Dika dan Tasya kini berada di ruang rawat setelah menunggu cukup lama di ruang tunggu, Tasya tertidur sembari memegang erat pergelangan tangan ibunya, operasi yang dilakukan terhadap ibu Nirma berjalan dengan lancar, sementara Dika sendiri duduk di sofa sambil memangku tangan menatap ke arah Tasya.
'Apa mungkin dia kelelahan sampai dalam keadaan duduk saja, dia bisa tidur nyenyak seperti itu?' batin Dika bergeming, sambil terus menatap wanita itu.Lama Dika memperhatikan Tasya, ada rasa kasihan yang akhirnya membuat Dika memutuskan untuk membangunkan Tasya, ia berniat untuk mengajak Tasya pulang ke hotel."Tasya, bangun, ayo kita pulang ke hotel,"Ajak Dika, ia berdiri di samping Tasya yang tertidur. Suara itu tidak membuat Tasya terbangun hingga akhirnya Dika memutuskan untuk menyentuh tangan Tasya, saat Dika dan Tasya sama-sama bersentuhan kulit, ia menyadari bahwa tubuh Tasya sangat panas.Dika sempat cemas lantaran menyadari hal itu, di saat yang sama Tasya pun terbangun dan menyadari adanya Dika di sampingnya. Dika lalu kebingungan dan mencoba untuk memalingkan pandangan."Pulang dulu kalau memang kau butuh istirahat, besok kita bisa kembali ke sini," ucap Dika dengan tanpa menatap wajah Tasya."I-iya Mas... Hacim...." lagi-lagi Tasya bersin seperti orang yang akan terkena flu.Keesokan harinya, Dika bangun lebih pagi, ia menyadari bahwa saat itu Tasya masih tertidur sambil meringkuk kedinginan, ia jatuh sakit, dan badannya sangat panas.Dika tidak mendekati Tasya untuk memberikan Tasya perhatian, namun ia justru memilih untuk menghubungi mama Riri dan memberitahukan padanya, bahwa Tasya sedang sakit.Mama Riri yang mendengar kabar itu akhirnya memutuskan untuk pergi ke hotel, ia ingin melihat keadaan menantunya, dan hal itu disadari oleh Arkana."Ma, mau ke mana?" tanya tuan Arkana."Tasya sakit Pa, mungkin karena hujan-hujanan tadi malam, Mama mau ke sana untuk mengecek keadaan nya." jawabnya dengan wajah panik.Lima belas menit kemudian, mama Riri tiba bersama dengan dokter keluarga yang telah ia panggil untuk mengecek keadaan Tasya, saat menyadari bahwa ada tamu di kamarnya, Dika pun membukakan pintu tersebut."Di mana Tasya?" tanya mama Riri menatap Dika."Masih tidur di sana," ucap Dika menatap ke arah sofa.Tatapan mama Riri pun beralih ke sofa tersebut, "Astaga, jadi__" Mama Riri menatap Dika kembali setelah ia menyadari sesuatu.Setelah mendapatkan pemeriksaan dari dokter pribadinya, lalu mendapatkan resep obat yang harus ditebus dokter tersebut pun akhirnya pamit, mama Riri lalu duduk mendekati Tasya."Sayang, apa yang kamu rasakan?" tanya mama Riri yang sangat perhatian."Hanya sedikit pusing saja Ma," ucap Tasya, wajahnya sedikit pucat dan hidungnya memerah."Itu karena kamu hujan-hujanan semalam, lain kali kau tidak boleh melakukan ini lagi, ya!" tekan mama Riri memberi peringatan.Tasya mengangguk pelan, bagi mama Riri hal ini sangat memalukan sekali, sudah memiliki suami, seharusnya Dika bertanggung jawab atas semua ini, namun karena suatu kelalaian lah yang akhirnya membuat semua ini terjadi."Dika, kamu dengar kan tadi, ini resep obat yang harus ditebus. Kamu sekarang pergi ke apotek dan tebus obat ini," ucap mama Riri menghampiri Dika yang sedang duduk di bibir ranjang."Ma, kenapa nggak suruh supir aja si," celetuk Dika menolak."Dika!" mama Riri menatap tegas, dan hal itu cukup membuat Dika mengerti dan akhirnya menuruti permintaannya.