Setelah menerima panggilan meresahkan dari Daishin, Sazlina tidak serta merta meluncur ke rumah sakit yang telah disebutkan oleh lelaki itu. Tetapi memilih menghubungi Khaisan untuk berkabar masalah besar sepupunya. Tidak ingin niat baiknya justru menjadi bumerang bagi diri sendiri dan Khaisan. Meski merasa cemas, Sazlina merasa lega dan berusaha tenang. Percaya pada arahan Khaisan agar standby di rumah saja. Suaminya yang tegas itu berjanji melalui sambungan telepon bahwa semua akan diurusnya sendiri dan cepat. Juga sempat mengumpat sedikit pada Daishin yang tidak menghubunginya tetapi justru menelepon pada Sazlina. “Bagaimana setelah operasi … siapa yang akan merawatnya?” Sazlina bertanya sendiri sambil rebahan. Tidak mengantuk sama sekali dan tengah banyak pikiran yang mencemaskan. Daishin tidak lagi menghubungi yang bermakna, mungkin Khaisan sudah berhasil menangani. Entah cara apa yang ditempuh nya, apa lelaki itu sudah menemani di sana? Jika iya, bagaimana dengan Clara? Apa j
Sazlina mematung sejenak dengan sisir masih menggantung di rambut. Bunyi pintu terbuka membuatnya sedikit terkejut. Seseorang telah membukanya di luar. Oh, pasti suaminya sudah kembali. Rasa hati lega dengan debar yang kencang. Belakangan ini, selalu jadi resah jika terbayang sosok suaminya. “Mas, sudah pulang?” Sazlina menyambut pada lelaki gagah yang terlihat lelah. Tetapi selalu berjalan tegap dan kini mendekat. Menatap Sazlina teduh dengan senyum mengembang samar. “Sedang apa …?” sapa Khaisan syahdu namun seperti penuh beban dalam sorot matanya. Kini semakin dekat dan seperti akan memeluk Sazlina. “Tunggu. Mas Kha jangan dekat, bau rumah sakit. Kalo soal begini, anggaplah aku memang sangat paranoid. Aku baru mandi….” Sazlina buru-buru mencegah agar Khaisan tidak menyentuh. Khaisan mengunci langkah dan senyumnya melebar. “Aku mengerti. Ternyata kita sama-sama memiliki ketakutan, hanya berbeda sebab.” Khaisan masih tersenyum dan menjauh, sedikit berundur lagi ke bel
Sebab soalan Sazlina menyela, bibir Khaisan yang parkir rapat di leher lembut itu terpaksa disudahi. Memindahkan tangan dari menelusur di pinggul bergeser ke bahu. Merenggangkan sedikit ke belakang. Mereka jadi sedikit saling jauh. “Apa Clara sangat membuatmu tidak senang?” tanya Khaisan setelah menatap dalam di wajah istrinya. “Maksudku … bukan membuatku tidak senang. Tetapi, aku merasa tidak tenang sebab Claramu itu. Maafkan kata-kataku ini …,” ucap Sazlina ambigu. Namun, merasa lebih baik jujur dengan apa yang tengah dirasa pada Khaisan. Toh lelaki itu adalah suami yang harus ikut mengerti sedih dan suka duka perasaannya di mana pun dan kapan pun. Semoga lelaki itu terus jinak dan tidak emosi. “Aku paham maksudmu, Sazlina. Apa yang kamu pikirkan, memang seperti itu sikap Clara padaku. Bahkan setelah kita jelas tinggal sekamar pun, Clara masih berusaha mengambil simpatiku lebih khusus. Namun, kamu tidak perlu khawatir.” Khaisan berkata apa adanya yang semakin membuat Sazlina jadi
