"Silahkan duduk, Ma," ucap Tasya mempersilahkan duduk mama mertuanya.
"Terima kasih Tasya. Oh ya, kamu ke sini sendirian?" tanya mama Riri."I-iya Ma," lirih Tasya menjawab."Kamu yang sabar ya sayang, mungkin Dika masih membutuhkan banyak waktu untuk menerima semua kenyataan ini." mama Riri menggenggam pergelangan tangan Tasya.Tasya melempar senyum, memperlihatkan bahwa ia baik-baik saja. Mendengar itu membuat mama Riri sedikit lega, Tasya pamit hendak pergi ke toilet dan menitipkan ibunya pada mama Riri yang masih ada di sana.Saat itu mama Riri mendekati ranjang tempat di mana bu Nirma istirahat, mama Riri menelaah wajah bu Nirma yang tidak lagi terpasang sebuah alat."Ibu ini.... Seperti....?"Belum sempat menebak, pintu tersebut kembali di buka. Tasya sudah berdiri di samping kiri ibunya, bersebrangan dengan mama Riri yang masih mengamati bu Nirma."Kenapa Ma, apa ibu sudah siuman?" tanya Tasya bingung dengan tatapannya pada sang ibu."Belum Tasya. Oh ya, kalau boleh Mama tahu, sebelumnya kamu tinggal di mana," mama Riri membalas tatapan Tasya padanya."Kami tinggal di kampung Pakuan Ratu Ma, aku dibesarkan di sana. Setelah ayah meninggal, ibu mengajak ku merantau ke kota Jakarta ini, tapi semenjak ibu sakit, aku yang yang harus menggantikan posisi ibu memenuhi kebutuhan kami sehari-hari." jelas Tasya.Mama Riri terenyuh ketika mendengar penjelasan Tasya, rupanya ia benar. Bahwa wanita yang saat ini sedang terbaring di hadapannya, adalah teman lama yang tidak pernah bertemu setelah mereka berkeluarga.Mama Riri menjelaskan semuanya pada Tasya, dan setelah ia tahu, Tasya pun percaya bahwa di dunia ini tidak ada yang kebetulan. Ia juga tidak menyangka jika ternyata mama mertuanya dan ibu kandungnya dulu adalah teman di usia muda."Mama tidak menyangka Tasya, jika ternyata kedua anak-anak kami saat ini adalah sepasang suami istri, Mama jadi tidak sabar menanti ibumu sadar," ucap mama Riri melempar senyum haru."Ya Ma, apa yang Mama harapkan sama seperti yang aku inginkan, semoga saja ibu bisa segera sadar." jawab Tasya.Tring... Tring...Sebuah telpon masuk, menyadarkan Dika yang saat itu sedang menikmati sunset di sore hari, ia duduk sendirian di dekat bibir pantai. Menikmati sepoi angin yang menenangkan, harus terganggu lantaran mama Riri terus saja menelponnya."Halo ma," lirih Dika."Dika, kamu itu ke mana saja si? Istri kamu sudah dari tadi di rumah sakit, tapi kamu nggak nongol-nongol, apa kamu tidak kasihan melihat Tasya wara wiri dalam keadaan hati yang tidak tenang," omel mama Riri memecah gendang telinga."Maaf Ma, aku sedang sibuk," ucap Dika singkat."Sibuk? Memangnya kamu sibuk ngapain Dika, pokoknya mama nggak mau tahu, sekarang juga kamu harus ke sini, temani Tasya!" tegas mama Riri tanpa mau mendengar alasan Dika.Dika menyingkirkan ponsel itu dari telinganya, dengan hembusan nafas berat Dika harus pergi meninggalkan tempat itu menuju rumah sakit, saat tiba di lokasi, Tasya terkejut lantaran Dika saat ini sudah berada di ambang pintu."Mas, aku seneng karena kamu akhirnya datang," ucap Tasya menyapa suaminya."Jangan terlalu senang, karena kedatangan ku ke sini karena mama, bukan karena keinginan hatiku sendiri." celetuk Dika.Tasya terdiam, senyumnya kian menghilang setelah mendengar ucapan dari Dika. Ia kembali duduk di kursi yang ada di samping ranjang tempat tidur ibu Nirma, sementara Dika sendiri memilih duduk di sofa yang tersedia.Saat malam tiba, Tasya akhirnya pamit pada ibunya, meskipun ibunya belum sadarkan diri, namun Tasya sangat rajin mengajaknya berkomunikasi, ia hendak mengajak Dika pulang kembali ke hotel, lantaran tidak tega melihat Dika yang sepertinya tidak nyaman