Perlahan aku menuruni tangga. Mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi hingga Mama mertua marah-marah seperti itu."Sejak kapan Papa selingkuh, ha? Mama benar-benar tidak habis pikir dengan Papa. Kenapa Papa tega mengkhianati Mama! Kenapa, Pa!"Papa mertua selingkuh? Ya Tuhan, padahal rumah tangga mereka selalu terlihat harmonis, tetapi tidak disangka, Papa mertua dengan tega mengkhianati Mama."Papa khilaf, Ma. Papa janji tidak akan mengulangi lagi.""Selingkuh itu penyakit, Pa! Penyakit! Dan Mama tidak yakin jika Papa bisa taubat. Sekarang apa mau Papa?" tanya Mama mertua jengah."Papa tidak mau apa-apa, Ma. Papa ingin kita terus bersama," balas Papa mertua masih terus mengiba."Tapi Mama tidak mau, Pa. Mama kecewa dan Mama tidak ingin hidup bersama dengan pengkhianat sepertimu!"Arga sendiri hanya diam tetapi menatap tajam sang Papa dengan penuh kekecewaan. Selama bertahun-tahun dia sangat bangga memiliki Papa yang baik dan tersegalanya, ternyata itu semua hanya dusta semata."Tida
"Enak, soalnya kami melakukan dua ronde dan setelah aku capek Arga malah pindah ke kamar kamu. Padahal sebenarnya aku masih kuat," tuturnya.Arga sendiri tidak mengatakan jika dia melakukan dengan Mbak Sinta. Kini aku yakin jika Mbak Sinta hanya berbohong. Mana mungkin jika mereka melakukan, Arga malah pindah ke kamarku. Seharusnya ia menuntaskan di kamar Mbak Sinta, bukan malah pindah ke kamarku."Ohh," balasku."Pasti kamu nggak percaya ya?""Aku percaya kok, Mbak," sahutku segera."Ini kalau kamu nggak percaya." Mbak Sinta menyodorkan foto mereka berdua saat Mbak Sinta dalam pelukan Arga yang setengah sadar.Aku paham betul, mana yang dalam keadaan sadar dan tidak. Seperti semalam, Arga dikuasai oleh obat pemberian Mbak Sinta.Aku tidak tahu obat apa saja yang diberikan oleh Mbak Sinta pada Arga malam tadi. Tapi aku yakin, saat Arga masuk ke kamarku itu dia dalam pengaruh obat perangsang.Tapi saat Arga tidur pulas memeluk Mbak Sinta dengan dada bidang yang terbuka. Mungkinkah Mbak
Aku menjadi penasaran dengan foto yang dikirimkan oleh Aldo. Namun, belum sempat aku membuka. Mama mertua dan Arga sudah tiba di meja makan.Terpaksa aku meletakkan ponsel kembali dan bergabung dengan mereka untuk makan siang. "Mbak Sinta mana?" tanyaku."Masih di kamar. Nanti kalau dia lapar mau ambil sendiri," balas Arga bersiap mengambil nasi dan lauk."Ini kenapa masaknya bau menyengat semua?" tanya Mama mertua."Aku lagi pengen aja, Ma," balasku."Aku juga suka makan sambal terasi, Ma," lanjut Arga."Iya, Mama tahu kamu suka yang bau-bau," ledek Mama mertua.Alhamdulillah, sudah ada sedikit senyum di wajah Mama mertua. Ya, walaupun tidak seceria dulu lagi. Namun, setidaknya hatinya sudah mulai menerima semua yang menimpa dirinya."Hamil kali dia, Ma," ucap Mbak Sinta datang masih dengan masker berlipat."Jangan asal nuduh kamu, Mbak!" Aku tak terima dia asal bicara. Padahal dia sendiri yang hamil."Aku nggak nuduh kok, dulu saja setiap kali ibu masak sambal terasi kamu menolak m
