Dika dan Tasya kini berada di ruang rawat setelah menunggu cukup lama di ruang tunggu, Tasya tertidur sembari memegang erat pergelangan tangan ibunya, operasi yang dilakukan terhadap ibu Nirma berjalan dengan lancar, sementara Dika sendiri duduk di sofa sambil memangku tangan menatap ke arah Tasya.
'Apa mungkin dia kelelahan sampai dalam keadaan duduk saja, dia bisa tidur nyenyak seperti itu?' batin Dika bergeming, sambil terus menatap wanita itu.Lama Dika memperhatikan Tasya, ada rasa kasihan yang akhirnya membuat Dika memutuskan untuk membangunkan Tasya, ia berniat untuk mengajak Tasya pulang ke hotel."Tasya, bangun, ayo kita pulang ke hotel,"Ajak Dika, ia berdiri di samping Tasya yang tertidur. Suara itu tidak membuat Tasya terbangun hingga akhirnya Dika memutuskan untuk menyentuh tangan Tasya, saat Dika dan Tasya sama-sama bersentuhan kulit, ia menyadari bahwa tubuh Tasya sangat panas.Dika sempat cemas lantaran menyadari hal itu, di saat yang sama Tasya pun terbangun dan menyadari adanya Dika di sampingnya. Dika lalu kebingungan dan mencoba untuk memalingkan pandangan."Pulang dulu kalau memang kau butuh istirahat, besok kita bisa kembali ke sini," ucap Dika dengan tanpa menatap wajah Tasya."I-iya Mas... Hacim...." lagi-lagi Tasya bersin seperti orang yang akan terkena flu.Keesokan harinya, Dika bangun lebih pagi, ia menyadari bahwa saat itu Tasya masih tertidur sambil meringkuk kedinginan, ia jatuh sakit, dan badannya sangat panas.Dika tidak mendekati Tasya untuk memberikan Tasya perhatian, namun ia justru memilih untuk menghubungi mama Riri dan memberitahukan padanya, bahwa Tasya sedang sakit.Mama Riri yang mendengar kabar itu akhirnya memutuskan untuk pergi ke hotel, ia ingin melihat keadaan menantunya, dan hal itu disadari oleh Arkana."Ma, mau ke mana?" tanya tuan Arkana."Tasya sakit Pa, mungkin karena hujan-hujanan tadi malam, Mama mau ke sana untuk mengecek keadaan nya." jawabnya dengan wajah panik.Lima belas menit kemudian, mama Riri tiba bersama dengan dokter keluarga yang telah ia panggil untuk mengecek keadaan Tasya, saat menyadari bahwa ada tamu di kamarnya, Dika pun membukakan pintu tersebut."Di mana Tasya?" tanya mama Riri menatap Dika."Masih tidur di sana," ucap Dika menatap ke arah sofa.Tatapan mama Riri pun beralih ke sofa tersebut, "Astaga, jadi__" Mama Riri menatap Dika kembali setelah ia menyadari sesuatu.Setelah mendapatkan pemeriksaan dari dokter pribadinya, lalu mendapatkan resep obat yang harus ditebus dokter tersebut pun akhirnya pamit, mama Riri lalu duduk mendekati Tasya."Sayang, apa yang kamu rasakan?" tanya mama Riri yang sangat perhatian."Hanya sedikit pusing saja Ma," ucap Tasya, wajahnya sedikit pucat dan hidungnya memerah."Itu karena kamu hujan-hujanan semalam, lain kali kau tidak boleh melakukan ini lagi, ya!" tekan mama Riri memberi peringatan.Tasya mengangguk pelan, bagi mama Riri hal ini sangat memalukan sekali, sudah memiliki suami, seharusnya Dika bertanggung jawab atas semua ini, namun karena suatu kelalaian lah yang akhirnya membuat semua ini terjadi."Dika, kamu dengar kan tadi, ini resep obat yang harus ditebus. Kamu sekarang pergi ke apotek dan tebus obat ini," ucap mama Riri menghampiri Dika yang sedang duduk di bibir ranjang."Ma, kenapa nggak suruh supir aja si," celetuk Dika menolak."Dika!" mama Riri menatap tegas, dan hal itu cukup membuat Dika mengerti dan akhirnya menuruti permintaannya.