Sah!!
Ucapan hamdalah terdengar saat Dika Mahendra Jaya berhasil mengucapkan ijab qobul dengan baik dan benar. Dika mengeluarkan cincin kawin yang akan ia pasangkan di jari manis Tasya Andirani, lalu begitu juga dengan sebaliknya.Setelah ijab qobul selesai, Dika nampak memilih pergi menghampiri para rekan-rekan kerjanya, tanpa menghiraukan Tasya Andirani yang sudah menjadi istri sah baik di mata hukum dan agama. Tasya nampak duduk seorang diri di kursi pelaminan dengan perasaan yang tidak bisa dijabarkan.‘Ya Tuhan, aku sekarang sudah menjadi istri orang, pria yang sedang tertawa bersama teman-teman nya itu adalah suamiku, bagaimana caranya agar aku bisa menjadi istri yang baik, sementara aku tidak mengenal siapa dia.’Batin Tasya bergejolak, ia bergeming dengan dirinya sendiri. Perasaan yang tidak bisa dijelaskan itu, membuat bulir air matanya tak terasa jatuh.Sementara di tempat lain, Dika justru ikut bergabung bersama teman-temannya hingga akhirnya pesta itu selesai.Tasya dan Dika kini sudah berada di ruangan yang sama, kamar hotel yang sudah disiapkan sebelumnya akan menjadi tempat tinggal mereka berdua.“Tidur lah di ranjang, aku akan tidur di sofa,” ucap Dika setelah melepaskan jas pengantinnya.“Tidak Mas, kau saja yang tidur di ranjang, biar aku tidur di sofa. Mungkin kau lebih tidak terbiasa istirahat di tempat yang tidak nyaman, biarkan aku tidur di sini.” Tolak Tasya mengambil alih tempat yang sebelumnya di pilih oleh Dika.Dika tak bersuara lagi, ia memilih melangkahkan kaki menuju balkon dan berdiri seorang diri di sana, tatapannya lurus menembus kegelapan malam yang sepi, Dika baru saja melewati masa yang sulit, kepergian Zahra bersama pria lain dan kini tiba-tiba ia menikah dengan wanita yang sama sekali tidak ia kenal.Ia memijit kepalanya yang terasa begitu sakit, di dalam kesendirian itu Tasya datang dan berdiri di samping Dika. Kehadirannya mengejutkan Dika yang menyadari bahwa ada orang lain di sampingnya.“Ada apa, apa kau tidak bisa tidur di sofa yang kau pilih?” tanya Dika tanpa menatap wajah Tasya.“Mas, aku ingin menjelaskan padamu satu hal, kalau pernikahan ini—” Tasya mencoba memberanikan diri untuk mengatakan sejujurnya pada Dika, tetapi Dika memotong perkataannya.“Sudahlah, tidak ada gunanya untuk menjelaskan hal yang sudah terjadi.” telak, pernyataan Dika membungkam Tasya untuk menjelaskan apa yang telah terjadi, karena tidak ingin Dika salah paham kepada dirinya dan mengira bahwa Tasya memanfaatkannya.Dika menghembuskan nafas pelan, lalu setelah itu ia memilih masuk kembali dan membiarkan Tasya mematung di sana sendirian. Tanpa jawaban apa pun, Dika justru mencari sesuatu di lemari lalu mengeluarkan sebuah selimut.“Tidur lah, ini sudah larut malam,” singkat Dika menyerahkan selimut itu pada Tasya.“I-iya Mas.” Jawab Tasya patuh.Tasya membalikkan badan menuju sofa, lalu ia merebahkan tubuhnya di sana. Respon dan sikap Dika sangat dingin padanya, bahkan Dika seperti tidak mau mendengar alasan yang ia berikan.Hampir jam 3 pagi, Tasya tidak dapat memejamkan kedua matanya walau sekejap, ia tidak dapat tidur bukan karena ia saat ini sedang berada di sofa, melainkan statusnya yang sudah menjadi seorang istri namun memiliki suami yang begitu bersikap dingin.Tasya memutuskan untuk berdoa dan memohon kepada Tuhan-Nya pada malam itu, dan ia berharap bahwa apa yang ia lakukan akan membantu menenangkan hatinya yang gusar.***“Astagfirullah, sudah jam berapa ini?!”Tasya terbangun dan sadar bahwa saat itu ia kesiangan, dan ia masih dalam keadaan memakai mukena.