Dua badan tanpa busana sedang saling berpeluk rapat sebab dingin AC dalam ruangan. Meski sudah membuka mata sebab sayup suara adzan dari Masjid Cangi terdengar berkumandang di kejauhan, untuk bangun pun rasa badan sungguh enggan. “Pukul berapa?” tanya Sazlina saat Khaisan menguatkan pelukan. Keinginan mencari di mana bajunya pun urung. Kehangatan yang diberi suami lagi-lagi melenakan. “Pukul lima kurang lima,” jawab Khaisan serak. Suara seksi khasnya saat bngun tidur pun mengudara. “Bangun yuk …,” sambut Sazlina meski rasanya memang enggan. Rasa badan remuk redam seperti habis dipalu godam. Kenapa bisa sepegal ini, apa faktor usia? Ah, bukan! Dirinya masih muda. Rasa lelah dan malas ini harus dihempaskan! Namun, Khaisan tetap tanpa pergerakan. Terus menenggelamkan istri dalam pelukan di dada dengan sebelah tangan. Rasanya hangat dan lembut. Menghadirkan bahagia dan nyaman yang susah dijabarkan. Serasa menghanyutkannya kembali ke alam bawah sadar. “Mas, bangun yuk. Ntar keburu ter
Meski tidak berbuat hal berarti saat mandi, waktu mereka cukup banyak tergunakan di sana. Jika tidak bergegas, akan terancam kehilangan waktu subuh. Mentari pun sudah tanda-tanda mulai menyembul di ufuk timur. Selisih waktu dua jam lebih cepat di Tokyo daripada di Jakarta itu membuat matahari menyembul pada pukul enam pagi lewat sedikit. Sebab raut Sazlina yang terlihat pucat, Khaisan merasa tidak tenang dan memberi penawaran. Ingin menambah rebahan atau pergi turun ke meja makan. Meski masih pagi, setidaknya pasti ada roti yang bisa dipakai untuk mereka bersarapan. “Tidak perlu. Paling tidak untuk sekarang, biarlah Mijhe sendiri yang menyiapkan isi meja makan. Kamu tampak pucat, Saz.”Khaisan menegaskan saat Sazlina menolak sambung rebahan setelah shalat subuh dan memilih turun sendiri ke lantai bawah. Bahkan berniat untuk membantu Mijhe memasak pagi ini. “Tapi tiduran melulu juga tidak baik. Aku pasti akan bosan dan semakin merasa tubuhku kurang fit. Aku justru perlu rajin berg
Rumah besar telah sepi kembali. Khaisan dan Clara pun hilang bayangnya meninggalkan pagar dan meluncur di jalan kecil komplek perumahan. Sazlina menapaki anak tangga satu-satu tidak cepat. Merasa sedih dan kesal. Baru juga ada kemajuan luar biasa pada pernikahannya, terpaksa kembali penuh warna dengan adanya urusan Khaisan pada Clara. Rasa peduli dan tanggung jawab pada saudara, konon ….“Ish, sampai kapan si Clara ngganggu terus. Kenapa mama tidak mengusirnya? Pilih kasih, kenapa Daishin saja yang disuruh pergi?” Sazlina menggerutu lirih sambil terus menapak anak tangga hingga habis. Kini sedikit membelok menuju kamar miliknya dan melewati kamar Khaisan. “Oh, pasti sebab Clara masih sakit. Mungkin sebentar lagi juga disuruh pergi sama Mama.”Sazlina kembali bicara lirih. Dalam hati berharap agar mama mertua peka pada duri dalam rumah tangga anaknya. Klrk Klerk Klerk“Dikunci …,” keluh Sazlina lirih. Knop pintu gagal dibukanya. Padahal kunci tidak dia bawa. Tetapi menggantung di bal
Setelah menerima panggilan meresahkan dari Daishin, Sazlina tidak serta merta meluncur ke rumah sakit yang telah disebutkan oleh lelaki itu. Tetapi memilih menghubungi Khaisan untuk berkabar masalah besar sepupunya. Tidak ingin niat baiknya justru menjadi bumerang bagi diri sendiri dan Khaisan. Meski merasa cemas, Sazlina merasa lega dan berusaha tenang. Percaya pada arahan Khaisan agar standby di rumah saja. Suaminya yang tegas itu berjanji melalui sambungan telepon bahwa semua akan diurusnya sendiri dan cepat. Juga sempat mengumpat sedikit pada Daishin yang tidak menghubunginya tetapi justru menelepon pada Sazlina. “Bagaimana setelah operasi … siapa yang akan merawatnya?” Sazlina bertanya sendiri sambil rebahan. Tidak mengantuk sama sekali dan tengah banyak pikiran yang mencemaskan. Daishin tidak lagi menghubungi yang bermakna, mungkin Khaisan sudah berhasil menangani. Entah cara apa yang ditempuh nya, apa lelaki itu sudah menemani di sana? Jika iya, bagaimana dengan Clara? Apa j