***Beberapa hari telah berlalu, keadaan Tasya sudah cukup membaik lantaran makan dan obat yang harus ia konsumsi selalu di pantau oleh mama Riri, kini Tasya sudah mulai sehat kembali seperti sedia kala.Yang membuat Tasya merasa sangat senang adalah sebuah kabar dari rumah sakit, yang mengatakan bahwa keadaan bu Nirma semakin hari semakin membaik, ia sangat senang dan tidak sabar untuk menjenguk ibunya di rumah sakit."Mas, kita ke rumah sakit yuk, keadaan ibuku sudah membaik katanya," ajak Tasya dengan senyum sumringah."Kau saja yang pergi, aku sibuk," tolak Dika, masih fokus pada ponselnya."Sibuk? Mas lagi ngerjain sesuatu, ya?" Tasya berusaha untuk mengajak suaminya itu berinteraksi."Jangan ganggu aku dengan pertanyaan yang tidak penting mu itu, kalau kau ingin pergi, pergilah, aku tidak tertarik ikut bersama mu." celetuk Dika bangkit, lalu ia mengangkat telpon dari seseorang.Tasya terpaku cukup lama, menetralisir ucapan Dika yang cukup menyakitkan hatinya. Air matanya hampir saja mau tumpah, namun seketika ia tepis dengan jari telunjuknya.Akhirnya Tasya pun pergi ke rumah sakit seorang diri, ia menggunakan taksi dan membayarnya dengan uang pribadi yang ia miliki, langkahnya kini terhenti saat tiba di ruang rawat ibunya."Ya Allah Ibu, aku senang sekali mendengar kabar bahagia ini, operasi berjalan dengan lancar dan kondisi ibu sekarang sudah membaik, aku sangat senang, Bu." ucap Tasya berbicara pada ibunya, meskipun kala itu bu Nirma belum sadar kan diri, namun ia yakin, bahwa ibunya itu mendengar suaranya.Tasya duduk sambil menggenggam tangan ibunya, ia sedikit bercerita tentang nasibnya sekarang. Memiliki suami yang sangat berbeda jauh sikapnya dengan kedua orang tuanya."Bu, Ibu tahu tidak, kalau sekarang aku sudah menikah dengan seorang pria kaya, dia tampan Bu, tapi sayangnya dia sangat dingin, sikapnya sangat jauh sekali dengan kedua orang tuanya yang memperlakukan aku dengan hangat. Bu, terkadang ingin sekali rasanya aku keluar dari pernikahan terpaksa ini, tapi aku tidak bisa lepas begitu saja, aku berhutang budi pada mama Riri."Tasya menangis kembali ketika ia mengingat waktu di mana mama Riri memohon padanya, untuk bersedia menikah pada putranya di hari pernikahannya, karena tidak ingin menanggung malu, lantaran kekasih yang seharusnya menikah dengan Dika, memilih kabur bersama pria lain."Aku terpaksa Bu, aku terpaksa menikah tanpa restu Ibu, karena di saat itu, aku tidak ada pilihan lain. Semoga saat Ibu nanti sadar, Ibu tidak marah padaku, karena aku memilih untuk meninggalkan masa depanku dan menikah pada pria yang sama sekali tidak aku cintai."Air mata Tasya tumpah ruah, ketika ia mencium punggung tangan ibunya, ia merasa lega lantaran telah berbagi cerita pada sang ibu, lantaran di dunia ini ia hanya memiliki seorang ibu. Meskipun pada kenyataannya bu Nirma saat ini belum sadarkan diri.Sejak bu Nirma dirawat di rumah sakit karena penyakit kanker yang diderita, Tasya pun harus menjalani kehidupan yang cukup keras seorang diri, sempat melamar pekerjaan ke sana ke mari untuk bertahan hidup dan membiayai pengobatan ibunya, kini kehidupan Tasya tidak lagi mengkhawatirkan.Namun tentu saja hal itu harus ia bayar dengan mental baja lantaran memiliki suami yang tidak mencintai nya.Çeklek!Pintu ruangan itu terbuka, Tasya terkejut lalu mengarahkan pandangan nya pada seorang wanita yang berdiri di ambang pintu."Silahkan duduk, Ma," ucap Tasya mempersilahkan duduk mama mertuanya. "Terima kasih Tasya. Oh ya, kamu ke sini sendirian?" tanya mama Riri. "I-iya Ma," lirih Tasya menjawab. "Kamu yang sabar ya sayang, mungkin Dika masih membutuhkan banyak waktu untuk menerima semua kenyataan ini." mama Riri menggenggam pergelangan tangan Tasya. Tasya melempar senyum, memperlihatkan bahwa ia baik-baik saja. Mendengar itu membuat mama Riri sedikit lega, Tasya pamit hendak pergi ke toilet dan menitipkan ibunya pada mama Riri yang masih ada di sana. Saat itu mama Riri mendekati ranjang tempat di mana bu Nirma istirahat, mama Riri menelaah wajah bu Nirma yang tidak lagi terpasang sebuah alat. "Ibu ini.... Seperti....?"Belum sempat menebak, pintu tersebut kembali di buka. Tasya sudah berdiri di samping kiri ibunya, bersebrangan dengan mama Riri yang masih mengamati bu Nirma. "Kenapa Ma, apa ibu sudah siuman?" tanya Tasya bingung dengan tatapannya pada sang ibu. "Belum Tasya. Oh ya, kalau boleh Mam
