"Ma, Pa, kami pulang dulu ya,” pamit Dika yang sudah memenuhi undangan kedua orang tuanya.
“Ya sayang, kalian hati-hati ya, sebentar lagi rumah kalian berdua selesai di renovasi, dan kalian akan tinggal satu atap di sana,” ucap Riri melempar senyum, merasa yakin bahwa anaknya itu akan cocok dengan Tasya.“Iya.” Singkat Dika menjawab, lalu pergi.Tibanya di hotel, Dika berhenti di parkiran, lalu meminta Tasya untuk keluar dari mobilnya.“Turun lah, aku akan pergi.” titah Dika masih menatap lurus ke arah depan.“Mas mau ke mana malam-malam begini?” tanya Tasya penasaran.“Bukan urusan mu, sekarang turun lah dan istirahat.” Jawab Dika singkat.Mau tidak mau Tasya harus melakukan apa yang diminta oleh Dika. Saat itu ia melihat mobil mewah berwarna hitam milik suaminya pergi lagi meninggalkannya, Tasya pun kembali masuk ke kamar hotel dengan perasaan yang semakin hampa.Beberapa hari menjadi istri dari pria kaya tak membuat hidup Tasya berubah, mungkin lantaran memang tidak saling mencintai, dan komunikasi yang sangat kurang, hingga membuat Dika memutuskan untuk selalu pergi ketika malam hari.Saat tiba di suatu bar, Dika terduduk seorang diri dengan minuman yang sudah ia pesan sebelumnya. Malam itu Dika minum sepuasnya, berharap bahwa apa yang ia lakukan itu dapat menghilangkan stres di kepalanya.“Kau sangat jahat sekali Zahra, kau pergi dan menikah dengan Cahyo, pria yang selama ini menjadi musuhku, aku seharusnya tidak mempercayai mu yang berjanji akan setia padaku, agar hatiku tidak terluka seperti ini, kau membiarkan aku terjebak dengan pernikahan yang sama sekali tidak aku kehendaki, benar-benar sialan!” rancau Dika sambil terus meneguk minuman di tangannya.Hingga larut malam, Dika tertidur di sofa itu seorang diri. Tempat itu sudah sepi dari pengunjung dan hendak tutup, namun Dika masih tak kunjung beranjak hingga mengundang salah satu pekerja untuk menegurnya.“Maaf Tuan, bar kami akan segera tutup, kami harap Tuan bisa meninggalkan tempat ini,” ucap seorang wanita itu.“Aa.. Baik lah, aku akan pergi dari sini, tapi berikan aku satu botol Wine lagi,” pinta Dika yang sudah sempoyongan kala itu.“Maaf Tuan, kau sudah banyak sekali minum, kau tidak bersama siapa pun di sini, kami tidak bertanggung jawab atas keselamatan Anda,” tolak wanita itu.“Ayolah, aku memiliki banyak uang, aku bisa membeli waktu agar kau tetap membuka bar ini untukku, aku hanya membutuhkan Wine saat ini.” Seru Dika yang terus meminta.Wanita itu menggelengkan kepala, lalu memutuskan untuk memberikan apa yang diinginkan oleh Dika, lalu beberapa menit kemudian wanita tersebut kembali lagi untuk memberikan peringatan bahwa ia akan benar-benar menutup barnya.Namun saat ia kembali Dika sudah tidak sadarkan diri, wanita itu terlihat bingung, hingga akhirnya ia memutuskan untuk mencari sesuatu di saku Dika, ia pun meraih ponsel milik Dika yang kebetulan sedang berdering.“Halo,” wanita itu bersuara.“H-halo, ini siapa? Mas Dika di mana?” Tasya bertanya bingung.“Kau kekasihnya? Tolong Nona, kekasihmu sedang berada di bar kami, dia tidak sadarkan diri lantaran terlalu banyak minum,” ucapnya memberitahu.“Apa, baik lah, aku akan segera ke sana, tolong berikan aku alamat tempatnya.” Tasya segera bergegas keluar dari kamar hotel.Setelah setengah jam ia mencemaskan Dika, akhirnya ia menemukan di mana pria dingin itu berada, lima belas menit kemudian, Tasya tiba di tempat itu dan membawa Dika ke mobil taksi yang ia minta menunggu di luar.Setelah itu ia membawa Dika ke kamar hotel dengan sedikit kesulitan, karena saat ini Dika masih dalam keadaan mabuk.Bruk!Tasya menghempaskan tubuh kekar suaminya itu ke atas ranjang, dengan nafas yang tersengal ia pun duduk istirahat sejenak.