Tentang Mbak Sinta yang menjadi simpanan om-om."Cukup! Jangan hina Sinta, dia itu bukan sugar baby seperti apa yang kalian tuduhkan!"Ibu meradang dan langsung pergi begitu saja. "Idih, memang benar kok kalau Sinta itu jadi simpanan om-om. Aku pernah lihat dia check-in hotel.""Aku juga pernah lihat dia pergi ke toko mas waktu itu bareng sama om-om. Mana om-omnya itu tampan lagi, masih terlihat muda pula.”Aduh, ini kenapa malah kesemsem sama pacar Mbak Sinta sih. Aneh deh. Dasar emak-emak rempong.Karena ibu sudah pergi. Aku pun juga pergi. Takut Arga kelamaan menunggu.Sepulang dari pasar aku langsung memasak. Namun, sejak aku pulang dari pasar, Mbak sinta tidak kelihatan batang hidungnya sama sekali. Entah kemana dia pergi, mungkin sengaja menghindar ketika aku memasak yang bau-bau.Selesai masak, semua orang langsung makan. Dan setelah semua beres makan, Mbak Sinta baru kembali. Namun, sejam kemudian dia pergi lagi.Kali ini aku sengaja mengikuti dia. Entah kemana dia akan pergi
Adegan di kamar hotel pagi kemarin kembali terjadi di hadapanku. Mama mertua mendorong tubuh Mbak Sinta hingga tersungkur di depan pintu."Mbak Sinta," lirihku saat melihat kakak tiriku itu tersungkur di lantai."Salma," desis papa mertua.Kini pria paruh itu ikut berdiri di belakang mama. Ia pun terkejut saat melihatku juga ada di sini.Segera papa mertua membantu Mbak Sinta bangkit. Sepertinya dia khawatir dengan keadaan Mbak Sinta. Sampai-sampai papa mertua menggeser tubuh mama demi membantu Mbak Sinta.Mama mertua tidak terima dengan perlakuan sang suami terhadap selingkuhannya. Tangan mama sudah kembali geregetan ingin menghajar Mbak Sinta. Akan tetapi, papa mertua langsung menepisnya."Cukup, Ma!" teriaknya seraya melindungi Mbak Sinta. Menggeser tubuh itu ke belakang tubuhnya karena tangan mama terus saja berusaha meraih Mbak Sinta untuk dihajar."Papa membelanya?" tanya mama penuh kekecewaan."Sinta hamil dan aku tidak ingin dia keguguran!" terang papa mertua."Hamil?" Mama ge
"Ada orang bunuh diri," jelasnya.Arga langsung pergi tanpa pamit menuju kamar sebelah. Begitu pula denganku dan waiters tersebut.Kamar sebelah kanan adalah kamar mama. Saat Arga berjalan ke sebelah kiri, wanita itu bilang salah. Arga shock, dia tidak percaya jika mamanya bunuh diri. Dengan cepat Arga membuka pintu. Tubuh mama Sofia terkapar di lantai dengan bersimbah darah."Ya Allah, Mama!" teriak Arga mendekati sang mama yang sudah terkulai lemah.Aku pun ikut mendekat. Banyak orang juga mendekat beberapa detik kemudian, termasuk juragan Amran."Innalillahi wa inna ilaihi raji'un.""Ya Allah, Mama," seru papa mertua ikut mendekat tetapi langsung ditepis oleh Arga."Pergi Anda!" teriak Arga membuat orang yang datang bisik-bisik menggunjing keluarga kami.Petugas resort bertindak cepat. Ambulans datang beberapa menit kemudian. Mama mertua langsung dievakuasi, dibawa kembali ke rumah. "Tolong bantu angkat," titah perawat."Apakah sudah cek denyut nadinya?"Semua menggeleng, tak ada