***Beberapa hari telah berlalu, keadaan Tasya sudah cukup membaik lantaran makan dan obat yang harus ia konsumsi selalu di pantau oleh mama Riri, kini Tasya sudah mulai sehat kembali seperti sedia kala.Yang membuat Tasya merasa sangat senang adalah sebuah kabar dari rumah sakit, yang mengatakan bahwa keadaan bu Nirma semakin hari semakin membaik, ia sangat senang dan tidak sabar untuk menjenguk ibunya di rumah sakit."Mas, kita ke rumah sakit yuk, keadaan ibuku sudah membaik katanya," ajak Tasya dengan senyum sumringah."Kau saja yang pergi, aku sibuk," tolak Dika, masih fokus pada ponselnya."Sibuk? Mas lagi ngerjain sesuatu, ya?" Tasya berusaha untuk mengajak suaminya itu berinteraksi."Jangan ganggu aku dengan pertanyaan yang tidak penting mu itu, kalau kau ingin pergi, pergilah, aku tidak tertarik ikut bersama mu." celetuk Dika bangkit, lalu ia mengangkat telpon dari seseorang.Tasya terpaku cukup lama, menetralisir ucapan Dika yang cukup menyakitkan hatinya. Air matanya hampir saja mau tumpah, namun seketika ia tepis dengan jari telunjuknya.Akhirnya Tasya pun pergi ke rumah sakit seorang diri, ia menggunakan taksi dan membayarnya dengan uang pribadi yang ia miliki, langkahnya kini terhenti saat tiba di ruang rawat ibunya."Ya Allah Ibu, aku senang sekali mendengar kabar bahagia ini, operasi berjalan dengan lancar dan kondisi ibu sekarang sudah membaik, aku sangat senang, Bu." ucap Tasya berbicara pada ibunya, meskipun kala itu bu Nirma belum sadar kan diri, namun ia yakin, bahwa ibunya itu mendengar suaranya.Tasya duduk sambil menggenggam tangan ibunya, ia sedikit bercerita tentang nasibnya sekarang. Memiliki suami yang sangat berbeda jauh sikapnya dengan kedua orang tuanya."Bu, Ibu tahu tidak, kalau sekarang aku sudah menikah dengan seorang pria kaya, dia tampan Bu, tapi sayangnya dia sangat dingin, sikapnya sangat jauh sekali dengan kedua orang tuanya yang memperlakukan aku dengan hangat. Bu, terkadang ingin sekali rasanya aku keluar dari pernikahan terpaksa ini, tapi aku tidak bisa lepas begitu saja, aku berhutang budi pada mama Riri."Tasya menangis kembali ketika ia mengingat waktu di mana mama Riri memohon padanya, untuk bersedia menikah pada putranya di hari pernikahannya, karena tidak ingin menanggung malu, lantaran kekasih yang seharusnya menikah dengan Dika, memilih kabur bersama pria lain."Aku terpaksa Bu, aku terpaksa menikah tanpa restu Ibu, karena di saat itu, aku tidak ada pilihan lain. Semoga saat Ibu nanti sadar, Ibu tidak marah padaku, karena aku memilih untuk meninggalkan masa depanku dan menikah pada pria yang sama sekali tidak aku cintai."Air mata Tasya tumpah ruah, ketika ia mencium punggung tangan ibunya, ia merasa lega lantaran telah berbagi cerita pada sang ibu, lantaran di dunia ini ia hanya memiliki seorang ibu. Meskipun pada kenyataannya bu Nirma saat ini belum sadarkan diri.Sejak bu Nirma dirawat di rumah sakit karena penyakit kanker yang diderita, Tasya pun harus menjalani kehidupan yang cukup keras seorang diri, sempat melamar pekerjaan ke sana ke mari untuk bertahan hidup dan membiayai pengobatan ibunya, kini kehidupan Tasya tidak lagi mengkhawatirkan.Namun tentu saja hal itu harus ia bayar dengan mental baja lantaran memiliki suami yang tidak mencintai nya.