Tok Tok Tok! Bunyi ketukan sangat keras. “Ada orang …!” Sazlina memekik kaget. Keluar dari kamar Oma dengan perasaan lega, tiba-tiba terdengar ketukan nyaring di ruang tamu. Posisi pintu utama rumah tidak jauh dari yang sedang dilewati bersama sang suami. “Siapa bertamu larut malam seperti ini …,” gumam Khaisan. Merasa keluarga di Tokyo tidak ada yang berencana datang ke Osaka malam ini. Hanya dirinya dan Sazlina. Namun, Khaisan gegas melangkah mendekati pintu. Tidak suka akan ada ketukan keras lagi berikutnya. Menyingkap sedikit tirai guna memastikan keamanan. Bereaksi terkejut dan kini diam sambil memandang Sazlina.“Siapa di luar …?” Sazlina mendekat dan bertanya rendah. Merasa janggal dengan reaksi suaminya. “Keponakan Oma,” sahut Khaisan dan terlihat enggan. Tidak juga kembali menghadap pintu. “Kenapa tidak cepat dibuka? Di luar pasti dingin, kasihan …,” ucap Sazlina heran. Sambil akan merapat ke pintu. “Biar aku yang buka, Saz!” Khaisan setengah berseru lirih sambil meng
Lelaki yang lamat-lamat diingat Sazlina dan bergelagat memberi ancaman, telah bertindak lebih gesit darinya. Dekapan yang mengunci tak terlawan oleh tenaganya yang bagi lelaki itu pasti tidaklah seberapa. “Jangan kurang ajar! Kenapa kamu tidak menghargai keponakanmu?” tanya Sazlina yang segera paham situasi dan kondisi. Secara silsilah, tempat Khaisan adalah sebagai keponakan pria itu. “Aku tidak menyangka, keluarga sepupuku adalah pengkhianat semuanya.” Pria di belakang Sazlina berbicara lirih. Mengunci dua pundak Sazlina dengan membentang lengan di bawah leher. Wajah merapat di kepala Sazlina. Meski berkerudung, tetapi terasa jika bibir pria itu menempel di telinga mungilnya. “Maksudmu apa? Tapi, singkirkan tanganmu.” Sazlina bicara tegas. Namun, lelaki itu mengabaikan dan bertahan dengn posisi semula. Sungguh risih rasanya. “Aku sangat menyukai adikmu. Tetapi tiba-tiba Daehan menikahinya. Dia berbohong, dia bilang Shanumi sudah punya calon. Aku pun mundur, sebab sebetulnya aku
Pesawat yang membawa Shanumi dan Daehan telah membumbung tinggi di angkasa biru langit Jepang yang cerah dan merekah pagi ini. Meninggalkan dua insan dengan ekspresi berlainan. Yang satu bermuka tenang dan cerah, satu lagi terlihat sedih dan muram dengan mata yang tak henti berkaca-kaca. “Sudah, Saz, ikhlaslah. Semua manusia di dunia, sedekat dan sesayang apa kita, akan berpisah dan memiliki masa depan sendiri-sendiri. Kamu dan adikmu sudah memiliki pasangan hidup, dengan keluarga barumulah seharusnya kamu merasa bahagia saat ini.” Khaisan berusaha meredam kegalauan istrinya. “Siapa keluarga baruku?” tanya Sazlina tersenyum. Tidak ingin menghampakan maksud baik perkataan suaminya. “Mama Hana…,” sahut Khaisan sambil mengulum senyum. “Kok mertua … lalu suamiku buat apa?” tanya Sazlina pura-pura bersungut. Kesedihan akan kepergian Shanumi dari negara Jepang benar-benar sedikit berkurang sebab canda suaminya. “Keluarga barumu hanya aku. Tetapi jika kamu menganggap Mama dan Papa juga