‘Berarti semalam aku ketiduran di atas sajadah.’ Gumam Tasya bergeming.Pasti semua itu karena perasaannya yang bercampur aduk, hingga membuat Tasya tidak sadar bahwa ternyata tubuhnya juga butuh istirahat. Cepat-cepat Tasya memutuskan untuk pergi ke kamar mandi, dan setelah beberapa saat, Tasya kembali dengan keadaan yang lebih segar.‘Mas Dika belum bangun juga, mana aku lapar sekali.’ Batin Tasya kembali bergeming.Tasya beberapa kali menoleh ke arah Dika, namun pria itu sama sekali tak bergerak, mungkin ia juga ketiduran lantaran sebenarnya semalam ia sangat sulit tidur, memikirkan perasaannya yang hancur berkeping-keping lantaran di tinggal pergi oleh wanita yang ia cintai.‘Aku harus berani membangunkan mas Dika, aku bisa mati kelaparan kalau begini.’ Tekat Tasya bulat.Perlahan Tasya berjalan mendekati ranjang dan mulai mengguncang tubuh Dika dengan pelan.“Mas, Mas bangun, ini sudah siang,” panggil Tasya masih berusaha.“Ada apa, Zahra... Aku masih mengantuk,” ucap Dika masih memejamkan kedua matanya.Tasya terdiam seketika, saat ia mendengar suaminya memanggil nama wanita lain, Tasya menelan saliva, berusaha untuk baik-baik saja ketika suami yang belum genap satu hari itu menyebut wanita lain.“Mas, ini aku Tasya, bukan Zahra,” lirih Tasya membangunkan Dika.Seketika kedua mata Dika terbuka, ia terkejut ketika mendengar suara asing di samping tempat tidurnya. Dan ia juga menyadari bahwa itu adalah Tasya, Dika bangkit dan berlalu pergi ke kamar mandi.Lama Tasya menunggu, dengan perasaan yang masih berantakan tak tersusun, ia menikahi pria yang mencintai wanita lain, tentu saja hal itu akan bertentangan dengan harapannya.Tetapi hal itu dimaklumi oleh Tasya, lantaran Tasya hadir dalam hidup Dika sebatas istri pengganti, tentu saja untuk menggantikan tempat Zahra di hati Dika akan membutuhkan banyak waktu.Setelah hampir lima belas menit menunggu, akhirnya Dika keluar dari kamar mandi dengan sikap yang masih sama. Tasya ingin sekali mengutarakan isi hatinya, bahwa saat ini ia sangat lapar, namun karena melihat Dika yang justru fokus pada ponselnya membuat Tasya akhirnya memilih untuk mengurungkan niat.Kruk.. Kruk..Tiba-tiba suara tidak asing itu terdengar, Tasya yang menahan malu pun menundukkan kepalanya dalam, suara itu tertangkap oleh Dika yang menyadarinya.“Kamu lapar?” tanya Dika, sekali lagi, tanpa menatap wajah cantik Tasya.“Tidak Mas,” ucap Tasya mengelak.“Suara perutmu tidak bisa dibohongi, pergilah cari makanan, ini uangnya.”Dika mengeluarkan sejumlah uang dan ia sodorkan pada Tasya, pria dingin itu sama sekali tidak mengajak Tasya pergi makan bersama di luar, ia justru memberikan Tasya uang yang sempat didiamkan cukup lama oleh Tasya.“Kenapa diam saja, apa kau lebih suka kelaparan seperti itu?!”Dika kini menatap wajah polos Tasya.“T-tidak Mas, tapi memangnya Mas tidak mau ikut pergi makan?” tawar Tasya sebelum menerima uang itu.“Aku tidak lapar, jangan pikirkan aku, pergilah.” Cetus Dika mengusir Tasya secara tidak langsung.Tak ada pilihan lain, daripada harus mati kelaparan di hadapan pria yang begitu dingin dan pelit bicara, akhirnya Tasya menerima uang tersebut lalu pergi.Tasya masuk ke dalam lift menuju lantai dasar lalu mencari makanan di luar, saat tiba di sebuah kafe yang ada di seberang hotel, Tasya nampak dengan lahap menyantap makanan yang ia pesan, rasa kelaparan karena sejak kemarin tidak makan, membuat Tasya begitu terlihat sangat rakus.Tasya mengelus perutnya yang rata, lalu setelah itu ia pergi untuk melakukan pembayaran. Mengingat bahwa pria yang satu kamar dengannya itu belum makan, akhirnya Tasya memutuskan untuk memesankan makanan dan membawanya kembali ke hotel. Tetapi ketika Tasya membawakan makanan untuk Dika, Tasya mendengar Dika sedang menghubungi seseorang yang membuat hatinya sedikit merasa sakit.