Indah mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Bara yang terdengar tidak bersahabat. “Maksud, Mas?” Bara berdecap–mengira kalau Indah hanya sedang berpura-pura saja. Pria itu lantas pergi meninggalkan Indah yang sedang dalam kebingungan. Membuat Indah menyusul Bara karena belum mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. “Mas, tunggu!” Awalnya Bara ingin mengabaikan, tetapi ia urungkan ketika mendengar derap langkah Indah yang tergesa. Pria itu membalikan badan menghadap ke arah Indah. Tentu saja Indah langsung menghentikan langkahnya tepat di depan Bara. “Apa?” tanya Bara dengan wajah yang datar. Sangat berbeda dengan raut wajahnya tadi malam, dan itu membuat Indah merasa kehilangan. Perempuan itu tersenyum masam karena malah mengingat kejadian semalam, padahal Bara bersikap seolah tidak terjadi sesuatu. Membuat Indah sadar kalau di sini hanya dirinya saja yang berharap, sedangkan Bara tidak sama sekali. “Yang tadi, maksud Mas apa?” “Hanya itu yang ingin kamu tanyakan?” ta
Bara masuk ke kamar ketika Indah baru saja mengganti pakaian kerjanya dengan pakaian tidur. Perempuan itu menoleh ketika mendengar derit pintu terbuka, sehingga untuk beberapa saat tatapan mereka saling bertemu. Sampai akhirnya Indah putuskan untuk mengakhiri tatapannya dengan mengalihkan perhatian ke arah lain. Indah menghampiri lalu meraih tangan kanan suaminya dan mencium punggung tangan tersebut. Namun, dengan cepat Bara menarik tangannya. Sehingga Indah yang baru saja akan mencium pun mengurungkan niatnya. “Mas, mau mandi?” tanya Indah dengan perasaan getir atas penolakan yang Bara lakukan. “Hemm.” “Kalau begitu aku siapkan dulu.” Indah berbalik berniat ke kamar mandi, tetapi diurungkan saat mendengar ucapan Bara. “Biar aku saja yang melakukannya, kamu tidurlah.” Perempuan itu berbalik–menghadap ke arah Bara. “Biar aku yang lakukan, Mas.” “Sudah aku katakan untuk kamu tidur saja, Indah!” Nada Bara cukup tinggi saat mengatakannya, membuat Indah tersentak. “Kenapa?”
Setelah diam cukup lama untuk mengontrol emosinya, Bara membuka laptopnya. Ia membuka tayangan CCTV yang sengaja ia pasang di ruang kerja Indah. Bara menatap Dirga tidak senang ketika pria itu mengajak Indah bicara. Sialnya Indah nampak terhibur karena terlihat perempuan itu yang terkekeh. “Indah, apa kamu begitu senang karena satu ruangan dengan pria itu yang kamu cintai?” Bara bergumam dengan geram, bahkan kedua tangannya terkepal erat. Melihat Indah yang nampak bahagia ketika bersama pria lain–terlebih pria dari masa lalu Indah membuat Bara geram bukan main. Ada rasa sesak dalam hatinya yang bodohnya entah karena apa. Pria itu benar-benar dibuat panas dengan pemandangan yang ada di depannya. Terlebih setelah mengetahui jika Indah dan Dirga memiliki kisah masa lalu yang menurutnya cukup dekat. Andai saat itu ia tidak memaksa Indah untuk menikah dengannya, mungkin Indah kini sudah menjadi istri dari Dirga. Membayangkannya saja sudah membuat Bara semakin sesak. “Argh! Indah,
