Gadis yang diincar telah jauh dan tidak terkejar. “Siapa dia, Shin?” tanya Daehan yang ikut berjalan keluar kafe. Dipikirnya lelaki tampan mantan bos agensi model itu akan berlari menyusul gadis yang sempat ditahan dan lalu lolos dengan mudah. Namun, tiba-tiba Daishin justru duduk di bangku luar dengan terengah. Tidak mengejar buruannya. “Dia mantan model di agensiku. Keluar dari agensi dengan membawa lari uangku!” sahut Daishin dengan muka memerah. Namun, wajahnya berkernyit sedang menahan sakit. “Kenapa tidak dikejar? Kamu kenapa, Shin?” Kali ini Erick yang juga keluar bertanya. Memperhatikan wajah sepupunya lebih saksama. “Perutku sakit. Aku tidak bisa berlari.” Daishin berkata dengan hidung mancung yang mengembang dan mengempis sangat cepat. Tidak pergi juga rasa kesal dari hatinya. “Tentu saja, kebanyakan… operasi sebab usus bantu cukup merepotkan. Sedikit lebih lama pulihnya.” Daehan berbicara fakta. Papa Samuel pun pernah operasi sebab radang usus buntu. Hingga berbulan-
Efforts Daishin untuk mengejar gadis dalam lift sudah diusahakannya maksimal. Menahan sakit di perut sebab kaki dibuat jalan cepat yang jauh melebihi biasanya. Kali ini tidak ingin kehilangan jejak lagi. Rasa penasaran sedang membuncah di dadanya. Pintu lift belum menutup rapat saat gadis itu berbalik dan sangat terkejut mendapati Daishin di depan mata. Merasa tertangkap basah dan tidak mungkin menghindar lagi jika tempat kopdar mereka berada di dalam lift. Namun….“Shin…!” seruan Daehan beserta cekalan kuat di lengan membuat Daishin terjegal langkahnya. Urung masuk lift yang selangkah saja sudah sampai. “Apaan kamu, Mas?!” hardik Daishin pada Daehan. Merasa kesal bukan kepalang, pintu yang tadi membelah kini kembali bersatu. Meluncur naik ke atas dan membawa penumpang di dalam menuju destinasi di lantai berikutnya. “Apa yang akan kamu lakukan? Tahan diri, Shin. Jangan sembrono! Ini bukan hotel orang. Kenyamanan pengunjung adalah prioritas. Jangan sampai gadis itu memberikan bint
“Maaf, Pak. Bagaimana lagi… kamarnya tinggal satu. Kalo soal razia, tenang saja. Hotel kami hanya mendapat sidak di akhir bulan. Ini masih tanggal tiga, nih, Pak … tanggal muda….” Daehan, pria gagah yang dipanggil Pak oleh resepsionis manis dan genit itu kian mengatup bibir. Menatap gusar pada Umi (Sazleen Shanumi), asisten rumah baru yang dia bawa. Wajahnya menebal dengan bibir membiru. Jiwa sosial Daehan sebagai lelaki gagal membatu. “Kamu dengar sendiri apa katanya barusan. Terserah, jika keberatan, kamu duduk saja di lobi hingga orangku datang, Um,” ujar Daehan pada wanita berkerudung panjang dan berbaju tebal tetapi basah kuyup. “Enggak, Pak. Saya tak keberatan. Tidak sanggup lagi di luaran, bisa beku…,” sahut Umi cepat. Meski dengan melawan gemelutukan gigi di mulut yang serasa amat kaku. Sangat kedinginan. Daehan agak terkejut, meski juga merasa lega. Jika ada apa-apa dengan asisten rumah yang baru dia jemput itu, dirinya juga yang kena. Kesal sekali dengan sopir pribad
Malang tak dapat ditolak, apalagi diprediksi. Seperti halnya kali ini. Petugas sidak kukuh memberi sanksi pada para penghuni kamar yang dilabel sedang mesum. Tidak kecuali dengan Daehan dan Umi. Wajah lelaki tampan itu memerah dan tegang. Tidak menyangka niatan berteduh jadi sesialan seperti ini. Umi menatap cemas pada petugas sidak yang barusan mendekati Daehan dan merraba tubuh besar itu tanpa segan. Meski pemilik badan mengibas kasar, para petugas abai dan semakin berwajah sinis setelahnya.“Alibi kalian sama sekali tidak masuk akal. Bisa jadi juga disertai ancaman dan kekerasan. Melihatmu yang tidak berpakaian dalam dan wajah wanita ini seperti habis dianiya, kalian masuk ke dalam daftar pasangan haram yang disanksi.” Petugas sidak berbicara tegas dan tajam.“Jangan menuduh. Sudah aku tegaskan, dia pekerjaku. Tidak ada kamar lagi. Aku kasihan sebab tadi kehujanan. Dia perempuan, tidak mungkin aku biarkan di luaran! Mukanya bengkak sebab suntik cantik, bukan tanganku yang bikin!”