“Aku mencintaimu.”"Ada apa?” tanya Dika singkat. Tasya yang tengah melamun itu dikejutkan dengan kehadiran pria yang satu kamar dengannya itu sudah berada di hadapannya, Dika menatap Tasya yang juga sedang menatapnya dengan setengah terkejut.“Emmm... Mas, aku bawakan makanan untuk kamu, kamu belum makan, kan,” Tasya menyodorkan makanan yang ia bawa. “Tidak perlu, kau makan saja sendiri nanti.” Tolak Dika. Langkah kakinya meninggalkan kamar hotel, dan juga Tasya yang hanya bisa terdiam seorang diri. Perasaannya saat itu bercampur aduk, antara sedih dan kecewa, ketika mendapatkan reaksi sedingin itu dari pria yang menikahinya. Di sebuah jalan raya yang cukup lengang, Dika mengemudikan kendaraan nya dengan kecepatan tinggi, sesekali Dika memukul bagian setir sambil terus menatap lurus, sebuah pesan singkat yang dikirim kan Zahra terngiang di kepalanya lagi.Dika menghentikan mobilnya seketika, lalu ia berteriak sekencang mungkin tanpa ada satu orang pun yang mendengarnya. Ia juga memukul-mukul bagian
"Ma, Pa, kami pulang dulu ya,” pamit Dika yang sudah memenuhi undangan kedua orang tuanya. “Ya sayang, kalian hati-hati ya, sebentar lagi rumah kalian berdua selesai di renovasi, dan kalian akan tinggal satu atap di sana,” ucap Riri melempar senyum, merasa yakin bahwa anaknya itu akan cocok dengan Tasya. “Iya.” Singkat Dika menjawab, lalu pergi. Tibanya di hotel, Dika berhenti di parkiran, lalu meminta Tasya untuk keluar dari mobilnya. “Turun lah, aku akan pergi.” titah Dika masih menatap lurus ke arah depan. “Mas mau ke mana malam-malam begini?” tanya Tasya penasaran. “Bukan urusan mu, sekarang turun lah dan istirahat.” Jawab Dika singkat. Mau tidak mau Tasya harus melakukan apa yang diminta oleh Dika. Saat itu ia melihat mobil mewah berwarna hitam milik suaminya pergi lagi meninggalkannya, Tasya pun kembali masuk ke kamar hotel dengan perasaan yang semakin hampa. Beberapa hari menjadi istri dari pria kaya tak membuat hidup Tasya berubah, mungkin lantaran memang tidak saling m
Langkah kaki Tasya terhenti di ambang pintu UGD, dengan tetes air mata yang terus mengalir ketika ia mendapatkan kabar bahwa ibunya kritis. Sesekali Tasya berdiri dan berjalan seperti setrika yang sedang melicinkan pakaian, wajahnya sangat panik, ia seorang diri di sana, tanpa ada satu orang pun yang menemani. 'Ya Tuhan, aku mohon tolong selamatkan ibuku, di dunia ini, hanya dia lah salah satu alasanku bertahan hidup, ku mohon,' batin Tasya terus berdoa, berharap bahwa doanya akan terkabul. Setelah beberapa saat kemudian, dokter keluar. Erland, dokter muda yang menangani ibu Nirma selaku ibu kandung Tasya, Tasya berdiri di hadapan dokter Erland setelah menyeka air matanya asal-asalan. "Dok, bagaimana keadaan ibu saya?" tanya Tasya dengan nafas tertahan. "keadaan Ibu Nirma masih kritis, Tasya. Beliau harus segera di operasi, tapi tentu, biaya yang harus dikeluarkan tidak sedikit," ucap dokter Erland, dokter itu tahu bahwa sebenarnya pasien yang sedang ia rawat bukan lah kalangan or
