Pagi itu, Tasya nampak sibuk menyiapkan sarapan pagi di meja makan, hari ini adalah hari ulang tahun Sauqi yang ke empat tahun, nampak seluruh keluarga duduk menunggu semua menu yang sedang dihidangkan oleh Tasya. Sejak pagi Tasya sendiri tidak mengizinkan mama Riri dan bu Nirma membantunya di dapur, ia ingin menyiapkan semuanya sendiri, karena merasa jika hari ini adalah hari yang sangat spesial baginya. Sementara mama Riri dan bu Nirma akhirnya hanya terduduk dan menonton saja apa yang sedang dilakukan oleh Tasya, sambil sekali-kali mengobrol dengan Sauqi yang sudah lincah dalam berbicara. Tidak ada lagi sesuatu yang menghalangi bagi keluarga itu untuk berbagai kebahagiaan, karena setelah semua kejadian yang menimpa mereka tiga tahun yang lalu, nampak pernikahan Tasya dan Dika semakin romantis dan harmonis. "Sayang, kamu nggak capek sibuk-sibuk sendiri, aku bantu kamu ya," ucap Dika yang tidak enak hati ketika melihat kesibukan yang sedang dijalani oleh istrinya."Nggak usah Mas,
Sah!! Ucapan hamdalah terdengar saat Dika Mahendra Jaya berhasil mengucapkan ijab qobul dengan baik dan benar. Dika mengeluarkan cincin kawin yang akan ia pasangkan di jari manis Tasya Andirani, lalu begitu juga dengan sebaliknya. Setelah ijab qobul selesai, Dika nampak memilih pergi menghampiri para rekan-rekan kerjanya, tanpa menghiraukan Tasya Andirani yang sudah menjadi istri sah baik di mata hukum dan agama. Tasya nampak duduk seorang diri di kursi pelaminan dengan perasaan yang tidak bisa dijabarkan. ‘Ya Tuhan, aku sekarang sudah menjadi istri orang, pria yang sedang tertawa bersama teman-teman nya itu adalah suamiku, bagaimana caranya agar aku bisa menjadi istri yang baik, sementara aku tidak mengenal siapa dia.’ Batin Tasya bergejolak, ia bergeming dengan dirinya sendiri. Perasaan yang tidak bisa dijelaskan itu, membuat bulir air matanya tak terasa jatuh. Sementara di tempat lain, Dika justru ikut bergabung bersama teman-temannya hingga akhirnya pesta itu selesai. Tasya d
"Ada apa?” tanya Dika singkat. Tasya yang tengah melamun itu dikejutkan dengan kehadiran pria yang satu kamar dengannya itu sudah berada di hadapannya, Dika menatap Tasya yang juga sedang menatapnya dengan setengah terkejut.“Emmm... Mas, aku bawakan makanan untuk kamu, kamu belum makan, kan,” Tasya menyodorkan makanan yang ia bawa. “Tidak perlu, kau makan saja sendiri nanti.” Tolak Dika. Langkah kakinya meninggalkan kamar hotel, dan juga Tasya yang hanya bisa terdiam seorang diri. Perasaannya saat itu bercampur aduk, antara sedih dan kecewa, ketika mendapatkan reaksi sedingin itu dari pria yang menikahinya. Di sebuah jalan raya yang cukup lengang, Dika mengemudikan kendaraan nya dengan kecepatan tinggi, sesekali Dika memukul bagian setir sambil terus menatap lurus, sebuah pesan singkat yang dikirim kan Zahra terngiang di kepalanya lagi.Dika menghentikan mobilnya seketika, lalu ia berteriak sekencang mungkin tanpa ada satu orang pun yang mendengarnya. Ia juga memukul-mukul bagian
"Ma, Pa, kami pulang dulu ya,” pamit Dika yang sudah memenuhi undangan kedua orang tuanya. “Ya sayang, kalian hati-hati ya, sebentar lagi rumah kalian berdua selesai di renovasi, dan kalian akan tinggal satu atap di sana,” ucap Riri melempar senyum, merasa yakin bahwa anaknya itu akan cocok dengan Tasya. “Iya.” Singkat Dika menjawab, lalu pergi. Tibanya di hotel, Dika berhenti di parkiran, lalu meminta Tasya untuk keluar dari mobilnya. “Turun lah, aku akan pergi.” titah Dika masih menatap lurus ke arah depan. “Mas mau ke mana malam-malam begini?” tanya Tasya penasaran. “Bukan urusan mu, sekarang turun lah dan istirahat.” Jawab Dika singkat. Mau tidak mau Tasya harus melakukan apa yang diminta oleh Dika. Saat itu ia melihat mobil mewah berwarna hitam milik suaminya pergi lagi meninggalkannya, Tasya pun kembali masuk ke kamar hotel dengan perasaan yang semakin hampa. Beberapa hari menjadi istri dari pria kaya tak membuat hidup Tasya berubah, mungkin lantaran memang tidak saling m