Semalaman aku tak bisa tidurnya memikirkan siapa pemilik nomor yang mengirim pesan. Mungkinkah itu Aldo atau malah orang yang menjadi bukti atas rahasia Mbak Sinta? Tuhan, apa aku harus menemuinya hari ini?Dilema dan dihantui rasa takut. Itulah yang saat ini aku rasakan. Pagi setelah kepergian Arga, aku diliputi dengan rasa kebimbangan, antara pergi atau tidak.Hingga sebuah telepon masuk dan aku sendiri tidak tahu siapa sebenarnya pemilik nomor tersebut. Gegas aku menerima panggilan tersebut."Halo," jawabku tetapi tak ada jawaban.Entah apa yang sedang terjadi padanya. Suara bising membuat suaranya tidak jelas. Hanya saja samar-samar aku mendengar jika dia memintaku untuk segera datang."He, siapa kamu!" Aku berteriak karena dia sengaja mematikan telepon secara sepihak.Sebenarnya bukti apa yang dia dapatkan? Kenapa harus main sembunyi-sembunyi seperti ini. Menyebalkan sekali.Terpaksa aku pun pergi ke tempat yang sudah dia beritahu. Setibanya di sana, aku tidak menemukan siapa pun
Aku melongo melihat kejadian yang terjadi di depan mata. Seorang wanita yang hampir seumuran denganku di dalam hotel dengan selingkuhannya dan diketahui oleh istri sah."Wanita perebut lelaki orang. Tidak tahu malu!" Hina wanita di depanku yang saat ini berkacak pinggang.Wajahnya memerah penuh amarah. Awalnya aku pikir yang tersungkur itu adalah Mbak Sinta. Ternyata bukan, memang sih rambutnya ikal seperti Mbak Sinta, tetapi ketika wajahnya mendongak, sangatlah berbeda."Kamu pasti temannya?" Amarah ibu-ibu itu beralih padaku.Dengan cepat aku menggeleng. Kenapa aku ikut kena sasaran amukannya. Jelas-jelas aku sendiri tidak tahu siapa wanita itu."Terus ngapain di sini? Mau jadi reporter? Atau apa?" tanyanya menaikan rahang seraya melotot dan itu membuatku takut. Kemudian aku memilih menghindar segera, sebelum terkena semprotan amarahnya.Apa Aldo dan Winda mengerjaiku?Aku berjalan terus bergumam. Apa aku yang salah kamar? Tetapi itu benar jika yang aku datangi adalah kamar 102.Set
Tentang Mbak Sinta yang menjadi simpanan om-om."Cukup! Jangan hina Sinta, dia itu bukan sugar baby seperti apa yang kalian tuduhkan!"Ibu meradang dan langsung pergi begitu saja. "Idih, memang benar kok kalau Sinta itu jadi simpanan om-om. Aku pernah lihat dia check-in hotel.""Aku juga pernah lihat dia pergi ke toko mas waktu itu bareng sama om-om. Mana om-omnya itu tampan lagi, masih terlihat muda pula.”Aduh, ini kenapa malah kesemsem sama pacar Mbak Sinta sih. Aneh deh. Dasar emak-emak rempong.Karena ibu sudah pergi. Aku pun juga pergi. Takut Arga kelamaan menunggu.Sepulang dari pasar aku langsung memasak. Namun, sejak aku pulang dari pasar, Mbak sinta tidak kelihatan batang hidungnya sama sekali. Entah kemana dia pergi, mungkin sengaja menghindar ketika aku memasak yang bau-bau.Selesai masak, semua orang langsung makan. Dan setelah semua beres makan, Mbak Sinta baru kembali. Namun, sejam kemudian dia pergi lagi.Kali ini aku sengaja mengikuti dia. Entah kemana dia akan pergi
Adegan di kamar hotel pagi kemarin kembali terjadi di hadapanku. Mama mertua mendorong tubuh Mbak Sinta hingga tersungkur di depan pintu."Mbak Sinta," lirihku saat melihat kakak tiriku itu tersungkur di lantai."Salma," desis papa mertua.Kini pria paruh itu ikut berdiri di belakang mama. Ia pun terkejut saat melihatku juga ada di sini.Segera papa mertua membantu Mbak Sinta bangkit. Sepertinya dia khawatir dengan keadaan Mbak Sinta. Sampai-sampai papa mertua menggeser tubuh mama demi membantu Mbak Sinta.Mama mertua tidak terima dengan perlakuan sang suami terhadap selingkuhannya. Tangan mama sudah kembali geregetan ingin menghajar Mbak Sinta. Akan tetapi, papa mertua langsung menepisnya."Cukup, Ma!" teriaknya seraya melindungi Mbak Sinta. Menggeser tubuh itu ke belakang tubuhnya karena tangan mama terus saja berusaha meraih Mbak Sinta untuk dihajar."Papa membelanya?" tanya mama penuh kekecewaan."Sinta hamil dan aku tidak ingin dia keguguran!" terang papa mertua."Hamil?" Mama ge
