"Ibu mau bertanya tentang apa," lirih Tasya menjawab, tatapannya mengarah pada bu Nirma saat itu. "Ibu sudah cukup lama berada di rumah sakit, dan terkahir sebelum Ibu dirawat, kamu itu masih sibuk ke sana ke mari mencari pekerjaan yang kamu inginkan, lalu semua biaya pengobatan selama Ibu di rawat, siapa yang menanggung nya, Sya?" Benar yang ada dalam pikiran Tasya, rupanya sang ibu mempertanyakan biaya yang memang tidak sedikit itu padanya, Tasya merasa galau apakah ia harus mengatakan dengan jujur, atau ia menunggu sampai ibunya sembuh baru menceritakan semuanya. Lama Tasya termenung, hingga membuat bu Nirma semakin penasaran, pikirannya semakin kotor saja karena mengira Tasya melakukan perbuatan kotor karena nekad ingin membiayai operasi yang dilakukan oleh dokter. "Sya, kamu nggak lagi mikir mau bohongi Ibu, kan?!" bu Nirma terlihat menatap serius kala itu. "E-eggak kok Bu, aku sama sekali nggak ada niat mau bohong," ucap Tasya. "Terus kenapa kamu nggak jawab-jawab pertanya
Seorang gadis menghampiri mama Riri dan papa Arkana yang mematung di ambang pintu, tatapan matanya membulat lantaran wanita paruh baya yang tergeletak di sana bukan lah bu Nirma. "Maaf, Ibu mencari siapa, ya?" tanyanya penasaran. "Ee... Maaf, sepertinya kami salah kamar, maaf sekali lagi ya." mama Riri tersenyum getir ketika mengetahui bahwa kamar itu bukan lagi ditempati oleh bu Nirma dan Tasya. Mama Riri dan papa Arkana pergi menjauhi ruangan tersebut, mama Riri terlihat sangat sedih dan kecewa, sampai akhirnya papa Arkana mengajak mama Riri untuk mencari tahu keberadaan Tasya dan ibunya. Saat itu papa Arkana dan mama Riri terkejut setelah mendengar penjelasan dari suster yang biasa menjaga bu Nirma, menginformasikan bahwa bu Nirma sudah pulang bersama putrinya. "Jadi, pasien bernomor 201 itu sudah pulang, Sus?" tanya mama Riri memastikan. "Iya Bu, sudah dibawa pulang oleh mbak Tasya kemarin siang, mungkin sekarang meraka sudah tinggal bahagia bersama." jawabnya mengulas senyu
"Oh ya ampun, kenapa badan Mama panas sekali!"Papa Arkana terkejut di tengah malam, ketika menyadari bahwa suhu tubuh istrinya terasa begitu panas, papa Arkana menghidupkan lampu dan melihat wajah dan bibir istrinya begitu pucat. Tanpa menunggu waktu lama, papa Arkana meminta bantuan pada asisten rumah tangga untuk memberikan nya air dingin, ia mencari handuk kecil di lemari lalu memasukannya ke dalam mangkuk yang sudah tersedia, papa Arkana pun mengompres mama Riri dengan telaten. Berharap jika suhu tubuh istrinya akan segera menurun. "Ma, Mama bangun Ma," panggil papa Arkana mengguncang ringan tubuh mama Riri. Mama Riri membuka kedua matanya, menyadari bahwa ada sesuatu yang terasa dingin di keningnya, "Apa ini, Pa?" tanya mama Riri."Badan Mama panas banget, makanya Papa kompres pakai air dingin," lirih papa Arkana. "Mama nggak papa kok, Pa. Nggak perlu di kompres, Mama mau tidur saja." tolak mama Riri, ia memberikan handuk kecil tersebut pada suaminya. Papa Arkana tidak mema
Langkah kaki Tasya kembali ia ayunkan keluar rumah, sudah beberapa hari setelah memutuskan pergi dari Dika dan keluarga barunya, sebagai seorang istri dan juga menantu, Tasya kini harus tetap bertahan menghidupi dirinya sendiri dan juga sang ibu yang baru saja sembuh. Dengan membawa ijazah SMA, Tasya menghampiri toko, restoran, bahkan beberapa perusahaan, berharap jika ia akan mendapatkan pekerjaan yang setara dengan syarat yang ia miliki. Beberapa hari ini, Tasya memang menuai kecewa, karena dari beberapa tempat yang ia singgahi sama sekali tidak ada yang mau menerima dirinya, cuaca cukup terik pagi ini, dan Tasya melakukan pencaharian lowongan itu dengan berjalan kaki, ada keringat yang terus menetes di kening Tasya akibat sengatan matahari. "Ya Allah, aku harus pergi ke mana lagi, kota ini padahal sangat luas sekali, tapi kenapa sangat sulit mencari pekerjaan, aku sangat membutuhkan pekerjaan Ya Allah, berikan aku petunjuk-Mu." Tasya terus melangkah pelan di pinggiran jalan, mem