Çeklek!Pintu ruangan itu terbuka, Tasya terkejut lalu mengarahkan pandangan nya pada seorang wanita yang berdiri di ambang pintu."Silahkan duduk, Ma," ucap Tasya mempersilahkan duduk mama mertuanya. "Terima kasih Tasya. Oh ya, kamu ke sini sendirian?" tanya mama Riri. "I-iya Ma," lirih Tasya menjawab. "Kamu yang sabar ya sayang, mungkin Dika masih membutuhkan banyak waktu untuk menerima semua kenyataan ini." mama Riri menggenggam pergelangan tangan Tasya. Tasya melempar senyum, memperlihatkan bahwa ia baik-baik saja. Mendengar itu membuat mama Riri sedikit lega, Tasya pamit hendak pergi ke toilet dan menitipkan ibunya pada mama Riri yang masih ada di sana. Saat itu mama Riri mendekati ranjang tempat di mana bu Nirma istirahat, mama Riri menelaah wajah bu Nirma yang tidak lagi terpasang sebuah alat. "Ibu ini.... Seperti....?"Belum sempat menebak, pintu tersebut kembali di buka. Tasya sudah berdiri di samping kiri ibunya, bersebrangan dengan mama Riri yang masih mengamati bu Nirma. "Kenapa Ma, apa ibu sudah siuman?" tanya Tasya bingung dengan tatapannya pada sang ibu. "Belum Tasya. Oh ya, kalau boleh Mam
Pagi ini Tasya bangun lebih pagi, lantaran ia yakin bahwa suaminya itu akan berangkat ke kantor, karena kalau tidak salah ia sempat mendengar bahwa Dika semalam telponan dengan papa Arkana, ia diminta untuk datang pagi-pagi untuk menemaninya meeting. Benar saja, saat Tasya sedang menyiapkan piring di meja makan yang tidak terlalu besar itu, ia melihat Dika keluar dari kamar dalam keadaan yang sudah rapi, Tasya melempar senyum menatap Edo lalu menghampiri nya. "Mas, sarapan dulu yuk, aku udah siapin di meja makan," ajak Tasya dengan senyuman sempurna. "Aku tidak lapar," celetuk Dika menolak. "Tapi Mas, aku sudah masak banyak pagi ini," Tasya terus berjalan mengiringi Dika yang tidak memperdulikan nya. "Aku tidak memintamu untuk melakukannya, kan!" tegas Dika, ia sibuk memakai sepatu hitamnya. "Mas, tidak ada salahnya jika kamu mencicipi makanan yang sudah susah payah aku buatkan, kamu mungkin tidak memintaku untuk memasaknya, tapi aku memintamu untuk memakannya." lirih Tasya masi
"Dika, ayolah." mama Riri sedikit memaksa Dika untuk melakukan apa yang ia mau. Dika pun mengangkat kepala dengan berat, lalu ia mengarahkan pandangannya pada Tasya yang sejak tadi tidak enak hati, ia takut jika Dika saat ini berpikir macam-macam. "Cantik kan, Tasya?" ulang mama Riri. "Emmm," sungut Dika menjawab. "Jawabnya yang enak dong Dika!" mama Riri mencubit punggung Dika. "Iya Ma." jawabnya dengan terpaksa. Mama Riri tersenyum bahagia ketika mendengar jawaban dari Dika. Ia memberikan doa semoga pernikahan anaknya menjadi bahagia selamanya. Tak lama kemudian mama Riri meminta izin untuk pulang membawa barang belanjaannya, sengaja ia melakukan itu agar tumbuh perasaan antara mereka berdua yang sebenarnya masih canggung satu sama lain. "Apa kau sudah cukup puas telah memoroti uang mama, dengan berbelanja barang-barang tidak berfaedah seperti ini!" celetuk Dika menatap tajam Tasya. "Astaghfirullah Mas, aku sama sekali tidak bermaksud mau morotin mama, aku tadi juga nggak se
