Tok Tok Tok“Ada orang…!” respon Sazlina dengan raut waswas. Mendorong Khaisan untuk menyingkir. “Mungkin Daehan atau Shanumi.” Khaisan tidak berat hati untuk menjauh dari menindih istrinya. Sadar jika panggilan di pintu sangatlah penting kali ini. “Mau ke mana?” Daehan menarik tangan Sazlina untuk mundur kembali. “Bukain pintu…,” sahut Sazlina bingung dan kaget. “Kamu pergilah ke kamar mandi. Biar aku yang buka pintu. Itu belum tentu Shanumi, mungkin juga si Daehan. Sedang kamu… nggak pakai boxer.” Khaisan bicara santai sambil berdiri. Lelaki itu terlihat tetap rapi meski ulahnya sangatlah kelewatan. Hanya zipper celana yang mungkin agak turun, tampak sedang dibenarkan sambil jalan. Sazlina menurut dan tidak membantah. Menyadari keadaannya yang sudah kembali ke semi higienis dan bukan bersih yang sempurna. Berharap yang di luar adalah Daehan dan bukan Shanumi. Sangat tidak nyaman jika harus berbincang dengan keadaan berantakan, Sazlina melesat ke dalam kamar mandi. Lima belas
Tok Tok Tok! Bunyi ketukan sangat keras. “Ada orang …!” Sazlina memekik kaget. Keluar dari kamar Oma dengan perasaan lega, tiba-tiba terdengar ketukan nyaring di ruang tamu. Posisi pintu utama rumah tidak jauh dari yang sedang dilewati bersama sang suami. “Siapa bertamu larut malam seperti ini …,” gumam Khaisan. Merasa keluarga di Tokyo tidak ada yang berencana datang ke Osaka malam ini. Hanya dirinya dan Sazlina. Namun, Khaisan gegas melangkah mendekati pintu. Tidak suka akan ada ketukan keras lagi berikutnya. Menyingkap sedikit tirai guna memastikan keamanan. Bereaksi terkejut dan kini diam sambil memandang Sazlina.“Siapa di luar …?” Sazlina mendekat dan bertanya rendah. Merasa janggal dengan reaksi suaminya. “Keponakan Oma,” sahut Khaisan dan terlihat enggan. Tidak juga kembali menghadap pintu. “Kenapa tidak cepat dibuka? Di luar pasti dingin, kasihan …,” ucap Sazlina heran. Sambil akan merapat ke pintu. “Biar aku yang buka, Saz!” Khaisan setengah berseru lirih sambil meng
Lelaki yang lamat-lamat diingat Sazlina dan bergelagat memberi ancaman, telah bertindak lebih gesit darinya. Dekapan yang mengunci tak terlawan oleh tenaganya yang bagi lelaki itu pasti tidaklah seberapa. “Jangan kurang ajar! Kenapa kamu tidak menghargai keponakanmu?” tanya Sazlina yang segera paham situasi dan kondisi. Secara silsilah, tempat Khaisan adalah sebagai keponakan pria itu. “Aku tidak menyangka, keluarga sepupuku adalah pengkhianat semuanya.” Pria di belakang Sazlina berbicara lirih. Mengunci dua pundak Sazlina dengan membentang lengan di bawah leher. Wajah merapat di kepala Sazlina. Meski berkerudung, tetapi terasa jika bibir pria itu menempel di telinga mungilnya. “Maksudmu apa? Tapi, singkirkan tanganmu.” Sazlina bicara tegas. Namun, lelaki itu mengabaikan dan bertahan dengn posisi semula. Sungguh risih rasanya. “Aku sangat menyukai adikmu. Tetapi tiba-tiba Daehan menikahinya. Dia berbohong, dia bilang Shanumi sudah punya calon. Aku pun mundur, sebab sebetulnya aku