Khaisan rela menunda inginnya untuk sambung bercinta sesi kedua saat ayat-ayat suci terdengar melantun dari Masjid Camii di Tokyo. Menjauhkan diri dari bodi istri demi meredam hasrat yang seperti tidak kunjung surut dari dirinya. “Aku mandi duluan, Saz. Isya…,” ucap Khaisan sambil beringsut turun ranjang dan bangkit. Berjalan menuju kamar mandi sambil menyambar handuk yang kebetulan tersangkut di kaki ranjang. Hanya dibawa melenggang santai tanpa niat dililit lagi di badan. Sengaja tidak mengajak Sazlina mandi bersama agar tidak kembali tergoda. Sazlina hanya mengikuti gerak suami dengan pandangan mata sambil menarik selimut lebih menutup. Berjuta rasa di jiwa dan raga tengah berbaur di dadanya. Bahagia, lelah dan takjub. Masih seperti mimpi jika saat ini merasa seperti sudah memiliki segalanya. Lelaki tampan dan hartawan yang tiba-tiba jadi suami, meski sempat penuh drama nelangsa sebelumnya, kini sudah berubah bisa saling menerima. Bahagia sekali rasanya! Mereka berdua turun ke
Tiga bulan kemudian di Indonesia. Sebuah kota besar kedua nasional setelah Jakarta yaitu Kota Surabaya. Daehan berjalan cepat menuju pintu apartemen. Meskipun memiliki usaha perhotelan dengan beragam fasilitas berkelas, memiliki rumah privasi adalah keharusan. Walau itu hanyalah apartemen kecil kesayangan. Wanita berbaju tidur tetapi berparas jelita yang sedang di dapur terlihat kaget. Mendengar bunyi pintu dibuka yang tidak di waktu biasanya. Siapa? Segera kaki jenjangnya melesat membawa diri ke depan. “Lhoh, baru aja pergi, udah kembali…?!” seru Shanumi lebih terkejut. Menduga suatu barang atau perlengkapan kerja sangat penting punya Daehan tertinggal. Maka sebab lelaki itu harus kembali mengambilnya. “Bersiap, Shan! Ayo kita liburan!” ucap Daehan bersemangat. Namun, respon istri bukan sorak bahagia, melainkan dahi berkerut penuh tanya. “Kok mendadak, Mas? Tiba-tiba aja liburan, kenapa …?” respon Shanumi bingung. Setumpuk baju dari kang laundry yang akan ditata di alma
Agung sesekali melirik lelaki tampan yang berwajah suntuk dan duduk di sebelahnya. Beda jauh dengan satu jam lalu yang terlihat cerah dan bersemangat saat diantarnya dari hotel menuju apartemen. “Kalau sedang repot, kan bisa saya saja yang jemput sepupunya itu, Mas…,” ucap Agung mencoba menghibur. Gak enak banget pergi dengan Bos yang bad mood. “Ck…! Repot apaan, Gung! Cuma moment dia pulang aja gak tepat. Bocah bandel, pulang gak mau bilang-bilang dulu!” Tidak sadar, Daehan kembali merutuk. “Ya misal jadi ke Batu, sekalian ngantar dia aja, Mas.” Agung menyarankan. Tidak lupa dengan ucapan Daehan saat di perjalanan pulang tadi. Ingin liburan ke Batu kurang lebih satu minggu. Selain untuk menjenguk ibu mertua, pasti juga untuk keperluan bahagia bersama istrinya yang jelita. “Iya kalo dia cepat pulang hari ini, kalo masih ingin di Surabaya, mana bisa kupaksa pulang ke Malang biar bisa barengan, Gung!” sahut Daehan galau. “Ya udah, Mas. Santai aja, yang penting tugas kit
Daehan menoleh ke arah pintu hingga badan pun memutar. Lelaki tampan dan gagah berkemeja putih lengan panjang memasuki kafe dan kini menghampiri meja mereka. Wangi maskulin menyebar di penjuru meja bersama hadir sosoknya. “Apa kabar, Mas?” Daishin menyambut sambil berdiri. “Alhamdulillah,” sahut lelaki itu. Mereka saling rangkul singkat dan Daishin pun duduk lagi. Daehan tidak berdiri, tetapi menarik satu kursi. Memberi kode pada lelaki itu agar duduk. Lalu mengulur tangan dan mereka bersalaman sebentar. "Apa kabarmu?" tanya lelaki itu pada Daehan. "Alhamdulillah, semakin hidup makmur." Daehan menyahut cepat. Obrolan singkat itu tidak berlanjut. Mereka terlihat canggung meski tidak mencolok. “Kenapa tidak langsung bilang padaku? Apa Bos hotel ini tidak pernah sibuk?” tanya lelaki harum itu pada Daishin sambil melirik Daehan. Penampilannya gagah dengan kemeja putih lengan panjang yang tertempel logo ‘Garuda Indonesia’ di bagian daddy kiri. Mungkin dia salah satu staff di kantor