di sana. Saat itu Dika pergi lebih dulu setelah Tasya berpamitan, ia lebih memilih untuk menunggu di parkiran."Kau duduk di kursi belakang saja," celetuk Dika saat Tasya hendak membuka pintu bagian depan."I-iya Mas." jawab Tasya patuh.Di sepanjang perjalanan, Dika sama sekali tidak mempertanyakan apapun pada Tasya, terkait ibu mertuanya yang baru saja melakukan tindakan operasi, hal itu membuat Tasya sangat kikuk jika ia harus memulai obrolan terlebih dahulu.Tak lama kemudian Tasya pun merasa sangat lapar, lantaran sejak siang tadi ia belum sempat makan, Tasya pun berinisiatif untuk mengajak suaminya itu makan terlebih dahulu."Mas, kita makan dulu yuk, aku laper nih," ajak Tasya sambil meremas perutnya yang kempis."Aku tidak lapar." celetuk Dika sangat dingin.Dika terus saja melajukan kendaraanya tanpa menghiraukan Tasya yang kelaparan. Hingga akhirnya mereka tiba di hotel, karena waktu sudah cukup malam, akhirnya Tasya harus menerima jika ia akan tidur dalam keadaan perut yang terasa sangat lapar.***Ting..."Dika, kamu ke rumah Mama ya, hari ini rumah kamu sudah jadi, kamu dan Tasya akan tinggal di sana bersama, jangan lupa ya."Pesan singkat itu dibaca oleh Dika setelah ia selesai mandi, saat itu ia melihat Tasya sedang berdiri di balkon dengan tatapan lurus menembus gedung-gedung pencakar langit yang terlihat sangat dekat."Mama meminta kita untuk datang ke sana, bersiap-siap lah," ucap Dika begitu cetus.Menyadari bahwa suami kulkas tujuh pintunya itu sedang berbicara padanya, bergegas Tasya kembali dan menyiapkan apa yang akan ia bawa.Lima belas menit kemudian, mereka pun akhirnya tiba di sebuah bangunan minimalis yang cukup luas, rumah ber-dominasi warna hitam dan abu sesuai dengan yang diinginkan oleh Dika itu, akhirnya resmi ditempati.Mama Riri tidak bisa datang untuk menemani mereka pindah ke rumah baru, lantaran tiba-tiba ia mendapatkan kabar bahwa ia harus meeting penting bersama kliennya di luar.Dika membuka pintu tersebut lebar-lebar, dan menarik kopernya sendiri diikuti oleh Tasya dari belakang, Dika berhenti pada salah satu kamar yang ada di lantai bawah."Ini kamar mu," ucap Dika."Kamar ku? Apa maksud mu kita akan tinggal seatap tapi tidak sekamar?" tanya Tasya memastikan."Ya, itu benar," singkat Dika menjawab."Mas, tapi kita sudah sah menjadi suami istri, apa salahnya jika kita tinggal satu atap dan satu kamar?" protes Tasya tidak mengerti dengan jalan pikiran Dika."Itu sudah menjadi keputusan ku, jadi kau tidak perlu membantah nya dengan alasan apapun, atau kalau kau ingin untuk tidur di mana saja, aku tidak peduli." jawab Dika dengan singkat.Dika mengangkat koper hitamnya, lalui ia memutuskan untuk menaiki anak tangga lalu berhenti di sebuah salah satu kamar. Tasya mengibas air matanya asal-asalan, lalu ia membuka pintu kamarnya.Sebenarnya penderitaan Tasya belum di mulai, namun entah mengapa saat Dika memperlakukan dirinya seperti itu, air matanya tumpah ruah seakan merasa benar-benar tidak dianggap sebagai seorang istri.Pagi ini Tasya bangun lebih pagi, lantaran ia yakin bahwa suaminya itu akan berangkat ke kantor, karena kalau tidak salah ia sempat mendengar bahwa Dika semalam telponan dengan papa Arkana, ia diminta untuk datang pagi-pagi untuk menemaninya meeting. Benar saja, saat Tasya sedang menyiapkan piring di meja makan yang tidak terlalu besar itu, ia melihat Dika keluar dari kamar dalam keadaan yang sudah rapi, Tasya melempar senyum menatap Edo lalu menghampiri nya. "Mas, sarapan dulu yuk, aku udah siapin di meja makan," ajak Tasya dengan senyuman sempurna. "Aku tidak lapar," celetuk Dika menolak. "Tapi Mas, aku sudah masak banyak pagi ini," Tasya terus berjalan mengiringi Dika yang tidak memperdulikan nya. "Aku tidak memintamu untuk melakukannya, kan!" tegas Dika, ia sibuk memakai sepatu hitamnya. "Mas, tidak ada salahnya jika kamu mencicipi makanan yang sudah susah payah aku buatkan, kamu mungkin tidak memintaku untuk memasaknya, tapi aku memintamu untuk memakannya." lirih Tasya masi