“Mohon maaf, Pak, jika informasi yang saya bawakan kurang mengenakan.” Mendengar ucapan dari seseorang di seberang sana tentu membuat Bara gelisah. Pria itu mengepalkan tangannya kuat. “Katakan saja, tidak perlu ragu!” perintahnya tidak sabaran. “Baik, Pak. Saya menemukan sebuah fakta bahwa pria yang Anda cari tahu bertemu dengan istri Anda malam itu.” Jeder! Bagai petir di siang bolong, Bara kaget bukan main mengetahui informasi tersebut. Rahangnya mengetat hingga urat di leher begitu nampak tercetak. Tidak pernah ia bayangkan sebelumnya jika Indah akan diam-diam menemui seorang pria yang merupakan bagian dari masa lalu perempuan tersebut. Tanpa menunggu penjelasan lebih, Bara langsung mematikan panggilan teleponnya. Padahal detektif itu belum selesai menjelaskan semuanya. Ponsel Bara kembali berdering, tetapi kali ini ia membiarkan begitu saja. Pikirannya sedang kacau, dadanya terasa sesak. Bara benar-benar kecewa mendapati kenyataan ini. “Indah, aku enggak akan tinggal di
Indah melangkah dengan gontai menuju meja kerjanya. Begitu tiba ia langsung menjatuhkan diri di kursi. Ia menyalakan monitor yang ada di depannya, tetapi tatapannya begitu kosong. Melihat Indah yang seperti itu tentu saja membuat Dirga khawatir. Pria itu dapat menebak kalau istri dari bosnya itu sedang memikirkan sesuatu yang berhubungan dengan pertemuannya barusan. Padahal tadi Indah nampak baik-baik saja “Indah, ada apa?” tanya Dirga merasa tidak dapat menahan rasa penasarannya. Perempuan itu menoleh lalu menggeleng pelan dengan seulas senyum sangat tipis–nyaris tidak terlihat. “Enggak ada apa-apa, Mas.” “Hemm, aku kira Pak Bara marahin kamu gara-gara laporan yang kamu serahkan.” Dirga berseloroh untuk mencairkan suasana hati Indah. “Enggak kok, barusan langsung diserahkan tanpa protes.” Indah berdusta untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi. Dirga mengangguk paham. “Syukur kalau begitu.” “Iya, Mas.” “Kalau gitu lanjutin kerjanya.” Indah mengangguk lalu kembali m
Baru saja Mawar keluar, tiba-tiba pintu kembali diketuk dari luar. Bara yang baru selesai mencuci muka agar terlihat lebih segar pun mengerutkan kening. “Cepat sekali,” gumamnya, menyangka yang mengetuk pintu itu seorang office boy. “Masuk!” seru Bara sambil membawa langkahnya menuju jendela besar yang menghadap ke taman. Terdengar pintu yang terbuka setelah Bara berseru. “Bersihkan semua kekacauan ini,” ujarnya tanpa menoleh terlebih dulu. Tatapan pria itu menatap lurus ke depan. Sehingga tidak sadar siapa yang datang. Sampai akhirnya sapaan dari Zulfi menyadarkan Bara kalau yang datang ternyata bukan seorang cleaning service. “Selamat siang, Tuan.” Sontak Bara langsung menoleh untuk memastikan, tetapi pria itu kembali menatap lurus ke depan. “Hemm, ada apa?” “Saya ingin menyerahkan laporan dari bagian pembelian,” ujar Zulfi mendekat lalu berhenti di samping Bara. Pria itu menyerahkan berkas yang ia bawa kepada atasannya. Bara yang mulai bisa menguasai dirinya pun men
“Indah, kamu mau ke kantin?” tanya Dirga ketika jam makan istirahat tiba. Indah yang sedang fokus melihat layar monitor pun menoleh lalu menggeleng. “Nanti saja, Mas, aku lagi nanggung.” Dirga yang mendengarnya mendesah pelan. Ia khawatir dengan kondisi Indah yang nampak pucat dan lebih tirus dari sebelumnya. “Jangan sampai melupakan makan, Indah, bagaimanapun masalah yang sedang kamu hadapi … kamu harus kuat menghadapinya, dan untuk kuat kamu perlu makan.” Ucapan Dirga memang benar adanya, tetapi Indah tetap kukuh akan ke kantin nanti. Ia merasa tanggung dengan pekerjaannya. Lagi Pula ia tidak ingin pulang terlalu malam nanti, sehingga memutuskan untuk menunda makan siang terlebih dahulu. Indah tersenyum tipis lalu mengangguk. “Terima kasih atas perhatiannya, Mas, tapi aku makan nanti saja.” Pria itu berdecap kesal kaena Indah yang keras kepala. Tidak bisa memaksa karena ia bukan siapa-siapa sekarang, sehingga Dirga hanya mampu mengangguk mengiyakan. “Ya udah, kalau gitu aku