Perjalan panjang yang singkat tetapi penuh warna dan bahagia dengan kereta cepat pun berakhir. Mereka kembali pulang. Rumah besar yang terlihat lengang dari luar, tetapi ada dua orang tukang kebun sedang bekerja di area taman dalam rumah. Buru-buru menoleh dan mengangguk khidmat demi menyambut kedatangan Tuan Muda rumah itu. “Apa tidak ada orang di rumah?” Khaisan bertanya pada mereka dalam bahasa lokal. “Kami tidak tahu, kami baru datang.” Mereka menyahut juga dalam bahasa Jepang sambil menggeleng berulang kali. Sebab mereka terlihat sungguh-sungguh, Khaisan tidak ingin bertanya lagi. Tukang kebun itu hanya datang tiga kali dalam satu bulan. Bukan pekerja tetap rumah ini. Sebab tidak pernah tukar orang, wajah dua tukang kebun itu sangatlah dihapalnya. Khaisan membawa Sazlina masuk ke ruang utama dan langsung menuju tangga untuk naik ke lantai dua. “Saz …!” seru Kjaisan pada Sazlina yang sudah melewati kamarnya. Mereka sudah berada di deretan kamar di lantai dua. “Aku ingin men
Khaisan berdiri di belakang istrinya di depan cermin rias di kamarnya. Tidak bosan memandang dengan bibir senyum simpul. Mata rada sipitnya yang biasa bersorot tajam, kini meredup dan teduh. “Sudah, biar aja terlihat. Hanya ada Mijhe.” Khaisan memberikan pendapat. “Tiba-tiba ada orang datang, kan malu…. Lagipula, yakin ya jika Clara gak ada?” sahut Sazlina sambil memasang dan membenarkan kerudung instan agar menutup di leher serta dadda. Setelah tampak sibuk mengoles salep di beberapa titik lebam pada leher putihnya. Ulah Khaisan siang tadi saat mereka coba making love yang pertama. “Padahal itu hanya noda palsu.” Khaisan berkata lirih yang jadi melebar senyumnya. Abai akan tanya Sazlina tentang Clara. “Kok noda palsu?” sahut Sazlina cepat hingga menolehkan wajah. Bukan lagi memandang di cermin. Sambil menatap suami, dia menyimpan sajadah dan mukena ke dalam almari. Mereka baru saja berjamaah dalam shalat. “Gimana tidak palsu, aku gagal…,” ucap Khaisan mengeluh sambil mendekati s
Dua badan tanpa busana sedang saling berpeluk rapat sebab dingin AC dalam ruangan. Meski sudah membuka mata sebab sayup suara adzan dari Masjid Cangi terdengar berkumandang di kejauhan, untuk bangun pun rasa badan sungguh enggan. “Pukul berapa?” tanya Sazlina saat Khaisan menguatkan pelukan. Keinginan mencari di mana bajunya pun urung. Kehangatan yang diberi suami lagi-lagi melenakan. “Pukul lima kurang lima,” jawab Khaisan serak. Suara seksi khasnya saat bngun tidur pun mengudara. “Bangun yuk …,” sambut Sazlina meski rasanya memang enggan. Rasa badan remuk redam seperti habis dipalu godam. Kenapa bisa sepegal ini, apa faktor usia? Ah, bukan! Dirinya masih muda. Rasa lelah dan malas ini harus dihempaskan! Namun, Khaisan tetap tanpa pergerakan. Terus menenggelamkan istri dalam pelukan di dada dengan sebelah tangan. Rasanya hangat dan lembut. Menghadirkan bahagia dan nyaman yang susah dijabarkan. Serasa menghanyutkannya kembali ke alam bawah sadar. “Mas, bangun yuk. Ntar keburu ter
Meski tidak berbuat hal berarti saat mandi, waktu mereka cukup banyak tergunakan di sana. Jika tidak bergegas, akan terancam kehilangan waktu subuh. Mentari pun sudah tanda-tanda mulai menyembul di ufuk timur. Selisih waktu dua jam lebih cepat di Tokyo daripada di Jakarta itu membuat matahari menyembul pada pukul enam pagi lewat sedikit. Sebab raut Sazlina yang terlihat pucat, Khaisan merasa tidak tenang dan memberi penawaran. Ingin menambah rebahan atau pergi turun ke meja makan. Meski masih pagi, setidaknya pasti ada roti yang bisa dipakai untuk mereka bersarapan. “Tidak perlu. Paling tidak untuk sekarang, biarlah Mijhe sendiri yang menyiapkan isi meja makan. Kamu tampak pucat, Saz.”Khaisan menegaskan saat Sazlina menolak sambung rebahan setelah shalat subuh dan memilih turun sendiri ke lantai bawah. Bahkan berniat untuk membantu Mijhe memasak pagi ini. “Tapi tiduran melulu juga tidak baik. Aku pasti akan bosan dan semakin merasa tubuhku kurang fit. Aku justru perlu rajin berg