Dika dan Tasya kini berada di ruang rawat setelah menunggu cukup lama di ruang tunggu, Tasya tertidur sembari memegang erat pergelangan tangan ibunya, operasi yang dilakukan terhadap ibu Nirma berjalan dengan lancar, sementara Dika sendiri duduk di sofa sambil memangku tangan menatap ke arah Tasya. 'Apa mungkin dia kelelahan sampai dalam keadaan duduk saja, dia bisa tidur nyenyak seperti itu?' batin Dika bergeming, sambil terus menatap wanita itu. Lama Dika memperhatikan Tasya, ada rasa kasihan yang akhirnya membuat Dika memutuskan untuk membangunkan Tasya, ia berniat untuk mengajak Tasya pulang ke hotel. "Tasya, bangun, ayo kita pulang ke hotel," Ajak Dika, ia berdiri di samping Tasya yang tertidur. Suara itu tidak membuat Tasya terbangun hingga akhirnya Dika memutuskan untuk menyentuh tangan Tasya, saat Dika dan Tasya sama-sama bersentuhan kulit, ia menyadari bahwa tubuh Tasya sangat panas. Dika sempat cemas lantaran menyadari hal itu, di saat yang sama Tasya pun terbangun dan m
"Silahkan duduk, Ma," ucap Tasya mempersilahkan duduk mama mertuanya. "Terima kasih Tasya. Oh ya, kamu ke sini sendirian?" tanya mama Riri. "I-iya Ma," lirih Tasya menjawab. "Kamu yang sabar ya sayang, mungkin Dika masih membutuhkan banyak waktu untuk menerima semua kenyataan ini." mama Riri menggenggam pergelangan tangan Tasya. Tasya melempar senyum, memperlihatkan bahwa ia baik-baik saja. Mendengar itu membuat mama Riri sedikit lega, Tasya pamit hendak pergi ke toilet dan menitipkan ibunya pada mama Riri yang masih ada di sana. Saat itu mama Riri mendekati ranjang tempat di mana bu Nirma istirahat, mama Riri menelaah wajah bu Nirma yang tidak lagi terpasang sebuah alat. "Ibu ini.... Seperti....?"Belum sempat menebak, pintu tersebut kembali di buka. Tasya sudah berdiri di samping kiri ibunya, bersebrangan dengan mama Riri yang masih mengamati bu Nirma. "Kenapa Ma, apa ibu sudah siuman?" tanya Tasya bingung dengan tatapannya pada sang ibu. "Belum Tasya. Oh ya, kalau boleh Mam
Pagi ini Tasya bangun lebih pagi, lantaran ia yakin bahwa suaminya itu akan berangkat ke kantor, karena kalau tidak salah ia sempat mendengar bahwa Dika semalam telponan dengan papa Arkana, ia diminta untuk datang pagi-pagi untuk menemaninya meeting. Benar saja, saat Tasya sedang menyiapkan piring di meja makan yang tidak terlalu besar itu, ia melihat Dika keluar dari kamar dalam keadaan yang sudah rapi, Tasya melempar senyum menatap Edo lalu menghampiri nya. "Mas, sarapan dulu yuk, aku udah siapin di meja makan," ajak Tasya dengan senyuman sempurna. "Aku tidak lapar," celetuk Dika menolak. "Tapi Mas, aku sudah masak banyak pagi ini," Tasya terus berjalan mengiringi Dika yang tidak memperdulikan nya. "Aku tidak memintamu untuk melakukannya, kan!" tegas Dika, ia sibuk memakai sepatu hitamnya. "Mas, tidak ada salahnya jika kamu mencicipi makanan yang sudah susah payah aku buatkan, kamu mungkin tidak memintaku untuk memasaknya, tapi aku memintamu untuk memakannya." lirih Tasya masi
"Dika, ayolah." mama Riri sedikit memaksa Dika untuk melakukan apa yang ia mau. Dika pun mengangkat kepala dengan berat, lalu ia mengarahkan pandangannya pada Tasya yang sejak tadi tidak enak hati, ia takut jika Dika saat ini berpikir macam-macam. "Cantik kan, Tasya?" ulang mama Riri. "Emmm," sungut Dika menjawab. "Jawabnya yang enak dong Dika!" mama Riri mencubit punggung Dika. "Iya Ma." jawabnya dengan terpaksa. Mama Riri tersenyum bahagia ketika mendengar jawaban dari Dika. Ia memberikan doa semoga pernikahan anaknya menjadi bahagia selamanya. Tak lama kemudian mama Riri meminta izin untuk pulang membawa barang belanjaannya, sengaja ia melakukan itu agar tumbuh perasaan antara mereka berdua yang sebenarnya masih canggung satu sama lain. "Apa kau sudah cukup puas telah memoroti uang mama, dengan berbelanja barang-barang tidak berfaedah seperti ini!" celetuk Dika menatap tajam Tasya. "Astaghfirullah Mas, aku sama sekali tidak bermaksud mau morotin mama, aku tadi juga nggak se
