Sebab soalan Sazlina menyela, bibir Khaisan yang parkir rapat di leher lembut itu terpaksa disudahi. Memindahkan tangan dari menelusur di pinggul bergeser ke bahu. Merenggangkan sedikit ke belakang. Mereka jadi sedikit saling jauh. “Apa Clara sangat membuatmu tidak senang?” tanya Khaisan setelah menatap dalam di wajah istrinya. “Maksudku … bukan membuatku tidak senang. Tetapi, aku merasa tidak tenang sebab Claramu itu. Maafkan kata-kataku ini …,” ucap Sazlina ambigu. Namun, merasa lebih baik jujur dengan apa yang tengah dirasa pada Khaisan. Toh lelaki itu adalah suami yang harus ikut mengerti sedih dan suka duka perasaannya di mana pun dan kapan pun. Semoga lelaki itu terus jinak dan tidak emosi. “Aku paham maksudmu, Sazlina. Apa yang kamu pikirkan, memang seperti itu sikap Clara padaku. Bahkan setelah kita jelas tinggal sekamar pun, Clara masih berusaha mengambil simpatiku lebih khusus. Namun, kamu tidak perlu khawatir.” Khaisan berkata apa adanya yang semakin membuat Sazlina jadi
Khaisan rela menunda inginnya untuk sambung bercinta sesi kedua saat ayat-ayat suci terdengar melantun dari Masjid Camii di Tokyo. Menjauhkan diri dari bodi istri demi meredam hasrat yang seperti tidak kunjung surut dari dirinya. “Aku mandi duluan, Saz. Isya…,” ucap Khaisan sambil beringsut turun ranjang dan bangkit. Berjalan menuju kamar mandi sambil menyambar handuk yang kebetulan tersangkut di kaki ranjang. Hanya dibawa melenggang santai tanpa niat dililit lagi di badan. Sengaja tidak mengajak Sazlina mandi bersama agar tidak kembali tergoda. Sazlina hanya mengikuti gerak suami dengan pandangan mata sambil menarik selimut lebih menutup. Berjuta rasa di jiwa dan raga tengah berbaur di dadanya. Bahagia, lelah dan takjub. Masih seperti mimpi jika saat ini merasa seperti sudah memiliki segalanya. Lelaki tampan dan hartawan yang tiba-tiba jadi suami, meski sempat penuh drama nelangsa sebelumnya, kini sudah berubah bisa saling menerima. Bahagia sekali rasanya! Mereka berdua turun ke
Tiga bulan kemudian di Indonesia. Sebuah kota besar kedua nasional setelah Jakarta yaitu Kota Surabaya. Daehan berjalan cepat menuju pintu apartemen. Meskipun memiliki usaha perhotelan dengan beragam fasilitas berkelas, memiliki rumah privasi adalah keharusan. Walau itu hanyalah apartemen kecil kesayangan. Wanita berbaju tidur tetapi berparas jelita yang sedang di dapur terlihat kaget. Mendengar bunyi pintu dibuka yang tidak di waktu biasanya. Siapa? Segera kaki jenjangnya melesat membawa diri ke depan. “Lhoh, baru aja pergi, udah kembali…?!” seru Shanumi lebih terkejut. Menduga suatu barang atau perlengkapan kerja sangat penting punya Daehan tertinggal. Maka sebab lelaki itu harus kembali mengambilnya. “Bersiap, Shan! Ayo kita liburan!” ucap Daehan bersemangat. Namun, respon istri bukan sorak bahagia, melainkan dahi berkerut penuh tanya. “Kok mendadak, Mas? Tiba-tiba aja liburan, kenapa …?” respon Shanumi bingung. Setumpuk baju dari kang laundry yang akan ditata di alma