Pagi ini Tasya bangun lebih pagi, lantaran ia yakin bahwa suaminya itu akan berangkat ke kantor, karena kalau tidak salah ia sempat mendengar bahwa Dika semalam telponan dengan papa Arkana, ia diminta untuk datang pagi-pagi untuk menemaninya meeting. Benar saja, saat Tasya sedang menyiapkan piring di meja makan yang tidak terlalu besar itu, ia melihat Dika keluar dari kamar dalam keadaan yang sudah rapi, Tasya melempar senyum menatap Edo lalu menghampiri nya. "Mas, sarapan dulu yuk, aku udah siapin di meja makan," ajak Tasya dengan senyuman sempurna. "Aku tidak lapar," celetuk Dika menolak. "Tapi Mas, aku sudah masak banyak pagi ini," Tasya terus berjalan mengiringi Dika yang tidak memperdulikan nya. "Aku tidak memintamu untuk melakukannya, kan!" tegas Dika, ia sibuk memakai sepatu hitamnya. "Mas, tidak ada salahnya jika kamu mencicipi makanan yang sudah susah payah aku buatkan, kamu mungkin tidak memintaku untuk memasaknya, tapi aku memintamu untuk memakannya." lirih Tasya masi
"Dika, ayolah." mama Riri sedikit memaksa Dika untuk melakukan apa yang ia mau. Dika pun mengangkat kepala dengan berat, lalu ia mengarahkan pandangannya pada Tasya yang sejak tadi tidak enak hati, ia takut jika Dika saat ini berpikir macam-macam. "Cantik kan, Tasya?" ulang mama Riri. "Emmm," sungut Dika menjawab. "Jawabnya yang enak dong Dika!" mama Riri mencubit punggung Dika. "Iya Ma." jawabnya dengan terpaksa. Mama Riri tersenyum bahagia ketika mendengar jawaban dari Dika. Ia memberikan doa semoga pernikahan anaknya menjadi bahagia selamanya. Tak lama kemudian mama Riri meminta izin untuk pulang membawa barang belanjaannya, sengaja ia melakukan itu agar tumbuh perasaan antara mereka berdua yang sebenarnya masih canggung satu sama lain. "Apa kau sudah cukup puas telah memoroti uang mama, dengan berbelanja barang-barang tidak berfaedah seperti ini!" celetuk Dika menatap tajam Tasya. "Astaghfirullah Mas, aku sama sekali tidak bermaksud mau morotin mama, aku tadi juga nggak se
"Di mana Dika, tolong panggilkan ya," pinta oma Lusi, saat itu Tasya sedang menjamu tamunya dengan cemilan dan minuman. "Baik, Nek." jawab Tasya sopan. Oma Lusi mengerutkan kening ketika Tasya memanggilnya dengan sebutan Nenek, sepertinya ia sangat keberatan ketika Tasya menyebutnya dengan panggilan itu. "Jangan panggil saya Nenek, tapi panggil saya Oma, ya!" tegas oma Lusi meminta. "Oh, b-baik Oma, sebentar, saya akan panggil kan mas Dika dulu." jawab Tasya kikuk. Wanita itu langsung pergi menaiki anak tangga, rasanya ia sangat gugup ketika ditegur dengan panggilan yang ia sebutkan tadi, sementara mama Riri hanya membatin saja ketika oma Lusi terlihat fokus memperhatikan langkah kaki Tasya. "Itu pembantu nya Dika? Kok manggil nya Mas, si?" protes oma Lusi. "Emmm, anu Ma." mama Riri terlihat bingung. Belum sempat menjawab, Dika sudah terlihat menuruni anak tangga di susul dengan Tasya yang berada di belakangnya. Saat itu Dika menyambut oma Lusi dengan memeluk dan menciumnya, ta
