"Mama, Papa,"Tasya tersenyum menyambut mama Riri dan papa Arkana yang sudah datang ke kontrakan kecil tempat di mana Tasya dan bu Nirma tinggal, sementara bu Nirma juga ikut menyambut di belakang Tasya dengan perasaan lega, karena tamu yang datang bukan lah dua pria sangar yang ia lihat semalam. Saat sedang mengamati wajah seorang wanita yang dipanggil mama oleh Tasya, bu Nirma seakan merasa tidak asing dengannya, tetapi karena penampilannya yang sangat berbeda dengan dirinya membuat bu Nirma seolah tidak berani mengungkapkan rasa penasarannya. "Ma, Pa, silahkan masuk, di sini kami tinggal," ucap Tasya mempersilahkan kedua mertuanya masuk. "Oh ya... Bu, kenalin, ini Mama Riri dan Papa Arkana, mereka adalah orang tua mas Dika," sambung Tasya menatap ibunya. "Halo Nirma, apa kamu masih ingat dengan ku?" mama Riri menyapa bu Nirma dengan ramah. "Emmm, aku sebenarnya tidak asing, tetapi aku ragu untuk menanyakan, apa kamu Riri? Tetangga ku dulu waktu tinggal di desa," bu Nirma akhir
"Mas, kamu datang," sapa Tasya melempar senyum. "Jangan senang dulu, aku datang ke sini karena menuruti permintaan mama, itu saja," sungut Dika memalingkan wajah. "Baik Mas, terlepas kedatangan kamu buat siapa, aku tidak mempermasalahkan semua itu, sekarang silahkan masuk, di dalam sudah ada keluarga yang menunggu." ajak Tasya mempersilahkan suaminya itu masuk. Dika tak menggubris, dengan bahu yang terangkat tegap ia membuang muka dan berlalu begitu saja, sementara Tasya sendiri memilih tidak mau mengambil hati atas sikap suaminya, ia justru lebih memilih menutup pintu kembali lalu bergabung dengan keluarga. Pandangan bu Nirma teralihkan pada Dika ketika ia datang dan disusul oleh Tasya yang berdiri di sampingnya, mama Riri seolah memberikan isyarat agar Dika menyalami bu Nirma dengan hormat, Dika pun melakukan apa yang diperintah kan oleh ibunya. Melihat Dika dari sekilas saja, ia sudah dapat merasakan betapa dinginnya pria itu, bahkan sangat pelit sekali untuk tersenyum di hada
"Tapi Bu, aku tidak mau meninggal Ibu sendiri," Tasya menghampiri ibunya sedih. "Aku sudah bilang padamu, kalau ibumu akan ada yang merawat dan menjaganya, jadi tidak perlu berlebihan," sergah Dika. "Sudah Nak, pergilah bersama suami kamu, kamu sudah menjadi hak nak Dika, sebagai istri, kamu harus patuh padanya, jangan pikirkan Ibu." jelas bu Nirma berlapang dada. Dengan perasaan kecewa dan juga sedih, akhirnya Tasya masuk ke kamar untuk mengemasi barang-barang, ia tidak punya pilihan lain selain mengikuti permintaan ibunya untuk ikut bersama suami. Beberapa saat kemudian Tasya keluar dengan membawa koper miliknya, lalu ia berpamitan pada sang ibu yang mengantar kepergiannya dengan senyuman, Tasya masuk ke dalam mobil dengan tatapan masih tertuju pada ibunya yang berdiri di ambang pintu, ia tidak melihat raut wajah sedih ibunya, tetapi ia yakin bahwa saat itu ibunya hanya sedang berpura-pura saja. Bu Nirma melambaikan tangan hingga akhirnya mobil berwana hitam milik Dika itu meng
"Mas, kenapa kamu muntahin makanannya?" "Aku nggak selera makan gara-gara kamu merhatiin aku terus!" "Ya ampun Mas, apa seburuk itu aku di mata kamu, aku hanya sedang memperhatikan suamiku sendiri dan dari jarak yang cukup jauh, apa itu cukup menggangu kamu,""Ya, tentu saja Tasya, pandangan kamu itu sangat menganggu ku."Dika bangkit lalu meninggalkan makanan yang ada di meja, spageti yang ia bayangkan akan habis masuk semua ke perutnya kini hanya setengah nya saja, karena rasa kesal lantaran Tasya sejak tadi memperhatikan dirinya. Tasya sendiri merasa sangat sakit ketika mendapatkan perlakuan seperti itu dari Dika, ia mengelus dadanya dan berusaha untuk tetap baik-baik saja, Tasya mengambil kain lalu membersihkan makanan yang sengaja Dika jatuhkan ke lantai. Setelah lantai itu bersih, Tasya kembali ke kamar dengan hati yang hancur. Ia tidak dapat tidur kembali hingga memutuskan untuk berdoa, meminta agar Tuhan tetap memberikannya kesabaran dan ketabahan menghadapi sikap suaminya