"Di mana Dika, tolong panggilkan ya," pinta oma Lusi, saat itu Tasya sedang menjamu tamunya dengan cemilan dan minuman. "Baik, Nek." jawab Tasya sopan. Oma Lusi mengerutkan kening ketika Tasya memanggilnya dengan sebutan Nenek, sepertinya ia sangat keberatan ketika Tasya menyebutnya dengan panggilan itu. "Jangan panggil saya Nenek, tapi panggil saya Oma, ya!" tegas oma Lusi meminta. "Oh, b-baik Oma, sebentar, saya akan panggil kan mas Dika dulu." jawab Tasya kikuk. Wanita itu langsung pergi menaiki anak tangga, rasanya ia sangat gugup ketika ditegur dengan panggilan yang ia sebutkan tadi, sementara mama Riri hanya membatin saja ketika oma Lusi terlihat fokus memperhatikan langkah kaki Tasya. "Itu pembantu nya Dika? Kok manggil nya Mas, si?" protes oma Lusi. "Emmm, anu Ma." mama Riri terlihat bingung. Belum sempat menjawab, Dika sudah terlihat menuruni anak tangga di susul dengan Tasya yang berada di belakangnya. Saat itu Dika menyambut oma Lusi dengan memeluk dan menciumnya, ta
Langkah kaki Tasya terhenti ketika mama Riri menahan nya, mama Riri menghampiri Tasya dan menatapnya dengan sedih. "Nak, Mama mohon tolong jangan pergi dari rumah ini, tetap lah di sini mempertahankan rumah tangga kamu bersama Dika," pinta mama Riri menahan kesedihannya. "Maaf Ma, aku tidak bisa memperjuangkan rumah tangga dengan pria yang sama sekali tidak ingin berjuang dengan ku, aku pamit." singkat Tasya menjawab. Langkah kaki Tasya pun ia ayunkan menjauhi ambang pintu, mama Riri hendak mengejar namun teriakan oma Lusi yang menggelegar membuat mama Riri terhenti, oma Lusi mengancam akan menyakiti dirinya sendiri jika sampai mama Riri dan papa Arkana mengejar Tasya. Kini senyum mengembang terlihat jelas di wajah Dika, ia merasa senang karena akhirnya ada yang lebih berkuasa daripada kedua orang tuanya, yang baginya hanya bisa mengatur hidupnya demi menyelamatkan rasa malu. Mama Riri menangis di pelukan papa Arkana, tidak ada yang berani menentang wanita yang dituakan di keluar
Plak! Sebuah tamparan mendarat bebas di pipi Dika hingga menimbulkan rasa panas, mama Riri sangat murka saat melihat sikap Dika yang justru setuju saat oma Lusi mengusir Tasya. "Kenapa Mama nampar aku?" protes Dika marah. "Itu pantas untuk mu Dika, di mana rasa tanggung jawab kamu sebagai seorang suami, hingga dengan tega kamu membiarkan istri kamu keluar dari rumah ini seorang diri, apalagi kamu tahu, kalau Tasya tidak punya siapa-siapa selain ibunya yang sedang dirawat di rumah sakit, di mana hati nurani kamu, ha!" bentak Mama Riri. "Tapi Ma, aku benar-benar tidak nyaman menjalani pernikahan ini, pernikahan ini membuat aku tersiksa, aku yakin wanita itu juga memiliki rasa yang sama denganku," sungut Dika kesal. "TASYA, namanya Tasya, Dika! kamu lupa, kalau kamu sudah menikahi Tasya secara agama dan negara, jika kamu membiarkan Tasya pergi begitu saja, lalu terjadi apa-apa di luar sana, maka tanggung jawab mu bukan hanya pada negara, tetapi di hadapan Tuhan. Mama nggak mau tahu,
"Ibu mau bertanya tentang apa," lirih Tasya menjawab, tatapannya mengarah pada bu Nirma saat itu. "Ibu sudah cukup lama berada di rumah sakit, dan terkahir sebelum Ibu dirawat, kamu itu masih sibuk ke sana ke mari mencari pekerjaan yang kamu inginkan, lalu semua biaya pengobatan selama Ibu di rawat, siapa yang menanggung nya, Sya?" Benar yang ada dalam pikiran Tasya, rupanya sang ibu mempertanyakan biaya yang memang tidak sedikit itu padanya, Tasya merasa galau apakah ia harus mengatakan dengan jujur, atau ia menunggu sampai ibunya sembuh baru menceritakan semuanya. Lama Tasya termenung, hingga membuat bu Nirma semakin penasaran, pikirannya semakin kotor saja karena mengira Tasya melakukan perbuatan kotor karena nekad ingin membiayai operasi yang dilakukan oleh dokter. "Sya, kamu nggak lagi mikir mau bohongi Ibu, kan?!" bu Nirma terlihat menatap serius kala itu. "E-eggak kok Bu, aku sama sekali nggak ada niat mau bohong," ucap Tasya. "Terus kenapa kamu nggak jawab-jawab pertanya