Agung sesekali melirik lelaki tampan yang berwajah suntuk dan duduk di sebelahnya. Beda jauh dengan satu jam lalu yang terlihat cerah dan bersemangat saat diantarnya dari hotel menuju apartemen. “Kalau sedang repot, kan bisa saya saja yang jemput sepupunya itu, Mas…,” ucap Agung mencoba menghibur. Gak enak banget pergi dengan Bos yang bad mood. “Ck…! Repot apaan, Gung! Cuma moment dia pulang aja gak tepat. Bocah bandel, pulang gak mau bilang-bilang dulu!” Tidak sadar, Daehan kembali merutuk. “Ya misal jadi ke Batu, sekalian ngantar dia aja, Mas.” Agung menyarankan. Tidak lupa dengan ucapan Daehan saat di perjalanan pulang tadi. Ingin liburan ke Batu kurang lebih satu minggu. Selain untuk menjenguk ibu mertua, pasti juga untuk keperluan bahagia bersama istrinya yang jelita. “Iya kalo dia cepat pulang hari ini, kalo masih ingin di Surabaya, mana bisa kupaksa pulang ke Malang biar bisa barengan, Gung!” sahut Daehan galau. “Ya udah, Mas. Santai aja, yang penting tugas kit
Daehan menoleh ke arah pintu hingga badan pun memutar. Lelaki tampan dan gagah berkemeja putih lengan panjang memasuki kafe dan kini menghampiri meja mereka. Wangi maskulin menyebar di penjuru meja bersama hadir sosoknya. “Apa kabar, Mas?” Daishin menyambut sambil berdiri. “Alhamdulillah,” sahut lelaki itu. Mereka saling rangkul singkat dan Daishin pun duduk lagi. Daehan tidak berdiri, tetapi menarik satu kursi. Memberi kode pada lelaki itu agar duduk. Lalu mengulur tangan dan mereka bersalaman sebentar. "Apa kabarmu?" tanya lelaki itu pada Daehan. "Alhamdulillah, semakin hidup makmur." Daehan menyahut cepat. Obrolan singkat itu tidak berlanjut. Mereka terlihat canggung meski tidak mencolok. “Kenapa tidak langsung bilang padaku? Apa Bos hotel ini tidak pernah sibuk?” tanya lelaki harum itu pada Daishin sambil melirik Daehan. Penampilannya gagah dengan kemeja putih lengan panjang yang tertempel logo ‘Garuda Indonesia’ di bagian daddy kiri. Mungkin dia salah satu staff di kantor
Gadis yang diincar telah jauh dan tidak terkejar. “Siapa dia, Shin?” tanya Daehan yang ikut berjalan keluar kafe. Dipikirnya lelaki tampan mantan bos agensi model itu akan berlari menyusul gadis yang sempat ditahan dan lalu lolos dengan mudah. Namun, tiba-tiba Daishin justru duduk di bangku luar dengan terengah. Tidak mengejar buruannya. “Dia mantan model di agensiku. Keluar dari agensi dengan membawa lari uangku!” sahut Daishin dengan muka memerah. Namun, wajahnya berkernyit sedang menahan sakit. “Kenapa tidak dikejar? Kamu kenapa, Shin?” Kali ini Erick yang juga keluar bertanya. Memperhatikan wajah sepupunya lebih saksama. “Perutku sakit. Aku tidak bisa berlari.” Daishin berkata dengan hidung mancung yang mengembang dan mengempis sangat cepat. Tidak pergi juga rasa kesal dari hatinya. “Tentu saja, kebanyakan… operasi sebab usus bantu cukup merepotkan. Sedikit lebih lama pulihnya.” Daehan berbicara fakta. Papa Samuel pun pernah operasi sebab radang usus buntu. Hingga berbulan-
Efforts Daishin untuk mengejar gadis dalam lift sudah diusahakannya maksimal. Menahan sakit di perut sebab kaki dibuat jalan cepat yang jauh melebihi biasanya. Kali ini tidak ingin kehilangan jejak lagi. Rasa penasaran sedang membuncah di dadanya. Pintu lift belum menutup rapat saat gadis itu berbalik dan sangat terkejut mendapati Daishin di depan mata. Merasa tertangkap basah dan tidak mungkin menghindar lagi jika tempat kopdar mereka berada di dalam lift. Namun….“Shin…!” seruan Daehan beserta cekalan kuat di lengan membuat Daishin terjegal langkahnya. Urung masuk lift yang selangkah saja sudah sampai. “Apaan kamu, Mas?!” hardik Daishin pada Daehan. Merasa kesal bukan kepalang, pintu yang tadi membelah kini kembali bersatu. Meluncur naik ke atas dan membawa penumpang di dalam menuju destinasi di lantai berikutnya. “Apa yang akan kamu lakukan? Tahan diri, Shin. Jangan sembrono! Ini bukan hotel orang. Kenyamanan pengunjung adalah prioritas. Jangan sampai gadis itu memberikan bint