“Dasar laki-laki kaya, apa kalau sedang banyak masalah harus menyelesaikannya dengan cara seperti ini!” gerutu Tasya menatap kesal pada Dika.Setelah beberapa saat ia menetralisir nafas yang tersengal, Tasya pun kembali mengurus Dika. Membuka sepatu dan melepaskan kaus kakinya, lalu melonggarkan kancing kemeja agar ia dapat istirahat dengan nyaman.“Zahra.... Kenapa kau meninggalkan aku, dan menikah dengan pria lain.”Dika mengigau, memanggil nama wanita yang pernah Tasya dengar sehari setelah ia menikah dengan Dika, Tasya terdiam, dan ia pun mulai memahami perbuatan Dika malam ini.‘Mungkin sedalam itu mas Dika mencintai wanita yang bernama Zahra, dan kini hatinya sangat hancur karena ternyata ia ditinggal kan olehnya, bahkan saat dia tidur pun, mas Dika masih teringat dengan perbuatannya.’Batin Tasya memperhatikan pria di sampingnya. Saat sedang hanyut dalam ketidaksadaran, tiba-tiba tangan Dika menyergap pundak Tasya dan membuat Tasya terjatuh di sampingnya.“Mas, ini aku Tasya,” ucapnya yang berusaha menyadarkan Dika.“Tolong temani aku,” pinta Dika yang langsung mendekap Tasya.“T-tapi Mas, aku belum siap.” Tolak Tasya.Dika tak bersuara, ia telah tertidur setelah tangan kanannya melingkari pinggang Tasya, Tasya pun membuka mata dan melihat pria di sampingnya itu sudah tidak bergerak lagi.‘Duh, kenapa jadi kayak gini si, aku nggak siap kalau harus tidur satu ranjang seperti ini dengan pria ini, aku belum menerima pria ini sepenuhnya.’ Batin Tasya risau.***“Astaga! Apa yang terjadi?!”Dika terkesiap ketika ia merasa berat di salah satu tangannya yang menjadi bantal Tasya sejak semalam, Tasya terpaksa harus tidur bersama Dika karena keinginannya. Dan pagi ini Dika terbangun dengan perasaan bingung.Dika menyenggol pundak Tasya yang saat itu sedang menghadapnya, berharap bahwa ia akan segera bangun. Dan saat Tasya menyadari sentuhan tersebut, Tasya pun membuka kedua matanya.Aaaaaa!!Tasya berteriak ketika menatap wajah Dika yang kala itu membangunkannya, dengan cepat Tasya bangkit dan merapikan rambutnya. Begitu juga dengan Dika yang ikut duduk sedikit berjarak dengan Tasya.“Kenapa tiba-tiba aku ada di sini, dan kau, tidur di ranjang ini?” tanya Dika.“Kau mabuk semalam, aku menjemputmu di bar dan membawamu pulang,” ucap Tasya memberitahu.“Lalu, kenapa kau tidur di ranjang ku?” Dika tak menatap Tasya kala ia bertanya hal itu.“Kau yang memintanya, bukan aku sengaja memanfaatkan mu ketika kau sedang mabuk.” Cetus Tasya menjawab, lalu ia beranjak pergi.Dika memperhatikan Tasya yang masuk ke kamar mandi, ia merebahkan kembali tubuhnya. Ia percaya dengan yang dijelaskan oleh Tasya, karena ia ingat bahwa semalam ia minum terlalu banyak, setelah Tasya keluar Dika pun bergegas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.Tring.. Tring...Ponsel Tasya berdering dengan cepat Tasya meraih dan mengangkat panggilan dari nomor yang tidak asing baginya.Sambungan telepon pun dimatikan oleh Tasya begitu saja, ia panik. Tasya terhenti di depan kamar mandi, namun karena mendengar suara shower masih menyala, akhirnya Tasya memutuskan untuk pergi tanpa pamit pada Dika.“Halo... Apa? Baik, saya akan segera ke sana!”Langkah kaki Tasya terhenti di ambang pintu UGD, dengan tetes air mata yang terus mengalir ketika ia mendapatkan kabar bahwa ibunya kritis. Sesekali Tasya berdiri dan berjalan seperti setrika yang sedang melicinkan pakaian, wajahnya sangat panik, ia seorang diri di sana, tanpa ada satu orang pun yang menemani. 'Ya Tuhan, aku mohon tolong selamatkan ibuku, di dunia ini, hanya dia lah salah satu alasanku bertahan hidup, ku mohon,' batin Tasya terus berdoa, berharap bahwa doanya akan terkabul. Setelah beberapa saat kemudian, dokter keluar. Erland, dokter muda yang menangani ibu Nirma selaku ibu kandung Tasya, Tasya berdiri di hadapan dokter Erland setelah menyeka air matanya asal-asalan. "Dok, bagaimana keadaan ibu saya?" tanya Tasya dengan nafas tertahan. "keadaan Ibu Nirma masih kritis, Tasya. Beliau harus segera di operasi, tapi tentu, biaya yang harus dikeluarkan tidak sedikit," ucap dokter Erland, dokter itu tahu bahwa sebenarnya pasien yang sedang ia rawat bukan lah kalangan or