"Ada orang bunuh diri," jelasnya.Arga langsung pergi tanpa pamit menuju kamar sebelah. Begitu pula denganku dan waiters tersebut.Kamar sebelah kanan adalah kamar mama. Saat Arga berjalan ke sebelah kiri, wanita itu bilang salah. Arga shock, dia tidak percaya jika mamanya bunuh diri. Dengan cepat Arga membuka pintu. Tubuh mama Sofia terkapar di lantai dengan bersimbah darah."Ya Allah, Mama!" teriak Arga mendekati sang mama yang sudah terkulai lemah.Aku pun ikut mendekat. Banyak orang juga mendekat beberapa detik kemudian, termasuk juragan Amran."Innalillahi wa inna ilaihi raji'un.""Ya Allah, Mama," seru papa mertua ikut mendekat tetapi langsung ditepis oleh Arga."Pergi Anda!" teriak Arga membuat orang yang datang bisik-bisik menggunjing keluarga kami.Petugas resort bertindak cepat. Ambulans datang beberapa menit kemudian. Mama mertua langsung dievakuasi, dibawa kembali ke rumah. "Tolong bantu angkat," titah perawat."Apakah sudah cek denyut nadinya?"Semua menggeleng, tak ada
"Sayang, aku pergi sebentar ya," pamitnya tergesa-gesa."Temui pacar?""Ha?" Arga melongo."Temui wanita lain?" Aku menegaskan."Maksudnya apa sih?" Entah dia berpura-pura polos atau memang bingung dengan arah bicaraku."Menemui wanita lain," jawabku tegas."Wanita lain? Wanita siapa?""Pacar kamu lah," sahutku kian jengkel. Diajak bicara malah tidak jelas. Menyebalkan bukan."Ya Allah, jadi kamu curiga sama aku? Kamu pikir aku selingkuh gitu? Hm." Arga yang tadinya sudah bersiap pergi jadi balik lagi."Iya," ketusku."Ya ampun, Sayang. Aku tidak mungkin selingkuh. Ya Allah. Ini tadi itu ibu Hesti nyuri. Terus dia digrebek warga. Eh ada yang nelpon aku, katanya dia minta ganti rugi walaupun ibu Hesti sudah masuk penjara, dia tetap minta ganti rugi atas uang yang hilang sebelum Bu Hesti tertangkap," jawab Arga panjang lebar.Aku hanya diam. Antara yakin dan tidak dengan apa yang Arga sampaikan."Ya udah, nanti kalau aku sudah sampai sana aku video call biar kamu percaya," ujarnya lal
"Rashad dan Rashid juga bagus, aku suka," balas Arga mengulas senyum."Aku tidak akan memaksa kok, Mas," ujarku."Aku suka dengan nama itu, semoga menjadi pemimpin yang tegas dan selalu menegakkan kebenaran," ucap Arga yang ternyata ikut setuju dengan usulanku."Alhamdulillah," balasku.Kesepakatan diambil jika anak kami adalah Rashad dan Rashid. ***Dua hari sudah aku beristirahat dan dokter sudah memperbolehkan aku menemui kedua buah hati. Ini adalah kali pertama aku bertemu mereka. Hati ini begitu bahagia hingga aku tak bisa berucap apa-apa. Melihat mereka menggeliat membuat air mata jatuh begitu saja tanpa pamit. Ada rasa bahagia yang luar biasa.Perjuangan yang tak sia-sia hingga aku mengalami koma. Terbayar sudah semua rasa sakit yang aku rasakan waktu itu, di mana hanya wanita yang tahu nikmatnya melahirkan. Menahan rasa sakit berjam-jam. Mengorbankan nyawanya sendiri untuk berjihad di jalan Allah.Hari ini adalah kali pertama aku memberikan asi kepada mereka. Rasanya sungguh
