"Ada apa?” tanya Dika singkat.
Tasya yang tengah melamun itu dikejutkan dengan kehadiran pria yang satu kamar dengannya itu sudah berada di hadapannya, Dika menatap Tasya yang juga sedang menatapnya dengan setengah terkejut.“Emmm... Mas, aku bawakan makanan untuk kamu, kamu belum makan, kan,” Tasya menyodorkan makanan yang ia bawa.“Tidak perlu, kau makan saja sendiri nanti.” Tolak Dika.Langkah kakinya meninggalkan kamar hotel, dan juga Tasya yang hanya bisa terdiam seorang diri. Perasaannya saat itu bercampur aduk, antara sedih dan kecewa, ketika mendapatkan reaksi sedingin itu dari pria yang menikahinya.Di sebuah jalan raya yang cukup lengang, Dika mengemudikan kendaraan nya dengan kecepatan tinggi, sesekali Dika memukul bagian setir sambil terus menatap lurus, sebuah pesan singkat yang dikirim kan Zahra terngiang di kepalanya lagi.Dika menghentikan mobilnya seketika, lalu ia berteriak sekencang mungkin tanpa ada satu orang pun yang mendengarnya. Ia juga memukul-mukul bagian setir beberapa kali untuk melampiaskan kemarahannya.Dika membuka ponsel lalu melihat kembali foto kebersamaan Zahra bersama dengan Cahyo, di hari pernikahan kemarin Zahra pamit akan pergi bersama Cahyo dan memilih pria itu daripada Dika Mahendra. Seorang putra tunggal pebisnis sukses di kotanya.“Kenapa Zahra, kenapa kau lakukan ini padaku, apa salahku!”Dika murka dan sangat marah, karena wanita yang ia pikir akan melengkapi hidupnya justru sama sekali tidak memilihnya, bahkan justru ingin membuat keluarganya malu dengan cara pergi di hari pernikahannya. Hingga akhirnya kini ia terjebak dengan pernikahan bersama wanita yang tidak ia kenali.Dering ponsel menyadarkan Dika, ia mengatur nafasnya kembali dan mengangkat telpon dari seseorang.“Halo Tuan, nona Zahra memang benar-benar sudah pergi ke luar negeri, dan dia akan menikah dengan pak Cahyo hari ini juga,”Sebuah kabar terdengar dari seseorang kepercayaan Dika, yang ia perintahkan untuk mencari tahu tentang kekasihnya itu sejak semalam.Tak menjawab apa pun, Dika langsung mematikan ponselnya lalu melemparkan ponsel itu ke bagian belakang, Dika mengemudikan kembali mobilnya lalu berhenti di sebuah tempat untuk menenangkan diri.Sore harinya, Tasya menanti kedatangan Dika dengan rasa cemas. Sejak pagi suaminya pergi tak kunjung kembali, Tasya meraih ponselnya, ia mencoba untuk menghubungi Dika melalui telepon, namun Dika sama sekali tak menjawab.“Mas, kamu di mana si, kenapa kamu belum pulang-pulang.”Tasya bergeming, menatap arah pintu kamar hotel berharap bahwa pintu itu akan segera di buka, tak lama kemudian pintu pun dibuka oleh Dika sesuai dengan harapan Tasya. Tasya tersenyum menyapa Dika.“Mas, kamu ke mana saja, kenapa pulang sangat sore sekali, kamu sudah makan?” tanya Tasya.“Jangan pedulikan aku, aku tahu kalau kau menikah denganku karena kau membutuhkan uang kan! Jadi fokus saja dengan uang yang akan kau dapatkan dari orang tuaku,” celetuk Dika menolak diberikan perhatian dari istrinya.“Mas, apa yang kau katakan itu mungkin memang benar. Tapi aku melakukan ini karena aku ingin menyelamatkan ibuku di rumah sakit, aku mohon, tolong jangan anggap aku matre atau wanita yang tergila-gila dengan harta orang tuamu,” seru Tasya mencoba untuk berinteraksi dengan pria dingin di hadapannya tersebut.Dika terduduk di ujung ranjang, memendam kemarahan dan kekecewaan yang ia rasakan, begitu juga dengan Tasya yang memutuskan untuk duduk di sofa, perasaan hancur antara mereka berdua pun terlihat sangat jelas. Mereka sama-sama tidak mengharapkan hal ini terjadi.Tasya menangis sesenggukan, ia juga kecewa dengan nasibnya kala itu, namun tidak ada yang dapat Tasya lakukan selain menerima permohonan orang tua Dika, karena di balik pengorbanannya itu ada seseorang yang dijamin oleh mereka atas biaya yang tidak dapat ia pikul seorang diri.