Dapat Bara liat di layar monitor jika Dirga baru saja tiba di ruangan. Pria itu nampak membawa kotak makan yang langsung disimpan di atas meja kerja Indah. Tentu Indah yang menyadari perlakuan Dirga pun langsung mendongak. Bara menggeram ketika melihat Indah yang tersenyum. Entah apa yang Indah katakan kepada Dirga karena tidak bisa ia dengar meski volume sudah dikeraskan secara maksimal. Namun yang pasti, keduanya nampak akrab membuat Bara kembali dirundung rasa sesak. Sementara di ruangan, Dirga meminta Indah untuk segera makan. “Indah, makan dulu.” “Mas, kenapa repot-repot?” Indah nampak tidak enak dengan perhatian yang diberikan Dirga.Perempuan itu takut jika terjadi kesalahpahaman andai sikap Dirga terus baik seperti ini. Lebih dari itu, Indah takut goyah karena perhatian yang diberikan Dirga selalu mengingatkannya pada masa lalu. Meski begitu, Indah meyakini jika hatinya tetap untuk Bara seorang sekalipun dirinya sering disakiti. Dirga tersenyum mendengar pertanyaan dari I
“Mohon maaf, Pak, tapi keinginan Anda tidak bisa saya lakukan,” ujar Dokter Kristi yang membuat Bara murka.“Kenapa tidak bisa? Bukankah teknologi semakin maju!” “Itu karena akan membahayakan janin dan ibunya, Pak. Terlebih dengan kondisi Nona Indah yang kurang baik.” Dokter Kristi mencoba memberi pengertian agar Bara tidak memaksakan kehendak.“Aku tidak peduli! Lakukan atau karirmu hancur,” cetus Bara membuat Dokter Kristi ketakutan.Bagaimanapun bagi Bara akan mudah menghancurkan karirnya. “Pak, tolong pertimbangkan kembali,” ujarnya mulai goyah. “Tidak, keputusanku sudah bulat!”Mendengar perdebatan suaminya dengan Dokter Kristi membuat Indah kecewa. Perempuan yang sejak tadi hanya diam itu bangkit membuat Bara dan Dokter Kristi langsung menoleh ke arahnya. “Mau ke mana kamu?” tanya Bara.“Sudah cukup, Mas. Kalau memang kamu tidak mempercayai aku hamil anakmu tidak apa-apa. Anggap saja aku memang melakukan seperti apa yang kamu pikirkan, Mas.” Terang saja ucapan Indah memancing
Berita tentang Mawar dan Zulfi yang dibawa oleh polisi sudah menyebar di kalangan karyawan dan kolega bisnis Bara, termasuk kedua orang tuanya. Karena itulah kini Bara dimintai Roki untuk datang ke rumahnya.“Apa yang sebenarnya terjadi? Coba jelaskan,” pinta Riko dan Diana.Tidak langsung menjawab, Bara lantas mengembuskan napas dengan kasar terlebih dahulu. “Sebenarnya ingatanku sudah kembali,” ujar Bara membuat kedua orang tuanya kaget bukan main.“Jadi kamu sudah mengingat semuanya, Bara?”“Iya, Mam.” “Lalu kenapa tidak menceritakannya kepada kami?” Roki menuntut penjelasan lebih.“Karena aku ingin mengungkap lebih dulu pelaku dibalik kecelakaan yang kualami.”“Artinya kamu kembali bersama Mawar itu juga bagian dari rencana?” “Iya, Pap.” Bara mengangguk membenarkan membuat Roki mengusap wajahnya kasar. “Kamu keterlaluan, Bara!”Bentakan dari Roki membuat Bara terkejut. Ia pikir pria paruh baya itu akan senang karena ingatannya sudah kembali.“Keterlaluan bagaimana?” “Kamu sud