Dalam penelurusan singkat melalui Kartu Tanda Penduduk yang terhubung pada Kartu Keluarga, Umi dan Daehan adalah lajang yang bukan saudara mara dan kerabat. Memiliki alamat serta tempat tinggal berjauhan. Itu adalah faktor utama mereka wajib disatukan. Tanda tangan di berkas sah nikah yang bukan buku nikah baru saja selesai oleh keduanya saat satu panggilan masuk untuk Daehan. Maka lelaki itu pergi meninggalkan ruangan dengan dalih bertelepon. Umi menyusul setelah meladeni beberapa pertanyaan petugas sendirian. Di sana Umi bicara jujur segalanya dan Daehan sama sekali tidak mengetahui. Juga masih ada dua pasang lagi yang bernasib sama untuk dinikahkan dengan mudah. Tentu saja sangat mudah, hanya bermodal KTP, janji mahar, ijab kabul dan dua mempelai itu sendiri. Tanpa bersusah payah dengan syarat ribet pernikahan biasanya pun mereka sudah sah. Bahkan beberapa kali, para petugas mengingatkan pada para pengantin hasil sidak untuk lebih baik bersyukur. Umi dan Daehan sendiri sangat
Tidak sia-sia Umi masak soto sedikit banyak yang tidak habis untuk satu orang. Sebab hujan masih turun deras, kuliner langganan Daehan sudah tutup lebih awal. Tunangan cantiknya kelaparan, masakan perdana Umi pun jadi. Tidak menyangka masakan janda burik itu enak sekali. Bahkan Intana sangat suka. Lupa dengan hinaan jorok yang tadi dilontarkan. Jika tidak ingat bahwa yang masak pun sedang lapar, mungkin Daehan sanggup menghabiskan. “Niat masak buat dinikmati sendiri, malah dapat sisanya doang, dikit lagi,” ucap Shanumi menggerutu sambil berjibaku dengan barang pecah belah di wastafel.“Nggak sopan banget, gini amat nasib istri sah.” Shanumi mengeluh kesal. Tetapi juga menyimpan tawa. Merasa konyol dengan ucapan sendiri yang menyebut diri istri sah.“Udah masak buat orang … eh, panci-pancinya pun kena nyuci sendiri. Sabar ya, Shan … Ini demi dapat uang tambahan lebih cepat!” ucap Shanumi yang kali ini agak keras. Bersaing dengan suara air kran dan panci yang beradu.“Um, kamu ini ngg
Shanumi telah meluncur ke dalam kamar yang sempat diwariskan sopir, Agung padanya. Mengemasi barang yang tidak banyak untuk rapi kembali ke dalam tas. Perasaannya kini tidak terjabar. Antara lega dan puas, sebab dengan gaji penuh dirinya terbebas dari tugas. Juga bersit terhina sebab Daehan sama sekali tidak menganggapnya. Bukan sebagai istri, tetapi telah menolaknya sebagai pekerja. Meski burik, mungkin Daehan masih bisa menerima Shanumi terus bekerja jika tidak terhasut oleh ucapan Intana. Entah sedalam apa cintanya pada si tunangan hingga setunduk itu.Yang jelas, Intana adalah wanita bermulut madu yang beracun. Berlidah belut yang licin di mata Shanumi. Terbukti bagaimana Intana meyakinkan pada petugas jika kerusakan mobil mewahnya bernilai puluhan juta untuk biaya servis. Padahal tidak seberapa. Hanya beberapa goresan yang sama sekali tidak menyebabkan bekas cacat. Garit gores itu bisa dipoles cepat dengan dibawa ke bengkel servis mobil profesional. Namun, tetap Shanumi juga y
