"Kamu itu sedang sakit, Riri! Jadi tidak perlu ke kontrakan wanita ini segala," celetuk oma Lusi mendorong kursi rodanya mendekati ranjang Riri. "Aku mau melihat kondisi ibunya Tasya Ma, aku sudah baik-baik saja kok, karena yang aku butuhkan sebenarnya bukan obat dan istirahat, tapi kehadiran Tasya di samping ku," ucap mama Riri menggenggam erat pergelangan tangan Tasya. Oma Lusi hanya melirik sinis ke arahnya, saat mama Riri dan Tasya saling melempar senyum satu sama lain, "Ya tetap saja, kamu itu sakit dan butuh istirahat, lagian biarin aja mereka tinggal di sana, lagian cocok kok buat mereka daripada tinggal di rumah Dika," sambung oma Lusi menimpali. "Ma, please, jangan menyakiti hati Tasya lagi dengan kalimat Mama itu, bagaimana pun Tasya berhak tinggal di rumah Dika atau di rumah ini, karena Tasya sudah sah menjadi istri Dika. Pokoknya aku akan tetep akan menemui ibunya Tasya, karena aku ingin tahu keadaan nya pasca operasi." jelas mama Riri memaksa. ***Keesokan paginya, Tas
"Udah, nggak usah malu-malu, ayo cepat di makan, kita udah lama kan nggak makan bareng seperti ini?""Iya, ayo makan, jangan dilihatin aja, kasihan yang sudah capek menyiapkan, kalau nggak di makan."Mama Riri dan papa Arkana sepemikiran saat meminta Dika dan Oma Lusi menikmati masakan Tasya, karena perut yang semakin tersiksa akhirnya mereka pun setuju untuk makan, setelah mereka saling pandang satu sama lain sebelumnya. "Baik lah, karena kalian memaksa, Mama akan makan," ucap Oma Lusi, masih terlihat gengsi. "Dika, ayo kita makan." sambung Oma Lusi menatap ke Dika. Pria di sebelah Tasya itu akhirnya ikut menyantap makanan yang ada di meja, Tasya tersenyum senang karena semua keluarga menikmati makanannya meskipun ada sedikit drama. Oma Lusi membuka mulut dan merasakan nikmat sup iga buatan Tasya, entah mengapa itu mengingatkan dirinya akan sesuatu yang telah lama berusaha ia kubur dalam-dalam, matanya menganak sungai hingga akhirnya merembas, mengalir begitu saja. "Oma, Oma ken
Tabrakan itu tak terhindarkan, seorang pria gagah nan tampan berada tepat di hadapannya, barang-barang yang ada di tangan Tasya pun terjatuh ke lantai. "Aduh ya ampun, maaf Pak, maafkan saya, saya benar-benar tidak sengaja menabrak Bapak," ucap Tasya, ia belum sempat menatap pria yang baru saja ia tabrak. Pria itu tidak bersuara, lalu saat Tasya mendongakkan kepalanya ia terkejut bukan main, "M-mas Dika, kok ada di sini?" tanya Tasya seketika. Tak hanya Tasya yang terkejut, tetapi juga Dika yang diutus oleh papa Arkana untuk meeting hari ini ke kantor, tetapi ia justru melihat istri penggantinya itu sedang melakukan pekerjaan yang benar-benar membuatnya emosi, dengan kasar Dika menarik pergelangan tangan Tasya ke ruangan pribadinya, tanpa membereskan terlebih dahulu pekerjaan yang berserakan tepat di depan ruangan Amelia. Beruntung tidak ada satu orang pun yang melihat kejadian itu. Brak! Dika menutup pintu ruangannya dengan kasar, lalu menatap nanar mimik wajah Tasya yang ketaku
"Mama, Papa,"Tasya tersenyum menyambut mama Riri dan papa Arkana yang sudah datang ke kontrakan kecil tempat di mana Tasya dan bu Nirma tinggal, sementara bu Nirma juga ikut menyambut di belakang Tasya dengan perasaan lega, karena tamu yang datang bukan lah dua pria sangar yang ia lihat semalam. Saat sedang mengamati wajah seorang wanita yang dipanggil mama oleh Tasya, bu Nirma seakan merasa tidak asing dengannya, tetapi karena penampilannya yang sangat berbeda dengan dirinya membuat bu Nirma seolah tidak berani mengungkapkan rasa penasarannya. "Ma, Pa, silahkan masuk, di sini kami tinggal," ucap Tasya mempersilahkan kedua mertuanya masuk. "Oh ya... Bu, kenalin, ini Mama Riri dan Papa Arkana, mereka adalah orang tua mas Dika," sambung Tasya menatap ibunya. "Halo Nirma, apa kamu masih ingat dengan ku?" mama Riri menyapa bu Nirma dengan ramah. "Emmm, aku sebenarnya tidak asing, tetapi aku ragu untuk menanyakan, apa kamu Riri? Tetangga ku dulu waktu tinggal di desa," bu Nirma akhir