“Aku hanya memiliki ibu Mas, dan ibuku sekarang ada di rumah sakit, jika memang ini takdirku, maka aku akan menerimanya, tapi jika memang kau tidak menginginkan aku sebagai istri penggantimu, silakan kau melakukan apa saja, aku pasrah.”Tasya bangkit dari tempat duduknya, lalu memilih keluar dari kamar hotel itu dengan perasaan hancur.Saat itu Tasya memilih pergi ke area bibir pantai, kebetulan hotel yang dipilih oleh Dika dekat dengan pantai, langkah kaki Tasya terus berjalan tanpa arah, mendekap hangat tubuh nya yang tersapu oleh sepoi angin yang cukup kencang.Ia terhenti dan berdiri mematung menatap gelapnya lautan, sama gelapnya dengan hati yang saat ini ia rasakan, tiba-tiba sebuah jas menyelimuti bagian pundaknya, Tasya pun terkejut dan ia tersadar bahwa di sampingnya sudah ada Dika, pria yang sempat marah padanya beberapa saat lalu.“Sedang apa?” tanya Dika tanpa menatap wajah wanita di sampingnya.“Memandangi laut.” jawab Tasya yang langsung menyeka air matanya.“Sekarang lebih baik kita kembali ke hotel, tidak baik berada di luar malam-malam seperti ini, besok pagi orang tuaku meminta kita ke rumahnya, aku tidak mau sampai terlambat.” Cetus Dika melangkahkan kakinya lebih dulu.Tasya menghela nafas panjang, lalu langkahnya mengikuti Dika. Meskipun pria itu sangat bersikap dingin dan tidak mudah ditebak, namun Tasya tetap berusaha menghormatinya sebagai suami.Keesokan harinya Tasya dan Dika sudah tiba di depan rumah megah milik Tuan Arkana Mahendra Jaya, dan Nyonya Riri Mahendra Jaya. Tasya terkesiap ketika melihat bentuk rumah bak istana itu, rumah yang didominasi warna putih dan abu membuatnya tidak bisa berkedip.Apalagi saat ia mengarahkan pandangan pada gerbang yang dijaga oleh beberapa bodyguard gagah dengan seragam berwarna hitam, pantas saja mereka menjamin pengobatan ibunya jika bersedia menutup malu dengan cara menikahi putranya.“Kenapa berdiri di situ saja?” tanya Dika menyadari bahwa Tasya sedang melamun.“Eemm, i-iya Mas,” ucap Tasya yang langsung menyusul suaminya.Di dalam sana, sudah ada kedua orang tua Dika yang menunggu dengan sabar, senyuman mereka pun terlihat jelas menyapa mereka ketika mereka sudah berada di ambang pintu.“Halo Dika, halo menantuku sayang,”Riri tersenyum menyapa putra dan menantunya itu.“Halo Ma, Pa,”Tasya menyodorkan tangan lalu mencium punggung tangan kedua mertuanya dengan hormat.“Duduk lah, kita sarapan pagi bersama.”Ajak Riri yang langsung mengarahkan mereka ke meja makan. Tasya tidak dapat menolak, ia duduk di samping Dika yang masih begitu dingin padanya, saat itu salah satu pelayan hendak mengambilkan nasi dan lauk di piring Dika, namun hal tersebut ditolak oleh Riri.“Bi, tugas mu sudah selesai sejak Tuan Dika menikah dengan gadis cantik di sampingnya, sekarang tugas mu telah digantikan oleh Nona Tasya,” ucap Riri mengarahkan pandangannya pada Tasya.“B_baik Ma.” Singkat Tasya mengerti.Tasya dengan kaku berusaha melayani suaminya, ia mengambilkan makanan dan duduk di samping Dika kembali, suasana itu sangat canggung, duduk bersama keluarga baru membuat Tasya tegang dan bingung, lantaran Dika menolak Tasya mengambilkan makanan.“Tidak usah, biar aku sendiri saja.”"Ma, Pa, kami pulang dulu ya,” pamit Dika yang sudah memenuhi undangan kedua orang tuanya. “Ya sayang, kalian hati-hati ya, sebentar lagi rumah kalian berdua selesai di renovasi, dan kalian akan tinggal satu atap di sana,” ucap Riri melempar senyum, merasa yakin bahwa anaknya itu akan cocok dengan Tasya. “Iya.” Singkat Dika menjawab, lalu pergi. Tibanya di hotel, Dika berhenti di parkiran, lalu meminta Tasya untuk keluar dari mobilnya. “Turun lah, aku akan pergi.” titah Dika masih menatap lurus ke arah depan. “Mas mau ke mana malam-malam begini?” tanya Tasya penasaran. “Bukan urusan mu, sekarang turun lah dan istirahat.” Jawab Dika singkat. Mau tidak mau Tasya harus melakukan apa yang diminta oleh Dika. Saat itu ia melihat mobil mewah berwarna hitam milik suaminya pergi lagi meninggalkannya, Tasya pun kembali masuk ke kamar hotel dengan perasaan yang semakin hampa. Beberapa hari menjadi istri dari pria kaya tak membuat hidup Tasya berubah, mungkin lantaran memang tidak saling m