Celana abu muda menggantung di mata kaki berpadu atasan blouse putih, membuat penampilan Shanumi terlihat segar, elegant dan cerah. Rambutnya diikat tinggi dengan wajah berpoles tipis menarik. Meski kesan bengkak masih menyisa, kecantikan raganya tidak bisa ditutupi. “Sudah minum suplemenmu, Shan?” Yena menghampiri Shanumi di kursi dapur. “Sudah, barusan. Thanks, Yen.” Shanumi yang barusan berbincang dengan pegawai dapur, mendekat dan duduk di dekat Yena. Menerima segelas lemon madu hangat dari sang karib dan meminumnya hingga tandas. “Meski wajahmu belum pulih, cantikmu mulai kembali, Shan. Semangat, ya. Jika nggak menang dan wanita itu datang minta uang, pakai aja duit kafe. Sisanya kita kejar…,” ucap Yena membujuk. Iba jika Shanumi sebenarnya tertekan dan banyak yang dipikir. “Jangan, aku nggak mau ngusik dana kafe. Takut tiba-tiba sepi dan ngaruh ke gaji mereka. Pasti ada dana dari pintu lain. Kamu jangan risau, Yen.” Shanumi berkata sambil meletak gelas kosong di meja sebela
Efforts Daishin untuk mengejar gadis dalam lift sudah diusahakannya maksimal. Menahan sakit di perut sebab kaki dibuat jalan cepat yang jauh melebihi biasanya. Kali ini tidak ingin kehilangan jejak lagi. Rasa penasaran sedang membuncah di dadanya. Pintu lift belum menutup rapat saat gadis itu berbalik dan sangat terkejut mendapati Daishin di depan mata. Merasa tertangkap basah dan tidak mungkin menghindar lagi jika tempat kopdar mereka berada di dalam lift. Namun….“Shin…!” seruan Daehan beserta cekalan kuat di lengan membuat Daishin terjegal langkahnya. Urung masuk lift yang selangkah saja sudah sampai. “Apaan kamu, Mas?!” hardik Daishin pada Daehan. Merasa kesal bukan kepalang, pintu yang tadi membelah kini kembali bersatu. Meluncur naik ke atas dan membawa penumpang di dalam menuju destinasi di lantai berikutnya. “Apa yang akan kamu lakukan? Tahan diri, Shin. Jangan sembrono! Ini bukan hotel orang. Kenyamanan pengunjung adalah prioritas. Jangan sampai gadis itu memberikan bint
Gadis yang diincar telah jauh dan tidak terkejar. “Siapa dia, Shin?” tanya Daehan yang ikut berjalan keluar kafe. Dipikirnya lelaki tampan mantan bos agensi model itu akan berlari menyusul gadis yang sempat ditahan dan lalu lolos dengan mudah. Namun, tiba-tiba Daishin justru duduk di bangku luar dengan terengah. Tidak mengejar buruannya. “Dia mantan model di agensiku. Keluar dari agensi dengan membawa lari uangku!” sahut Daishin dengan muka memerah. Namun, wajahnya berkernyit sedang menahan sakit. “Kenapa tidak dikejar? Kamu kenapa, Shin?” Kali ini Erick yang juga keluar bertanya. Memperhatikan wajah sepupunya lebih saksama. “Perutku sakit. Aku tidak bisa berlari.” Daishin berkata dengan hidung mancung yang mengembang dan mengempis sangat cepat. Tidak pergi juga rasa kesal dari hatinya. “Tentu saja, kebanyakan… operasi sebab usus bantu cukup merepotkan. Sedikit lebih lama pulihnya.” Daehan berbicara fakta. Papa Samuel pun pernah operasi sebab radang usus buntu. Hingga berbulan-