"Mas, kamu datang," sapa Tasya melempar senyum. "Jangan senang dulu, aku datang ke sini karena menuruti permintaan mama, itu saja," sungut Dika memalingkan wajah. "Baik Mas, terlepas kedatangan kamu buat siapa, aku tidak mempermasalahkan semua itu, sekarang silahkan masuk, di dalam sudah ada keluarga yang menunggu." ajak Tasya mempersilahkan suaminya itu masuk. Dika tak menggubris, dengan bahu yang terangkat tegap ia membuang muka dan berlalu begitu saja, sementara Tasya sendiri memilih tidak mau mengambil hati atas sikap suaminya, ia justru lebih memilih menutup pintu kembali lalu bergabung dengan keluarga. Pandangan bu Nirma teralihkan pada Dika ketika ia datang dan disusul oleh Tasya yang berdiri di sampingnya, mama Riri seolah memberikan isyarat agar Dika menyalami bu Nirma dengan hormat, Dika pun melakukan apa yang diperintah kan oleh ibunya. Melihat Dika dari sekilas saja, ia sudah dapat merasakan betapa dinginnya pria itu, bahkan sangat pelit sekali untuk tersenyum di hada
"Tapi Bu, aku tidak mau meninggal Ibu sendiri," Tasya menghampiri ibunya sedih. "Aku sudah bilang padamu, kalau ibumu akan ada yang merawat dan menjaganya, jadi tidak perlu berlebihan," sergah Dika. "Sudah Nak, pergilah bersama suami kamu, kamu sudah menjadi hak nak Dika, sebagai istri, kamu harus patuh padanya, jangan pikirkan Ibu." jelas bu Nirma berlapang dada. Dengan perasaan kecewa dan juga sedih, akhirnya Tasya masuk ke kamar untuk mengemasi barang-barang, ia tidak punya pilihan lain selain mengikuti permintaan ibunya untuk ikut bersama suami. Beberapa saat kemudian Tasya keluar dengan membawa koper miliknya, lalu ia berpamitan pada sang ibu yang mengantar kepergiannya dengan senyuman, Tasya masuk ke dalam mobil dengan tatapan masih tertuju pada ibunya yang berdiri di ambang pintu, ia tidak melihat raut wajah sedih ibunya, tetapi ia yakin bahwa saat itu ibunya hanya sedang berpura-pura saja. Bu Nirma melambaikan tangan hingga akhirnya mobil berwana hitam milik Dika itu meng
"Mas, kenapa kamu muntahin makanannya?" "Aku nggak selera makan gara-gara kamu merhatiin aku terus!" "Ya ampun Mas, apa seburuk itu aku di mata kamu, aku hanya sedang memperhatikan suamiku sendiri dan dari jarak yang cukup jauh, apa itu cukup menggangu kamu,""Ya, tentu saja Tasya, pandangan kamu itu sangat menganggu ku."Dika bangkit lalu meninggalkan makanan yang ada di meja, spageti yang ia bayangkan akan habis masuk semua ke perutnya kini hanya setengah nya saja, karena rasa kesal lantaran Tasya sejak tadi memperhatikan dirinya. Tasya sendiri merasa sangat sakit ketika mendapatkan perlakuan seperti itu dari Dika, ia mengelus dadanya dan berusaha untuk tetap baik-baik saja, Tasya mengambil kain lalu membersihkan makanan yang sengaja Dika jatuhkan ke lantai. Setelah lantai itu bersih, Tasya kembali ke kamar dengan hati yang hancur. Ia tidak dapat tidur kembali hingga memutuskan untuk berdoa, meminta agar Tuhan tetap memberikannya kesabaran dan ketabahan menghadapi sikap suaminya
"Iya, oke, ya udah sana masuk lagi!"Dika meminta Tasya masuk kembali ke kamar ketika menyadari pandangan para teman-temannya itu tertuju padanya, ia merasa sangat risih dan tidak suka meskipun dirinya sendiri tidak pernah menatap Tasya sampai setajam itu. Tasya menganggukkan kepala dengan patuh, ia berbalik arah dan pergi. Namun tatapan mereka masih mengarah pada punggung Tasya yang menjauhi mereka, Dika dengan cepat mengarahkan pandangan mereka pada meja makan dan membawanya ke sana. "Ya ampun, kayak nggak pernah liat cewek cantik aja si kalian, sampai segitunya, ayo makan, nanti keburu dingin loh," Dika menggiring teman-temannya ke meja makan. "Ya ampun bray, lo kok nggak cerita si kalau chef di rumah lo ini wanita yang sangat cantik," puji salah satu dari mereka. "Ya Bray, pantes aja masakan dia nomor satu di mata lo, mungkin lo nggak cuma naksir sama masakannya, tapi orangnya juga," ledek mereka lagi. "Ya elah, kalian ini berlebihan banget si, cantik dari mananya? Udah lah ma