Sazlina mematung sejenak dengan sisir masih menggantung di rambut. Bunyi pintu terbuka membuatnya sedikit terkejut. Seseorang telah membukanya di luar. Oh, pasti suaminya sudah kembali. Rasa hati lega dengan debar yang kencang. Belakangan ini, selalu jadi resah jika terbayang sosok suaminya. “Mas, sudah pulang?” Sazlina menyambut pada lelaki gagah yang terlihat lelah. Tetapi selalu berjalan tegap dan kini mendekat. Menatap Sazlina teduh dengan senyum mengembang samar. “Sedang apa …?” sapa Khaisan syahdu namun seperti penuh beban dalam sorot matanya. Kini semakin dekat dan seperti akan memeluk Sazlina. “Tunggu. Mas Kha jangan dekat, bau rumah sakit. Kalo soal begini, anggaplah aku memang sangat paranoid. Aku baru mandi….” Sazlina buru-buru mencegah agar Khaisan tidak menyentuh. Khaisan mengunci langkah dan senyumnya melebar. “Aku mengerti. Ternyata kita sama-sama memiliki ketakutan, hanya berbeda sebab.” Khaisan masih tersenyum dan menjauh, sedikit berundur lagi ke bel
Sebab soalan Sazlina menyela, bibir Khaisan yang parkir rapat di leher lembut itu terpaksa disudahi. Memindahkan tangan dari menelusur di pinggul bergeser ke bahu. Merenggangkan sedikit ke belakang. Mereka jadi sedikit saling jauh. “Apa Clara sangat membuatmu tidak senang?” tanya Khaisan setelah menatap dalam di wajah istrinya. “Maksudku … bukan membuatku tidak senang. Tetapi, aku merasa tidak tenang sebab Claramu itu. Maafkan kata-kataku ini …,” ucap Sazlina ambigu. Namun, merasa lebih baik jujur dengan apa yang tengah dirasa pada Khaisan. Toh lelaki itu adalah suami yang harus ikut mengerti sedih dan suka duka perasaannya di mana pun dan kapan pun. Semoga lelaki itu terus jinak dan tidak emosi. “Aku paham maksudmu, Sazlina. Apa yang kamu pikirkan, memang seperti itu sikap Clara padaku. Bahkan setelah kita jelas tinggal sekamar pun, Clara masih berusaha mengambil simpatiku lebih khusus. Namun, kamu tidak perlu khawatir.” Khaisan berkata apa adanya yang semakin membuat Sazlina jadi
Khaisan rela menunda inginnya untuk sambung bercinta sesi kedua saat ayat-ayat suci terdengar melantun dari Masjid Camii di Tokyo. Menjauhkan diri dari bodi istri demi meredam hasrat yang seperti tidak kunjung surut dari dirinya. “Aku mandi duluan, Saz. Isya…,” ucap Khaisan sambil beringsut turun ranjang dan bangkit. Berjalan menuju kamar mandi sambil menyambar handuk yang kebetulan tersangkut di kaki ranjang. Hanya dibawa melenggang santai tanpa niat dililit lagi di badan. Sengaja tidak mengajak Sazlina mandi bersama agar tidak kembali tergoda. Sazlina hanya mengikuti gerak suami dengan pandangan mata sambil menarik selimut lebih menutup. Berjuta rasa di jiwa dan raga tengah berbaur di dadanya. Bahagia, lelah dan takjub. Masih seperti mimpi jika saat ini merasa seperti sudah memiliki segalanya. Lelaki tampan dan hartawan yang tiba-tiba jadi suami, meski sempat penuh drama nelangsa sebelumnya, kini sudah berubah bisa saling menerima. Bahagia sekali rasanya! Mereka berdua turun ke