Rumah besar telah sepi kembali. Khaisan dan Clara pun hilang bayangnya meninggalkan pagar dan meluncur di jalan kecil komplek perumahan. Sazlina menapaki anak tangga satu-satu tidak cepat. Merasa sedih dan kesal. Baru juga ada kemajuan luar biasa pada pernikahannya, terpaksa kembali penuh warna dengan adanya urusan Khaisan pada Clara. Rasa peduli dan tanggung jawab pada saudara, konon ….“Ish, sampai kapan si Clara ngganggu terus. Kenapa mama tidak mengusirnya? Pilih kasih, kenapa Daishin saja yang disuruh pergi?” Sazlina menggerutu lirih sambil terus menapak anak tangga hingga habis. Kini sedikit membelok menuju kamar miliknya dan melewati kamar Khaisan. “Oh, pasti sebab Clara masih sakit. Mungkin sebentar lagi juga disuruh pergi sama Mama.”Sazlina kembali bicara lirih. Dalam hati berharap agar mama mertua peka pada duri dalam rumah tangga anaknya. Klrk Klerk Klerk“Dikunci …,” keluh Sazlina lirih. Knop pintu gagal dibukanya. Padahal kunci tidak dia bawa. Tetapi menggantung di bal
Sebab isi perut yang lebih dari kenyang, karena Daishin tidak berdaya saat mama tirinya mengambilkan makanan. Segan menolak sebab mama tiri terlalu efforts pada hadirnya. Ternyata, semua isi di piring adalah makanan lezat dan sedap belaka buatan sendiri. Dengan kalap isi piringnya pun habis juga. Semua alasan ini membuat Daishin tidur siang dengan waktu sangat lama. Hingga menjelang maghrib dirinya terbangun. Itupun jika tidak dibangunkan dua adik kecilnya yang ingin bersembang setelah lama tidak bertemu. Terakhir mereka mengunjungi Daishin ke Jepang 3 tahun lalu, kala mereka berdua masih berwujud sebagai bayi berusia tiga tahun dan lima tahun. Daehan belum tentu bangun tanpa mereka. “Kalian mainlah. Abang mandi dulu. Habis khitan besok, kalo kamu udah sembuh benar-benar, kubawa kalian ke KLCC. Beli mainan atau makanan apa pun yang sedang kalian ingin!” Daishin menembakkan janji yang disambut berlonjak oleh adik lelaki yang besok ber khitan. Adik satunya adalah perempuan dan bersika
Daishin berjalan cepat setengah berlari. Meninggalkan wastafel yang untung tidak lupa ditutupnya walau asal-asalan. Air masih mengalir kecil dari celah lubang kran yang tidak diputar maksimal. “Osara…!” Antara ragu dan galau, Daishin berseru saat pintu taksi sudah menutup. Yakin jika itu memang Osara. Tetapi teras rumah makan begitu ramai akan orang hilir mudik. Hingga membuat langkahnya tidak lancar. “Tunggu, Osara!” serunya lagi. Merasa kembali marah bukan main. Gadis dalam taksi telah menoleh dan memandangnya. Tetapi taksi justru meluncur ke depan dengan cepat. Tentu saja itu sengaja. Kemunculan Daishin yang juga mengejutkan tidak diharap oleh Osara. “Ada apa, Bro?!” Rendra telah mendekat di belakangnya. Ikut memandang taksi yang tinggal bodi belakang saja terlihat. “Mana mobilmu, Ren. Cepat, bantu aku kejar taksi itu!” Daishin panik berbicara. Tidak ada taksi satu pun menyandar di sekitar sana. Yang ditumpangi Osara adalah satu-satunya taksi yng bersabar menunggu ada penumpa