Gadis yang diincar telah jauh dan tidak terkejar. “Siapa dia, Shin?” tanya Daehan yang ikut berjalan keluar kafe. Dipikirnya lelaki tampan mantan bos agensi model itu akan berlari menyusul gadis yang sempat ditahan dan lalu lolos dengan mudah. Namun, tiba-tiba Daishin justru duduk di bangku luar dengan terengah. Tidak mengejar buruannya. “Dia mantan model di agensiku. Keluar dari agensi dengan membawa lari uangku!” sahut Daishin dengan muka memerah. Namun, wajahnya berkernyit sedang menahan sakit. “Kenapa tidak dikejar? Kamu kenapa, Shin?” Kali ini Erick yang juga keluar bertanya. Memperhatikan wajah sepupunya lebih saksama. “Perutku sakit. Aku tidak bisa berlari.” Daishin berkata dengan hidung mancung yang mengembang dan mengempis sangat cepat. Tidak pergi juga rasa kesal dari hatinya. “Tentu saja, kebanyakan… operasi sebab usus bantu cukup merepotkan. Sedikit lebih lama pulihnya.” Daehan berbicara fakta. Papa Samuel pun pernah operasi sebab radang usus buntu. Hingga berbulan-
Efforts Daishin untuk mengejar gadis dalam lift sudah diusahakannya maksimal. Menahan sakit di perut sebab kaki dibuat jalan cepat yang jauh melebihi biasanya. Kali ini tidak ingin kehilangan jejak lagi. Rasa penasaran sedang membuncah di dadanya. Pintu lift belum menutup rapat saat gadis itu berbalik dan sangat terkejut mendapati Daishin di depan mata. Merasa tertangkap basah dan tidak mungkin menghindar lagi jika tempat kopdar mereka berada di dalam lift. Namun….“Shin…!” seruan Daehan beserta cekalan kuat di lengan membuat Daishin terjegal langkahnya. Urung masuk lift yang selangkah saja sudah sampai. “Apaan kamu, Mas?!” hardik Daishin pada Daehan. Merasa kesal bukan kepalang, pintu yang tadi membelah kini kembali bersatu. Meluncur naik ke atas dan membawa penumpang di dalam menuju destinasi di lantai berikutnya. “Apa yang akan kamu lakukan? Tahan diri, Shin. Jangan sembrono! Ini bukan hotel orang. Kenyamanan pengunjung adalah prioritas. Jangan sampai gadis itu memberikan bint
Gadis yang diincar telah jauh dan tidak terkejar. “Siapa dia, Shin?” tanya Daehan yang ikut berjalan keluar kafe. Dipikirnya lelaki tampan mantan bos agensi model itu akan berlari menyusul gadis yang sempat ditahan dan lalu lolos dengan mudah. Namun, tiba-tiba Daishin justru duduk di bangku luar dengan terengah. Tidak mengejar buruannya. “Dia mantan model di agensiku. Keluar dari agensi dengan membawa lari uangku!” sahut Daishin dengan muka memerah. Namun, wajahnya berkernyit sedang menahan sakit. “Kenapa tidak dikejar? Kamu kenapa, Shin?” Kali ini Erick yang juga keluar bertanya. Memperhatikan wajah sepupunya lebih saksama. “Perutku sakit. Aku tidak bisa berlari.” Daishin berkata dengan hidung mancung yang mengembang dan mengempis sangat cepat. Tidak pergi juga rasa kesal dari hatinya. “Tentu saja, kebanyakan… operasi sebab usus bantu cukup merepotkan. Sedikit lebih lama pulihnya.” Daehan berbicara fakta. Papa Samuel pun pernah operasi sebab radang usus buntu. Hingga berbulan-