"Dika, ayolah." mama Riri sedikit memaksa Dika untuk melakukan apa yang ia mau. Dika pun mengangkat kepala dengan berat, lalu ia mengarahkan pandangannya pada Tasya yang sejak tadi tidak enak hati, ia takut jika Dika saat ini berpikir macam-macam. "Cantik kan, Tasya?" ulang mama Riri. "Emmm," sungut Dika menjawab. "Jawabnya yang enak dong Dika!" mama Riri mencubit punggung Dika. "Iya Ma." jawabnya dengan terpaksa. Mama Riri tersenyum bahagia ketika mendengar jawaban dari Dika. Ia memberikan doa semoga pernikahan anaknya menjadi bahagia selamanya. Tak lama kemudian mama Riri meminta izin untuk pulang membawa barang belanjaannya, sengaja ia melakukan itu agar tumbuh perasaan antara mereka berdua yang sebenarnya masih canggung satu sama lain. "Apa kau sudah cukup puas telah memoroti uang mama, dengan berbelanja barang-barang tidak berfaedah seperti ini!" celetuk Dika menatap tajam Tasya. "Astaghfirullah Mas, aku sama sekali tidak bermaksud mau morotin mama, aku tadi juga nggak se
"Di mana Dika, tolong panggilkan ya," pinta oma Lusi, saat itu Tasya sedang menjamu tamunya dengan cemilan dan minuman. "Baik, Nek." jawab Tasya sopan. Oma Lusi mengerutkan kening ketika Tasya memanggilnya dengan sebutan Nenek, sepertinya ia sangat keberatan ketika Tasya menyebutnya dengan panggilan itu. "Jangan panggil saya Nenek, tapi panggil saya Oma, ya!" tegas oma Lusi meminta. "Oh, b-baik Oma, sebentar, saya akan panggil kan mas Dika dulu." jawab Tasya kikuk. Wanita itu langsung pergi menaiki anak tangga, rasanya ia sangat gugup ketika ditegur dengan panggilan yang ia sebutkan tadi, sementara mama Riri hanya membatin saja ketika oma Lusi terlihat fokus memperhatikan langkah kaki Tasya. "Itu pembantu nya Dika? Kok manggil nya Mas, si?" protes oma Lusi. "Emmm, anu Ma." mama Riri terlihat bingung. Belum sempat menjawab, Dika sudah terlihat menuruni anak tangga di susul dengan Tasya yang berada di belakangnya. Saat itu Dika menyambut oma Lusi dengan memeluk dan menciumnya, ta
Langkah kaki Tasya terhenti ketika mama Riri menahan nya, mama Riri menghampiri Tasya dan menatapnya dengan sedih. "Nak, Mama mohon tolong jangan pergi dari rumah ini, tetap lah di sini mempertahankan rumah tangga kamu bersama Dika," pinta mama Riri menahan kesedihannya. "Maaf Ma, aku tidak bisa memperjuangkan rumah tangga dengan pria yang sama sekali tidak ingin berjuang dengan ku, aku pamit." singkat Tasya menjawab. Langkah kaki Tasya pun ia ayunkan menjauhi ambang pintu, mama Riri hendak mengejar namun teriakan oma Lusi yang menggelegar membuat mama Riri terhenti, oma Lusi mengancam akan menyakiti dirinya sendiri jika sampai mama Riri dan papa Arkana mengejar Tasya. Kini senyum mengembang terlihat jelas di wajah Dika, ia merasa senang karena akhirnya ada yang lebih berkuasa daripada kedua orang tuanya, yang baginya hanya bisa mengatur hidupnya demi menyelamatkan rasa malu. Mama Riri menangis di pelukan papa Arkana, tidak ada yang berani menentang wanita yang dituakan di keluar
