"Enak, soalnya kami melakukan dua ronde dan setelah aku capek Arga malah pindah ke kamar kamu. Padahal sebenarnya aku masih kuat," tuturnya.Arga sendiri tidak mengatakan jika dia melakukan dengan Mbak Sinta. Kini aku yakin jika Mbak Sinta hanya berbohong. Mana mungkin jika mereka melakukan, Arga malah pindah ke kamarku. Seharusnya ia menuntaskan di kamar Mbak Sinta, bukan malah pindah ke kamarku."Ohh," balasku."Pasti kamu nggak percaya ya?""Aku percaya kok, Mbak," sahutku segera."Ini kalau kamu nggak percaya." Mbak Sinta menyodorkan foto mereka berdua saat Mbak Sinta dalam pelukan Arga yang setengah sadar.Aku paham betul, mana yang dalam keadaan sadar dan tidak. Seperti semalam, Arga dikuasai oleh obat pemberian Mbak Sinta.Aku tidak tahu obat apa saja yang diberikan oleh Mbak Sinta pada Arga malam tadi. Tapi aku yakin, saat Arga masuk ke kamarku itu dia dalam pengaruh obat perangsang.Tapi saat Arga tidur pulas memeluk Mbak Sinta dengan dada bidang yang terbuka. Mungkinkah Mbak
Aku menjadi penasaran dengan foto yang dikirimkan oleh Aldo. Namun, belum sempat aku membuka. Mama mertua dan Arga sudah tiba di meja makan.Terpaksa aku meletakkan ponsel kembali dan bergabung dengan mereka untuk makan siang. "Mbak Sinta mana?" tanyaku."Masih di kamar. Nanti kalau dia lapar mau ambil sendiri," balas Arga bersiap mengambil nasi dan lauk."Ini kenapa masaknya bau menyengat semua?" tanya Mama mertua."Aku lagi pengen aja, Ma," balasku."Aku juga suka makan sambal terasi, Ma," lanjut Arga."Iya, Mama tahu kamu suka yang bau-bau," ledek Mama mertua.Alhamdulillah, sudah ada sedikit senyum di wajah Mama mertua. Ya, walaupun tidak seceria dulu lagi. Namun, setidaknya hatinya sudah mulai menerima semua yang menimpa dirinya."Hamil kali dia, Ma," ucap Mbak Sinta datang masih dengan masker berlipat."Jangan asal nuduh kamu, Mbak!" Aku tak terima dia asal bicara. Padahal dia sendiri yang hamil."Aku nggak nuduh kok, dulu saja setiap kali ibu masak sambal terasi kamu menolak m
Semalaman aku tak bisa tidurnya memikirkan siapa pemilik nomor yang mengirim pesan. Mungkinkah itu Aldo atau malah orang yang menjadi bukti atas rahasia Mbak Sinta? Tuhan, apa aku harus menemuinya hari ini?Dilema dan dihantui rasa takut. Itulah yang saat ini aku rasakan. Pagi setelah kepergian Arga, aku diliputi dengan rasa kebimbangan, antara pergi atau tidak.Hingga sebuah telepon masuk dan aku sendiri tidak tahu siapa sebenarnya pemilik nomor tersebut. Gegas aku menerima panggilan tersebut."Halo," jawabku tetapi tak ada jawaban.Entah apa yang sedang terjadi padanya. Suara bising membuat suaranya tidak jelas. Hanya saja samar-samar aku mendengar jika dia memintaku untuk segera datang."He, siapa kamu!" Aku berteriak karena dia sengaja mematikan telepon secara sepihak.Sebenarnya bukti apa yang dia dapatkan? Kenapa harus main sembunyi-sembunyi seperti ini. Menyebalkan sekali.Terpaksa aku pun pergi ke tempat yang sudah dia beritahu. Setibanya di sana, aku tidak menemukan siapa pun
Aku melongo melihat kejadian yang terjadi di depan mata. Seorang wanita yang hampir seumuran denganku di dalam hotel dengan selingkuhannya dan diketahui oleh istri sah."Wanita perebut lelaki orang. Tidak tahu malu!" Hina wanita di depanku yang saat ini berkacak pinggang.Wajahnya memerah penuh amarah. Awalnya aku pikir yang tersungkur itu adalah Mbak Sinta. Ternyata bukan, memang sih rambutnya ikal seperti Mbak Sinta, tetapi ketika wajahnya mendongak, sangatlah berbeda."Kamu pasti temannya?" Amarah ibu-ibu itu beralih padaku.Dengan cepat aku menggeleng. Kenapa aku ikut kena sasaran amukannya. Jelas-jelas aku sendiri tidak tahu siapa wanita itu."Terus ngapain di sini? Mau jadi reporter? Atau apa?" tanyanya menaikan rahang seraya melotot dan itu membuatku takut. Kemudian aku memilih menghindar segera, sebelum terkena semprotan amarahnya.Apa Aldo dan Winda mengerjaiku?Aku berjalan terus bergumam. Apa aku yang salah kamar? Tetapi itu benar jika yang aku datangi adalah kamar 102.Set