Tiga bulan kemudian di Indonesia. Sebuah kota besar kedua nasional setelah Jakarta yaitu Kota Surabaya. Daehan berjalan cepat menuju pintu apartemen. Meskipun memiliki usaha perhotelan dengan beragam fasilitas berkelas, memiliki rumah privasi adalah keharusan. Walau itu hanyalah apartemen kecil kesayangan. Wanita berbaju tidur tetapi berparas jelita yang sedang di dapur terlihat kaget. Mendengar bunyi pintu dibuka yang tidak di waktu biasanya. Siapa? Segera kaki jenjangnya melesat membawa diri ke depan. “Lhoh, baru aja pergi, udah kembali…?!” seru Shanumi lebih terkejut. Menduga suatu barang atau perlengkapan kerja sangat penting punya Daehan tertinggal. Maka sebab lelaki itu harus kembali mengambilnya. “Bersiap, Shan! Ayo kita liburan!” ucap Daehan bersemangat. Namun, respon istri bukan sorak bahagia, melainkan dahi berkerut penuh tanya. “Kok mendadak, Mas? Tiba-tiba aja liburan, kenapa …?” respon Shanumi bingung. Setumpuk baju dari kang laundry yang akan ditata di alma
Mobil besar dengan cat hitam legam berisi dua orang penumpang lelaki termasuk sopir, melaju kencang membelah jalan raya. Meski bukan sepi, tetapi kepadatan pengguna jalan raya di kota buaya menjelang tengah malam, bisa membuat pengemudi lupa diri. “Perlu aku gantikan?” usik Erick merasa resah. Sejak awal, Daishin menolak tawarannya untuk jadi penumpang dan dirinya mengemudi. “Nggak usah, Mas. Lagi bagus nih jalanan. Yang kutahu padat merayap saat siang. Ternyata asyik juga keluar malam.” Daishin menolak. Lelaki calon ayah yang sedang dalam masalah itu kukuh membawa sendiri kendaraannya. Erick pun angkat tangan. Pria dewasa mana bisa dibujuk dan dipaksa.... Mungkin lelaki gagah calon ayah yang sedang dalam masalah itu akan mendapat rasa tenang dan freshing tersendiri dari laju mengemudi. Toh rasanya masih nyaman terkendali. Daishin memang lihai mengemudi kencang. Bahkan jika berlomba adu balab bersamanya juga dengan Daehan dan Khaisan kala ke Jepang, kerap kali Daishin yang menang
Dua lelaki keren yang tampan, mapan, gagah, atletis dan sehat tanpa cela itu sedang membuat nasi goreng idaman di dapur mini rumah dinas. Masih pukul sembilan malam tetapi suasana luar di komplek perumahan terasa lengang dan sunyi. Hanya kebisingan dalam rumah yang sedang mereka ciptakan sendirilah pertanda adanya kehidupan di kompleks elite itu. Sebab, penghuni lajangnya sedang ingin membuat eksperimen tiba-tiba. “Bagaimana, Shin?” tanya Erick sambil tersenyum lebar. Berkacak pinggang sebelah tangan sambil membawa pengaduk di tangan sebelah satunya. “Apa kerjamu di bandara?” tanya Daishin di sela mengunyah sesendok nasi gorang yang langsung dia sendok dari wajan penggorengan. Meski tidak pedas, Daishin membuka mulut demi menghilangkan uap sebab panas. Erick makin menahan tawanya. “Jelas di bagian humas. Kan aku sudah pernah bilang, aku lelaki paling good looking di Juanda, jadi diletak di kepala bagian humas. Apa hubungannya, Shin?” tanya Erick berlagak pongah. Kesal, tid
Erick sudah duduk di teras rumah dinas saat Daishin tiba. Sengaja tidak pulang ke apartemen sebab hari ini pulang kerja lambat dan besok pun harus pergi kerja lebih cepat. Akan ada kunjungan dari direktur maskapai penerbangan XX di kantornya. Kebetulan juga yang Daishin berkabar akan datang main malam hari. “Assalamu'alaikum!” sapa Daishin setelah keluar dari mobil dan menaiki teras. “Wa'alaikumsalam. Tumben datang malam, Shin?!” sambut Erick. Mengamati lelaki yang tengah berjalan gontai dengan ekspresi tidak secerah biasa saat datang, entah di rumah dinas atau ke apartemen.“Ada yang penting.” Daishin menyahut sambil meletak sebungkus rokok yang sempat dia beli di jalan ke meja di depan Erick. Erick menatapnya. Merasa kali ini ada hal berat sebab Daishin datang malam-malam. Biasanya sore saat mereka sama-sama pulang kerja. Itu pun hampir tidak pernah membawa rokok, sebab kebetulan Erick pun bukanlah perokok aktif. Tetapi bukan menolak merokok. “Apa istrimu aman?” tanya Erick.