Sayup-sayup aku mendengar suara Arga menyebut nama anak kita. Perlahan aku mengerjapkan mata. Meski terasa begitu sulit, aku terus berusaha hingga tampak seseorang sedang menangis berada di hadapanku.Wanita yang baru beberapa bulan bersamaku itu berdiri mengarah padaku. Dengan wajah yang terlihat begitu sembab.Suara yang tak asing bagi telingaku juga terdengar. Pelukan dilayangkan begitu saja padaku. Ia menangis sesenggukan dengan wajah menempel di dadaku, dialah suamiku.Argantara Pramudya, orang yang menemaniku berjuang melahirkan buah hati kami. Pria itu menangis seraya mengucap syukur yang tiada henti."Terima kasih Ya Allah, Engkau telah kembalikan Salma pada kami."Entah sudah berapa kali ia berucap. Aku yang masih dalam keadaan setengah sadar pun hanya mengaminkan doa itu dalam hati saja.Kemudian Arga mengangkat kepalanya, lalu mencium lembut keningku. Air matanya pun terus menetes.Apa yang baru saja terjadi denganku? Yang aku ingat adalah aku diminta dokter untuk melahirka
POV ArgaEntah sudah seperti apa wajahku saat ini. Entah pucat atau mungkin tak beraura sama sekali. Hati gelisah dan tak tahu harus melakukan apa kecuali berdoa. Meminta yang terbaik untuk Salma.Terdengar suara pintu terbuka dan aku segera berdiri. Berjalan cepat menemui dokter yang saat ini sedang menatap ke arahku."Bagaimana istri saya, Dok?""Maaf, Pak. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi ....""Tapi apa, Dok?""Ibu Salma belum sadarkan diri, Pak. Ibu Salma mengalami koma," ujarnya dan seketika aku lemas tak berdaya."Koma,"lirihku menjerit dalam hati.Ibu mendekat dan memelukku dari samping. "Mungkin Salma butuh beristirahat sejenak, Nak," ujarnya memberiku semangat."Bu." Aku berbalik dan memeluknya erat."Doakan saja istrimu. Semoga dia akan segera sadar. Ingat, Nak, kamu masih ada dua jagoan kecil yang kini menunggu dikunjungi. Sekarang, temui mereka dan setelahnya kamu temui Salma. Ibu akan temani," ucap ibu melepaskan pelukan lalu mengusap wajahku lembut.Senyum
POV ArgaDua bulan kemudian ...."Dokter tolong!"Teriakku kala Salma merasakan sakit perut yang luar biasa. Kata Salma, dia merasakan seperti ingin buang air besar. Pagi tadi saat aku baru saja selesai dari kamar mandi. Aku merasakan ada yang aneh pada istriku. Dia seperti menahan sakit, tetapi saat ditanya, tidak apa-apa. Hanya sakit pinggang saja.Tentu aku sebagai suami merasa khawatir dengan keadaannya. Apalagi dia saat ini hamil besar dan sudah masuk masa-masa persalinan meski masih kurang sekitar 6 minggu. Namun, kata dokter, aku harus lebih mawas terhadap istriku. Sebab, sewaktu-waktu bisa saja melahirkan tanpa menunggu HPL."Kamu tidak apa-apa?" tanyaku setelah kami selesai makan. Wajahnya terlihat lebih pucat dari tadi pagi.Salma menjawab dengan menggelengkan kepala. Apa dia tidak ingin aku khawatir, sehingga memilih diam dan menggeleng serta menyembunyikan rasa sakitnya?Sesekali Salma mengusap perutnya. Mengambil napas perlahan lalu mengeluarkan perlahan."Wajahmu pucat
Namun, ketika aku membuka gerbang, bukan Arga yang ada di dalam mobil itu, tetapi Najas.Sejak kapan dia tahu alamat rumah ini? Dan mau apa dia ke sini?Lelaki itu turun dari mobil lalu mendekat padaku. Dengan cepat aku kembali menutup gerbang, tetapi Najas lebih cekatan."Tunggu, Sal!""Lepasin!" Aku berusaha berontak ketika tangan Najas kembali menyentuh tanganku."Aku hanya ingin ngobrol sama kamu sebentar saja.""Maaf, seorang istri akan berdosa jika menerima tamu seorang laki-laki. Jadi tolong, pergi!"Namun, ucapanku tidak digubris sama sekali oleh Najas. "Aku mencintaimu, Sal. Bercerai lah dengan Arga dan menikahlah denganku.'Aku menggeleng. "Jangan berbuat gil4, Najas. Aku dan Arga tidak akan bercerai. Tidak akan pernah bercerai kecuali maut yang memisahkan!" tandasku.Najas memang keras kepala, bahkan dia juga menutup pintu gerbang. Aku mulai khawatir. Bagaimana jika Najas berbuat nekad."Pulanglah, Najas, aku mohon," ibaku padanya.Tubuhku mulai gemetar saat Najas kian men
