dan kepalanya jadi sakit. Jantungnya pun berdetak kencang seperti sedang teriris pisau sangat dalam di ulu hati. Keringat dingin mulai dirasakan keluar dari pori. Namun, kali ini Osara berusaha tenang sekuat daya. Mengambil napas dan istighfar dalam dada. Hingga bayang sedih wajah suaminya perlahan menghilang. “Baiklah, Osa. Jika begitu, Papa akan menemani mengunjungi Erick hingga kamu merasa cukup.” Papa Handy yang semula ingin menitipkan Osara pada sopir, tiba-tiba tidak tega. Khawatir ada apa-apa dengannya. Rumah sakit saat sore cukup ramai oleh pengunjung yang datang membesuk pasien. Membawa beragam buah tangan dan barang lain yang diperlukan selama perawatan. Sebagian menuju resepsionis dan kebanyakan langsung menuju kamar perawatan. Sama hal Pap
Osara bersalaman dengan para pelayat sambil duduk atas arahan Mama Hana sebab parasnya sungguh pucat. Menolak saran Shanumi agar menyudahi dan pergi saja ke dalam rumah. Osara merasa justru dengan bersalaman, membuatnya tidak sadar tersenyum. Mengikuti aura para pelayat yang memberinya senyum tulus. Setidaknya mampu menawar pilu yang sedang mengikis di dadanya meskipun sekadar sementara. “Sudah, sudah gak ada lagi. Ayo ke dalam.” Shanumi kembali mengingatkan sebab yang bersalaman sudah pulang semua. Lengang tanpa orang, sebab hampir semua lelaki mengikut ke area pemakaman dengan kendaraan masing-masing. “Benar, ayo masuk ke dalam rumah.” Mama Hana mengangkat kedua bahunya agar semangat berdiri. Osara berjalan menuju pintu yang tengah terbuka lebar. Perasaannya tiba-tiba kembali seperti linglung dan raganya sungguh lunglai. Seolah almarhum suami sedang melambai di dalam dengan raut yang sedih. “Ma….!” Osara menjerit dan menggapai tangan Mama Hana. “Osa, kamu drop lagi?!” Ma