Bara pulang dalam keadaan mabuk parah, membuat Indah yang sedang terlelap tersentak ketika tiba-tiba Bara menjatuhkan diri di sampingnya. “Mas, Bara,” ucap Indah lantas bangkit.Bau menyengat yang menguar dari tubuh Bara membuat Indah mual. Meski begitu, Indah tetap membantu Bara melepaskan sepatu juga jas yang masih melekat di tubuh tegap suaminya. “Kenapa senang sekali minum minuman terlarang?” gumam Indah.*** Mata setajam elang itu mengerjap beberapa kali hingga akhirnya dibuka dengan sempurna. Bara mengedarkan pandangannya dan mendapati jika dirinya sudah berada di kamar. Ia bangkit sambil memegang kepalanya yang terasa pening. “Mas, Bara,” ucap Indah yang baru saja masuk kamar.Bara lantas menoleh sebentar lalu membuang muka ketika ingatannya kembali pada saat kemarin ia mendapati Indah di mushola bersama Dirga. “Kau, dari mana kemarin?” tanyanya.Pria itu sudah tidak tahan lagi dengan praduganya selama ini. Pria itu menatap Indah nyalang. Membuat Indah menelan ludahnya kasar
Bara mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, menyalip kendaraan lain yang sekiranya menghalangi jalan bagi dirinya. Pria itu bahkan mengabaikan protes yang dilakukan oleh pengguna jalan lain. Tidak peduli klaksonan atau pun umpatan yang terdengar. Dalam pikirannya ia hanya ingin melampiaskan kekesalannya karena Indah dengan tega melakukan hal tercela di kantor dengan pria lain. Sungguh, pria itu tidak menyangka jika Indah sampai hati melakukan hal tersebut. Padahal ia pernah berpikir jika perempuan yang menjadi penyelamat hidupnya merupakan perempuan baik-baik. “Haha … hahaha ….” Pria itu tertawa seperti kesetanan. Ia merasa bodoh karena berhasil dibodohi oleh wajah polos Indah. Ternyata di balik wajah lugu Indah tersimpan sebuah kenyataan yang membuat Bara tidak habis pikir. Bagaimana bisa? Hanya itu yang ada dalam benak Bara sekarang. Pertanyaan mengenai Indah yang bisa-bisanya malah melakukan hal seperti itu terus berputar di pikiran Bara. Sampai pria itu tidak sadar ji
Bara yang berjalan tergesa tentu menjadi pusat perhatian semua orang. Meski begitu tidak ada yang berani bertanya atau sekedar menyapa. Semuanya memilih menyingkir–memberikan jalan untuk pria tersebut. Sampai akhirnya Bara tiba di ruangannya. Dengan keras ia membuka pintu kemudian menutupnya kembali. Sehingga Mawar yang berniat masuk untuk menyusul pun mengurungkan niat kala ia akan masuk, tetapi pintu dengan keras tertutup. Wanita itu hanya mampu berdiri mematung sambil memegang dadanya dengan kedua tangan. Sementara matanya melebar dengan napas yang terengah akibat berlari menyusul Bara. Dengan kasar ia mendengus kemudian berbalik–berniat ke meja kerjanya. Namun, Mawar malah dikagetkan dengan kehadiran Zulfi yang sudah ada di belakangnya entah sejak kapan. “Sepertinya ada hal penting yang sedang dilakukan Pak Bara,” ujar Zulfi yang dibalas delikan oleh Mawar. “Hemm, aku tau! Tapi entah apa itu. Bisakah kamu menyeledikinya?” Permintaan itu ditanggapi Zulfi dengan mengangkat satu
Tiba di rumah Indah lantas turun dari mobil setelah membayar ongkosnya. Perempuan itu berjalan dengan langkah gontai menuju gerbang yang menjulang tinggi. Tidak perlu banyak bicara, penjaga rumah pun sudah mengetahui jika Indah adalah nyonya di rumah tersebut. Sehingga dengan sedikit keheranan karena tidak biasanya Indah pulang sangat cepat pun membukakan gerbang. “Siang, Nyonya,” sapa Pak satpam yang berjaga. Dengan seulas senyum yang sangat tipis Indah membalas sapaan satpam tersebut. Bukan karena ia tidak ramah, tetapi ia yang lelah membuat Indah ingin segera tiba di kamar. Setelahnya Indah masuk rumah kemudian menaiki anak tangga untuk tiba di kamar.Begitu tiba, Indah membuka kerudung yang sejak tadi menutupi kepalanya. Lantas setelahnya ia merebahkan diri di atas ranjang. Meringkuk sambil menutup tubuhnya dengan selimut. Sementara di tempat lain, Bara sedang melakukan pertemuan dengan lawan bisnisnya di salah satu restoran. Mereka melakukannya di sana sekalian untuk makan sia