Daehan menoleh ke arah pintu hingga badan pun memutar. Lelaki tampan dan gagah berkemeja putih lengan panjang memasuki kafe dan kini menghampiri meja mereka. Wangi maskulin menyebar di penjuru meja bersama hadir sosoknya. “Apa kabar, Mas?” Daishin menyambut sambil berdiri. “Alhamdulillah,” sahut lelaki itu. Mereka saling rangkul singkat dan Daishin pun duduk lagi. Daehan tidak berdiri, tetapi menarik satu kursi. Memberi kode pada lelaki itu agar duduk. Lalu mengulur tangan dan mereka bersalaman sebentar. "Apa kabarmu?" tanya lelaki itu pada Daehan. "Alhamdulillah, semakin hidup makmur." Daehan menyahut cepat. Obrolan singkat itu tidak berlanjut. Mereka terlihat canggung meski tidak mencolok. “Kenapa tidak langsung bilang padaku? Apa Bos hotel ini tidak pernah sibuk?” tanya lelaki harum itu pada Daishin sambil melirik Daehan. Penampilannya gagah dengan kemeja putih lengan panjang yang tertempel logo ‘Garuda Indonesia’ di bagian daddy kiri. Mungkin dia salah satu staff di kantor
Agung sesekali melirik lelaki tampan yang berwajah suntuk dan duduk di sebelahnya. Beda jauh dengan satu jam lalu yang terlihat cerah dan bersemangat saat diantarnya dari hotel menuju apartemen. “Kalau sedang repot, kan bisa saya saja yang jemput sepupunya itu, Mas…,” ucap Agung mencoba menghibur. Gak enak banget pergi dengan Bos yang bad mood. “Ck…! Repot apaan, Gung! Cuma moment dia pulang aja gak tepat. Bocah bandel, pulang gak mau bilang-bilang dulu!” Tidak sadar, Daehan kembali merutuk. “Ya misal jadi ke Batu, sekalian ngantar dia aja, Mas.” Agung menyarankan. Tidak lupa dengan ucapan Daehan saat di perjalanan pulang tadi. Ingin liburan ke Batu kurang lebih satu minggu. Selain untuk menjenguk ibu mertua, pasti juga untuk keperluan bahagia bersama istrinya yang jelita. “Iya kalo dia cepat pulang hari ini, kalo masih ingin di Surabaya, mana bisa kupaksa pulang ke Malang biar bisa barengan, Gung!” sahut Daehan galau. “Ya udah, Mas. Santai aja, yang penting tugas kit
Tiga bulan kemudian di Indonesia. Sebuah kota besar kedua nasional setelah Jakarta yaitu Kota Surabaya. Daehan berjalan cepat menuju pintu apartemen. Meskipun memiliki usaha perhotelan dengan beragam fasilitas berkelas, memiliki rumah privasi adalah keharusan. Walau itu hanyalah apartemen kecil kesayangan. Wanita berbaju tidur tetapi berparas jelita yang sedang di dapur terlihat kaget. Mendengar bunyi pintu dibuka yang tidak di waktu biasanya. Siapa? Segera kaki jenjangnya melesat membawa diri ke depan. “Lhoh, baru aja pergi, udah kembali…?!” seru Shanumi lebih terkejut. Menduga suatu barang atau perlengkapan kerja sangat penting punya Daehan tertinggal. Maka sebab lelaki itu harus kembali mengambilnya. “Bersiap, Shan! Ayo kita liburan!” ucap Daehan bersemangat. Namun, respon istri bukan sorak bahagia, melainkan dahi berkerut penuh tanya. “Kok mendadak, Mas? Tiba-tiba aja liburan, kenapa …?” respon Shanumi bingung. Setumpuk baju dari kang laundry yang akan ditata di alma
Khaisan rela menunda inginnya untuk sambung bercinta sesi kedua saat ayat-ayat suci terdengar melantun dari Masjid Camii di Tokyo. Menjauhkan diri dari bodi istri demi meredam hasrat yang seperti tidak kunjung surut dari dirinya. “Aku mandi duluan, Saz. Isya…,” ucap Khaisan sambil beringsut turun ranjang dan bangkit. Berjalan menuju kamar mandi sambil menyambar handuk yang kebetulan tersangkut di kaki ranjang. Hanya dibawa melenggang santai tanpa niat dililit lagi di badan. Sengaja tidak mengajak Sazlina mandi bersama agar tidak kembali tergoda. Sazlina hanya mengikuti gerak suami dengan pandangan mata sambil menarik selimut lebih menutup. Berjuta rasa di jiwa dan raga tengah berbaur di dadanya. Bahagia, lelah dan takjub. Masih seperti mimpi jika saat ini merasa seperti sudah memiliki segalanya. Lelaki tampan dan hartawan yang tiba-tiba jadi suami, meski sempat penuh drama nelangsa sebelumnya, kini sudah berubah bisa saling menerima. Bahagia sekali rasanya! Mereka berdua turun ke