Langkah kaki Tasya terhenti ketika mama Riri menahan nya, mama Riri menghampiri Tasya dan menatapnya dengan sedih. "Nak, Mama mohon tolong jangan pergi dari rumah ini, tetap lah di sini mempertahankan rumah tangga kamu bersama Dika," pinta mama Riri menahan kesedihannya. "Maaf Ma, aku tidak bisa memperjuangkan rumah tangga dengan pria yang sama sekali tidak ingin berjuang dengan ku, aku pamit." singkat Tasya menjawab. Langkah kaki Tasya pun ia ayunkan menjauhi ambang pintu, mama Riri hendak mengejar namun teriakan oma Lusi yang menggelegar membuat mama Riri terhenti, oma Lusi mengancam akan menyakiti dirinya sendiri jika sampai mama Riri dan papa Arkana mengejar Tasya. Kini senyum mengembang terlihat jelas di wajah Dika, ia merasa senang karena akhirnya ada yang lebih berkuasa daripada kedua orang tuanya, yang baginya hanya bisa mengatur hidupnya demi menyelamatkan rasa malu. Mama Riri menangis di pelukan papa Arkana, tidak ada yang berani menentang wanita yang dituakan di keluar
Plak! Sebuah tamparan mendarat bebas di pipi Dika hingga menimbulkan rasa panas, mama Riri sangat murka saat melihat sikap Dika yang justru setuju saat oma Lusi mengusir Tasya. "Kenapa Mama nampar aku?" protes Dika marah. "Itu pantas untuk mu Dika, di mana rasa tanggung jawab kamu sebagai seorang suami, hingga dengan tega kamu membiarkan istri kamu keluar dari rumah ini seorang diri, apalagi kamu tahu, kalau Tasya tidak punya siapa-siapa selain ibunya yang sedang dirawat di rumah sakit, di mana hati nurani kamu, ha!" bentak Mama Riri. "Tapi Ma, aku benar-benar tidak nyaman menjalani pernikahan ini, pernikahan ini membuat aku tersiksa, aku yakin wanita itu juga memiliki rasa yang sama denganku," sungut Dika kesal. "TASYA, namanya Tasya, Dika! kamu lupa, kalau kamu sudah menikahi Tasya secara agama dan negara, jika kamu membiarkan Tasya pergi begitu saja, lalu terjadi apa-apa di luar sana, maka tanggung jawab mu bukan hanya pada negara, tetapi di hadapan Tuhan. Mama nggak mau tahu,
"Ibu mau bertanya tentang apa," lirih Tasya menjawab, tatapannya mengarah pada bu Nirma saat itu. "Ibu sudah cukup lama berada di rumah sakit, dan terkahir sebelum Ibu dirawat, kamu itu masih sibuk ke sana ke mari mencari pekerjaan yang kamu inginkan, lalu semua biaya pengobatan selama Ibu di rawat, siapa yang menanggung nya, Sya?" Benar yang ada dalam pikiran Tasya, rupanya sang ibu mempertanyakan biaya yang memang tidak sedikit itu padanya, Tasya merasa galau apakah ia harus mengatakan dengan jujur, atau ia menunggu sampai ibunya sembuh baru menceritakan semuanya. Lama Tasya termenung, hingga membuat bu Nirma semakin penasaran, pikirannya semakin kotor saja karena mengira Tasya melakukan perbuatan kotor karena nekad ingin membiayai operasi yang dilakukan oleh dokter. "Sya, kamu nggak lagi mikir mau bohongi Ibu, kan?!" bu Nirma terlihat menatap serius kala itu. "E-eggak kok Bu, aku sama sekali nggak ada niat mau bohong," ucap Tasya. "Terus kenapa kamu nggak jawab-jawab pertanya
Seorang gadis menghampiri mama Riri dan papa Arkana yang mematung di ambang pintu, tatapan matanya membulat lantaran wanita paruh baya yang tergeletak di sana bukan lah bu Nirma. "Maaf, Ibu mencari siapa, ya?" tanyanya penasaran. "Ee... Maaf, sepertinya kami salah kamar, maaf sekali lagi ya." mama Riri tersenyum getir ketika mengetahui bahwa kamar itu bukan lagi ditempati oleh bu Nirma dan Tasya. Mama Riri dan papa Arkana pergi menjauhi ruangan tersebut, mama Riri terlihat sangat sedih dan kecewa, sampai akhirnya papa Arkana mengajak mama Riri untuk mencari tahu keberadaan Tasya dan ibunya. Saat itu papa Arkana dan mama Riri terkejut setelah mendengar penjelasan dari suster yang biasa menjaga bu Nirma, menginformasikan bahwa bu Nirma sudah pulang bersama putrinya. "Jadi, pasien bernomor 201 itu sudah pulang, Sus?" tanya mama Riri memastikan. "Iya Bu, sudah dibawa pulang oleh mbak Tasya kemarin siang, mungkin sekarang meraka sudah tinggal bahagia bersama." jawabnya mengulas senyu