Dika dan Tasya kini berada di ruang rawat setelah menunggu cukup lama di ruang tunggu, Tasya tertidur sembari memegang erat pergelangan tangan ibunya, operasi yang dilakukan terhadap ibu Nirma berjalan dengan lancar, sementara Dika sendiri duduk di sofa sambil memangku tangan menatap ke arah Tasya. 'Apa mungkin dia kelelahan sampai dalam keadaan duduk saja, dia bisa tidur nyenyak seperti itu?' batin Dika bergeming, sambil terus menatap wanita itu. Lama Dika memperhatikan Tasya, ada rasa kasihan yang akhirnya membuat Dika memutuskan untuk membangunkan Tasya, ia berniat untuk mengajak Tasya pulang ke hotel. "Tasya, bangun, ayo kita pulang ke hotel," Ajak Dika, ia berdiri di samping Tasya yang tertidur. Suara itu tidak membuat Tasya terbangun hingga akhirnya Dika memutuskan untuk menyentuh tangan Tasya, saat Dika dan Tasya sama-sama bersentuhan kulit, ia menyadari bahwa tubuh Tasya sangat panas. Dika sempat cemas lantaran menyadari hal itu, di saat yang sama Tasya pun terbangun dan m
"Silahkan duduk, Ma," ucap Tasya mempersilahkan duduk mama mertuanya. "Terima kasih Tasya. Oh ya, kamu ke sini sendirian?" tanya mama Riri. "I-iya Ma," lirih Tasya menjawab. "Kamu yang sabar ya sayang, mungkin Dika masih membutuhkan banyak waktu untuk menerima semua kenyataan ini." mama Riri menggenggam pergelangan tangan Tasya. Tasya melempar senyum, memperlihatkan bahwa ia baik-baik saja. Mendengar itu membuat mama Riri sedikit lega, Tasya pamit hendak pergi ke toilet dan menitipkan ibunya pada mama Riri yang masih ada di sana. Saat itu mama Riri mendekati ranjang tempat di mana bu Nirma istirahat, mama Riri menelaah wajah bu Nirma yang tidak lagi terpasang sebuah alat. "Ibu ini.... Seperti....?"Belum sempat menebak, pintu tersebut kembali di buka. Tasya sudah berdiri di samping kiri ibunya, bersebrangan dengan mama Riri yang masih mengamati bu Nirma. "Kenapa Ma, apa ibu sudah siuman?" tanya Tasya bingung dengan tatapannya pada sang ibu. "Belum Tasya. Oh ya, kalau boleh Mam
Pagi ini Tasya bangun lebih pagi, lantaran ia yakin bahwa suaminya itu akan berangkat ke kantor, karena kalau tidak salah ia sempat mendengar bahwa Dika semalam telponan dengan papa Arkana, ia diminta untuk datang pagi-pagi untuk menemaninya meeting. Benar saja, saat Tasya sedang menyiapkan piring di meja makan yang tidak terlalu besar itu, ia melihat Dika keluar dari kamar dalam keadaan yang sudah rapi, Tasya melempar senyum menatap Edo lalu menghampiri nya. "Mas, sarapan dulu yuk, aku udah siapin di meja makan," ajak Tasya dengan senyuman sempurna. "Aku tidak lapar," celetuk Dika menolak. "Tapi Mas, aku sudah masak banyak pagi ini," Tasya terus berjalan mengiringi Dika yang tidak memperdulikan nya. "Aku tidak memintamu untuk melakukannya, kan!" tegas Dika, ia sibuk memakai sepatu hitamnya. "Mas, tidak ada salahnya jika kamu mencicipi makanan yang sudah susah payah aku buatkan, kamu mungkin tidak memintaku untuk memasaknya, tapi aku memintamu untuk memakannya." lirih Tasya masi