"Dan Anda bukan lagi ayahku!"Saat Arga berucap hal demikian, juragan Amran terlihat biasa saja. Mungkin mata hatinya sudah tertutup dengan Mbak Sinta, sehingga kehilangan Arga itu bukan hal penting baginya."Aku datang ke sini untuk memberikan hak waris kamu, Arga," ucap papa mertua membuat Arga tersenyum kecut."Anda pikir saya akan mengusik harta Anda? Tidak sama sekali! Berikan saja pada anak yang dikandung Sinta! Tanpa harta Anda saya masih bisa bertahan hidup," balas Arga yang sama sekali tidak tertarik dengan pembagian harta dari juragan Amran.Aku sempat kaget mendengarnya, jika orang lain akan berlomba-lomba merebut harta warisan. Kini Arga malah menolak harta itu."Tapi itu hak kamu sebagai anakku," ucap juragan Amran."Aku sudah tidak menganggap Anda ayah lagi. Jadi tidak ada hak apa pun atas harta warisan Anda," balas Arga."Tapi Arga ....""Cukup! Aku tidak akan meminta harta Anda sepeser pun. Jadi pergilah dan jangan ganggu hidup saja lagi!" Arga mengusir papanya dan Mba
Aku beralih menatap Arga. Namun, pria itu malah memberi anggukan kecil. Tandanya dia setuju dengan apa yang dikatakan oleh wanita itu. Apa mungkin Arga sudah tahu semuanya?"Percayalah, Nak, aku ini ibumu. Ibu kandungmu," terangnya lagi."Jika ibu adalah ibu kandung Salma, apakah ada buktinya?" tanya Arga menggenggam erat tanganku.Wanita itu menggeleng kecil, tetapi sesaat kemudian memberi anggukan. "Ada," balasnya cepat."Apa?" tanya Arga lagi."Bukti transfer uang," jawabnya lalu mengambil ponsel di dalam saku.Wanita itu langsung berkutat dengan ponsel di genggamannya. Beberapa detik kemudian dia memperlihatkan banyak sekali transferan atas nama dirinya dan ibu Hesti, ibu tiriku."Ibu Hesti," celetuk Arga setelah dia membaca bukti itu."Iya, Hesti wanita ular itu. Wanita penjilat dan penipu!""Apa maksudnya penipu?" tanyaku yang tentunya penasaran dengan kata penipu."Wanita itu sudah menipuku habis-habisan. Uang tabunganku habis gara-gara dia," jawabnya penuh dengan amarah."Maks
"Mereka bilang ...."Kemudian Arga menjelaskan apa yang dia dengar. "Bu, dia sudah kembali." "Dia siapa?""Wanita itu, Bu?""Wanita siapa?""Ibu kandung Salma.""Jannah?""Iya.""Biarkan saja dia kembali, Bang Handoko juga sudah meninggal.""Nanti kalau dia datang ke sini dan ngamuk-ngamuk ke ibu gimana?""Tinggal teriak maling atau orang gila pasti warga percaya dan wanita itu yang diusir."Arga menjelaskan seperti gaya bicara ibu dan Sinta. Tak hanya itu, Arga juga mengungkap jika ibu tiriku tahu soal Sinta kabur. Justru itu adalah ide ibu agar aku dan yang lainnya tidak curiga. Dan soal alasan pagi itu dia datang ke rumah Arga hanya sebuah akting demi meyakinkan aku, Arga dan almarhumah mama mertua. Dasar licik! Mungkin dia adalah titisan ratu Maleficent."Terus kenapa kamu datang ke rumah ibu bukan ke rumah juragan Amran?" tanyaku menyelidik."Aku sudah datang ke sana, tetapi kata Aldo Sinta pergi ke rumah ibunya," jawab Arga tetapi tatapanku masih dengan kecurigaan."Nggak perc
Di saat bersamaan, Aldo datang dengan Winda. Wajah mereka sama-sama gelisah seperti Mbak Sinta.Dengan cepat Winda turun dari motor diikuti oleh Aldo. Mereka berlari-lari tergesa-gesa menemui Arga."Mas Arga!""Ada apa?""Juragan Amran, Mas, dia ....""Juragan Amran mengalami kecelakaan kerja," ucap Aldo."Kecelakaan kerja gimana?" tanya Arga bingung."Kakinya tertimpa kayu kusen saat memantau para pekerja," tutur Aldo wajahnya sudah tidak begitu panik."Astaghfirullah, terus sekarang gimana?" tanya Mbak Sinta penuh rasa takut. Entah apa yang dia takutkan, takut juragan Amran mati atau entah ketakutan yang lainnya."Dibawa ke klinik dan sebentar lagi akan dibawa pulang," balas Winda ikut berbicara.Wajah Arga tampak gelisah, tetapi dia berusaha menutupi semuanya. Ia bertingkah seperti tak peduli."Ayo Bu kita temui juragan Amran," ajak Mbak Sinta pada Bu Hesti.Mereka berjalan terlebih dahulu, sedangkan aku dan Arga masih di tempat semula. Awalnya aku sudah bangkit, tetapi ketika aku
