Osara meronta, tapi cengkeraman Daishin di pergelangan tangannya begitu kuat, seperti belenggu besi yang tidak mungkin dilepas begitu saja tanpa bantuan alat berat. Osara sempat berangan andai diri memiliki kekuatan super tiba-tiba. Ah…!Nyatanya, Daishin begitu lama bermain di dua bukit dan puncak dada tanpa Osara mampu memberi perlawanan yang berarti. Ia mencoba mundur, coba bergeser dan coba menghindar. Tapi semua sia-sia belaka. Tubuhnya justru seperti terdorong ke arah pria itu dan serasa kian melekat, terhimpit oleh bodi besar Daishin yang kian menyala nyalang di matanya."Berhenti … cukup …. sudah, Daishin!" Osara memohon dengan suara bergetar. Napasnya pendek, tersengal, dadanya naik-turun karena ketegangan yang menusuk hingga ke tulang.Rasa tegang antara merinding ngeri dan meremang geli. Daishin begitu lihai mempermainkannya. Namun, perasaan segan pada lelaki itu telah hilang sama sekali, berubah rasa jadi takut, terhina dan benci. Daishin menatapnya tajam, rahangnya menge
Daishin menekan tubuh Osara dengan tubuhnya hingga lebih lekat. Sebelah tangan masih mengunci kedua lengan Osara di atas kepala mungilnya. Sedang tangan lain terus menjelajah di tubuh setengah telanjangg itu dengan sentuhan berkuasa. Napasnya berat, penuh hasrat dan membara. Osara menggigit bibir, tubuhnya mulai melemah karena lelah. "Daishin… cukup," suaranya bergetar, entah karena marah, letih atau arus rasa dari efek sentuhan lembut Daishin yang telah menjalar rata ke seluruh raga. Merasa seperti akan tumbang tidak lama. Namun, Daishin tidak menggubris. Bibirnya masih menelusur naik di leher Osara, sesekali menghirup aroma wangi yang baginya semakin memabukkan.Osara merintih, mencoba menarik tangannya, tapi cengkeraman itu tetap saja sangat kuat. "Daishin… aku pegal…" keluhnya, suaranya yang lirih terdengar merengek menyedihkan. Namun, justru membuat Daishin tidak puas dan tidak berniat menghentikan cumbuannya.Osara menghela napas yang sengal dan susah. "Tanganku sakit… setidak
Hujan masih deras mengguyur kota, butiran airnya membasahi jendela kamar hotel dengan sayup suaranya yang selalu khas. Mungkin disertai angin kencang. Sebab pintu yang masih ada teras balkon pun begitu basah dan buram berkabut tebal.Osara duduk di tepi ranjang, menatap sayu pada Daishin yang tertidur pulas di bantal dan masih tanpa berpakaian. Selimut yang tidak menutup sempurna itu hanya sebatas di tengah perut. Napasnya teratur dengan dada kekar yang naik turun bergantian. Begitu tenang seperti tanpa dosa yang baru saja dibuatnya. Hati-hati, Osara beranjak turun ranjang. Ingin segera pergi, tetapi ingat jika diri sedang penuh noda menjijikkan yang belum sempat dibilas sempurna. Hampir tengah malam. Berapa panggilan wajib sebagai seorang muslim yang sudah diabaikannya. Kelewatan, sudah bermaksiat, menghadap Tuhan pun ditinggal. Daishin kurang ajar! Ah, aku begitu kotor.... Osara menghela napas dalam dan memutuskan untuk mandi. Ia berharap air panas bisa membersihkan segala noda