"Dika, ayolah." mama Riri sedikit memaksa Dika untuk melakukan apa yang ia mau. Dika pun mengangkat kepala dengan berat, lalu ia mengarahkan pandangannya pada Tasya yang sejak tadi tidak enak hati, ia takut jika Dika saat ini berpikir macam-macam. "Cantik kan, Tasya?" ulang mama Riri. "Emmm," sungut Dika menjawab. "Jawabnya yang enak dong Dika!" mama Riri mencubit punggung Dika. "Iya Ma." jawabnya dengan terpaksa. Mama Riri tersenyum bahagia ketika mendengar jawaban dari Dika. Ia memberikan doa semoga pernikahan anaknya menjadi bahagia selamanya. Tak lama kemudian mama Riri meminta izin untuk pulang membawa barang belanjaannya, sengaja ia melakukan itu agar tumbuh perasaan antara mereka berdua yang sebenarnya masih canggung satu sama lain. "Apa kau sudah cukup puas telah memoroti uang mama, dengan berbelanja barang-barang tidak berfaedah seperti ini!" celetuk Dika menatap tajam Tasya. "Astaghfirullah Mas, aku sama sekali tidak bermaksud mau morotin mama, aku tadi juga nggak se
"Di mana Dika, tolong panggilkan ya," pinta oma Lusi, saat itu Tasya sedang menjamu tamunya dengan cemilan dan minuman. "Baik, Nek." jawab Tasya sopan. Oma Lusi mengerutkan kening ketika Tasya memanggilnya dengan sebutan Nenek, sepertinya ia sangat keberatan ketika Tasya menyebutnya dengan panggilan itu. "Jangan panggil saya Nenek, tapi panggil saya Oma, ya!" tegas oma Lusi meminta. "Oh, b-baik Oma, sebentar, saya akan panggil kan mas Dika dulu." jawab Tasya kikuk. Wanita itu langsung pergi menaiki anak tangga, rasanya ia sangat gugup ketika ditegur dengan panggilan yang ia sebutkan tadi, sementara mama Riri hanya membatin saja ketika oma Lusi terlihat fokus memperhatikan langkah kaki Tasya. "Itu pembantu nya Dika? Kok manggil nya Mas, si?" protes oma Lusi. "Emmm, anu Ma." mama Riri terlihat bingung. Belum sempat menjawab, Dika sudah terlihat menuruni anak tangga di susul dengan Tasya yang berada di belakangnya. Saat itu Dika menyambut oma Lusi dengan memeluk dan menciumnya, ta
Langkah kaki Tasya terhenti ketika mama Riri menahan nya, mama Riri menghampiri Tasya dan menatapnya dengan sedih. "Nak, Mama mohon tolong jangan pergi dari rumah ini, tetap lah di sini mempertahankan rumah tangga kamu bersama Dika," pinta mama Riri menahan kesedihannya. "Maaf Ma, aku tidak bisa memperjuangkan rumah tangga dengan pria yang sama sekali tidak ingin berjuang dengan ku, aku pamit." singkat Tasya menjawab. Langkah kaki Tasya pun ia ayunkan menjauhi ambang pintu, mama Riri hendak mengejar namun teriakan oma Lusi yang menggelegar membuat mama Riri terhenti, oma Lusi mengancam akan menyakiti dirinya sendiri jika sampai mama Riri dan papa Arkana mengejar Tasya. Kini senyum mengembang terlihat jelas di wajah Dika, ia merasa senang karena akhirnya ada yang lebih berkuasa daripada kedua orang tuanya, yang baginya hanya bisa mengatur hidupnya demi menyelamatkan rasa malu. Mama Riri menangis di pelukan papa Arkana, tidak ada yang berani menentang wanita yang dituakan di keluar
Plak! Sebuah tamparan mendarat bebas di pipi Dika hingga menimbulkan rasa panas, mama Riri sangat murka saat melihat sikap Dika yang justru setuju saat oma Lusi mengusir Tasya. "Kenapa Mama nampar aku?" protes Dika marah. "Itu pantas untuk mu Dika, di mana rasa tanggung jawab kamu sebagai seorang suami, hingga dengan tega kamu membiarkan istri kamu keluar dari rumah ini seorang diri, apalagi kamu tahu, kalau Tasya tidak punya siapa-siapa selain ibunya yang sedang dirawat di rumah sakit, di mana hati nurani kamu, ha!" bentak Mama Riri. "Tapi Ma, aku benar-benar tidak nyaman menjalani pernikahan ini, pernikahan ini membuat aku tersiksa, aku yakin wanita itu juga memiliki rasa yang sama denganku," sungut Dika kesal. "TASYA, namanya Tasya, Dika! kamu lupa, kalau kamu sudah menikahi Tasya secara agama dan negara, jika kamu membiarkan Tasya pergi begitu saja, lalu terjadi apa-apa di luar sana, maka tanggung jawab mu bukan hanya pada negara, tetapi di hadapan Tuhan. Mama nggak mau tahu,