Langkah kaki Tasya terhenti di ambang pintu UGD, dengan tetes air mata yang terus mengalir ketika ia mendapatkan kabar bahwa ibunya kritis. Sesekali Tasya berdiri dan berjalan seperti setrika yang sedang melicinkan pakaian, wajahnya sangat panik, ia seorang diri di sana, tanpa ada satu orang pun yang menemani. 'Ya Tuhan, aku mohon tolong selamatkan ibuku, di dunia ini, hanya dia lah salah satu alasanku bertahan hidup, ku mohon,' batin Tasya terus berdoa, berharap bahwa doanya akan terkabul. Setelah beberapa saat kemudian, dokter keluar. Erland, dokter muda yang menangani ibu Nirma selaku ibu kandung Tasya, Tasya berdiri di hadapan dokter Erland setelah menyeka air matanya asal-asalan. "Dok, bagaimana keadaan ibu saya?" tanya Tasya dengan nafas tertahan. "keadaan Ibu Nirma masih kritis, Tasya. Beliau harus segera di operasi, tapi tentu, biaya yang harus dikeluarkan tidak sedikit," ucap dokter Erland, dokter itu tahu bahwa sebenarnya pasien yang sedang ia rawat bukan lah kalangan or
Dika dan Tasya kini berada di ruang rawat setelah menunggu cukup lama di ruang tunggu, Tasya tertidur sembari memegang erat pergelangan tangan ibunya, operasi yang dilakukan terhadap ibu Nirma berjalan dengan lancar, sementara Dika sendiri duduk di sofa sambil memangku tangan menatap ke arah Tasya. 'Apa mungkin dia kelelahan sampai dalam keadaan duduk saja, dia bisa tidur nyenyak seperti itu?' batin Dika bergeming, sambil terus menatap wanita itu. Lama Dika memperhatikan Tasya, ada rasa kasihan yang akhirnya membuat Dika memutuskan untuk membangunkan Tasya, ia berniat untuk mengajak Tasya pulang ke hotel. "Tasya, bangun, ayo kita pulang ke hotel," Ajak Dika, ia berdiri di samping Tasya yang tertidur. Suara itu tidak membuat Tasya terbangun hingga akhirnya Dika memutuskan untuk menyentuh tangan Tasya, saat Dika dan Tasya sama-sama bersentuhan kulit, ia menyadari bahwa tubuh Tasya sangat panas. Dika sempat cemas lantaran menyadari hal itu, di saat yang sama Tasya pun terbangun dan m
"Silahkan duduk, Ma," ucap Tasya mempersilahkan duduk mama mertuanya. "Terima kasih Tasya. Oh ya, kamu ke sini sendirian?" tanya mama Riri. "I-iya Ma," lirih Tasya menjawab. "Kamu yang sabar ya sayang, mungkin Dika masih membutuhkan banyak waktu untuk menerima semua kenyataan ini." mama Riri menggenggam pergelangan tangan Tasya. Tasya melempar senyum, memperlihatkan bahwa ia baik-baik saja. Mendengar itu membuat mama Riri sedikit lega, Tasya pamit hendak pergi ke toilet dan menitipkan ibunya pada mama Riri yang masih ada di sana. Saat itu mama Riri mendekati ranjang tempat di mana bu Nirma istirahat, mama Riri menelaah wajah bu Nirma yang tidak lagi terpasang sebuah alat. "Ibu ini.... Seperti....?"Belum sempat menebak, pintu tersebut kembali di buka. Tasya sudah berdiri di samping kiri ibunya, bersebrangan dengan mama Riri yang masih mengamati bu Nirma. "Kenapa Ma, apa ibu sudah siuman?" tanya Tasya bingung dengan tatapannya pada sang ibu. "Belum Tasya. Oh ya, kalau boleh Mam
Pagi ini Tasya bangun lebih pagi, lantaran ia yakin bahwa suaminya itu akan berangkat ke kantor, karena kalau tidak salah ia sempat mendengar bahwa Dika semalam telponan dengan papa Arkana, ia diminta untuk datang pagi-pagi untuk menemaninya meeting. Benar saja, saat Tasya sedang menyiapkan piring di meja makan yang tidak terlalu besar itu, ia melihat Dika keluar dari kamar dalam keadaan yang sudah rapi, Tasya melempar senyum menatap Edo lalu menghampiri nya. "Mas, sarapan dulu yuk, aku udah siapin di meja makan," ajak Tasya dengan senyuman sempurna. "Aku tidak lapar," celetuk Dika menolak. "Tapi Mas, aku sudah masak banyak pagi ini," Tasya terus berjalan mengiringi Dika yang tidak memperdulikan nya. "Aku tidak memintamu untuk melakukannya, kan!" tegas Dika, ia sibuk memakai sepatu hitamnya. "Mas, tidak ada salahnya jika kamu mencicipi makanan yang sudah susah payah aku buatkan, kamu mungkin tidak memintaku untuk memasaknya, tapi aku memintamu untuk memakannya." lirih Tasya masi