Daehan dan Shanumi melangkah masuk ke lobi hotel setelah perjalanan kembali dari bandara. Mereka baru pulang dari mengantar Daishin yang sudah lepas landas menuju KLIA (Kuala Lumpur International Airways) Malaysia dengan penerbangan kedua terpagi hari ini. Daehan tiba-tiba berhenti. Matanya tertuju pada sosok familiar di meja resepsionis. Tokoh vital yang menjadi topiknya bersama Daishin belakangan ini. Osara…. ya, itu adalah Osara. Mau ke mana gadis itu? “Kenapa, Mas?” tanya Shanumi pada Daehan yang terlihat fokus pada gadis yang sedang transaksi di meja resepsionis. “Gadis itu yang Daishin datangi di kamarnya semalam.” Daehan berbisik. Membawa Shanumi menepi ke sofa di pojok lobi dan duduk sepi di sana. “Yang kabur dari agensi dan membawa uang Daishin sangat banyak?” Shanumi membelalak. Daehan pun mengangguk. Semua hal memang selalu terbiasa dia ceritakan pada istri. Bagaimana lagi, temannya yang selalu siaga ada hanyalah Shanumi. Begitu juga sebaliknya, tidak ada dinding pe
Daishin menggeliat, meregang tubuh saat ponsel di atas meja bernyanyi. Baru disadari masih berada di kamar Osara dan tertidur di sofa. Lembar tiket atas nama Dhiara binti Osara masih erat digenggamnya. Bunyi ponsel yang tadi mengejutkannya dari tidur adalah penanda pesan dari Daehan. “Ngapain aja, Shin? Lama banget di kamar perempuan. Kenapa kabur mulu gadis itu, udah di kamar pun kamu masih kecolongan. Kayak anak baik aja kamu, Shin. Gagal kekein,” Daehan terus terang meledeknya. Daishin mendecak lirih. “Dia kaburnya pas aku mandi, Mas.” Daishin buru-buru membalas jujur. “Ngapain malam-malam mandi?” Balasan itu datang cepat. Daishin tersenyum masam dengan pertanyaan Daehan yang sengaja meledeknya. “Keramas.” Daishin tersenyum lebar kali ini. Jawaban itu diketiknya singkat. Ia tahu Daehan tidak akan puas mengusik. Dan benar saja, balasan datang meski sedikit lama.“Aku gak matiin CCTV, Shin. Yakin kalo kamu bakal mengatasi. Udah lama banget kamu di kamarnya. Biarin saja dia per
Daishin duduk di sofa kamar sambil mencengkeram ponsel erat. Mata menatap nanar tetapi kosong ke arah jendela besar yang menampilkan pemandangan angkasa Surabaya dini hari. Abu-abu gelap dan pekat. Osara telah pergi …. Ia menghela napas panjang dan menghembuskan kasar. Kepalan tangan mengeras saat ingat betapa mudah ia lengah dan betapa bodoh ia memberi celah.“Aku bahkan tidak terpikir menanyakan nama dosen dan tempatnya kuliah. Bagaimana aku mengurus? Nomor telepon barunya pun tidak meminta. Kenapa aku ini… mendadak jadi bodoh sekali.”Daishin terus mengumpati dirinya. Sungguh kesal dan sesal. Bukan melulunhutang dan harga diri yang disepelekan, tapi juga Osara kembali menipunya mentah-mentah. Benar-benar tidak tahu diri, tidak mengerti dikasihani. Penipu tetaplah penipu. Arrgh! Osara! Daishin menendang meja sofa hingga vas bunga di atasnya oleng dan tumbang, nyaris jatuh tetapi bertahan di atas meja. Lembaran kertas berlipat yang disimpan di bawah vas pun sedikit terbuka dan me
Hujan masih deras mengguyur kota, butiran airnya membasahi jendela kamar hotel dengan sayup suaranya yang selalu khas. Mungkin disertai angin kencang. Sebab pintu yang masih ada teras balkon pun begitu basah dan buram berkabut tebal.Osara duduk di tepi ranjang, menatap sayu pada Daishin yang tertidur pulas di bantal dan masih tanpa berpakaian. Selimut yang tidak menutup sempurna itu hanya sebatas di tengah perut. Napasnya teratur dengan dada kekar yang naik turun bergantian. Begitu tenang seperti tanpa dosa yang baru saja dibuatnya. Hati-hati, Osara beranjak turun ranjang. Ingin segera pergi, tetapi ingat jika diri sedang penuh noda menjijikkan yang belum sempat dibilas sempurna. Hampir tengah malam. Berapa panggilan wajib sebagai seorang muslim yang sudah diabaikannya. Kelewatan, sudah bermaksiat, menghadap Tuhan pun ditinggal. Daishin kurang ajar! Ah, aku begitu kotor.... Osara menghela napas dalam dan memutuskan untuk mandi. Ia berharap air panas bisa membersihkan segala noda