Raut wajah Dirga nampak khawatir ketika melihat Indah yang malah melamun. Meski terkejut dan sedikit tidak terima karena perempuan yang ia cintai mengandung anak dari pria lain, tetapi Dirga tetap mengkhawatir andai sesuatu terjadi dengan calon anak Indah. “Apakah kandungannya baik-baik saja?” Pertanyaan itu membuat Indah tersenyum miris. Ia berharap pria yang menanyakan hal itu adalah Bara, bukan Dirga. Namun, ia sadar diri karena Bara belum mengetahui kehamilannya.Lagi pula andai tahu, apakah Bara akan menerimanya? Atau sebaliknya, dan menuduh dirinya yang tidak-tidak karena pernah mendapati sebuah foto yang memperlihatkan dirinya dengan seorang pria pada malam hari. Yang tidak lain adalah Dirga. “Kandungannya baik-baik aja, Mas. Enggak ada yang perlu dikhawatirkan,” jawab Indah dengan seulas senyum untuk menyembunyikan kerisauan dalam dirinya. Mendengar jawaban Indah seharusnya membuat Dirga bisa bernapas lega, tetapi pria itu malah semakin khawatir lantaran melihat dari ekspr
Tiba di rumah sakit Indah diarahkan oleh Dirga untuk mendaftarkan diri terlebih dahulu di bagian resepsionis. Baru setelahnya mereka menunggu di depan ruang dokter kandung. Agak heran bagi Dirga karena Indah malah memilih dokter kandungan dan bukan dokter umum.“Mas, Kayaknya aku masih lama, apa enggak sebaiknya Mas kembali ke kantor? Aku yakin Ibu Santi sekarang sedang mencari-cari, Mas.” Indah merasa tidak enak lantaran Dirga malah menemaninya di rumah sakit, sedangkan pekerjaan pria itu diabaikan begitu saja. “Enggak masalah, Indah. Aku di sini aja temani kamu,” ujar Dirga yang kukuh ingin menemani Indah. “Tapi–” “Udah, kamu enggak maksa. Di sini aku yang mau, jadi enggak perlu enggak enak.” Dirga dengan cepat menyela ucapan Indah. Sehingga Indah tidak dapat melanjutkan kalimatnya.Karena Indah sedang merasa lemas dan kesakitan, sehingga ia memilih untuk diam dan tidak lagi banyak bicara. Perempuan itu memilih mencoba menghilangkan rasa sakit, meski rasanya mustahil. Sementara D
Selama pertemuan berlangsung di salah satu restoran Bara tidak bisa fokus karena dalam benaknya terus berputar nama Indah yang tidak dapat ia liat di ruangan. Rasanya ingin segera menyelesaikan pertemuan. Namun, sayangnya hal itu tidak bisa dilakukan karena ini merupakan pertemuan penting yang tidak semua orang bisa dapatkan.Semetara di tempat lain, Indah nampak meringkuk di mushola sambil memeluk perutnya yang sakit. Tadi saat perempuan itu ke ruangannya, ia meminta izin kepada Santi untuk beristirahat terlebih dahulu di mushola karena perutnya yang melilit. Tentu saja Santi yang melihat wajah pucat Indah pun memilih membiarkan. “Indah, apa baik-baik saja?” Dirga yang merasa khawatir memilih menyusul Indah untuk memastikan keadaan tambatan hatinya.Perlahan Indah yang memejamkan mata, tetapi tidak tertidur pun membuka matanya. Nampak manik yang biasanya memancarkan keindahan kini terlihat sangat sayu, membuat semua orang yang melihatnya akan merasa iba. “Iya, Mas,” sahutnya pelan.