Langkah kaki Tasya terhenti di ambang pintu UGD, dengan tetes air mata yang terus mengalir ketika ia mendapatkan kabar bahwa ibunya kritis. Sesekali Tasya berdiri dan berjalan seperti setrika yang sedang melicinkan pakaian, wajahnya sangat panik, ia seorang diri di sana, tanpa ada satu orang pun yang menemani.
'Ya Tuhan, aku mohon tolong selamatkan ibuku, di dunia ini, hanya dia lah salah satu alasanku bertahan hidup, ku mohon,' batin Tasya terus berdoa, berharap bahwa doanya akan terkabul.Setelah beberapa saat kemudian, dokter keluar. Erland, dokter muda yang menangani ibu Nirma selaku ibu kandung Tasya, Tasya berdiri di hadapan dokter Erland setelah menyeka air matanya asal-asalan."Dok, bagaimana keadaan ibu saya?" tanya Tasya dengan nafas tertahan."keadaan Ibu Nirma masih kritis, Tasya. Beliau harus segera di operasi, tapi tentu, biaya yang harus dikeluarkan tidak sedikit," ucap dokter Erland, dokter itu tahu bahwa sebenarnya pasien yang sedang ia rawat bukan lah kalangan orang berada."B-berapa biaya nya Dok?" lirih Tasya bertanya."Untuk lebih lengkapnya kamu sebaiknya ke bagian administrasi nya saja, ya." jawabnya melempar senyum getir.Tasya dengan berat menganggukkan kepalanya pelan, lalu langkahnya mulai mendekati bagian administrasi seperti yang disarankan oleh dokter Erland. Dan setelah mengetahui biaya yang sempat membuatnya syok, akhirnya Tasya memutuskan untuk pergi ke ruangan ibunya.Tasya menggenggam erat salah satu pergelangan tangan bu Nirma, dengan menatap penuh wajah bidadari nya yang sedang terpasang selang itu."Ibu, yang kuat ya, aku sangat sayang padamu, jangan menyerah karena penyakit ini, aku akan melakukan segala cara agar Ibu bisa segera dioperasi."Tasya menyeka air matanya cepat, ia tidak mau membuang waktu nya lagi, dengan meminta izin pada ibunya, Tasya pun pergi melangkahkan kaki ke rumah ibu mertuanya.Saat itu hujan sangat deras, namun tak menggoyahkan langkah kaki Tasya yang terus menuju rumah bak istana tersebut, setelah tiba di depan gerbang, salah satu bodyguard yang menyadari ada seorang wanita yang berdiri meminta di bukakan pintu segera menghampiri pintu tersebut."Nona, kenapa kau ke sini dalam keadaan seperti ini?" tanya salah satu bodyguard itu."Aku ingin sekali bertemu dengan mama Riri, tolong izinkan aku," pinta Tasya tak memberikan jawaban apa-apa."Baik lah Nona, mari silahkan masuk." jawabnya langsung membuka pintu.Riri terkejut ketika melihat menantunya sudah berdiri di ambang pintu, dalam keadaan basah kuyup dan linangan air mata yang jatuh bersamaan dengan air hujan yang mengguyur beberapa saat yang lalu."Astaga, Tasya... Kenapa kamu hujan-hujanan seperti ini! Di mana Dika? Apa dia yang telah melakukan ini padamu?" tanya Riri, kedua tangannya menangkap kedua pipi Tasya yang terasa sangat dingin.Tasya menggelengkan kepalanya, sebagai jawaban bahwa bukan Dika yang telah membuatnya seperti ini."Ma, Ibuku kritis di rumah sakit... Dokter meminta ku untuk membayar semua biaya pengobatan nya, aku tidak punya uang sebanyak itu, Ma, hiks hiks hiks," air mata Tasya tumpah lagi ketika mengingat angka 50 juta yang harus ia bayarkan."Tasya, menantuku.. Bukan kah aku berjanji padamu, bahwa aku lah yang akan membantu membayar semua pengobatan ibumu, sekarang juga, kita bereskan urusan ini, tapi kamu harus mengganti baju mu dulu, ya." Riri ikut tersayat ketika melihat air mata Tasya yang tumpah berlinang.Di sana, juga ada tuan Arkana Mahendra yang tak sengaja mendengar pembicaraan tersebut, ia juga merasa kasihan pada Tasya yang datang meminta bantuan dalam keadaan seperti itu.Beberapa saat kemudian, mereka sudah tiba di rumah sakit. Tak lupa juga dengan Dika yang mendapatkan kabar dari tuan Arkana, ia datang seorang diri menuju rumah sakit. Saat itu Riri dan Tasya sedang mengurus pembayaran, Dika menghampiri tuan Arkana yang