Pesawat yang membawa Shanumi dan Daehan telah membumbung tinggi di angkasa biru langit Jepang yang cerah dan merekah pagi ini. Meninggalkan dua insan dengan ekspresi berlainan. Yang satu bermuka tenang dan cerah, satu lagi terlihat sedih dan muram dengan mata yang tak henti berkaca-kaca. “Sudah, Saz, ikhlaslah. Semua manusia di dunia, sedekat dan sesayang apa kita, akan berpisah dan memiliki masa depan sendiri-sendiri. Kamu dan adikmu sudah memiliki pasangan hidup, dengan keluarga barumulah seharusnya kamu merasa bahagia saat ini.” Khaisan berusaha meredam kegalauan istrinya. “Siapa keluarga baruku?” tanya Sazlina tersenyum. Tidak ingin menghampakan maksud baik perkataan suaminya. “Mama Hana…,” sahut Khaisan sambil mengulum senyum. “Kok mertua … lalu suamiku buat apa?” tanya Sazlina pura-pura bersungut. Kesedihan akan kepergian Shanumi dari negara Jepang benar-benar sedikit berkurang sebab canda suaminya. “Keluarga barumu hanya aku. Tetapi jika kamu menganggap Mama dan Papa juga
Perjalan panjang yang singkat tetapi penuh warna dan bahagia dengan kereta cepat pun berakhir. Mereka kembali pulang. Rumah besar yang terlihat lengang dari luar, tetapi ada dua orang tukang kebun sedang bekerja di area taman dalam rumah. Buru-buru menoleh dan mengangguk khidmat demi menyambut kedatangan Tuan Muda rumah itu. “Apa tidak ada orang di rumah?” Khaisan bertanya pada mereka dalam bahasa lokal. “Kami tidak tahu, kami baru datang.” Mereka menyahut juga dalam bahasa Jepang sambil menggeleng berulang kali. Sebab mereka terlihat sungguh-sungguh, Khaisan tidak ingin bertanya lagi. Tukang kebun itu hanya datang tiga kali dalam satu bulan. Bukan pekerja tetap rumah ini. Sebab tidak pernah tukar orang, wajah dua tukang kebun itu sangatlah dihapalnya. Khaisan membawa Sazlina masuk ke ruang utama dan langsung menuju tangga untuk naik ke lantai dua. “Saz …!” seru Kjaisan pada Sazlina yang sudah melewati kamarnya. Mereka sudah berada di deretan kamar di lantai dua. “Aku ingin men
Khaisan berdiri di belakang istrinya di depan cermin rias di kamarnya. Tidak bosan memandang dengan bibir senyum simpul. Mata rada sipitnya yang biasa bersorot tajam, kini meredup dan teduh. “Sudah, biar aja terlihat. Hanya ada Mijhe.” Khaisan memberikan pendapat. “Tiba-tiba ada orang datang, kan malu…. Lagipula, yakin ya jika Clara gak ada?” sahut Sazlina sambil memasang dan membenarkan kerudung instan agar menutup di leher serta dadda. Setelah tampak sibuk mengoles salep di beberapa titik lebam pada leher putihnya. Ulah Khaisan siang tadi saat mereka coba making love yang pertama. “Padahal itu hanya noda palsu.” Khaisan berkata lirih yang jadi melebar senyumnya. Abai akan tanya Sazlina tentang Clara. “Kok noda palsu?” sahut Sazlina cepat hingga menolehkan wajah. Bukan lagi memandang di cermin. Sambil menatap suami, dia menyimpan sajadah dan mukena ke dalam almari. Mereka baru saja berjamaah dalam shalat. “Gimana tidak palsu, aku gagal…,” ucap Khaisan mengeluh sambil mendekati s
Dua badan tanpa busana sedang saling berpeluk rapat sebab dingin AC dalam ruangan. Meski sudah membuka mata sebab sayup suara adzan dari Masjid Cangi terdengar berkumandang di kejauhan, untuk bangun pun rasa badan sungguh enggan. “Pukul berapa?” tanya Sazlina saat Khaisan menguatkan pelukan. Keinginan mencari di mana bajunya pun urung. Kehangatan yang diberi suami lagi-lagi melenakan. “Pukul lima kurang lima,” jawab Khaisan serak. Suara seksi khasnya saat bngun tidur pun mengudara. “Bangun yuk …,” sambut Sazlina meski rasanya memang enggan. Rasa badan remuk redam seperti habis dipalu godam. Kenapa bisa sepegal ini, apa faktor usia? Ah, bukan! Dirinya masih muda. Rasa lelah dan malas ini harus dihempaskan! Namun, Khaisan tetap tanpa pergerakan. Terus menenggelamkan istri dalam pelukan di dada dengan sebelah tangan. Rasanya hangat dan lembut. Menghadirkan bahagia dan nyaman yang susah dijabarkan. Serasa menghanyutkannya kembali ke alam bawah sadar. “Mas, bangun yuk. Ntar keburu ter