"Di mana Dika, tolong panggilkan ya," pinta oma Lusi, saat itu Tasya sedang menjamu tamunya dengan cemilan dan minuman. "Baik, Nek." jawab Tasya sopan. Oma Lusi mengerutkan kening ketika Tasya memanggilnya dengan sebutan Nenek, sepertinya ia sangat keberatan ketika Tasya menyebutnya dengan panggilan itu. "Jangan panggil saya Nenek, tapi panggil saya Oma, ya!" tegas oma Lusi meminta. "Oh, b-baik Oma, sebentar, saya akan panggil kan mas Dika dulu." jawab Tasya kikuk. Wanita itu langsung pergi menaiki anak tangga, rasanya ia sangat gugup ketika ditegur dengan panggilan yang ia sebutkan tadi, sementara mama Riri hanya membatin saja ketika oma Lusi terlihat fokus memperhatikan langkah kaki Tasya. "Itu pembantu nya Dika? Kok manggil nya Mas, si?" protes oma Lusi. "Emmm, anu Ma." mama Riri terlihat bingung. Belum sempat menjawab, Dika sudah terlihat menuruni anak tangga di susul dengan Tasya yang berada di belakangnya. Saat itu Dika menyambut oma Lusi dengan memeluk dan menciumnya, ta
Pagi itu, Tasya nampak sibuk menyiapkan sarapan pagi di meja makan, hari ini adalah hari ulang tahun Sauqi yang ke empat tahun, nampak seluruh keluarga duduk menunggu semua menu yang sedang dihidangkan oleh Tasya. Sejak pagi Tasya sendiri tidak mengizinkan mama Riri dan bu Nirma membantunya di dapur, ia ingin menyiapkan semuanya sendiri, karena merasa jika hari ini adalah hari yang sangat spesial baginya. Sementara mama Riri dan bu Nirma akhirnya hanya terduduk dan menonton saja apa yang sedang dilakukan oleh Tasya, sambil sekali-kali mengobrol dengan Sauqi yang sudah lincah dalam berbicara. Tidak ada lagi sesuatu yang menghalangi bagi keluarga itu untuk berbagai kebahagiaan, karena setelah semua kejadian yang menimpa mereka tiga tahun yang lalu, nampak pernikahan Tasya dan Dika semakin romantis dan harmonis. "Sayang, kamu nggak capek sibuk-sibuk sendiri, aku bantu kamu ya," ucap Dika yang tidak enak hati ketika melihat kesibukan yang sedang dijalani oleh istrinya."Nggak usah Mas,
Tiga tahun KemudianBug! Bug! Bug! Sebuah bogeman terdengar di ruangan sempit yang di tempati oleh lima tahanan yang masing-masing memiliki bukti kejahatan yang berbeda, dan salah satunya adalah Roy sebagai pimpinan kerusuhan yang terjadi di pagi ini. Cahyo yang melihat hal itu pun berusaha menyudahi perkelahian tersebut dengan memanggil polisi, suaranya yang nyaring pun mengundang beberapa petugas kepolisian yang mendengar suara Cahyo, dengan cepat dan sigap, mereka pun dapat dipisahkan, tahanan baru yang menjadi bully-an itupun diamankan. Roy dan beberapa temannya pun harus mendapatkan hukuman karena telah melakukan tindakan kerusuhan di dalam tahanan, sementara Cahyo sendiri kini mendekati Diki, seorang tahanan baru yang sudah babak belur di buat oleh teman-teman Roy. "Kamu nggak papa kan?" tanyanya memberikan perhatian. Sesekali ia mengobati luka lebam yang terlihat memar di sana. "Nggak kok, aku nggak papa, makasih ya Mas," ucapnya mengulas senyum. "Ya udah, kamu tenang aja