“Aku serius, Mas. Kuberi dua puluh juta tunai. Asal pinjami aku seragam OB mu itu. Hanya satu jam.” Daishin kembali mengulang tawarannya. Sebab lelaki itu masih tercengang menatapnya. Seperti tidak percaya dan simalakama. “Sudah, cukup, Mas. Jangan kasih naik-naik lagi. Takutnya saya yang papa ini tergoda. Jujur, saya rasanya hampir enggak kuat. Ck … ck… ck … dua puluh juta hanya satu jam. Tapi, saya tetap tidak bisa. Maaf ya, Mas, lebih baik saya permisi saja sekarang.” Petugas hotel hingga gemetaran menjawab. Telah berbalik dan menuju pintu dengan langkah buru-buru. Selain sumpah setia pada syarat dan ketentuan kerja di Hotel Rasyid, juga merasa takut andai Daishin adalah orang yang penuh jebakan dan jahat. Berita kriminal seputar kota yang beragam akhir-akhir ini membuatnya mawas diri. Daishin hingga tercenung. OB bagus itu tidak terlihat lagi. Pintu kamarnya sudah menutup semula dengan sendirinya. Tidak habis pikir, dianggapnya orang-orang lokal begitu mudah disuap, memang fak
Osara kembali terjaga saat subuh dengan mata sangat sembab. Selain bangun sebab kumandang adzan beesahutan, juga bisik-bisik yang kembali terdengar sayup di samping ranjang. Ternyata masih dengan orang yang sama, Shanumi dan Sazlina sedang berbincang sesuatu dengan suara sangat kecil. “Kalo mau ke mushola pergi saja, Mbak. Gak papa, Kok.” Shanumi menengahi percakapan mereka yang berebut siapa perhlgi shalat subuh dan siapa tinggal dalam kamar. “Baiklah, kamu duluan saja ah, Shan. Aku bersama Osara saja. Oh, kamu ikut jamaah saja. Buruan sana!” Sazlina berkata cepat pada adiknya dengan lembut. “Yelah, Mbak. Aku yang pergi. Osara, aku tinggal dulu, ya….” Shanumi juga tidak ingin membuang waktu. Merasa saran kakaknya boleh juga. Ikut shalat jamaah subuh di Mushola. Lumayan mengurangi luka jiwa yang sedang dirasa. Lagipula mereka lupa tidak membawa mukena ke rumah sakit, jadi akan memakai aset mukena milik mushola. “Mama Hana ke mana, Mbak? Dari aku bangun semalam, gak terlihat?
Dua lelaki korban parah kecelakaan jalan raya dini hari, sejak dua malam lalu sudah di bawa ke rumah sakit dan sama-sama mendapat perawatan intensif di ruang ICU yang berbeda. Satu orang korban sudah dipindahkan ke ruang perawatan dengan kamar dan pelayanan khusus VIP. Terus di temani oleh orang tua yang baru datang kemarin pagi dari negeri seberang. Cidera retak sekaligus patah tulang membuat pasien tidak bisa beraktivitas apapun untuk sementara. Satu korban lagi masih bertahan dengan kondisi kritis yang parah dan terus tidak sadarkan diri sejak dilarikan dari tempat kejadian perkara ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) di rumah sakit hingga ke ruangan Intensive Care Unit (ICU) hingga saat ini. Ditemani oleh seorang pria setengah baya berkulit cerah yang tak lain adalah sang ayah. Sesekali tampak menyeka air yang merembes keluar dari mata tuanya. Sedang di kamar rawat khusus ibu dan anak, seorang perempuan hamil tengah diinfus dan terlihat lemah yang ditemani wanita cantik setengah