Daishin menekan tubuh Osara dengan tubuhnya hingga lebih lekat. Sebelah tangan masih mengunci kedua lengan Osara di atas kepala mungilnya. Sedang tangan lain terus menjelajah di tubuh setengah telanjangg itu dengan sentuhan berkuasa. Napasnya berat, penuh hasrat dan membara. Osara menggigit bibir, tubuhnya mulai melemah karena lelah. "Daishin… cukup," suaranya bergetar, entah karena marah, letih atau arus rasa dari efek sentuhan lembut Daishin yang telah menjalar rata ke seluruh raga. Merasa seperti akan tumbang tidak lama. Namun, Daishin tidak menggubris. Bibirnya masih menelusur naik di leher Osara, sesekali menghirup aroma wangi yang baginya semakin memabukkan.Osara merintih, mencoba menarik tangannya, tapi cengkeraman itu tetap saja sangat kuat. "Daishin… aku pegal…" keluhnya, suaranya yang lirih terdengar merengek menyedihkan. Namun, justru membuat Daishin tidak puas dan tidak berniat menghentikan cumbuannya.Osara menghela napas yang sengal dan susah. "Tanganku sakit… setidak
Osara meronta, tapi cengkeraman Daishin di pergelangan tangannya begitu kuat, seperti belenggu besi yang tidak mungkin dilepas begitu saja tanpa bantuan alat berat. Osara sempat berangan andai diri memiliki kekuatan super tiba-tiba. Ah…!Nyatanya, Daishin begitu lama bermain di dua bukit dan puncak dada tanpa Osara mampu memberi perlawanan yang berarti. Ia mencoba mundur, coba bergeser dan coba menghindar. Tapi semua sia-sia belaka. Tubuhnya justru seperti terdorong ke arah pria itu dan serasa kian melekat, terhimpit oleh bodi besar Daishin yang kian menyala nyalang di matanya."Berhenti … cukup …. sudah, Daishin!" Osara memohon dengan suara bergetar. Napasnya pendek, tersengal, dadanya naik-turun karena ketegangan yang menusuk hingga ke tulang.Rasa tegang antara merinding ngeri dan meremang geli. Daishin begitu lihai mempermainkannya. Namun, perasaan segan pada lelaki itu telah hilang sama sekali, berubah rasa jadi takut, terhina dan benci. Daishin menatapnya tajam, rahangnya menge
Penjelasan jujur gadis itu memuakkan. Ingin juga rasa hati menampar. Jika lelaki, Daishin sudah memberi banyak bogem mentah. Namun, sebab itu wanita, hati nurani berkata jangan. Hanya …. pada jiwa kelelakiannya yang cenderung semakin menggelegak. “Apa ada namaku dalam lembaran skripsimu?!” desak Daishin terus menahan amarah. “Tidak ada namamu. Tapi…,” ucapan si gadis terhenti. Sepertinya ragu dan takut. Memandang Daishin penuh bimbang. “Tapi apa?!” Daehan membentak tak sabar. Gadis itu seketika menggigit bibir sebelum membukanya. “Kutulis sebagai tokoh referensi adalah Mr. D.” Plak! Sungguh emosi rasanya. Orang luar tanpa izin sudah menjadikannya tokoh dalam tulisan. Dengan inisial nama yang sangat jelas, bahkan diakui sendiri oleh pembuatnya. Kali ini Daishin sangat ingin membuat laporan sebuah kasus. Namun… . “Arrghh!” jerit Daishin. Kali ini memang bukan menampar dinding seperti tadi yang sukses membuat gadis itu terjengkit sebab kaget. Namun, pekikan Daishin tepat di ata