Hampir lima belas menit aku ada di dalam toilet bersama Arga yang kini menunggu di depan toilet. Sengaja aku mengajaknya masuk agar mereka tidak saling bertemu."Sayang, sudah belum?" tanya Arga."Iya, sebentar," jawabku.Aku harus menghubungi dokter Ariana terlebih dahulu. Menanyakan padanya apakah Najas memang diajak ke sini atau memang pria itu sengaja datang setelah tahu aku akan cek di sini."Halo, assalamualaikum," jawab dokter Ariana dari seberang telepon."Waalaikumsallam, Dok," balasku sedikit ragu. Tetapi aku harus yakin."Ada apa, Bu Salma?" tanyanya ramah."Apakah? Em ... maaf sebelumnya, apakah Najas masih ada di situ?"Dokter Ariana sedikit tertawa mendengar pertanyaanku yang sedikit berbisik."Dia sudah pulang, lelaki itu hanya meminta tanda tangan dariku. Prakteknya sudah selesai," jawabnya dan aku bisa bernapas lega.Saking bahagianya, aku sampai lupa mengucapkan terima kasih dan langsung mengakhiri panggilan secara sepihak. Aku sadar ketika aku sudah keluar dan menga
"Arga!""Astaga, ganggu aja. Mau apa sih dia ke sini!" Arga berdecak kesal, begitu juga denganku. Kami bangkit bersama dan menghadap ke arah ibu tiriku yang sedang berjalan menuju teras."Hei. Kenapa semua harta juragan Amran kamu jual semua? Ha!""Memangnya apa urusan Anda dengan harta papa? Itu uang papa dan aku adalah anaknya," sahut Arga."Tapi Sinta juga berhak atas harta itu," engah ibu."Sinta juga sudah meninggal. Jadi, hanya aku yang berhak," balas Arga yang memang benar seperti itu kenyataannya. Hanya ibu saja yang gila akan harta, makanya dia mengusik."Dasar menantu jahat! Nggak mikirin mertua.""Anda hanya mantan mertua, jadi jangan harap aku akan memberikan warisan papa itu pada Anda. Sepeser pun tidak akan!"Ibu meradang mendengar penuturan dari Arga. Dia tidak terima kalau harta papa mertua dijual semua."Jahat kamu Arga!" Ibu menunjuk-nunjuk ke arah Arga."Cukup, Bu!" bentak Arga ketika ibu mulai tak terkendali."Jika sampai tangan ini menyentuh aku dan Salma. Maka a
"Iya, bukankah besok adalah hari ulang tahunmu?" Ah, aku sampai lupa jika besok usiaku genap 22 tahun. Ternyata suamiku itu benar-benar perhatian denganku. Ya Tuhan, kurang bersyukur bagaimana coba, setelah bertahun-tahun hidup dengan penuh air mata dan penyiksaan dari ibu tiri. Kini aku merasakan hidup dengan penuh kasih sayang dari orang yang begitu tulus mencintaiku.Ternyata dibalik setiap cobaan, akan ada hikmah yang datang. Sepertiku saat ini. Tak pernah terbayangkan jika akan menikah dengan seorang reader di fb.Soal cerita, selama hamil aku tak pernah lagi menulis. Mungkin bawaan anak kali ya, rasanya malas mau ngetik dan lebih suka scroll medsos dan main ular. Ah, snake adalah permainan yang paling aku suka sejak jaman hp jadul hingga muncul android."Maaf ya, rencananya aku akan buat pesta kecil-kecilan sekaligus syukuran atas kehamilanmu, tetapi karena ada musibah. Semua itu aku batalkan.""Tidak apa-apa, aku sudah tidak mual saja itu sudah hadiah paling terindah dari Tuha