Plak! Sebuah tamparan mendarat bebas di pipi Dika hingga menimbulkan rasa panas, mama Riri sangat murka saat melihat sikap Dika yang justru setuju saat oma Lusi mengusir Tasya. "Kenapa Mama nampar aku?" protes Dika marah. "Itu pantas untuk mu Dika, di mana rasa tanggung jawab kamu sebagai seorang suami, hingga dengan tega kamu membiarkan istri kamu keluar dari rumah ini seorang diri, apalagi kamu tahu, kalau Tasya tidak punya siapa-siapa selain ibunya yang sedang dirawat di rumah sakit, di mana hati nurani kamu, ha!" bentak Mama Riri. "Tapi Ma, aku benar-benar tidak nyaman menjalani pernikahan ini, pernikahan ini membuat aku tersiksa, aku yakin wanita itu juga memiliki rasa yang sama denganku," sungut Dika kesal. "TASYA, namanya Tasya, Dika! kamu lupa, kalau kamu sudah menikahi Tasya secara agama dan negara, jika kamu membiarkan Tasya pergi begitu saja, lalu terjadi apa-apa di luar sana, maka tanggung jawab mu bukan hanya pada negara, tetapi di hadapan Tuhan. Mama nggak mau tahu,
"Ibu mau bertanya tentang apa," lirih Tasya menjawab, tatapannya mengarah pada bu Nirma saat itu. "Ibu sudah cukup lama berada di rumah sakit, dan terkahir sebelum Ibu dirawat, kamu itu masih sibuk ke sana ke mari mencari pekerjaan yang kamu inginkan, lalu semua biaya pengobatan selama Ibu di rawat, siapa yang menanggung nya, Sya?" Benar yang ada dalam pikiran Tasya, rupanya sang ibu mempertanyakan biaya yang memang tidak sedikit itu padanya, Tasya merasa galau apakah ia harus mengatakan dengan jujur, atau ia menunggu sampai ibunya sembuh baru menceritakan semuanya. Lama Tasya termenung, hingga membuat bu Nirma semakin penasaran, pikirannya semakin kotor saja karena mengira Tasya melakukan perbuatan kotor karena nekad ingin membiayai operasi yang dilakukan oleh dokter. "Sya, kamu nggak lagi mikir mau bohongi Ibu, kan?!" bu Nirma terlihat menatap serius kala itu. "E-eggak kok Bu, aku sama sekali nggak ada niat mau bohong," ucap Tasya. "Terus kenapa kamu nggak jawab-jawab pertanya
Seorang gadis menghampiri mama Riri dan papa Arkana yang mematung di ambang pintu, tatapan matanya membulat lantaran wanita paruh baya yang tergeletak di sana bukan lah bu Nirma. "Maaf, Ibu mencari siapa, ya?" tanyanya penasaran. "Ee... Maaf, sepertinya kami salah kamar, maaf sekali lagi ya." mama Riri tersenyum getir ketika mengetahui bahwa kamar itu bukan lagi ditempati oleh bu Nirma dan Tasya. Mama Riri dan papa Arkana pergi menjauhi ruangan tersebut, mama Riri terlihat sangat sedih dan kecewa, sampai akhirnya papa Arkana mengajak mama Riri untuk mencari tahu keberadaan Tasya dan ibunya. Saat itu papa Arkana dan mama Riri terkejut setelah mendengar penjelasan dari suster yang biasa menjaga bu Nirma, menginformasikan bahwa bu Nirma sudah pulang bersama putrinya. "Jadi, pasien bernomor 201 itu sudah pulang, Sus?" tanya mama Riri memastikan. "Iya Bu, sudah dibawa pulang oleh mbak Tasya kemarin siang, mungkin sekarang meraka sudah tinggal bahagia bersama." jawabnya mengulas senyu
"Oh ya ampun, kenapa badan Mama panas sekali!"Papa Arkana terkejut di tengah malam, ketika menyadari bahwa suhu tubuh istrinya terasa begitu panas, papa Arkana menghidupkan lampu dan melihat wajah dan bibir istrinya begitu pucat. Tanpa menunggu waktu lama, papa Arkana meminta bantuan pada asisten rumah tangga untuk memberikan nya air dingin, ia mencari handuk kecil di lemari lalu memasukannya ke dalam mangkuk yang sudah tersedia, papa Arkana pun mengompres mama Riri dengan telaten. Berharap jika suhu tubuh istrinya akan segera menurun. "Ma, Mama bangun Ma," panggil papa Arkana mengguncang ringan tubuh mama Riri. Mama Riri membuka kedua matanya, menyadari bahwa ada sesuatu yang terasa dingin di keningnya, "Apa ini, Pa?" tanya mama Riri."Badan Mama panas banget, makanya Papa kompres pakai air dingin," lirih papa Arkana. "Mama nggak papa kok, Pa. Nggak perlu di kompres, Mama mau tidur saja." tolak mama Riri, ia memberikan handuk kecil tersebut pada suaminya. Papa Arkana tidak mema