Daehan menoleh ke arah pintu hingga badan pun memutar. Lelaki tampan dan gagah berkemeja putih lengan panjang memasuki kafe dan kini menghampiri meja mereka. Wangi maskulin menyebar di penjuru meja bersama hadir sosoknya. “Apa kabar, Mas?” Daishin menyambut sambil berdiri. “Alhamdulillah,” sahut lelaki itu. Mereka saling rangkul singkat dan Daishin pun duduk lagi. Daehan tidak berdiri, tetapi menarik satu kursi. Memberi kode pada lelaki itu agar duduk. Lalu mengulur tangan dan mereka bersalaman sebentar. "Apa kabarmu?" tanya lelaki itu pada Daehan. "Alhamdulillah, semakin hidup makmur." Daehan menyahut cepat. Obrolan singkat itu tidak berlanjut. Mereka terlihat canggung meski tidak mencolok. “Kenapa tidak langsung bilang padaku? Apa Bos hotel ini tidak pernah sibuk?” tanya lelaki harum itu pada Daishin sambil melirik Daehan. Penampilannya gagah dengan kemeja putih lengan panjang yang tertempel logo ‘Garuda Indonesia’ di bagian daddy kiri. Mungkin dia salah satu staff di kantor
Agung sesekali melirik lelaki tampan yang berwajah suntuk dan duduk di sebelahnya. Beda jauh dengan satu jam lalu yang terlihat cerah dan bersemangat saat diantarnya dari hotel menuju apartemen. “Kalau sedang repot, kan bisa saya saja yang jemput sepupunya itu, Mas…,” ucap Agung mencoba menghibur. Gak enak banget pergi dengan Bos yang bad mood. “Ck…! Repot apaan, Gung! Cuma moment dia pulang aja gak tepat. Bocah bandel, pulang gak mau bilang-bilang dulu!” Tidak sadar, Daehan kembali merutuk. “Ya misal jadi ke Batu, sekalian ngantar dia aja, Mas.” Agung menyarankan. Tidak lupa dengan ucapan Daehan saat di perjalanan pulang tadi. Ingin liburan ke Batu kurang lebih satu minggu. Selain untuk menjenguk ibu mertua, pasti juga untuk keperluan bahagia bersama istrinya yang jelita. “Iya kalo dia cepat pulang hari ini, kalo masih ingin di Surabaya, mana bisa kupaksa pulang ke Malang biar bisa barengan, Gung!” sahut Daehan galau. “Ya udah, Mas. Santai aja, yang penting tugas kit
Tiga bulan kemudian di Indonesia. Sebuah kota besar kedua nasional setelah Jakarta yaitu Kota Surabaya. Daehan berjalan cepat menuju pintu apartemen. Meskipun memiliki usaha perhotelan dengan beragam fasilitas berkelas, memiliki rumah privasi adalah keharusan. Walau itu hanyalah apartemen kecil kesayangan. Wanita berbaju tidur tetapi berparas jelita yang sedang di dapur terlihat kaget. Mendengar bunyi pintu dibuka yang tidak di waktu biasanya. Siapa? Segera kaki jenjangnya melesat membawa diri ke depan. “Lhoh, baru aja pergi, udah kembali…?!” seru Shanumi lebih terkejut. Menduga suatu barang atau perlengkapan kerja sangat penting punya Daehan tertinggal. Maka sebab lelaki itu harus kembali mengambilnya. “Bersiap, Shan! Ayo kita liburan!” ucap Daehan bersemangat. Namun, respon istri bukan sorak bahagia, melainkan dahi berkerut penuh tanya. “Kok mendadak, Mas? Tiba-tiba aja liburan, kenapa …?” respon Shanumi bingung. Setumpuk baju dari kang laundry yang akan ditata di alma
Khaisan rela menunda inginnya untuk sambung bercinta sesi kedua saat ayat-ayat suci terdengar melantun dari Masjid Camii di Tokyo. Menjauhkan diri dari bodi istri demi meredam hasrat yang seperti tidak kunjung surut dari dirinya. “Aku mandi duluan, Saz. Isya…,” ucap Khaisan sambil beringsut turun ranjang dan bangkit. Berjalan menuju kamar mandi sambil menyambar handuk yang kebetulan tersangkut di kaki ranjang. Hanya dibawa melenggang santai tanpa niat dililit lagi di badan. Sengaja tidak mengajak Sazlina mandi bersama agar tidak kembali tergoda. Sazlina hanya mengikuti gerak suami dengan pandangan mata sambil menarik selimut lebih menutup. Berjuta rasa di jiwa dan raga tengah berbaur di dadanya. Bahagia, lelah dan takjub. Masih seperti mimpi jika saat ini merasa seperti sudah memiliki segalanya. Lelaki tampan dan hartawan yang tiba-tiba jadi suami, meski sempat penuh drama nelangsa sebelumnya, kini sudah berubah bisa saling menerima. Bahagia sekali rasanya! Mereka berdua turun ke