Sebab soalan Sazlina menyela, bibir Khaisan yang parkir rapat di leher lembut itu terpaksa disudahi. Memindahkan tangan dari menelusur di pinggul bergeser ke bahu. Merenggangkan sedikit ke belakang. Mereka jadi sedikit saling jauh. “Apa Clara sangat membuatmu tidak senang?” tanya Khaisan setelah menatap dalam di wajah istrinya. “Maksudku … bukan membuatku tidak senang. Tetapi, aku merasa tidak tenang sebab Claramu itu. Maafkan kata-kataku ini …,” ucap Sazlina ambigu. Namun, merasa lebih baik jujur dengan apa yang tengah dirasa pada Khaisan. Toh lelaki itu adalah suami yang harus ikut mengerti sedih dan suka duka perasaannya di mana pun dan kapan pun. Semoga lelaki itu terus jinak dan tidak emosi. “Aku paham maksudmu, Sazlina. Apa yang kamu pikirkan, memang seperti itu sikap Clara padaku. Bahkan setelah kita jelas tinggal sekamar pun, Clara masih berusaha mengambil simpatiku lebih khusus. Namun, kamu tidak perlu khawatir.” Khaisan berkata apa adanya yang semakin membuat Sazlina jadi
Sazlina mematung sejenak dengan sisir masih menggantung di rambut. Bunyi pintu terbuka membuatnya sedikit terkejut. Seseorang telah membukanya di luar. Oh, pasti suaminya sudah kembali. Rasa hati lega dengan debar yang kencang. Belakangan ini, selalu jadi resah jika terbayang sosok suaminya. “Mas, sudah pulang?” Sazlina menyambut pada lelaki gagah yang terlihat lelah. Tetapi selalu berjalan tegap dan kini mendekat. Menatap Sazlina teduh dengan senyum mengembang samar. “Sedang apa …?” sapa Khaisan syahdu namun seperti penuh beban dalam sorot matanya. Kini semakin dekat dan seperti akan memeluk Sazlina. “Tunggu. Mas Kha jangan dekat, bau rumah sakit. Kalo soal begini, anggaplah aku memang sangat paranoid. Aku baru mandi….” Sazlina buru-buru mencegah agar Khaisan tidak menyentuh. Khaisan mengunci langkah dan senyumnya melebar. “Aku mengerti. Ternyata kita sama-sama memiliki ketakutan, hanya berbeda sebab.” Khaisan masih tersenyum dan menjauh, sedikit berundur lagi ke bel
Setelah menerima panggilan meresahkan dari Daishin, Sazlina tidak serta merta meluncur ke rumah sakit yang telah disebutkan oleh lelaki itu. Tetapi memilih menghubungi Khaisan untuk berkabar masalah besar sepupunya. Tidak ingin niat baiknya justru menjadi bumerang bagi diri sendiri dan Khaisan. Meski merasa cemas, Sazlina merasa lega dan berusaha tenang. Percaya pada arahan Khaisan agar standby di rumah saja. Suaminya yang tegas itu berjanji melalui sambungan telepon bahwa semua akan diurusnya sendiri dan cepat. Juga sempat mengumpat sedikit pada Daishin yang tidak menghubunginya tetapi justru menelepon pada Sazlina. “Bagaimana setelah operasi … siapa yang akan merawatnya?” Sazlina bertanya sendiri sambil rebahan. Tidak mengantuk sama sekali dan tengah banyak pikiran yang mencemaskan. Daishin tidak lagi menghubungi yang bermakna, mungkin Khaisan sudah berhasil menangani. Entah cara apa yang ditempuh nya, apa lelaki itu sudah menemani di sana? Jika iya, bagaimana dengan Clara? Apa j