Meski tidak berbuat hal berarti saat mandi, waktu mereka cukup banyak tergunakan di sana. Jika tidak bergegas, akan terancam kehilangan waktu subuh. Mentari pun sudah tanda-tanda mulai menyembul di ufuk timur. Selisih waktu dua jam lebih cepat di Tokyo daripada di Jakarta itu membuat matahari menyembul pada pukul enam pagi lewat sedikit. Sebab raut Sazlina yang terlihat pucat, Khaisan merasa tidak tenang dan memberi penawaran. Ingin menambah rebahan atau pergi turun ke meja makan. Meski masih pagi, setidaknya pasti ada roti yang bisa dipakai untuk mereka bersarapan. “Tidak perlu. Paling tidak untuk sekarang, biarlah Mijhe sendiri yang menyiapkan isi meja makan. Kamu tampak pucat, Saz.”Khaisan menegaskan saat Sazlina menolak sambung rebahan setelah shalat subuh dan memilih turun sendiri ke lantai bawah. Bahkan berniat untuk membantu Mijhe memasak pagi ini. “Tapi tiduran melulu juga tidak baik. Aku pasti akan bosan dan semakin merasa tubuhku kurang fit. Aku justru perlu rajin berg
Hujan masih deras mengguyur kota, butiran airnya membasahi jendela kamar hotel dengan sayup suaranya yang selalu khas. Mungkin disertai angin kencang. Sebab pintu yang masih ada teras balkon pun begitu basah dan buram berkabut tebal.Osara duduk di tepi ranjang, menatap sayu pada Daishin yang tertidur pulas di bantal dan masih tanpa berpakaian. Selimut yang tidak menutup sempurna itu hanya sebatas di tengah perut. Napasnya teratur dengan dada kekar yang naik turun bergantian. Begitu tenang seperti tanpa dosa yang baru saja dibuatnya. Hati-hati, Osara beranjak turun ranjang. Ingin segera pergi, tetapi ingat jika diri sedang penuh noda menjijikkan yang belum sempat dibilas sempurna. Hampir tengah malam. Berapa panggilan wajib sebagai seorang muslim yang sudah diabaikannya. Kelewatan, sudah bermaksiat, menghadap Tuhan pun ditinggal. Daishin kurang ajar! Ah, aku begitu kotor.... Osara menghela napas dalam dan memutuskan untuk mandi. Ia berharap air panas bisa membersihkan segala noda
Daishin menekan tubuh Osara dengan tubuhnya hingga lebih lekat. Sebelah tangan masih mengunci kedua lengan Osara di atas kepala mungilnya. Sedang tangan lain terus menjelajah di tubuh setengah telanjangg itu dengan sentuhan berkuasa. Napasnya berat, penuh hasrat dan membara. Osara menggigit bibir, tubuhnya mulai melemah karena lelah. "Daishin… cukup," suaranya bergetar, entah karena marah, letih atau arus rasa dari efek sentuhan lembut Daishin yang telah menjalar rata ke seluruh raga. Merasa seperti akan tumbang tidak lama. Namun, Daishin tidak menggubris. Bibirnya masih menelusur naik di leher Osara, sesekali menghirup aroma wangi yang baginya semakin memabukkan.Osara merintih, mencoba menarik tangannya, tapi cengkeraman itu tetap saja sangat kuat. "Daishin… aku pegal…" keluhnya, suaranya yang lirih terdengar merengek menyedihkan. Namun, justru membuat Daishin tidak puas dan tidak berniat menghentikan cumbuannya.Osara menghela napas yang sengal dan susah. "Tanganku sakit… setidak