Seorang gadis menghampiri mama Riri dan papa Arkana yang mematung di ambang pintu, tatapan matanya membulat lantaran wanita paruh baya yang tergeletak di sana bukan lah bu Nirma. "Maaf, Ibu mencari siapa, ya?" tanyanya penasaran. "Ee... Maaf, sepertinya kami salah kamar, maaf sekali lagi ya." mama Riri tersenyum getir ketika mengetahui bahwa kamar itu bukan lagi ditempati oleh bu Nirma dan Tasya. Mama Riri dan papa Arkana pergi menjauhi ruangan tersebut, mama Riri terlihat sangat sedih dan kecewa, sampai akhirnya papa Arkana mengajak mama Riri untuk mencari tahu keberadaan Tasya dan ibunya. Saat itu papa Arkana dan mama Riri terkejut setelah mendengar penjelasan dari suster yang biasa menjaga bu Nirma, menginformasikan bahwa bu Nirma sudah pulang bersama putrinya. "Jadi, pasien bernomor 201 itu sudah pulang, Sus?" tanya mama Riri memastikan. "Iya Bu, sudah dibawa pulang oleh mbak Tasya kemarin siang, mungkin sekarang meraka sudah tinggal bahagia bersama." jawabnya mengulas senyu
Pagi itu, Tasya nampak sibuk menyiapkan sarapan pagi di meja makan, hari ini adalah hari ulang tahun Sauqi yang ke empat tahun, nampak seluruh keluarga duduk menunggu semua menu yang sedang dihidangkan oleh Tasya. Sejak pagi Tasya sendiri tidak mengizinkan mama Riri dan bu Nirma membantunya di dapur, ia ingin menyiapkan semuanya sendiri, karena merasa jika hari ini adalah hari yang sangat spesial baginya. Sementara mama Riri dan bu Nirma akhirnya hanya terduduk dan menonton saja apa yang sedang dilakukan oleh Tasya, sambil sekali-kali mengobrol dengan Sauqi yang sudah lincah dalam berbicara. Tidak ada lagi sesuatu yang menghalangi bagi keluarga itu untuk berbagai kebahagiaan, karena setelah semua kejadian yang menimpa mereka tiga tahun yang lalu, nampak pernikahan Tasya dan Dika semakin romantis dan harmonis. "Sayang, kamu nggak capek sibuk-sibuk sendiri, aku bantu kamu ya," ucap Dika yang tidak enak hati ketika melihat kesibukan yang sedang dijalani oleh istrinya."Nggak usah Mas,
Tiga tahun KemudianBug! Bug! Bug! Sebuah bogeman terdengar di ruangan sempit yang di tempati oleh lima tahanan yang masing-masing memiliki bukti kejahatan yang berbeda, dan salah satunya adalah Roy sebagai pimpinan kerusuhan yang terjadi di pagi ini. Cahyo yang melihat hal itu pun berusaha menyudahi perkelahian tersebut dengan memanggil polisi, suaranya yang nyaring pun mengundang beberapa petugas kepolisian yang mendengar suara Cahyo, dengan cepat dan sigap, mereka pun dapat dipisahkan, tahanan baru yang menjadi bully-an itupun diamankan. Roy dan beberapa temannya pun harus mendapatkan hukuman karena telah melakukan tindakan kerusuhan di dalam tahanan, sementara Cahyo sendiri kini mendekati Diki, seorang tahanan baru yang sudah babak belur di buat oleh teman-teman Roy. "Kamu nggak papa kan?" tanyanya memberikan perhatian. Sesekali ia mengobati luka lebam yang terlihat memar di sana. "Nggak kok, aku nggak papa, makasih ya Mas," ucapnya mengulas senyum. "Ya udah, kamu tenang aja