"Ada yang telepon kenapa nggak diangkat," ucap Arga seraya mengusap wajahnya."Lagi ganti baju, Sayang," balasku sibuk dengan pakaian."Aku angkat boleh?" tanyanya.Aku mengangguk dan Arga pun langsung menyambar hp di atas nakas lalu menerima telepon tersebut."Dia itu istriku! Macam laki nggak laku aja!" sentaknya lalu mengakhiri panggilan dan meletakkan ponsel dengan kasar."Gil4 tu laki. Dah tahu kamu istri orang, masih ada mengganggu. Maunya apa sih!" Arga begitu kesal. Mungkin yang baru saja menelpon adalah Najas. Terlihat jelas jika Arga tidak menyukainya."Sejak kapan dia memiliki nomor kamu? Apa jangan-jangan kalian saling save nomor?""Dullu iya, kan kita sering bertemu di rumah juragan aku waktu masih kerja. Dia sering beliin aku makanan kalau dia berkunjung ke rumah kakaknya," balasku yang tidak menampik jika aku memang menyimpan nomor Najas."Oh," jawabnya dengan ekspresi campur aduk tidak menentu. Antara marah, kesal, jengkel dan lain-lain. Dah semacam sambal urap aja tuh
"Sayang, aku pergi sebentar ya," pamitnya tergesa-gesa."Temui pacar?""Ha?" Arga melongo."Temui wanita lain?" Aku menegaskan."Maksudnya apa sih?" Entah dia berpura-pura polos atau memang bingung dengan arah bicaraku."Menemui wanita lain," jawabku tegas."Wanita lain? Wanita siapa?""Pacar kamu lah," sahutku kian jengkel. Diajak bicara malah tidak jelas. Menyebalkan bukan."Ya Allah, jadi kamu curiga sama aku? Kamu pikir aku selingkuh gitu? Hm." Arga yang tadinya sudah bersiap pergi jadi balik lagi."Iya," ketusku."Ya ampun, Sayang. Aku tidak mungkin selingkuh. Ya Allah. Ini tadi itu ibu Hesti nyuri. Terus dia digrebek warga. Eh ada yang nelpon aku, katanya dia minta ganti rugi walaupun ibu Hesti sudah masuk penjara, dia tetap minta ganti rugi atas uang yang hilang sebelum Bu Hesti tertangkap," jawab Arga panjang lebar.Aku hanya diam. Antara yakin dan tidak dengan apa yang Arga sampaikan."Ya udah, nanti kalau aku sudah sampai sana aku video call biar kamu percaya," ujarnya lal
"Rashad dan Rashid juga bagus, aku suka," balas Arga mengulas senyum."Aku tidak akan memaksa kok, Mas," ujarku."Aku suka dengan nama itu, semoga menjadi pemimpin yang tegas dan selalu menegakkan kebenaran," ucap Arga yang ternyata ikut setuju dengan usulanku."Alhamdulillah," balasku.Kesepakatan diambil jika anak kami adalah Rashad dan Rashid. ***Dua hari sudah aku beristirahat dan dokter sudah memperbolehkan aku menemui kedua buah hati. Ini adalah kali pertama aku bertemu mereka. Hati ini begitu bahagia hingga aku tak bisa berucap apa-apa. Melihat mereka menggeliat membuat air mata jatuh begitu saja tanpa pamit. Ada rasa bahagia yang luar biasa.Perjuangan yang tak sia-sia hingga aku mengalami koma. Terbayar sudah semua rasa sakit yang aku rasakan waktu itu, di mana hanya wanita yang tahu nikmatnya melahirkan. Menahan rasa sakit berjam-jam. Mengorbankan nyawanya sendiri untuk berjihad di jalan Allah.Hari ini adalah kali pertama aku memberikan asi kepada mereka. Rasanya sungguh