Tentang Mbak Sinta yang menjadi simpanan om-om."Cukup! Jangan hina Sinta, dia itu bukan sugar baby seperti apa yang kalian tuduhkan!"Ibu meradang dan langsung pergi begitu saja. "Idih, memang benar kok kalau Sinta itu jadi simpanan om-om. Aku pernah lihat dia check-in hotel.""Aku juga pernah lihat dia pergi ke toko mas waktu itu bareng sama om-om. Mana om-omnya itu tampan lagi, masih terlihat muda pula.”Aduh, ini kenapa malah kesemsem sama pacar Mbak Sinta sih. Aneh deh. Dasar emak-emak rempong.Karena ibu sudah pergi. Aku pun juga pergi. Takut Arga kelamaan menunggu.Sepulang dari pasar aku langsung memasak. Namun, sejak aku pulang dari pasar, Mbak sinta tidak kelihatan batang hidungnya sama sekali. Entah kemana dia pergi, mungkin sengaja menghindar ketika aku memasak yang bau-bau.Selesai masak, semua orang langsung makan. Dan setelah semua beres makan, Mbak Sinta baru kembali. Namun, sejam kemudian dia pergi lagi.Kali ini aku sengaja mengikuti dia. Entah kemana dia akan pergi
Adegan di kamar hotel pagi kemarin kembali terjadi di hadapanku. Mama mertua mendorong tubuh Mbak Sinta hingga tersungkur di depan pintu."Mbak Sinta," lirihku saat melihat kakak tiriku itu tersungkur di lantai."Salma," desis papa mertua.Kini pria paruh itu ikut berdiri di belakang mama. Ia pun terkejut saat melihatku juga ada di sini.Segera papa mertua membantu Mbak Sinta bangkit. Sepertinya dia khawatir dengan keadaan Mbak Sinta. Sampai-sampai papa mertua menggeser tubuh mama demi membantu Mbak Sinta.Mama mertua tidak terima dengan perlakuan sang suami terhadap selingkuhannya. Tangan mama sudah kembali geregetan ingin menghajar Mbak Sinta. Akan tetapi, papa mertua langsung menepisnya."Cukup, Ma!" teriaknya seraya melindungi Mbak Sinta. Menggeser tubuh itu ke belakang tubuhnya karena tangan mama terus saja berusaha meraih Mbak Sinta untuk dihajar."Papa membelanya?" tanya mama penuh kekecewaan."Sinta hamil dan aku tidak ingin dia keguguran!" terang papa mertua."Hamil?" Mama ge
"Ada orang bunuh diri," jelasnya.Arga langsung pergi tanpa pamit menuju kamar sebelah. Begitu pula denganku dan waiters tersebut.Kamar sebelah kanan adalah kamar mama. Saat Arga berjalan ke sebelah kiri, wanita itu bilang salah. Arga shock, dia tidak percaya jika mamanya bunuh diri. Dengan cepat Arga membuka pintu. Tubuh mama Sofia terkapar di lantai dengan bersimbah darah."Ya Allah, Mama!" teriak Arga mendekati sang mama yang sudah terkulai lemah.Aku pun ikut mendekat. Banyak orang juga mendekat beberapa detik kemudian, termasuk juragan Amran."Innalillahi wa inna ilaihi raji'un.""Ya Allah, Mama," seru papa mertua ikut mendekat tetapi langsung ditepis oleh Arga."Pergi Anda!" teriak Arga membuat orang yang datang bisik-bisik menggunjing keluarga kami.Petugas resort bertindak cepat. Ambulans datang beberapa menit kemudian. Mama mertua langsung dievakuasi, dibawa kembali ke rumah. "Tolong bantu angkat," titah perawat."Apakah sudah cek denyut nadinya?"Semua menggeleng, tak ada
"Dan Anda bukan lagi ayahku!"Saat Arga berucap hal demikian, juragan Amran terlihat biasa saja. Mungkin mata hatinya sudah tertutup dengan Mbak Sinta, sehingga kehilangan Arga itu bukan hal penting baginya."Aku datang ke sini untuk memberikan hak waris kamu, Arga," ucap papa mertua membuat Arga tersenyum kecut."Anda pikir saya akan mengusik harta Anda? Tidak sama sekali! Berikan saja pada anak yang dikandung Sinta! Tanpa harta Anda saya masih bisa bertahan hidup," balas Arga yang sama sekali tidak tertarik dengan pembagian harta dari juragan Amran.Aku sempat kaget mendengarnya, jika orang lain akan berlomba-lomba merebut harta warisan. Kini Arga malah menolak harta itu."Tapi itu hak kamu sebagai anakku," ucap juragan Amran."Aku sudah tidak menganggap Anda ayah lagi. Jadi tidak ada hak apa pun atas harta warisan Anda," balas Arga."Tapi Arga ....""Cukup! Aku tidak akan meminta harta Anda sepeser pun. Jadi pergilah dan jangan ganggu hidup saja lagi!" Arga mengusir papanya dan Mba