Osara meronta, tapi cengkeraman Daishin di pergelangan tangannya begitu kuat, seperti belenggu besi yang tidak mungkin dilepas begitu saja tanpa bantuan alat berat. Osara sempat berangan andai diri memiliki kekuatan super tiba-tiba. Ah…!Nyatanya, Daishin begitu lama bermain di dua bukit dan puncak dada tanpa Osara mampu memberi perlawanan yang berarti. Ia mencoba mundur, coba bergeser dan coba menghindar. Tapi semua sia-sia belaka. Tubuhnya justru seperti terdorong ke arah pria itu dan serasa kian melekat, terhimpit oleh bodi besar Daishin yang kian menyala nyalang di matanya."Berhenti … cukup …. sudah, Daishin!" Osara memohon dengan suara bergetar. Napasnya pendek, tersengal, dadanya naik-turun karena ketegangan yang menusuk hingga ke tulang.Rasa tegang antara merinding ngeri dan meremang geli. Daishin begitu lihai mempermainkannya. Namun, perasaan segan pada lelaki itu telah hilang sama sekali, berubah rasa jadi takut, terhina dan benci. Daishin menatapnya tajam, rahangnya menge
Penjelasan jujur gadis itu memuakkan. Ingin juga rasa hati menampar. Jika lelaki, Daishin sudah memberi banyak bogem mentah. Namun, sebab itu wanita, hati nurani berkata jangan. Hanya …. pada jiwa kelelakiannya yang cenderung semakin menggelegak. “Apa ada namaku dalam lembaran skripsimu?!” desak Daishin terus menahan amarah. “Tidak ada namamu. Tapi…,” ucapan si gadis terhenti. Sepertinya ragu dan takut. Memandang Daishin penuh bimbang. “Tapi apa?!” Daehan membentak tak sabar. Gadis itu seketika menggigit bibir sebelum membukanya. “Kutulis sebagai tokoh referensi adalah Mr. D.” Plak! Sungguh emosi rasanya. Orang luar tanpa izin sudah menjadikannya tokoh dalam tulisan. Dengan inisial nama yang sangat jelas, bahkan diakui sendiri oleh pembuatnya. Kali ini Daishin sangat ingin membuat laporan sebuah kasus. Namun… . “Arrghh!” jerit Daishin. Kali ini memang bukan menampar dinding seperti tadi yang sukses membuat gadis itu terjengkit sebab kaget. Namun, pekikan Daishin tepat di ata
Gadis itu beraroma wangi segar dengan wajah halus tanpa pori dan bibir delima simetris. Hidungnya rapi dan kecil. Mata beningnya membelalak dan panik. “Aku… minta maaf. Tolong jangan apa-apakan aku.” Terbata ucapannya dengan hembus napas tersengal yang segar. Terlihat panik dan takut. “Minta maaf pada polisi …,” sahut Daishin tajam. Mata membelalak itu semakin melebar. “Apa akan melapor polisi? Jangan! Please! Aku… minta maaf padamu, Bos Shin. Aku memang salah. Tapi aku terpaksa melakukan itu semua.” Ucapannya pelan dan jelas. Mengharap jika Daishin bisa diajak bernegosiasi. “Begitu besar kesalahanmu. Tidak sekadar padaku, tetapi pada orang yang kamu janjikan. Aku menanggung malu sangat besar waktu itu. Aku mengganti uang dari lelaki yang sudah membelimu beberapa lipat dan kamu dengan santai pergi tanpa tanggung jawab,” ucap Daishin kasar. Kembali merasa emosi mengatakan hal ini. Ingin sekali mengangkat tubuh kecil itu dan membantingnya di ranjang. “Maaf. Aku salah. Seharusn
“Aku serius, Mas. Kuberi dua puluh juta tunai. Asal pinjami aku seragam OB mu itu. Hanya satu jam.” Daishin kembali mengulang tawarannya. Sebab lelaki itu masih tercengang menatapnya. Seperti tidak percaya dan simalakama. “Sudah, cukup, Mas. Jangan kasih naik-naik lagi. Takutnya saya yang papa ini tergoda. Jujur, saya rasanya hampir enggak kuat. Ck … ck… ck … dua puluh juta hanya satu jam. Tapi, saya tetap tidak bisa. Maaf ya, Mas, lebih baik saya permisi saja sekarang.” Petugas hotel hingga gemetaran menjawab. Telah berbalik dan menuju pintu dengan langkah buru-buru. Selain sumpah setia pada syarat dan ketentuan kerja di Hotel Rasyid, juga merasa takut andai Daishin adalah orang yang penuh jebakan dan jahat. Berita kriminal seputar kota yang beragam akhir-akhir ini membuatnya mawas diri. Daishin hingga tercenung. OB bagus itu tidak terlihat lagi. Pintu kamarnya sudah menutup semula dengan sendirinya. Tidak habis pikir, dianggapnya orang-orang lokal begitu mudah disuap, memang fak