terlihat sedang duduk menunggu."Pa, di mana Mama?" tanya Dika menyapa ayahnya."Mama sedang menemani Tasya ke bagian administrasi, ibu mertuamu harus segera di operasi, Dika," tuan Arkana membalas tatapan Dika kala itu.Dika berjalan menuju ruang rawat yang masih tertutup, di sana ia melihat ada seorang wanita paruh baya yang masih dalam keadaan tidak sadarkan diri, terpasang selang dan infus di salah satu tangannya.'Jadi itu ibunya Tasya? Sakit apa beliau?' batin Dika bergeming.Saat sedang mengamati bu Nirma, Dika dikejutkan dengan suara mama Riri yang menatapnya dengan penuh kemarahan."Dika, kenapa kamu membiarkan Tasya ke rumah Mama dan Papa dalam keadaan hujan-hujanan seperti tadi! Apa kamu tidak ada perasaan belas kasihan pada seorang wanita, ha?!" marah mama Riri yang kesal pada putranya."Tapi Ma, aku tidak tahu kalau Tasya ke rumah Mama," ucap Dika menatap bingung, ke arah Tasya juga tentunya."Astaga, kalian ini tinggal di hotel yang sama, sekamar pula, alasan kamu itu tidak bisa Mama terima," celetuk mama Riri masih marah."Maaf Ma, tapi mas Dika tidak bersalah, aku pergi ke rumah sakit saat mas Dika sedang mandi. Aku ingin meminta izin, tapi aku sudah terlanjur panik." Tasya bersuara, ia tidak mau jika ibu mertuanya itu salah paham.Setelah mendengar penjelasan dari Tasya, kemarahan mama Riri pun mulai meredam, namun tidak dengan Dika yang tidak menerima alasan dari Tasya. Tatapannya tajam seperti panah yang siap menghunus.Setelah melakukan pembayaran, bu Nirma segera di keluarkan dari ruang rawat menuju ruang operasi, Tasya ikut mengantar ibunya sampai tiba di ruang yang sangat menakutkan itu.Mama Riri tidak membiarkan Tasya sendiri, ia selalu berada di sampingnya, ia tahu bahwa Tasya pasti sangat membutuhkan sosok teman di saat seperti ini.Karena operasi yang dilakukan terhadap pasien berada di jam 11 malam, Tasya akhirnya meminta Riri dan Arkana pulang, ia tidak mau jika kesehatan kedua mertuanya itu terganggu karena menemani nya."Ma, Pa, sudah tengah malam, lebih baik Mama dan Papa pulang saja, biar aku di sini," ucap Tasya lirih."Baik lah, besok pagi Mama akan kembali ke sini, kamu tidak sendiri Tasya, Dika akan menemani kamu, ya kan Dika?!" mama Riri mengalihkan pandangannya pada putranya."Eem." singkat Dika menjawab.Riri dan Arkana pun akhirnya memutuskan untuk pulang, kini yang tersisa hanyalah Dika dan Tasya. Mereka duduk sedikit berjarak, di ruang tunggu, Tasya menatap Dika yang masih fokus dengan ponselnya, membuat Tasya justru merasa canggung, namun ia harus memberanikan diri."Mas, aku mau minta maaf, soal ta__" belum sempat menyelesaikan ucapannya, Dika mengacungkan jari telunjuk sebagai isyarat bahwa ia sedang tidak ingin diganggu.Tasya akhirnya terdiam, ia tidak memaksa atau menyalahkan suaminya itu, jika ia bersikap demikian. Namun, Tasya memang harus benar-benar tebal-tebal hati, untuk menerima sifatnya.Hacim... Hacim...Dika tersentak, ketika Tasya bersin beberapa kali di kursi yang berjarak dengannya, saat itu Tasya sedang mendekap tubuhnya, baju yang ia kenakan cukup tipis, sementara cuaca malam ini sangat dingin lantaran baru saja di guyur hujan, apalagi di tambah Tasya sempat hujan-hujanan malam itu."Pakai ini,"Dika menyodorkan jaket tebal yang ia kenakan, tanpa diketahui oleh Tasya kapan ia melepaskannya."Buat Mas aja, cuaca lagi dingin, Mas," tolak Tasya.Dika menatap Tasya langsung, ketika ia menolak pemberian darinya, pria berjamban itu seperti tidak terima dengan penolakan Tasya."Tubuhku cukup fit untuk menahan cuaca ini, sementara kamu?"Dika dan Tasya kini berada di ruang rawat setelah menunggu cukup lama di ruang tunggu, Tasya tertidur sembari memegang erat pergelangan tangan ibunya, operasi yang dilakukan terhadap ibu Nirma berjalan dengan lancar, sementara Dika sendiri duduk di sofa sambil memangku tangan menatap ke arah Tasya. 