Langkah kaki Tasya terhenti di ambang pintu UGD, dengan tetes air mata yang terus mengalir ketika ia mendapatkan kabar bahwa ibunya kritis. Sesekali Tasya berdiri dan berjalan seperti setrika yang sedang melicinkan pakaian, wajahnya sangat panik, ia seorang diri di sana, tanpa ada satu orang pun yang menemani. 'Ya Tuhan, aku mohon tolong selamatkan ibuku, di dunia ini, hanya dia lah salah satu alasanku bertahan hidup, ku mohon,' batin Tasya terus berdoa, berharap bahwa doanya akan terkabul. Setelah beberapa saat kemudian, dokter keluar. Erland, dokter muda yang menangani ibu Nirma selaku ibu kandung Tasya, Tasya berdiri di hadapan dokter Erland setelah menyeka air matanya asal-asalan. "Dok, bagaimana keadaan ibu saya?" tanya Tasya dengan nafas tertahan. "keadaan Ibu Nirma masih kritis, Tasya. Beliau harus segera di operasi, tapi tentu, biaya yang harus dikeluarkan tidak sedikit," ucap dokter Erland, dokter itu tahu bahwa sebenarnya pasien yang sedang ia rawat bukan lah kalangan or
Dika dan Tasya kini berada di ruang rawat setelah menunggu cukup lama di ruang tunggu, Tasya tertidur sembari memegang erat pergelangan tangan ibunya, operasi yang dilakukan terhadap ibu Nirma berjalan dengan lancar, sementara Dika sendiri duduk di sofa sambil memangku tangan menatap ke arah Tasya. 'Apa mungkin dia kelelahan sampai dalam keadaan duduk saja, dia bisa tidur nyenyak seperti itu?' batin Dika bergeming, sambil terus menatap wanita itu. Lama Dika memperhatikan Tasya, ada rasa kasihan yang akhirnya membuat Dika memutuskan untuk membangunkan Tasya, ia berniat untuk mengajak Tasya pulang ke hotel. "Tasya, bangun, ayo kita pulang ke hotel," Ajak Dika, ia berdiri di samping Tasya yang tertidur. Suara itu tidak membuat Tasya terbangun hingga akhirnya Dika memutuskan untuk menyentuh tangan Tasya, saat Dika dan Tasya sama-sama bersentuhan kulit, ia menyadari bahwa tubuh Tasya sangat panas. Dika sempat cemas lantaran menyadari hal itu, di saat yang sama Tasya pun terbangun dan m
"Silahkan duduk, Ma," ucap Tasya mempersilahkan duduk mama mertuanya. "Terima kasih Tasya. Oh ya, kamu ke sini sendirian?" tanya mama Riri. "I-iya Ma," lirih Tasya menjawab. "Kamu yang sabar ya sayang, mungkin Dika masih membutuhkan banyak waktu untuk menerima semua kenyataan ini." mama Riri menggenggam pergelangan tangan Tasya. Tasya melempar senyum, memperlihatkan bahwa ia baik-baik saja. Mendengar itu membuat mama Riri sedikit lega, Tasya pamit hendak pergi ke toilet dan menitipkan ibunya pada mama Riri yang masih ada di sana. Saat itu mama Riri mendekati ranjang tempat di mana bu Nirma istirahat, mama Riri menelaah wajah bu Nirma yang tidak lagi terpasang sebuah alat. "Ibu ini.... Seperti....?"Belum sempat menebak, pintu tersebut kembali di buka. Tasya sudah berdiri di samping kiri ibunya, bersebrangan dengan mama Riri yang masih mengamati bu Nirma. "Kenapa Ma, apa ibu sudah siuman?" tanya Tasya bingung dengan tatapannya pada sang ibu. "Belum Tasya. Oh ya, kalau boleh Mam