Sebab soalan Sazlina menyela, bibir Khaisan yang parkir rapat di leher lembut itu terpaksa disudahi. Memindahkan tangan dari menelusur di pinggul bergeser ke bahu. Merenggangkan sedikit ke belakang. Mereka jadi sedikit saling jauh. “Apa Clara sangat membuatmu tidak senang?” tanya Khaisan setelah menatap dalam di wajah istrinya. “Maksudku … bukan membuatku tidak senang. Tetapi, aku merasa tidak tenang sebab Claramu itu. Maafkan kata-kataku ini …,” ucap Sazlina ambigu. Namun, merasa lebih baik jujur dengan apa yang tengah dirasa pada Khaisan. Toh lelaki itu adalah suami yang harus ikut mengerti sedih dan suka duka perasaannya di mana pun dan kapan pun. Semoga lelaki itu terus jinak dan tidak emosi. “Aku paham maksudmu, Sazlina. Apa yang kamu pikirkan, memang seperti itu sikap Clara padaku. Bahkan setelah kita jelas tinggal sekamar pun, Clara masih berusaha mengambil simpatiku lebih khusus. Namun, kamu tidak perlu khawatir.” Khaisan berkata apa adanya yang semakin membuat Sazlina jadi
Sazlina mematung sejenak dengan sisir masih menggantung di rambut. Bunyi pintu terbuka membuatnya sedikit terkejut. Seseorang telah membukanya di luar. Oh, pasti suaminya sudah kembali. Rasa hati lega dengan debar yang kencang. Belakangan ini, selalu jadi resah jika terbayang sosok suaminya. “Mas, sudah pulang?” Sazlina menyambut pada lelaki gagah yang terlihat lelah. Tetapi selalu berjalan tegap dan kini mendekat. Menatap Sazlina teduh dengan senyum mengembang samar. “Sedang apa …?” sapa Khaisan syahdu namun seperti penuh beban dalam sorot matanya. Kini semakin dekat dan seperti akan memeluk Sazlina. “Tunggu. Mas Kha jangan dekat, bau rumah sakit. Kalo soal begini, anggaplah aku memang sangat paranoid. Aku baru mandi….” Sazlina buru-buru mencegah agar Khaisan tidak menyentuh. Khaisan mengunci langkah dan senyumnya melebar. “Aku mengerti. Ternyata kita sama-sama memiliki ketakutan, hanya berbeda sebab.” Khaisan masih tersenyum dan menjauh, sedikit berundur lagi ke bel
Setelah menerima panggilan meresahkan dari Daishin, Sazlina tidak serta merta meluncur ke rumah sakit yang telah disebutkan oleh lelaki itu. Tetapi memilih menghubungi Khaisan untuk berkabar masalah besar sepupunya. Tidak ingin niat baiknya justru menjadi bumerang bagi diri sendiri dan Khaisan. Meski merasa cemas, Sazlina merasa lega dan berusaha tenang. Percaya pada arahan Khaisan agar standby di rumah saja. Suaminya yang tegas itu berjanji melalui sambungan telepon bahwa semua akan diurusnya sendiri dan cepat. Juga sempat mengumpat sedikit pada Daishin yang tidak menghubunginya tetapi justru menelepon pada Sazlina. “Bagaimana setelah operasi … siapa yang akan merawatnya?” Sazlina bertanya sendiri sambil rebahan. Tidak mengantuk sama sekali dan tengah banyak pikiran yang mencemaskan. Daishin tidak lagi menghubungi yang bermakna, mungkin Khaisan sudah berhasil menangani. Entah cara apa yang ditempuh nya, apa lelaki itu sudah menemani di sana? Jika iya, bagaimana dengan Clara? Apa j