Mobil besar dengan cat hitam legam berisi dua orang penumpang lelaki termasuk sopir, melaju kencang membelah jalan raya. Meski bukan sepi, tetapi kepadatan pengguna jalan raya di kota buaya menjelang tengah malam, bisa membuat pengemudi lupa diri. “Perlu aku gantikan?” usik Erick merasa resah. Sejak awal, Daishin menolak tawarannya untuk jadi penumpang dan dirinya mengemudi. “Nggak usah, Mas. Lagi bagus nih jalanan. Yang kutahu padat merayap saat siang. Ternyata asyik juga keluar malam.” Daishin menolak. Lelaki calon ayah yang sedang dalam masalah itu kukuh membawa sendiri kendaraannya. Erick pun angkat tangan. Pria dewasa mana bisa dibujuk dan dipaksa.... Mungkin lelaki gagah calon ayah yang sedang dalam masalah itu akan mendapat rasa tenang dan freshing tersendiri dari laju mengemudi. Toh rasanya masih nyaman terkendali. Daishin memang lihai mengemudi kencang. Bahkan jika berlomba adu balab bersamanya juga dengan Daehan dan Khaisan kala ke Jepang, kerap kali Daishin yang menang
Dua lelaki keren yang tampan, mapan, gagah, atletis dan sehat tanpa cela itu sedang membuat nasi goreng idaman di dapur mini rumah dinas. Masih pukul sembilan malam tetapi suasana luar di komplek perumahan terasa lengang dan sunyi. Hanya kebisingan dalam rumah yang sedang mereka ciptakan sendirilah pertanda adanya kehidupan di kompleks elite itu. Sebab, penghuni lajangnya sedang ingin membuat eksperimen tiba-tiba. “Bagaimana, Shin?” tanya Erick sambil tersenyum lebar. Berkacak pinggang sebelah tangan sambil membawa pengaduk di tangan sebelah satunya. “Apa kerjamu di bandara?” tanya Daishin di sela mengunyah sesendok nasi gorang yang langsung dia sendok dari wajan penggorengan. Meski tidak pedas, Daishin membuka mulut demi menghilangkan uap sebab panas. Erick makin menahan tawanya. “Jelas di bagian humas. Kan aku sudah pernah bilang, aku lelaki paling good looking di Juanda, jadi diletak di kepala bagian humas. Apa hubungannya, Shin?” tanya Erick berlagak pongah. Kesal, tid
Erick sudah duduk di teras rumah dinas saat Daishin tiba. Sengaja tidak pulang ke apartemen sebab hari ini pulang kerja lambat dan besok pun harus pergi kerja lebih cepat. Akan ada kunjungan dari direktur maskapai penerbangan XX di kantornya. Kebetulan juga yang Daishin berkabar akan datang main malam hari. “Assalamu'alaikum!” sapa Daishin setelah keluar dari mobil dan menaiki teras. “Wa'alaikumsalam. Tumben datang malam, Shin?!” sambut Erick. Mengamati lelaki yang tengah berjalan gontai dengan ekspresi tidak secerah biasa saat datang, entah di rumah dinas atau ke apartemen.“Ada yang penting.” Daishin menyahut sambil meletak sebungkus rokok yang sempat dia beli di jalan ke meja di depan Erick. Erick menatapnya. Merasa kali ini ada hal berat sebab Daishin datang malam-malam. Biasanya sore saat mereka sama-sama pulang kerja. Itu pun hampir tidak pernah membawa rokok, sebab kebetulan Erick pun bukanlah perokok aktif. Tetapi bukan menolak merokok. “Apa istrimu aman?” tanya Erick.