Pagi ini Tasya bangun lebih pagi, lantaran ia yakin bahwa suaminya itu akan berangkat ke kantor, karena kalau tidak salah ia sempat mendengar bahwa Dika semalam telponan dengan papa Arkana, ia diminta untuk datang pagi-pagi untuk menemaninya meeting. Benar saja, saat Tasya sedang menyiapkan piring di meja makan yang tidak terlalu besar itu, ia melihat Dika keluar dari kamar dalam keadaan yang sudah rapi, Tasya melempar senyum menatap Edo lalu menghampiri nya. "Mas, sarapan dulu yuk, aku udah siapin di meja makan," ajak Tasya dengan senyuman sempurna. "Aku tidak lapar," celetuk Dika menolak. "Tapi Mas, aku sudah masak banyak pagi ini," Tasya terus berjalan mengiringi Dika yang tidak memperdulikan nya. "Aku tidak memintamu untuk melakukannya, kan!" tegas Dika, ia sibuk memakai sepatu hitamnya. "Mas, tidak ada salahnya jika kamu mencicipi makanan yang sudah susah payah aku buatkan, kamu mungkin tidak memintaku untuk memasaknya, tapi aku memintamu untuk memakannya." lirih Tasya masi
"Dika, ayolah." mama Riri sedikit memaksa Dika untuk melakukan apa yang ia mau. Dika pun mengangkat kepala dengan berat, lalu ia mengarahkan pandangannya pada Tasya yang sejak tadi tidak enak hati, ia takut jika Dika saat ini berpikir macam-macam. "Cantik kan, Tasya?" ulang mama Riri. "Emmm," sungut Dika menjawab. "Jawabnya yang enak dong Dika!" mama Riri mencubit punggung Dika. "Iya Ma." jawabnya dengan terpaksa. Mama Riri tersenyum bahagia ketika mendengar jawaban dari Dika. Ia memberikan doa semoga pernikahan anaknya menjadi bahagia selamanya. Tak lama kemudian mama Riri meminta izin untuk pulang membawa barang belanjaannya, sengaja ia melakukan itu agar tumbuh perasaan antara mereka berdua yang sebenarnya masih canggung satu sama lain. "Apa kau sudah cukup puas telah memoroti uang mama, dengan berbelanja barang-barang tidak berfaedah seperti ini!" celetuk Dika menatap tajam Tasya. "Astaghfirullah Mas, aku sama sekali tidak bermaksud mau morotin mama, aku tadi juga nggak se
"Di mana Dika, tolong panggilkan ya," pinta oma Lusi, saat itu Tasya sedang menjamu tamunya dengan cemilan dan minuman. "Baik, Nek." jawab Tasya sopan. Oma Lusi mengerutkan kening ketika Tasya memanggilnya dengan sebutan Nenek, sepertinya ia sangat keberatan ketika Tasya menyebutnya dengan panggilan itu. "Jangan panggil saya Nenek, tapi panggil saya Oma, ya!" tegas oma Lusi meminta. "Oh, b-baik Oma, sebentar, saya akan panggil kan mas Dika dulu." jawab Tasya kikuk. Wanita itu langsung pergi menaiki anak tangga, rasanya ia sangat gugup ketika ditegur dengan panggilan yang ia sebutkan tadi, sementara mama Riri hanya membatin saja ketika oma Lusi terlihat fokus memperhatikan langkah kaki Tasya. "Itu pembantu nya Dika? Kok manggil nya Mas, si?" protes oma Lusi. "Emmm, anu Ma." mama Riri terlihat bingung. Belum sempat menjawab, Dika sudah terlihat menuruni anak tangga di susul dengan Tasya yang berada di belakangnya. Saat itu Dika menyambut oma Lusi dengan memeluk dan menciumnya, ta
Langkah kaki Tasya terhenti ketika mama Riri menahan nya, mama Riri menghampiri Tasya dan menatapnya dengan sedih. "Nak, Mama mohon tolong jangan pergi dari rumah ini, tetap lah di sini mempertahankan rumah tangga kamu bersama Dika," pinta mama Riri menahan kesedihannya. "Maaf Ma, aku tidak bisa memperjuangkan rumah tangga dengan pria yang sama sekali tidak ingin berjuang dengan ku, aku pamit." singkat Tasya menjawab. Langkah kaki Tasya pun ia ayunkan menjauhi ambang pintu, mama Riri hendak mengejar namun teriakan oma Lusi yang menggelegar membuat mama Riri terhenti, oma Lusi mengancam akan menyakiti dirinya sendiri jika sampai mama Riri dan papa Arkana mengejar Tasya. Kini senyum mengembang terlihat jelas di wajah Dika, ia merasa senang karena akhirnya ada yang lebih berkuasa daripada kedua orang tuanya, yang baginya hanya bisa mengatur hidupnya demi menyelamatkan rasa malu. Mama Riri menangis di pelukan papa Arkana, tidak ada yang berani menentang wanita yang dituakan di keluar