Farida berekspresi waswas dan curiga. Matanya tidak lagi sayu, tetapi melebar dan nanar. Tanda tidak menyangka jika KTP nya diabadikan Daishin dalam ponsel dan wanita itu ternyata sangat tidak rela. Resah jika akan dijadikan apa-apa. Sikap Farida membuat Daishin semakin curiga tetapi hanya menghela napas panjang. Merasa sangat lelah dan tidak guna terus disanggah. “Sebaiknya kamu pergi dan jangan datang datang dulu sebelum mendapat kabar dariku, Farida. Tolong, saling mengertilah terhadap wanita hamil. Sudah jelas jika istri ku pun sedang berperut besar, kan? Sebagai sesama wanita, seharusnya paham dengan perasaan istriku. Apa kau siap kutuntut jika ada apa-apa dengan istriku dan kehamilannya?” tanya Daishin dengan tatapan berapi. Melirik Osara yang seperti tidak peduli. Kini tengah sibuk dengan ponselnya. Ah, apa dia pun juga tidak peduli andai ini benar? Sesaat Daishin justru tidak puas hati dengan sikap Osara yang tampak kelewat tenang. Apa justru terlalu marah, kecewa dan kesal
Daishin bungkam meski merasa semakin kesal melihat wanita spesial itu menangis. Kepalanya berputar kencang, bagaimana agar Clara benar-benar jera. Apakah harus menyerahkannya pada polisi? Tetapi kasus itu terjadi di luar negara, bisakah? Bagaimana jika dipermudah dengan keluar uang? Daishin bimbang dan bertanya-tanya sambil menahan marah. “Untuk apa menangis? Sudahlah, Ma! Yakinlah, Itu tidak lama. Atau jika Mama tega, sebaiknya kembalikan saja dia ke Jepang. Kurasa dia tidak akan berani mengusik Mas Kha di sana. Daripada Mama tersiksa. Di sini pun, aku yang dia incar. Mama pikir aku bisa menidurinya? Dia sudah seperti adik bagiku. Sayangnya dia gila.”“Oh, ya, Ma. Tolong, jangan lagi periksa di klinik itu. Osara benar-benar tidak ingin bertemu Clara. Bawa pergi dia dari sini segera. Aku permisi, Ma,” ucap Daishin dingin. Dengan mengeraskan hati, ditinggalkannya Mama Hana yang masih tersedu dan berlinang air mata. Merasa heran sendiri, kenapa Darhan dan Papa Samuel tidak berusaha men
Osara telah diantar hingga rumah dan Mak Yem siaga untuk membuka dan menutup pintunya. Istri kembali tampak bad mood sejak pagi menjelang siang. Daishin sangat tahu apa alasannya hingga terus diam-diam seperti itu. Menilai jika mama Hana tega sekali. Sudah pernah sepakat bahwa itu adalah klinik kandungan pilihan Osara dan Clara pun memiliki klinik kandungan biasanya. Jika sedang tutup, apa salahnya ditunda sejam dua jam atau sehari dua hari. Meski kebetulan, nyatanya berbenturan juga dengan jadwal kontrol istrinya hingga keduanya bertemu. Hal yang sangat ditakuti Osara. Daishin berniat akan membicarakan serius hal ini dengan Mama Hana. Lelaki tampan dan berkulit cerah tetapi sudah suami orang itu mendatangi ruang tunggu di butiknya. Seorang wanita cantik memandang ke arahnya sambil tersenyum sumringah. Daishin membalas ramah dan menyadari jika calon customernya itu sedang hamil besar. Pembicaraan pada negosiasi segera Daishin buka demi tidak banyak basa basi. Jiwanya memang pebisni