"Iya, oke, ya udah sana masuk lagi!"Dika meminta Tasya masuk kembali ke kamar ketika menyadari pandangan para teman-temannya itu tertuju padanya, ia merasa sangat risih dan tidak suka meskipun dirinya sendiri tidak pernah menatap Tasya sampai setajam itu. Tasya menganggukkan kepala dengan patuh, ia berbalik arah dan pergi. Namun tatapan mereka masih mengarah pada punggung Tasya yang menjauhi mereka, Dika dengan cepat mengarahkan pandangan mereka pada meja makan dan membawanya ke sana. "Ya ampun, kayak nggak pernah liat cewek cantik aja si kalian, sampai segitunya, ayo makan, nanti keburu dingin loh," Dika menggiring teman-temannya ke meja makan. "Ya ampun bray, lo kok nggak cerita si kalau chef di rumah lo ini wanita yang sangat cantik," puji salah satu dari mereka. "Ya Bray, pantes aja masakan dia nomor satu di mata lo, mungkin lo nggak cuma naksir sama masakannya, tapi orangnya juga," ledek mereka lagi. "Ya elah, kalian ini berlebihan banget si, cantik dari mananya? Udah lah ma
Dika menautkan kening, benar-benar Tasya sepertinya akan bicara tentang permintaannya padanya di rumah tadi. Sementara mama Riri dan juga papa Arkana yang merasa penasaran tidak bisa menunggu lebih lama lagi. "Bicara saja Tasya, sebenarnya apa yang ingin kamu sampaikan?" mama Riri menatap wajah Tasya dengan serius. "Ma, Pa, aku mau pisah dari mas Dika." tegas Tasya mengutarakan keinginannya. DegMama Riri terbelalak mendengar permintaan Tasya, ia sangat syok hingga memegangi dadanya yang tiba-tiba terasa sangat sesak. "B-berpisah? T-tapi kenapa Tasya?" mama Riri bersuara dengan terbata-bata. "Ada apa ini, apa kalian bertengkar Dika, Tasya? Sampai kalimat itu yang keluar dari mulut Tasya?" papa Arkana menatap wajah Dika dengan serius. "Tidak Pa, kami tidak bertengkar, hanya saja kami sudah sepakat kalau kami tidak bisa bersama, untuk itulah Tasya ke sini dan mengutarakan kesepakatan kami." jawab Tasya berbohong. Ia tidak mau jika niatnya berpisah dengan cara memburukkan sifat dan
Beberapa hari setelah di rawat secara intensif, hari ini mama Riri sudah dibolehkan pulang. Papa Arkana dan juga Dika datang untuk menjemput, dan saat mereka masuk ke ruangan tersebut, mereka terkejut lantaran Tasya sudah ada di sana dan sedang tertidur dengan posisi duduk di sebuah kursi berhadapan dengan tempat tidur mama Riri. Sementara mama Riri yang menyadari pintu ruangan terbuka dan tersadar jika Tasya sedang tidur di dekatnya, mengangkat jari telunjuk yang ia letakkan di tengah bibir, memberikan isyarat agar papa Arkana dan Dika jangan berisik, hal itu mencuri perhatian papa Arkana yang menatap Dika dengan serius. "Dika, apa semalam Tasya tidak pulang sama kamu?" spontan pertanyaan papa Arkana membuat Dika bingung harus menjawab apa. "Emmm, semalam Tasya tidak mau pulang bersamaku Pa, mungkin dia masih marah, aku nggak tahu kalau ternyata dia benar-benar nggak mau pulang, dan menginap di sini," ucap Dika, lirih. "Ya ampun, kamu itu gimana si Dika!" Papa Arkana menghampiri
"Ya Pa, udah. Ya udah ya Pa, aku mau istirahat juga." pamit Dika yang hendak berjalan menuju kamar tamu. Saat itu papa Arkana segera mencekal pergelangan tangan Dika, tatapan mereka pun saling bertemu. "Papa mau ngomong sama kamu." Setelah mengatakan hal itu papa Arkana melepaskan tangan Dika, ia berjalan lebih dulu meninggalkan Dika, dan Dika pun mengikuti langkah papa Arkana yang berhenti di taman belakang, papa Arkana membalikkan badan, berhadapan langsung dengan putra kesayangannya itu. "Ada apa Pa, apa yang ingin Papa bicarakan, kenapa Papa membawaku ke sini?" sebuah pertanyaan meluncur dari mulut Dika. "Sesuatu yang sangat penting Dika. Apa yang kamu lakukan terhadap Tasya, hingga dia meminta perpisahan darimu? Apa kamu melakukan tindak kekerasan? Memaksa dia untuk melakukan hubungan sementara Tasya belum siap? Atau__" papa Akrana menebak-nebak hendak mencari tahu, tetapi tiba-tiba Dika mengangkat tangan dan menggelengkan kepala. "Pa, aku tidak seburuk itu, bahkan aku belum