"Syukur lah sayang, kamu pulang dalam keadaan selamat," ucap mama Riri mengulas senyum lega. Tasya memblas senyuman itu dengan tulus, lalu ia pun berpindah pada bu Nirma yang tak kalah bahagia ketika melihat putrinya kembali dalam keadaan selamat, wanita itu berbinar ketika menyadari suaminya kini datang menggendong Sauqi, perhatikan nya pun kini tertuju pada bocah itu lalu mendekatinya. "Sayang, ini Mama, Nak!"Tasya terharu, dengan kedua mata yang berkaca-kaca ia meraih tubuh mungil Sauqi, bocah kecil itu pun nampak memancarkan senyuman saat menyadari yang menggendongnya adalah sang mama. "Ma-Ma!"Suara manja itu pun terdengar merdu, Tasya mengulas senyum dan langsung mendaratkan kecupan kasih sayang di keningnya. Betapa bahagianya ketika ia mendengar sang putra sudah bisa memanggilnya dengan sebutan mama. Dika ikut mememeluk Tasya dari belakang, mengulas senyum bahagia dan bersyukur atas kembalinya sang istri. Mama Riri pun meminta Dika untuk membawa Tasya ke kamar, tak menungg
Arkana dan Dika kini sudah berada di rumah, di mana ia akan mempersiapkan uang sebanyak dua miliar untuk menembus Tasya, kedatangan mereka pun disambut oleh bu Nirma dan mama Riri yang menatap cemas. "Pa, Dika, bagaimana, apa kalian sudah menemukan keberadaan Tasya?" tanya mama Riri yang memasang wajah penuh kecemasan. "Iya Dika, bagaimana?" lanjut bu Nirma tak kalah khawatir. "Kami sudah menemukan keberadaan Tasya Ma, Bu, Tasya diculik, dan kami pulang untuk menyiapkan uang sebesar dua milyar seperti yang penculik itu inginkan sebagai penebusnya," ucap Dika menahan emosi. "Apa! Dua milyar, astagfirullah, itu jumlah yang yang sangat besar." jawab bu Nirma menatap sedih. Bu Nirma sepertinya sangat syok mendengar jumlah uang yang disebut oleh menantunya itu, namun dengan cepat ditenangkan oleh mama Riri yang mendapat perintah dari papa Arkana. Papa Arkana mengatakan jika jumlah uang tidak perlu menjadi beban pikiran, karena mereka sendiri sudah siap jika harus kehilangan uang sebes
"Nggak papa Pa," ucap Dika dengan gugup. "Ya ampun, ya udah kalau gitu gantian aja ya yang nyetir, kamu sambil istirahat aja," seru papa Arkana cemas. "Papa yakin bisa bawa mobil?" tanya Dika memastikan. "Iya tenang aja, Papa bisa bawa mobil pelan-pelan." jawabnya dengan yakin. Mereka pun bertukar posisi, kini papa Arkana sudah berada di bagian setir, sementara Dika sendiri saat ini sedang duduk dengan santai menatap ke depan dan ke sini berharap jika ia bisa menemukan istrinya. Sementara di tempat lain, Tasya sudah berada di sebuah ruangan yang cukup gelap, hanya ada lampu kecil yang menerangi ruangan tersebut. Sayup-sayup wanita itu membuka kedua mata, dan terkejut ketika kedua tangannya diikat ke belakang di sebuah kursi kayu, tak lama kemudian datang seorang pria bertubuh tinggi dengan wajah tertutup masker. "Siapa kamu sebenarnya? Dan untuk apa kamu membawaku ke tempat ini, di mana ini?!" bentak Tasya dengan suara parau, tatapan matanya seolah ingin sekali merebut masker ya
"Loh, kok lantainya tiba-tiba basah dan kotor seperti ini? Lalu ini, jejak kaki siapa ya?" bi Surti menatap ke lantai itu dengan penuh tanya. "Maksud Bibi apa bicara seperti itu? Apa di rumah ini ada orang lain selain kalian berdua?!" tatapan tegas dari Dika pun didapatkan oleh bi Surti yang tidak tahu apa-apa. "Saya sendiri tidak tahu Den, tapi ini bukan jejak kaki saya, lihat saja, jejak kakinya cukup besar, dan sepertinya ada kaki lain yang terseret." jawab wanita paruh baya itu dengan polosnya. Dika mendelik sempurna ketika mendengar kalimat dari bi Surti, sempat berpikir tidak mungkin, tetapi pada kenyataannya memang Tasya tidak ada di rumah itu, membuat hati pria tersebut begitu gelisah dan ketakutan.Mencoba untuk tenang, dengan merogoh ponsel di saku celana, ia mencoba untuk menghubungi nomor Tasya, namun tiba-tiba ia mendengar suara ponsel itu di meja makan, rupanya Tasya tidak membawa ponselnya. Menambah kepanikan yang Dika rasakan saat ini. "Sebenarnya tadi non Tasya se