Daishin duduk di sofa kamar sambil mencengkeram ponsel erat. Mata menatap nanar tetapi kosong ke arah jendela besar yang menampilkan pemandangan angkasa Surabaya dini hari. Abu-abu gelap dan pekat. Osara telah pergi …. Ia menghela napas panjang dan menghembuskan kasar. Kepalan tangan mengeras saat ingat betapa mudah ia lengah dan betapa bodoh ia memberi celah.“Aku bahkan tidak terpikir menanyakan nama dosen dan tempatnya kuliah. Bagaimana aku mengurus? Nomor telepon barunya pun tidak meminta. Kenapa aku ini… mendadak jadi bodoh sekali.”Daishin terus mengumpati dirinya. Sungguh kesal dan sesal. Bukan melulunhutang dan harga diri yang disepelekan, tapi juga Osara kembali menipunya mentah-mentah. Benar-benar tidak tahu diri, tidak mengerti dikasihani. Penipu tetaplah penipu. Arrgh! Osara! Daishin menendang meja sofa hingga vas bunga di atasnya oleng dan tumbang, nyaris jatuh tetapi bertahan di atas meja. Lembaran kertas berlipat yang disimpan di bawah vas pun sedikit terbuka dan me
Daishin menggeliat, meregang tubuh saat ponsel di atas meja bernyanyi. Baru disadari masih berada di kamar Osara dan tertidur di sofa. Lembar tiket atas nama Dhiara binti Osara masih erat digenggamnya. Bunyi ponsel yang tadi mengejutkannya dari tidur adalah penanda pesan dari Daehan. “Ngapain aja, Shin? Lama banget di kamar perempuan. Kenapa kabur mulu gadis itu, udah di kamar pun kamu masih kecolongan. Kayak anak baik aja kamu, Shin. Gagal kekein,” Daehan terus terang meledeknya. Daishin mendecak lirih. “Dia kaburnya pas aku mandi, Mas.” Daishin buru-buru membalas jujur. “Ngapain malam-malam mandi?” Balasan itu datang cepat. Daishin tersenyum masam dengan pertanyaan Daehan yang sengaja meledeknya. “Keramas.” Daishin tersenyum lebar kali ini. Jawaban itu diketiknya singkat. Ia tahu Daehan tidak akan puas mengusik. Dan benar saja, balasan datang meski sedikit lama.“Aku gak matiin CCTV, Shin. Yakin kalo kamu bakal mengatasi. Udah lama banget kamu di kamarnya. Biarin saja dia per
Daehan dan Shanumi melangkah masuk ke lobi hotel setelah perjalanan kembali dari bandara. Mereka baru pulang dari mengantar Daishin yang sudah lepas landas menuju KLIA (Kuala Lumpur International Airways) Malaysia dengan penerbangan kedua terpagi hari ini. Daehan tiba-tiba berhenti. Matanya tertuju pada sosok familiar di meja resepsionis. Tokoh vital yang menjadi topiknya bersama Daishin belakangan ini. Osara…. ya, itu adalah Osara. Mau ke mana gadis itu? “Kenapa, Mas?” tanya Shanumi pada Daehan yang terlihat fokus pada gadis yang sedang transaksi di meja resepsionis. “Gadis itu yang Daishin datangi di kamarnya semalam.” Daehan berbisik. Membawa Shanumi menepi ke sofa di pojok lobi dan duduk sepi di sana. “Yang kabur dari agensi dan membawa uang Daishin sangat banyak?” Shanumi membelalak. Daehan pun mengangguk. Semua hal memang selalu terbiasa dia ceritakan pada istri. Bagaimana lagi, temannya yang selalu siaga ada hanyalah Shanumi. Begitu juga sebaliknya, tidak ada dinding pe
Daishin berjalan cepat setengah berlari. Meninggalkan wastafel yang untung tidak lupa ditutupnya walau asal-asalan. Air masih mengalir kecil dari celah lubang kran yang tidak diputar maksimal. “Osara…!” Antara ragu dan galau, Daishin berseru saat pintu taksi sudah menutup. Yakin jika itu memang Osara. Tetapi teras rumah makan begitu ramai akan orang hilir mudik. Hingga membuat langkahnya tidak lancar. “Tunggu, Osara!” serunya lagi. Merasa kembali marah bukan main. Gadis dalam taksi telah menoleh dan memandangnya. Tetapi taksi justru meluncur ke depan dengan cepat. Tentu saja itu sengaja. Kemunculan Daishin yang juga mengejutkan tidak diharap oleh Osara. “Ada apa, Bro?!” Rendra telah mendekat di belakangnya. Ikut memandang taksi yang tinggal bodi belakang saja terlihat. “Mana mobilmu, Ren. Cepat, bantu aku kejar taksi itu!” Daishin panik berbicara. Tidak ada taksi satu pun menyandar di sekitar sana. Yang ditumpangi Osara adalah satu-satunya taksi yng bersabar menunggu ada penumpa