"Syukur lah sayang, kamu pulang dalam keadaan selamat," ucap mama Riri mengulas senyum lega. Tasya memblas senyuman itu dengan tulus, lalu ia pun berpindah pada bu Nirma yang tak kalah bahagia ketika melihat putrinya kembali dalam keadaan selamat, wanita itu berbinar ketika menyadari suaminya kini datang menggendong Sauqi, perhatikan nya pun kini tertuju pada bocah itu lalu mendekatinya. "Sayang, ini Mama, Nak!"Tasya terharu, dengan kedua mata yang berkaca-kaca ia meraih tubuh mungil Sauqi, bocah kecil itu pun nampak memancarkan senyuman saat menyadari yang menggendongnya adalah sang mama. "Ma-Ma!"Suara manja itu pun terdengar merdu, Tasya mengulas senyum dan langsung mendaratkan kecupan kasih sayang di keningnya. Betapa bahagianya ketika ia mendengar sang putra sudah bisa memanggilnya dengan sebutan mama. Dika ikut mememeluk Tasya dari belakang, mengulas senyum bahagia dan bersyukur atas kembalinya sang istri. Mama Riri pun meminta Dika untuk membawa Tasya ke kamar, tak menungg
Arkana dan Dika kini sudah berada di rumah, di mana ia akan mempersiapkan uang sebanyak dua miliar untuk menembus Tasya, kedatangan mereka pun disambut oleh bu Nirma dan mama Riri yang menatap cemas. "Pa, Dika, bagaimana, apa kalian sudah menemukan keberadaan Tasya?" tanya mama Riri yang memasang wajah penuh kecemasan. "Iya Dika, bagaimana?" lanjut bu Nirma tak kalah khawatir. "Kami sudah menemukan keberadaan Tasya Ma, Bu, Tasya diculik, dan kami pulang untuk menyiapkan uang sebesar dua milyar seperti yang penculik itu inginkan sebagai penebusnya," ucap Dika menahan emosi. "Apa! Dua milyar, astagfirullah, itu jumlah yang yang sangat besar." jawab bu Nirma menatap sedih. Bu Nirma sepertinya sangat syok mendengar jumlah uang yang disebut oleh menantunya itu, namun dengan cepat ditenangkan oleh mama Riri yang mendapat perintah dari papa Arkana. Papa Arkana mengatakan jika jumlah uang tidak perlu menjadi beban pikiran, karena mereka sendiri sudah siap jika harus kehilangan uang sebes
"Nggak papa Pa," ucap Dika dengan gugup. "Ya ampun, ya udah kalau gitu gantian aja ya yang nyetir, kamu sambil istirahat aja," seru papa Arkana cemas. "Papa yakin bisa bawa mobil?" tanya Dika memastikan. "Iya tenang aja, Papa bisa bawa mobil pelan-pelan." jawabnya dengan yakin. Mereka pun bertukar posisi, kini papa Arkana sudah berada di bagian setir, sementara Dika sendiri saat ini sedang duduk dengan santai menatap ke depan dan ke sini berharap jika ia bisa menemukan istrinya. Sementara di tempat lain, Tasya sudah berada di sebuah ruangan yang cukup gelap, hanya ada lampu kecil yang menerangi ruangan tersebut. Sayup-sayup wanita itu membuka kedua mata, dan terkejut ketika kedua tangannya diikat ke belakang di sebuah kursi kayu, tak lama kemudian datang seorang pria bertubuh tinggi dengan wajah tertutup masker. "Siapa kamu sebenarnya? Dan untuk apa kamu membawaku ke tempat ini, di mana ini?!" bentak Tasya dengan suara parau, tatapan matanya seolah ingin sekali merebut masker ya
"Loh, kok lantainya tiba-tiba basah dan kotor seperti ini? Lalu ini, jejak kaki siapa ya?" bi Surti menatap ke lantai itu dengan penuh tanya. "Maksud Bibi apa bicara seperti itu? Apa di rumah ini ada orang lain selain kalian berdua?!" tatapan tegas dari Dika pun didapatkan oleh bi Surti yang tidak tahu apa-apa. "Saya sendiri tidak tahu Den, tapi ini bukan jejak kaki saya, lihat saja, jejak kakinya cukup besar, dan sepertinya ada kaki lain yang terseret." jawab wanita paruh baya itu dengan polosnya. Dika mendelik sempurna ketika mendengar kalimat dari bi Surti, sempat berpikir tidak mungkin, tetapi pada kenyataannya memang Tasya tidak ada di rumah itu, membuat hati pria tersebut begitu gelisah dan ketakutan.Mencoba untuk tenang, dengan merogoh ponsel di saku celana, ia mencoba untuk menghubungi nomor Tasya, namun tiba-tiba ia mendengar suara ponsel itu di meja makan, rupanya Tasya tidak membawa ponselnya. Menambah kepanikan yang Dika rasakan saat ini. "Sebenarnya tadi non Tasya se