"B-benar Pak, ini saya Dika, a-ada apa ya?" tanya pria itu dengan suara parau. "Kami menemukan sepucuk surat tergeletak di samping korban, dan surat ini sepertinya untuk Bapak," ucapnya seraya memberitahu. "Benarkah, kalau begitu saya akan terima surat itu Pak." jawab Dika yang langsung mengulurkan tangan kanannya. Tanpa disadari oleh Dika, jika sepasang mata sedang mengamati tingkahnya dari kejauhan, siapa lagi kalau bukan Tasya, wanita itu seperti sudah tidak mengenal suaminya, yang terlihat begitu berbeda dari sebelumnya. Rasa kecewa tak terbendung lagi ketika melihat berapa sibuknya Dika dalam urusan kematian Zahra. Karena tak mampu lagi menahan kesedihan, Tasya pun kini menghilang dari kerumunan, ia berjalan menjauhi tempat itu sambil terus menggendong dan memeluk Sauqi, tak lama kemudian ia menemukan pangkalan ojek, ada satu orang bapak-bapak yang mungkin sejak tadi sedang menunggu penumpang, tak menunggu waktu lama, Tasya segera menghampiri bapak itu dengan nafas yang tersen
Beberapa hari sudah, Duka merasa cukup nyaman menjalani rumah tangga nya bersama Tasya, lantaran Zahra sudah tidak pernah lagi menghubungi atau mengganggunya meksipun hanya sebuah pesan yang ia kirimkan. Namun, sepertinya hal itu membuat hati kecil Dika menjadi ganjal, ia merasa ada sesuatu yang terjadi pada wanita itu, karena ia sangat mengenal sekali siapa Zahra. Wanita yang tidak pernah mau kalah dari pertarungan, apalagi itu menyangkut soal perasaan."Mas, kenapa kamu kayaknya gelisah banget si?"Tiba-tiba datang Tasya yang menegur suaminya, pria itu terkejut dan sontak saja memasang wajah bingung lantaran kepergok memikirkan Zahra. Namun siapa sangka jika Tasya sudah mengetahui apa yang dipikirkan oleh suaminya, dengan melihat sekilas tatapan matanya ia tahu jika Dika saat ini sedang memikirkan orang lain. "Kalau kamu mau menjenguk Zahra di rumah sakit, ya nggak papa Mas, aku negerti kok kalau kamu masih mencemaskan dia," lirih wanita itu yang memberikan lampu hijau pada suamin
Tibanya di pinggir danau, Dika menghentikan mobilnya, membuka pintu lalu mempersilahkan Tasya keluar, namun wanita itu nampaknya enggan mengikuti perintah sang suami lantaran ia masih memendam rasa kecewa. "Sayang, ayo lah turun," ajak Dika berusaha terus membujuk. "Nggak mau, mending kamu bawa aku pulang aja ke rumah ibu, kamu pasti sibuk kan mau ke rumah sakit, jadi lebih baik kamu pergi saja ke sana," celetuk Tasya menolak, ia masih saja berpikir jika suaminya itu lebih memilih mantan kekasihnya itu. "Mau turun sendiri, atau kamu akan melihat aku nekat, dengan menggendong kamu masih memasuki kafe itu." tukas Dika yang sama sekali tak menanggapi ucapan Tasya. Wanita itu mendelik sempurna ketika ucapannya sama sekali tak direspon, ia pun akhirnya turun daripada harus menerima gendongan dari Dika yang jelas-jelas sudah membuatnya marah. Sementara Dika sendiri mengulas senyum sembari berjalan beriringan dengan Tasya menuju sebuah kafe yang terlihat begitu ramai pengunjung. Sebuah