Sebab isi perut yang lebih dari kenyang, karena Daishin tidak berdaya saat mama tirinya mengambilkan makanan. Segan menolak sebab mama tiri terlalu efforts pada hadirnya. Ternyata, semua isi di piring adalah makanan lezat dan sedap belaka buatan sendiri. Dengan kalap isi piringnya pun habis juga. Semua alasan ini membuat Daishin tidur siang dengan waktu sangat lama. Hingga menjelang maghrib dirinya terbangun. Itupun jika tidak dibangunkan dua adik kecilnya yang ingin bersembang setelah lama tidak bertemu. Terakhir mereka mengunjungi Daishin ke Jepang 3 tahun lalu, kala mereka berdua masih berwujud sebagai bayi berusia tiga tahun dan lima tahun. Daehan belum tentu bangun tanpa mereka. “Kalian mainlah. Abang mandi dulu. Habis khitan besok, kalo kamu udah sembuh benar-benar, kubawa kalian ke KLCC. Beli mainan atau makanan apa pun yang sedang kalian ingin!” Daishin menembakkan janji yang disambut berlonjak oleh adik lelaki yang besok ber khitan. Adik satunya adalah perempuan dan bersika
“Pa, besok saja aku ke rumah. Kita langsung ke rumah sakit saja. Khawatir jika kemaleman, Mas Ericknya nggak boleh dikunjungi.” Osara beralasan, padahal sangat sadar jika diri lagi-lagi tidak sanggup. Rasanya sungguh berdebar, sesak, dan kepalanya jadi sakit. Jantungnya pun berdetak kencang seperti sedang teriris pisau sangat dalam di ulu hati. Keringat dingin mulai dirasakan keluar dari pori. Namun, kali ini Osara berusaha tenang sekuat daya. Mengambil napas dan istighfar dalam dada. Hingga bayang sedih wajah suaminya perlahan menghilang. “Baiklah, Osa. Jika begitu, Papa akan menemani mengunjungi Erick hingga kamu merasa cukup.” Papa Handy yang semula ingin menitipkan Osara pada sopir, tiba-tiba tidak tega. Khawatir ada apa-apa dengannya. Rumah sakit saat sore cukup ramai oleh pengunjung yang datang membesuk pasien. Membawa beragam buah tangan dan barang lain yang diperlukan selama perawatan. Sebagian menuju resepsionis dan kebanyakan langsung menuju kamar perawatan. Sama hal Pap
Osara bersalaman dengan para pelayat sambil duduk atas arahan Mama Hana sebab parasnya sungguh pucat. Menolak saran Shanumi agar menyudahi dan pergi saja ke dalam rumah. Osara merasa justru dengan bersalaman, membuatnya tidak sadar tersenyum. Mengikuti aura para pelayat yang memberinya senyum tulus. Setidaknya mampu menawar pilu yang sedang mengikis di dadanya meskipun sekadar sementara. “Sudah, sudah gak ada lagi. Ayo ke dalam.” Shanumi kembali mengingatkan sebab yang bersalaman sudah pulang semua. Lengang tanpa orang, sebab hampir semua lelaki mengikut ke area pemakaman dengan kendaraan masing-masing. “Benar, ayo masuk ke dalam rumah.” Mama Hana mengangkat kedua bahunya agar semangat berdiri. Osara berjalan menuju pintu yang tengah terbuka lebar. Perasaannya tiba-tiba kembali seperti linglung dan raganya sungguh lunglai. Seolah almarhum suami sedang melambai di dalam dengan raut yang sedih. “Ma….!” Osara menjerit dan menggapai tangan Mama Hana. “Osa, kamu drop lagi?!” Ma