Efforts Daishin untuk mengejar gadis dalam lift sudah diusahakannya maksimal. Menahan sakit di perut sebab kaki dibuat jalan cepat yang jauh melebihi biasanya. Kali ini tidak ingin kehilangan jejak lagi. Rasa penasaran sedang membuncah di dadanya. Pintu lift belum menutup rapat saat gadis itu berbalik dan sangat terkejut mendapati Daishin di depan mata. Merasa tertangkap basah dan tidak mungkin menghindar lagi jika tempat kopdar mereka berada di dalam lift. Namun….“Shin…!” seruan Daehan beserta cekalan kuat di lengan membuat Daishin terjegal langkahnya. Urung masuk lift yang selangkah saja sudah sampai. “Apaan kamu, Mas?!” hardik Daishin pada Daehan. Merasa kesal bukan kepalang, pintu yang tadi membelah kini kembali bersatu. Meluncur naik ke atas dan membawa penumpang di dalam menuju destinasi di lantai berikutnya. “Apa yang akan kamu lakukan? Tahan diri, Shin. Jangan sembrono! Ini bukan hotel orang. Kenyamanan pengunjung adalah prioritas. Jangan sampai gadis itu memberikan bint
Gadis yang diincar telah jauh dan tidak terkejar. “Siapa dia, Shin?” tanya Daehan yang ikut berjalan keluar kafe. Dipikirnya lelaki tampan mantan bos agensi model itu akan berlari menyusul gadis yang sempat ditahan dan lalu lolos dengan mudah. Namun, tiba-tiba Daishin justru duduk di bangku luar dengan terengah. Tidak mengejar buruannya. “Dia mantan model di agensiku. Keluar dari agensi dengan membawa lari uangku!” sahut Daishin dengan muka memerah. Namun, wajahnya berkernyit sedang menahan sakit. “Kenapa tidak dikejar? Kamu kenapa, Shin?” Kali ini Erick yang juga keluar bertanya. Memperhatikan wajah sepupunya lebih saksama. “Perutku sakit. Aku tidak bisa berlari.” Daishin berkata dengan hidung mancung yang mengembang dan mengempis sangat cepat. Tidak pergi juga rasa kesal dari hatinya. “Tentu saja, kebanyakan… operasi sebab usus bantu cukup merepotkan. Sedikit lebih lama pulihnya.” Daehan berbicara fakta. Papa Samuel pun pernah operasi sebab radang usus buntu. Hingga berbulan-
Daehan menoleh ke arah pintu hingga badan pun memutar. Lelaki tampan dan gagah berkemeja putih lengan panjang memasuki kafe dan kini menghampiri meja mereka. Wangi maskulin menyebar di penjuru meja bersama hadir sosoknya. “Apa kabar, Mas?” Daishin menyambut sambil berdiri. “Alhamdulillah,” sahut lelaki itu. Mereka saling rangkul singkat dan Daishin pun duduk lagi. Daehan tidak berdiri, tetapi menarik satu kursi. Memberi kode pada lelaki itu agar duduk. Lalu mengulur tangan dan mereka bersalaman sebentar. "Apa kabarmu?" tanya lelaki itu pada Daehan. "Alhamdulillah, semakin hidup makmur." Daehan menyahut cepat. Obrolan singkat itu tidak berlanjut. Mereka terlihat canggung meski tidak mencolok. “Kenapa tidak langsung bilang padaku? Apa Bos hotel ini tidak pernah sibuk?” tanya lelaki harum itu pada Daishin sambil melirik Daehan. Penampilannya gagah dengan kemeja putih lengan panjang yang tertempel logo ‘Garuda Indonesia’ di bagian daddy kiri. Mungkin dia salah satu staff di kantor