Farida berekspresi waswas dan curiga. Matanya tidak lagi sayu, tetapi melebar dan nanar. Tanda tidak menyangka jika KTP nya diabadikan Daishin dalam ponsel dan wanita itu ternyata sangat tidak rela. Resah jika akan dijadikan apa-apa. Sikap Farida membuat Daishin semakin curiga tetapi hanya menghela napas panjang. Merasa sangat lelah dan tidak guna terus disanggah. “Sebaiknya kamu pergi dan jangan datang datang dulu sebelum mendapat kabar dariku, Farida. Tolong, saling mengertilah terhadap wanita hamil. Sudah jelas jika istri ku pun sedang berperut besar, kan? Sebagai sesama wanita, seharusnya paham dengan perasaan istriku. Apa kau siap kutuntut jika ada apa-apa dengan istriku dan kehamilannya?” tanya Daishin dengan tatapan berapi. Melirik Osara yang seperti tidak peduli. Kini tengah sibuk dengan ponselnya. Ah, apa dia pun juga tidak peduli andai ini benar? Sesaat Daishin justru tidak puas hati dengan sikap Osara yang tampak kelewat tenang. Apa justru terlalu marah, kecewa dan kesal
Daishin bungkam meski merasa semakin kesal melihat wanita spesial itu menangis. Kepalanya berputar kencang, bagaimana agar Clara benar-benar jera. Apakah harus menyerahkannya pada polisi? Tetapi kasus itu terjadi di luar negara, bisakah? Bagaimana jika dipermudah dengan keluar uang? Daishin bimbang dan bertanya-tanya sambil menahan marah. “Untuk apa menangis? Sudahlah, Ma! Yakinlah, Itu tidak lama. Atau jika Mama tega, sebaiknya kembalikan saja dia ke Jepang. Kurasa dia tidak akan berani mengusik Mas Kha di sana. Daripada Mama tersiksa. Di sini pun, aku yang dia incar. Mama pikir aku bisa menidurinya? Dia sudah seperti adik bagiku. Sayangnya dia gila.”“Oh, ya, Ma. Tolong, jangan lagi periksa di klinik itu. Osara benar-benar tidak ingin bertemu Clara. Bawa pergi dia dari sini segera. Aku permisi, Ma,” ucap Daishin dingin. Dengan mengeraskan hati, ditinggalkannya Mama Hana yang masih tersedu dan berlinang air mata. Merasa heran sendiri, kenapa Darhan dan Papa Samuel tidak berusaha men
Osara telah diantar hingga rumah dan Mak Yem siaga untuk membuka dan menutup pintunya. Istri kembali tampak bad mood sejak pagi menjelang siang. Daishin sangat tahu apa alasannya hingga terus diam-diam seperti itu. Menilai jika mama Hana tega sekali. Sudah pernah sepakat bahwa itu adalah klinik kandungan pilihan Osara dan Clara pun memiliki klinik kandungan biasanya. Jika sedang tutup, apa salahnya ditunda sejam dua jam atau sehari dua hari. Meski kebetulan, nyatanya berbenturan juga dengan jadwal kontrol istrinya hingga keduanya bertemu. Hal yang sangat ditakuti Osara. Daishin berniat akan membicarakan serius hal ini dengan Mama Hana. Lelaki tampan dan berkulit cerah tetapi sudah suami orang itu mendatangi ruang tunggu di butiknya. Seorang wanita cantik memandang ke arahnya sambil tersenyum sumringah. Daishin membalas ramah dan menyadari jika calon customernya itu sedang hamil besar. Pembicaraan pada negosiasi segera Daishin buka demi tidak banyak basa basi. Jiwanya memang pebisni
Enam bulan kemudian, di kota besar Surabaya. Jum'at pagi ini sepasangan suami istri yang berbahagia itu tampak cerah wajahnya. Tengah bersiap untuk pergi ke salah satu alamat klinik langganan di Kota Surabaya demi bertemu dengan seorang Dokter Kandungan langganan selama ini. Wanita cantik bergamis tetapi belum berkerudung sedang mengemas piring yang baru dipakai dari atas meja makan. Pembantu rumah yang tidak pernah menginap, baru saja datang dan meminta maaf sebab telat. Langsung mengambil alih piring dan wadah kotor dari tangan Osara. “Maaf, Mbak. Pagi-pagi udah macet, jadi saya terpaksa telat …,” jelas pembantu rumah dengan senyuman khas Jawa nya.anis dan polos. Berusia mendekati lima puluhan tahun tetapi teeltihat muda sebab wajahnya bersih dan berkulit sawo matang “Gak papa, Mak Yem.” Osara menyahut dengan membalas tulus senyumannya. Berjalan meninggalkan meja makan dan mengambil mesin pengering rambut untuk dibawa ke dalam kamar. Menempatkan diri di depan cermin rias