Osara merasa begitu bodoh telah sempat terkecoh. Tidak bisa melihat Daishin … tidak ada Mama Hana dan tidak ada Papa Handy untuk membersamainya … mereka justru pulang untuk istirahat. Baru sangat disadari bahwa itu adalah alasan konyol yang didengarnya. “Mbak, sebenarnya perasaanku sangat tidak enak. Kalian berusaha menutupinya, kan? Aku merasa suamiku tidak di rumah sakit lagi…,” ucap Osa penuh maksud. Setelah berbicara, Osara kembali menangis tersedu. Kali ini lebih kencang dan terdengar sangat pilu. Menyadari dugaannya benar, membuat luar biasa sedih dan tidak sanggup berkata-kata lagi. Terlebih, semuanya diam. Tidak satu pun menyanggah atau meyakinkan keberadaan Daishin di rumah sakit yang dalam perawatan. Shanumi terus memeluknya. Sazlina juga sibuk ter sengal, menahan tangis agar tidak keluar deras. Sopir Agung terlihat tegang dan pura-pura tidak mendengar di depan. Melihat ini Osara yakin dugaannya memang benar. Pikirannya sudah blank dan seperti kosong. Daishin sudah p
Osara kembali terjaga saat subuh dengan mata sangat sembab. Selain bangun sebab kumandang adzan beesahutan, juga bisik-bisik yang kembali terdengar sayup di samping ranjang. Ternyata masih dengan orang yang sama, Shanumi dan Sazlina sedang berbincang sesuatu dengan suara sangat kecil. “Kalo mau ke mushola pergi saja, Mbak. Gak papa, Kok.” Shanumi menengahi percakapan mereka yang berebut siapa perhlgi shalat subuh dan siapa tinggal dalam kamar. “Baiklah, kamu duluan saja ah, Shan. Aku bersama Osara saja. Oh, kamu ikut jamaah saja. Buruan sana!” Sazlina berkata cepat pada adiknya dengan lembut. “Yelah, Mbak. Aku yang pergi. Osara, aku tinggal dulu, ya….” Shanumi juga tidak ingin membuang waktu. Merasa saran kakaknya boleh juga. Ikut shalat jamaah subuh di Mushola. Lumayan mengurangi luka jiwa yang sedang dirasa. Lagipula mereka lupa tidak membawa mukena ke rumah sakit, jadi akan memakai aset mukena milik mushola. “Mama Hana ke mana, Mbak? Dari aku bangun semalam, gak terlihat
Dua lelaki korban parah kecelakaan jalan raya dini hari, sejak dua malam lalu sudah di bawa ke rumah sakit dan sama-sama mendapat perawatan intensif di ruang ICU yang berbeda. Satu orang korban sudah dipindahkan ke ruang perawatan dengan kamar dan pelayanan khusus VIP. Terus di temani oleh orang tua yang baru datang kemarin pagi dari negeri seberang. Cidera retak sekaligus patah tulang membuat pasien tidak bisa beraktivitas apapun untuk sementara. Satu korban lagi masih bertahan dengan kondisi kritis yang parah dan terus tidak sadarkan diri sejak dilarikan dari tempat kejadian perkara ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) di rumah sakit hingga ke ruangan Intensive Care Unit (ICU) hingga saat ini. Ditemani oleh seorang pria setengah baya berkulit cerah yang tak lain adalah sang ayah. Sesekali tampak menyeka air yang merembes keluar dari mata tuanya. Sedang di kamar rawat khusus ibu dan anak, seorang perempuan hamil tengah diinfus dan terlihat lemah yang ditemani wanita cantik setengah
Mobil besar dengan cat hitam legam berisi dua orang penumpang lelaki termasuk sopir, melaju kencang membelah jalan raya. Meski bukan sepi, tetapi kepadatan pengguna jalan raya di kota buaya menjelang tengah malam, bisa membuat pengemudi lupa diri. “Perlu aku gantikan?” usik Erick merasa resah. Sejak awal, Daishin menolak tawarannya untuk jadi penumpang dan dirinya mengemudi. “Nggak usah, Mas. Lagi bagus nih jalanan. Yang kutahu padat merayap saat siang. Ternyata asyik juga keluar malam.” Daishin menolak. Lelaki calon ayah yang sedang dalam masalah itu kukuh membawa sendiri kendaraannya. Erick pun angkat tangan. Pria dewasa mana bisa dibujuk dan dipaksa.... Mungkin lelaki gagah calon ayah yang sedang dalam masalah itu akan mendapat rasa tenang dan freshing tersendiri dari laju mengemudi. Toh rasanya masih nyaman terkendali. Daishin memang lihai mengemudi kencang. Bahkan jika berlomba adu balab bersamanya juga dengan Daehan dan Khaisan kala ke Jepang, kerap kali Daishin yang menang