'Apa mungkin dia kelelahan sampai dalam keadaan duduk saja, dia bisa tidur nyenyak seperti itu?' batin Dika bergeming, sambil terus menatap wanita itu. Lama Dika memperhatikan Tasya, ada rasa kasihan yang akhirnya membuat Dika memutuskan untuk membangunkan Tasya, ia berniat untuk mengajak Tasya pulang ke hotel. "Tasya, bangun, ayo kita pulang ke hotel," Ajak Dika, ia berdiri di samping Tasya yang tertidur. Suara itu tidak membuat Tasya terbangun hingga akhirnya Dika memutuskan untuk menyentuh tangan Tasya, saat Dika dan Tasya sama-sama bersentuhan kulit, ia menyadari bahwa tubuh Tasya sangat panas. Dika sempat cemas lantaran menyadari hal itu, di saat yang sama Tasya pun terbangun dan m
"Silahkan duduk, Ma," ucap Tasya mempersilahkan duduk mama mertuanya. "Terima kasih Tasya. Oh ya, kamu ke sini sendirian?" tanya mama Riri. "I-iya Ma," lirih Tasya menjawab. "Kamu yang sabar ya sayang, mungkin Dika masih membutuhkan banyak waktu untuk menerima semua kenyataan ini." mama Riri menggenggam pergelangan tangan Tasya. Tasya melempar senyum, memperlihatkan bahwa ia baik-baik saja. Mendengar itu membuat mama Riri sedikit lega, Tasya pamit hendak pergi ke toilet dan menitipkan ibunya pada mama Riri yang masih ada di sana. Saat itu mama Riri mendekati ranjang tempat di mana bu Nirma istirahat, mama Riri menelaah wajah bu Nirma yang tidak lagi terpasang sebuah alat. "Ibu ini.... Seperti....?"Belum sempat menebak, pintu tersebut kembali di buka. Tasya sudah berdiri di samping kiri ibunya, bersebrangan dengan mama Riri yang masih mengamati bu Nirma. "Kenapa Ma, apa ibu sudah siuman?" tanya Tasya bingung dengan tatapannya pada sang ibu. "Belum Tasya. Oh ya, kalau boleh Mam
Pagi ini Tasya bangun lebih pagi, lantaran ia yakin bahwa suaminya itu akan berangkat ke kantor, karena kalau tidak salah ia sempat mendengar bahwa Dika semalam telponan dengan papa Arkana, ia diminta untuk datang pagi-pagi untuk menemaninya meeting. Benar saja, saat Tasya sedang menyiapkan piring di meja makan yang tidak terlalu besar itu, ia melihat Dika keluar dari kamar dalam keadaan yang sudah rapi, Tasya melempar senyum menatap Edo lalu menghampiri nya. "Mas, sarapan dulu yuk, aku udah siapin di meja makan," ajak Tasya dengan senyuman sempurna. "Aku tidak lapar," celetuk Dika menolak. "Tapi Mas, aku sudah masak banyak pagi ini," Tasya terus berjalan mengiringi Dika yang tidak memperdulikan nya. "Aku tidak memintamu untuk melakukannya, kan!" tegas Dika, ia sibuk memakai sepatu hitamnya. "Mas, tidak ada salahnya jika kamu mencicipi makanan yang sudah susah payah aku buatkan, kamu mungkin tidak memintaku untuk memasaknya, tapi aku memintamu untuk memakannya." lirih Tasya masi
"Dika, ayolah." mama Riri sedikit memaksa Dika untuk melakukan apa yang ia mau. Dika pun mengangkat kepala dengan berat, lalu ia mengarahkan pandangannya pada Tasya yang sejak tadi tidak enak hati, ia takut jika Dika saat ini berpikir macam-macam. "Cantik kan, Tasya?" ulang mama Riri. "Emmm," sungut Dika menjawab. "Jawabnya yang enak dong Dika!" mama Riri mencubit punggung Dika. "Iya Ma." jawabnya dengan terpaksa. Mama Riri tersenyum bahagia ketika mendengar jawaban dari Dika. Ia memberikan doa semoga pernikahan anaknya menjadi bahagia selamanya. Tak lama kemudian mama Riri meminta izin untuk pulang membawa barang belanjaannya, sengaja ia melakukan itu agar tumbuh perasaan antara mereka berdua yang sebenarnya masih canggung satu sama lain. "Apa kau sudah cukup puas telah memoroti uang mama, dengan berbelanja barang-barang tidak berfaedah seperti ini!" celetuk Dika menatap tajam Tasya. "Astaghfirullah Mas, aku sama sekali tidak bermaksud mau morotin mama, aku tadi juga nggak se