Sayup-sayup aku mendengar suara Arga menyebut nama anak kita. Perlahan aku mengerjapkan mata. Meski terasa begitu sulit, aku terus berusaha hingga tampak seseorang sedang menangis berada di hadapanku.Wanita yang baru beberapa bulan bersamaku itu berdiri mengarah padaku. Dengan wajah yang terlihat begitu sembab.Suara yang tak asing bagi telingaku juga terdengar. Pelukan dilayangkan begitu saja padaku. Ia menangis sesenggukan dengan wajah menempel di dadaku, dialah suamiku.Argantara Pramudya, orang yang menemaniku berjuang melahirkan buah hati kami. Pria itu menangis seraya mengucap syukur yang tiada henti."Terima kasih Ya Allah, Engkau telah kembalikan Salma pada kami."Entah sudah berapa kali ia berucap. Aku yang masih dalam keadaan setengah sadar pun hanya mengaminkan doa itu dalam hati saja.Kemudian Arga mengangkat kepalanya, lalu mencium lembut keningku. Air matanya pun terus menetes.Apa yang baru saja terjadi denganku? Yang aku ingat adalah aku diminta dokter untuk melahirka
POV ArgaEntah sudah seperti apa wajahku saat ini. Entah pucat atau mungkin tak beraura sama sekali. Hati gelisah dan tak tahu harus melakukan apa kecuali berdoa. Meminta yang terbaik untuk Salma.Terdengar suara pintu terbuka dan aku segera berdiri. Berjalan cepat menemui dokter yang saat ini sedang menatap ke arahku."Bagaimana istri saya, Dok?""Maaf, Pak. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi ....""Tapi apa, Dok?""Ibu Salma belum sadarkan diri, Pak. Ibu Salma mengalami koma," ujarnya dan seketika aku lemas tak berdaya."Koma,"lirihku menjerit dalam hati.Ibu mendekat dan memelukku dari samping. "Mungkin Salma butuh beristirahat sejenak, Nak," ujarnya memberiku semangat."Bu." Aku berbalik dan memeluknya erat."Doakan saja istrimu. Semoga dia akan segera sadar. Ingat, Nak, kamu masih ada dua jagoan kecil yang kini menunggu dikunjungi. Sekarang, temui mereka dan setelahnya kamu temui Salma. Ibu akan temani," ucap ibu melepaskan pelukan lalu mengusap wajahku lembut.Senyum
POV ArgaDua bulan kemudian ...."Dokter tolong!"Teriakku kala Salma merasakan sakit perut yang luar biasa. Kata Salma, dia merasakan seperti ingin buang air besar. Pagi tadi saat aku baru saja selesai dari kamar mandi. Aku merasakan ada yang aneh pada istriku. Dia seperti menahan sakit, tetapi saat ditanya, tidak apa-apa. Hanya sakit pinggang saja.Tentu aku sebagai suami merasa khawatir dengan keadaannya. Apalagi dia saat ini hamil besar dan sudah masuk masa-masa persalinan meski masih kurang sekitar 6 minggu. Namun, kata dokter, aku harus lebih mawas terhadap istriku. Sebab, sewaktu-waktu bisa saja melahirkan tanpa menunggu HPL."Kamu tidak apa-apa?" tanyaku setelah kami selesai makan. Wajahnya terlihat lebih pucat dari tadi pagi.Salma menjawab dengan menggelengkan kepala. Apa dia tidak ingin aku khawatir, sehingga memilih diam dan menggeleng serta menyembunyikan rasa sakitnya?Sesekali Salma mengusap perutnya. Mengambil napas perlahan lalu mengeluarkan perlahan."Wajahmu pucat
Namun, ketika aku membuka gerbang, bukan Arga yang ada di dalam mobil itu, tetapi Najas.Sejak kapan dia tahu alamat rumah ini? Dan mau apa dia ke sini?Lelaki itu turun dari mobil lalu mendekat padaku. Dengan cepat aku kembali menutup gerbang, tetapi Najas lebih cekatan."Tunggu, Sal!""Lepasin!" Aku berusaha berontak ketika tangan Najas kembali menyentuh tanganku."Aku hanya ingin ngobrol sama kamu sebentar saja.""Maaf, seorang istri akan berdosa jika menerima tamu seorang laki-laki. Jadi tolong, pergi!"Namun, ucapanku tidak digubris sama sekali oleh Najas. "Aku mencintaimu, Sal. Bercerai lah dengan Arga dan menikahlah denganku.'Aku menggeleng. "Jangan berbuat gil4, Najas. Aku dan Arga tidak akan bercerai. Tidak akan pernah bercerai kecuali maut yang memisahkan!" tandasku.Najas memang keras kepala, bahkan dia juga menutup pintu gerbang. Aku mulai khawatir. Bagaimana jika Najas berbuat nekad."Pulanglah, Najas, aku mohon," ibaku padanya.Tubuhku mulai gemetar saat Najas kian men