Dua lelaki keren yang tampan, mapan, gagah, atletis dan sehat tanpa cela itu sedang membuat nasi goreng idaman di dapur mini rumah dinas. Masih pukul sembilan malam tetapi suasana luar di komplek perumahan terasa lengang dan sunyi. Hanya kebisingan dalam rumah yang sedang mereka ciptakan sendirilah pertanda adanya kehidupan di kompleks elite itu. Sebab, penghuni lajangnya sedang ingin membuat eksperimen tiba-tiba. “Bagaimana, Shin?” tanya Erick sambil tersenyum lebar. Berkacak pinggang sebelah tangan sambil membawa pengaduk di tangan sebelah satunya. “Apa kerjamu di bandara?” tanya Daishin di sela mengunyah sesendok nasi gorang yang langsung dia sendok dari wajan penggorengan. Meski tidak pedas, Daishin membuka mulut demi menghilangkan uap sebab panas. Erick makin menahan tawanya. “Jelas di bagian humas. Kan aku sudah pernah bilang, aku lelaki paling good looking di Juanda, jadi diletak di kepala bagian humas. Apa hubungannya, Shin?” tanya Erick berlagak pongah. Kesal, tid
Erick sudah duduk di teras rumah dinas saat Daishin tiba. Sengaja tidak pulang ke apartemen sebab hari ini pulang kerja lambat dan besok pun harus pergi kerja lebih cepat. Akan ada kunjungan dari direktur maskapai penerbangan XX di kantornya. Kebetulan juga yang Daishin berkabar akan datang main malam hari. “Assalamu'alaikum!” sapa Daishin setelah keluar dari mobil dan menaiki teras. “Wa'alaikumsalam. Tumben datang malam, Shin?!” sambut Erick. Mengamati lelaki yang tengah berjalan gontai dengan ekspresi tidak secerah biasa saat datang, entah di rumah dinas atau ke apartemen.“Ada yang penting.” Daishin menyahut sambil meletak sebungkus rokok yang sempat dia beli di jalan ke meja di depan Erick. Erick menatapnya. Merasa kali ini ada hal berat sebab Daishin datang malam-malam. Biasanya sore saat mereka sama-sama pulang kerja. Itu pun hampir tidak pernah membawa rokok, sebab kebetulan Erick pun bukanlah perokok aktif. Tetapi bukan menolak merokok. “Apa istrimu aman?” tanya Erick.
Farida berekspresi waswas dan curiga. Matanya tidak lagi sayu, tetapi melebar dan nanar. Tanda tidak menyangka jika KTP nya diabadikan Daishin dalam ponsel dan wanita itu ternyata sangat tidak rela. Resah jika akan dijadikan apa-apa. Sikap Farida membuat Daishin semakin curiga tetapi hanya menghela napas panjang. Merasa sangat lelah dan tidak guna terus disanggah. “Sebaiknya kamu pergi dan jangan datang datang dulu sebelum mendapat kabar dariku, Farida. Tolong, saling mengertilah terhadap wanita hamil. Sudah jelas jika istri ku pun sedang berperut besar, kan? Sebagai sesama wanita, seharusnya paham dengan perasaan istriku. Apa kau siap kutuntut jika ada apa-apa dengan istriku dan kehamilannya?” tanya Daishin dengan tatapan berapi. Melirik Osara yang seperti tidak peduli. Kini tengah sibuk dengan ponselnya. Ah, apa dia pun juga tidak peduli andai ini benar? Sesaat Daishin justru tidak puas hati dengan sikap Osara yang tampak kelewat tenang. Apa justru terlalu marah, kecewa dan kesal