Ceklek! Tasya tiba di rumah dengan membawakan buah tangan untuk ia berikan pada sang ibu, bu Nirma sudah sangat cemas karena Tasya tidak kunjung pulang padahal waktu sudah hampir senja, matahari sudah pulang ke tempat peristirahatannya. Kedatangan Tasya yang membuka pintu, membuat kecemasan bu Nirma menghilang seketika. "Assalamu'alaikum, Bu, aku pulang," Tasya melempar senyum menyapa ibunya yang duduk seorang diri di kursi kayu mereka. "Waalaikumsalam Tasya, ya ampun, kamu pulang sore sekali, Ibu jadi khawatir sama kamu, Nak," bu Nirma menyambut dengan kecemasan. "Alhamdulillah Bu, perjuangan ku dari pergi pagi sampai sore seperti ini membuahkan hasil, mulai besok aku sudah bisa bekerja di sebuah perusahaan," ucap Tasya dengan gembira. "Oh ya? Alhamdulillah, Ibu seneng banget dengernya, akhirnya kamu mendapatkan pekerjaan sayang, kalau boleh tahu di bidang apa kamu bekerja?" tanya ibu Nirma antusias. "Sebagai office girl Bu, tapi tidak masalah, itu sudah sangat baik dan layak,
Di sebuah rumah yang tidak asing bagi Tasya, ia akhirnya membenarkan dugaannya. Ya, rumah itu adalah rumah tuan Arkana Mahendra jaya, saat dua pria itu membawa nya keluar, ia langsung dihadapkan dengan pria berhidung mancung dan bermata elang, yaitu suaminya, Dika Mahendra Jaya. Kedua tangan Tasya dilepaskan oleh kedua pria itu, ketika Dika memberikan sebuah isyarat pada bodyguardnya. Langkah kaki Dika semakin mendekati Tasya, hingga tidak ada jarak lagi di antara mereka, Tasya berdiri dengan kaki gemetar, entah apa yang Dika inginkan saat itu, tetapi ia sepertinya menyimpan kebencian dan kemarahan yang tidak bisa disembunyikan dari tatapan matanya. "Apa maksud kamu membawaku ke sini Mas, bukannya kamu yang senang jika aku tidak ada di rumah ini atau kehidupan kamu?" Tasya membuka suara, meskipun sebenarnya ia sangat takut dengan tatapan mata suaminya. "Jangan berpikir kalau aku menginginkan kamu, papa sudah mengerahkan semua bodyguard untuk mencari kamu, tetapi mereka tidak ada sa
"Kamu itu sedang sakit, Riri! Jadi tidak perlu ke kontrakan wanita ini segala," celetuk oma Lusi mendorong kursi rodanya mendekati ranjang Riri. "Aku mau melihat kondisi ibunya Tasya Ma, aku sudah baik-baik saja kok, karena yang aku butuhkan sebenarnya bukan obat dan istirahat, tapi kehadiran Tasya di samping ku," ucap mama Riri menggenggam erat pergelangan tangan Tasya. Oma Lusi hanya melirik sinis ke arahnya, saat mama Riri dan Tasya saling melempar senyum satu sama lain, "Ya tetap saja, kamu itu sakit dan butuh istirahat, lagian biarin aja mereka tinggal di sana, lagian cocok kok buat mereka daripada tinggal di rumah Dika," sambung oma Lusi menimpali. "Ma, please, jangan menyakiti hati Tasya lagi dengan kalimat Mama itu, bagaimana pun Tasya berhak tinggal di rumah Dika atau di rumah ini, karena Tasya sudah sah menjadi istri Dika. Pokoknya aku akan tetep akan menemui ibunya Tasya, karena aku ingin tahu keadaan nya pasca operasi." jelas mama Riri memaksa. ***Keesokan paginya, Tas
"Udah, nggak usah malu-malu, ayo cepat di makan, kita udah lama kan nggak makan bareng seperti ini?""Iya, ayo makan, jangan dilihatin aja, kasihan yang sudah capek menyiapkan, kalau nggak di makan."Mama Riri dan papa Arkana sepemikiran saat meminta Dika dan Oma Lusi menikmati masakan Tasya, karena perut yang semakin tersiksa akhirnya mereka pun setuju untuk makan, setelah mereka saling pandang satu sama lain sebelumnya. "Baik lah, karena kalian memaksa, Mama akan makan," ucap Oma Lusi, masih terlihat gengsi. "Dika, ayo kita makan." sambung Oma Lusi menatap ke Dika. Pria di sebelah Tasya itu akhirnya ikut menyantap makanan yang ada di meja, Tasya tersenyum senang karena semua keluarga menikmati makanannya meskipun ada sedikit drama. Oma Lusi membuka mulut dan merasakan nikmat sup iga buatan Tasya, entah mengapa itu mengingatkan dirinya akan sesuatu yang telah lama berusaha ia kubur dalam-dalam, matanya menganak sungai hingga akhirnya merembas, mengalir begitu saja. "Oma, Oma ken