Hampir lima belas menit aku ada di dalam toilet bersama Arga yang kini menunggu di depan toilet. Sengaja aku mengajaknya masuk agar mereka tidak saling bertemu."Sayang, sudah belum?" tanya Arga."Iya, sebentar," jawabku.Aku harus menghubungi dokter Ariana terlebih dahulu. Menanyakan padanya apakah Najas memang diajak ke sini atau memang pria itu sengaja datang setelah tahu aku akan cek di sini."Halo, assalamualaikum," jawab dokter Ariana dari seberang telepon."Waalaikumsallam, Dok," balasku sedikit ragu. Tetapi aku harus yakin."Ada apa, Bu Salma?" tanyanya ramah."Apakah? Em ... maaf sebelumnya, apakah Najas masih ada di situ?"Dokter Ariana sedikit tertawa mendengar pertanyaanku yang sedikit berbisik."Dia sudah pulang, lelaki itu hanya meminta tanda tangan dariku. Prakteknya sudah selesai," jawabnya dan aku bisa bernapas lega.Saking bahagianya, aku sampai lupa mengucapkan terima kasih dan langsung mengakhiri panggilan secara sepihak. Aku sadar ketika aku sudah keluar dan menga
"Arga!""Astaga, ganggu aja. Mau apa sih dia ke sini!" Arga berdecak kesal, begitu juga denganku. Kami bangkit bersama dan menghadap ke arah ibu tiriku yang sedang berjalan menuju teras."Hei. Kenapa semua harta juragan Amran kamu jual semua? Ha!""Memangnya apa urusan Anda dengan harta papa? Itu uang papa dan aku adalah anaknya," sahut Arga."Tapi Sinta juga berhak atas harta itu," engah ibu."Sinta juga sudah meninggal. Jadi, hanya aku yang berhak," balas Arga yang memang benar seperti itu kenyataannya. Hanya ibu saja yang gila akan harta, makanya dia mengusik."Dasar menantu jahat! Nggak mikirin mertua.""Anda hanya mantan mertua, jadi jangan harap aku akan memberikan warisan papa itu pada Anda. Sepeser pun tidak akan!"Ibu meradang mendengar penuturan dari Arga. Dia tidak terima kalau harta papa mertua dijual semua."Jahat kamu Arga!" Ibu menunjuk-nunjuk ke arah Arga."Cukup, Bu!" bentak Arga ketika ibu mulai tak terkendali."Jika sampai tangan ini menyentuh aku dan Salma. Maka a
"Iya, bukankah besok adalah hari ulang tahunmu?" Ah, aku sampai lupa jika besok usiaku genap 22 tahun. Ternyata suamiku itu benar-benar perhatian denganku. Ya Tuhan, kurang bersyukur bagaimana coba, setelah bertahun-tahun hidup dengan penuh air mata dan penyiksaan dari ibu tiri. Kini aku merasakan hidup dengan penuh kasih sayang dari orang yang begitu tulus mencintaiku.Ternyata dibalik setiap cobaan, akan ada hikmah yang datang. Sepertiku saat ini. Tak pernah terbayangkan jika akan menikah dengan seorang reader di fb.Soal cerita, selama hamil aku tak pernah lagi menulis. Mungkin bawaan anak kali ya, rasanya malas mau ngetik dan lebih suka scroll medsos dan main ular. Ah, snake adalah permainan yang paling aku suka sejak jaman hp jadul hingga muncul android."Maaf ya, rencananya aku akan buat pesta kecil-kecilan sekaligus syukuran atas kehamilanmu, tetapi karena ada musibah. Semua itu aku batalkan.""Tidak apa-apa, aku sudah tidak mual saja itu sudah hadiah paling terindah dari Tuha