"B-benar Pak, ini saya Dika, a-ada apa ya?" tanya pria itu dengan suara parau. "Kami menemukan sepucuk surat tergeletak di samping korban, dan surat ini sepertinya untuk Bapak," ucapnya seraya memberitahu. "Benarkah, kalau begitu saya akan terima surat itu Pak." jawab Dika yang langsung mengulurkan tangan kanannya. Tanpa disadari oleh Dika, jika sepasang mata sedang mengamati tingkahnya dari kejauhan, siapa lagi kalau bukan Tasya, wanita itu seperti sudah tidak mengenal suaminya, yang terlihat begitu berbeda dari sebelumnya. Rasa kecewa tak terbendung lagi ketika melihat berapa sibuknya Dika dalam urusan kematian Zahra. Karena tak mampu lagi menahan kesedihan, Tasya pun kini menghilang dari kerumunan, ia berjalan menjauhi tempat itu sambil terus menggendong dan memeluk Sauqi, tak lama kemudian ia menemukan pangkalan ojek, ada satu orang bapak-bapak yang mungkin sejak tadi sedang menunggu penumpang, tak menunggu waktu lama, Tasya segera menghampiri bapak itu dengan nafas yang tersen
Beberapa hari sudah, Duka merasa cukup nyaman menjalani rumah tangga nya bersama Tasya, lantaran Zahra sudah tidak pernah lagi menghubungi atau mengganggunya meksipun hanya sebuah pesan yang ia kirimkan. Namun, sepertinya hal itu membuat hati kecil Dika menjadi ganjal, ia merasa ada sesuatu yang terjadi pada wanita itu, karena ia sangat mengenal sekali siapa Zahra. Wanita yang tidak pernah mau kalah dari pertarungan, apalagi itu menyangkut soal perasaan."Mas, kenapa kamu kayaknya gelisah banget si?"Tiba-tiba datang Tasya yang menegur suaminya, pria itu terkejut dan sontak saja memasang wajah bingung lantaran kepergok memikirkan Zahra. Namun siapa sangka jika Tasya sudah mengetahui apa yang dipikirkan oleh suaminya, dengan melihat sekilas tatapan matanya ia tahu jika Dika saat ini sedang memikirkan orang lain. "Kalau kamu mau menjenguk Zahra di rumah sakit, ya nggak papa Mas, aku negerti kok kalau kamu masih mencemaskan dia," lirih wanita itu yang memberikan lampu hijau pada suamin
Tibanya di pinggir danau, Dika menghentikan mobilnya, membuka pintu lalu mempersilahkan Tasya keluar, namun wanita itu nampaknya enggan mengikuti perintah sang suami lantaran ia masih memendam rasa kecewa. "Sayang, ayo lah turun," ajak Dika berusaha terus membujuk. "Nggak mau, mending kamu bawa aku pulang aja ke rumah ibu, kamu pasti sibuk kan mau ke rumah sakit, jadi lebih baik kamu pergi saja ke sana," celetuk Tasya menolak, ia masih saja berpikir jika suaminya itu lebih memilih mantan kekasihnya itu. "Mau turun sendiri, atau kamu akan melihat aku nekat, dengan menggendong kamu masih memasuki kafe itu." tukas Dika yang sama sekali tak menanggapi ucapan Tasya. Wanita itu mendelik sempurna ketika ucapannya sama sekali tak direspon, ia pun akhirnya turun daripada harus menerima gendongan dari Dika yang jelas-jelas sudah membuatnya marah. Sementara Dika sendiri mengulas senyum sembari berjalan beriringan dengan Tasya menuju sebuah kafe yang terlihat begitu ramai pengunjung. Sebuah