"Di mana Dika, tolong panggilkan ya," pinta oma Lusi, saat itu Tasya sedang menjamu tamunya dengan cemilan dan minuman. "Baik, Nek." jawab Tasya sopan. Oma Lusi mengerutkan kening ketika Tasya memanggilnya dengan sebutan Nenek, sepertinya ia sangat keberatan ketika Tasya menyebutnya dengan panggilan itu. "Jangan panggil saya Nenek, tapi panggil saya Oma, ya!" tegas oma Lusi meminta. "Oh, b-baik Oma, sebentar, saya akan panggil kan mas Dika dulu." jawab Tasya kikuk. Wanita itu langsung pergi menaiki anak tangga, rasanya ia sangat gugup ketika ditegur dengan panggilan yang ia sebutkan tadi, sementara mama Riri hanya membatin saja ketika oma Lusi terlihat fokus memperhatikan langkah kaki Tasya. "Itu pembantu nya Dika? Kok manggil nya Mas, si?" protes oma Lusi. "Emmm, anu Ma." mama Riri terlihat bingung. Belum sempat menjawab, Dika sudah terlihat menuruni anak tangga di susul dengan Tasya yang berada di belakangnya. Saat itu Dika menyambut oma Lusi dengan memeluk dan menciumnya, ta
Langkah kaki Tasya terhenti ketika mama Riri menahan nya, mama Riri menghampiri Tasya dan menatapnya dengan sedih. "Nak, Mama mohon tolong jangan pergi dari rumah ini, tetap lah di sini mempertahankan rumah tangga kamu bersama Dika," pinta mama Riri menahan kesedihannya. "Maaf Ma, aku tidak bisa memperjuangkan rumah tangga dengan pria yang sama sekali tidak ingin berjuang dengan ku, aku pamit." singkat Tasya menjawab. Langkah kaki Tasya pun ia ayunkan menjauhi ambang pintu, mama Riri hendak mengejar namun teriakan oma Lusi yang menggelegar membuat mama Riri terhenti, oma Lusi mengancam akan menyakiti dirinya sendiri jika sampai mama Riri dan papa Arkana mengejar Tasya. Kini senyum mengembang terlihat jelas di wajah Dika, ia merasa senang karena akhirnya ada yang lebih berkuasa daripada kedua orang tuanya, yang baginya hanya bisa mengatur hidupnya demi menyelamatkan rasa malu. Mama Riri menangis di pelukan papa Arkana, tidak ada yang berani menentang wanita yang dituakan di keluar
Plak! Sebuah tamparan mendarat bebas di pipi Dika hingga menimbulkan rasa panas, mama Riri sangat murka saat melihat sikap Dika yang justru setuju saat oma Lusi mengusir Tasya. "Kenapa Mama nampar aku?" protes Dika marah. "Itu pantas untuk mu Dika, di mana rasa tanggung jawab kamu sebagai seorang suami, hingga dengan tega kamu membiarkan istri kamu keluar dari rumah ini seorang diri, apalagi kamu tahu, kalau Tasya tidak punya siapa-siapa selain ibunya yang sedang dirawat di rumah sakit, di mana hati nurani kamu, ha!" bentak Mama Riri. "Tapi Ma, aku benar-benar tidak nyaman menjalani pernikahan ini, pernikahan ini membuat aku tersiksa, aku yakin wanita itu juga memiliki rasa yang sama denganku," sungut Dika kesal. "TASYA, namanya Tasya, Dika! kamu lupa, kalau kamu sudah menikahi Tasya secara agama dan negara, jika kamu membiarkan Tasya pergi begitu saja, lalu terjadi apa-apa di luar sana, maka tanggung jawab mu bukan hanya pada negara, tetapi di hadapan Tuhan. Mama nggak mau tahu,
"Ibu mau bertanya tentang apa," lirih Tasya menjawab, tatapannya mengarah pada bu Nirma saat itu. "Ibu sudah cukup lama berada di rumah sakit, dan terkahir sebelum Ibu dirawat, kamu itu masih sibuk ke sana ke mari mencari pekerjaan yang kamu inginkan, lalu semua biaya pengobatan selama Ibu di rawat, siapa yang menanggung nya, Sya?" Benar yang ada dalam pikiran Tasya, rupanya sang ibu mempertanyakan biaya yang memang tidak sedikit itu padanya, Tasya merasa galau apakah ia harus mengatakan dengan jujur, atau ia menunggu sampai ibunya sembuh baru menceritakan semuanya. Lama Tasya termenung, hingga membuat bu Nirma semakin penasaran, pikirannya semakin kotor saja karena mengira Tasya melakukan perbuatan kotor karena nekad ingin membiayai operasi yang dilakukan oleh dokter. "Sya, kamu nggak lagi mikir mau bohongi Ibu, kan?!" bu Nirma terlihat menatap serius kala itu. "E-eggak kok Bu, aku sama sekali nggak ada niat mau bohong," ucap Tasya. "Terus kenapa kamu nggak jawab-jawab pertanya