Enam bulan kemudian, di kota besar Surabaya. Jum'at pagi ini sepasangan suami istri yang berbahagia itu tampak cerah wajahnya. Tengah bersiap untuk pergi ke salah satu alamat klinik langganan di Kota Surabaya demi bertemu dengan seorang Dokter Kandungan langganan selama ini. Wanita cantik bergamis tetapi belum berkerudung sedang mengemas piring yang baru dipakai dari atas meja makan. Pembantu rumah yang tidak pernah menginap, baru saja datang dan meminta maaf sebab telat. Langsung mengambil alih piring dan wadah kotor dari tangan Osara. “Maaf, Mbak. Pagi-pagi udah macet, jadi saya terpaksa telat …,” jelas pembantu rumah dengan senyuman khas Jawa nya.anis dan polos. Berusia mendekati lima puluhan tahun tetapi teeltihat muda sebab wajahnya bersih dan berkulit sawo matang “Gak papa, Mak Yem.” Osara menyahut dengan membalas tulus senyumannya. Berjalan meninggalkan meja makan dan mengambil mesin pengering rambut untuk dibawa ke dalam kamar. Menempatkan diri di depan cermin rias
Seorang lelaki Jepang tua sedang menyapu pelataran sempit rumah baru dan menyadari kedatangan tuannya. Buru-buru meletak sapu, mengucapkan selamat sore dan berakhir dengan membungkukkan badan tuanya. “Apa rumah sudah bersih?” tanya Daishin bernada sopan dalam bahasa Indonesia. “Sudah, Mas. Silahkan.” Pria itu menyambut dengan berjalan memimpin. Langkah kakinya gesit meski tidak lebar. Bukan juga langkah panjang sebab tinggi badan sekadar pas pasan. Mungkin sebatas telinga Osara. “Kenapa guna bahasa Indonesia?” tanya Osara setelah mereka berada dalam rumah yang pintunya dibukakan oleh lelaki tadi dan kini terbiar terbuka. Lelaki tua pun menyapu di halaman kembali.“Asalnya dia orang Indonesia, orang dari Kabupaten Blitar, emak Jawa-bapaknya Jepang. Sama keluarga bapaknya, dia dicari dan dibawa ke sini sejak remaja,” Daishin menjelaskan sambil meletakkan koper mini yang setia dibawanya di samping sofa. “Kapan kita ke Surabaya?” tanya Osara sambil membuka koper. Menarik keluar beber
Mereka yang di sofa terlihat tegang. Apalagi Osara dan Daishin sama-sama tidak bersuara. Sepertinya sangat keberatan jika Clara dibawa Mama Hana ke Surabaya. Padahal ingin damai menyingkir jauh dengan pulang ke negara seberang. Sedang Daishin pun ingin merintis usaha baru di kota yang sama. Sangat tidak ingin melihat juga mendengar nama Clara di kehidupan masa depan. “Baiklah, jadikan ini saksi. Anggap lah kita semua setuju dengan keinginan Mama Hana yang akan bertanggung jawab dan membawa Clara ke Surabaya. Kita kasih kesempatan satu kali. Aku akan ikut memantau. Jika dia sekali lagi berbuat jahat. Aku yang akan menyerahkan dia ke polisi. Bagaimana, apa semua setuju? Osara juga Daishin, bagaimana? Mengingat kondisi Mama Hana seperti itu…,” ucap Erick tegas dan mendesak.. “Merasa tidak sabar dengan masalah yang tanpa ujung. Meski ini memang tidak adil bagi Osara, tetapi demi memeluk sekeluarga, kuharap … terutama Osara dan Daishin, kalian semua bisa rela. Jangan khawatir, aku akan i