"Dan Anda bukan lagi ayahku!"Saat Arga berucap hal demikian, juragan Amran terlihat biasa saja. Mungkin mata hatinya sudah tertutup dengan Mbak Sinta, sehingga kehilangan Arga itu bukan hal penting baginya."Aku datang ke sini untuk memberikan hak waris kamu, Arga," ucap papa mertua membuat Arga tersenyum kecut."Anda pikir saya akan mengusik harta Anda? Tidak sama sekali! Berikan saja pada anak yang dikandung Sinta! Tanpa harta Anda saya masih bisa bertahan hidup," balas Arga yang sama sekali tidak tertarik dengan pembagian harta dari juragan Amran.Aku sempat kaget mendengarnya, jika orang lain akan berlomba-lomba merebut harta warisan. Kini Arga malah menolak harta itu."Tapi itu hak kamu sebagai anakku," ucap juragan Amran."Aku sudah tidak menganggap Anda ayah lagi. Jadi tidak ada hak apa pun atas harta warisan Anda," balas Arga."Tapi Arga ....""Cukup! Aku tidak akan meminta harta Anda sepeser pun. Jadi pergilah dan jangan ganggu hidup saja lagi!" Arga mengusir papanya dan Mba
Aku beralih menatap Arga. Namun, pria itu malah memberi anggukan kecil. Tandanya dia setuju dengan apa yang dikatakan oleh wanita itu. Apa mungkin Arga sudah tahu semuanya?"Percayalah, Nak, aku ini ibumu. Ibu kandungmu," terangnya lagi."Jika ibu adalah ibu kandung Salma, apakah ada buktinya?" tanya Arga menggenggam erat tanganku.Wanita itu menggeleng kecil, tetapi sesaat kemudian memberi anggukan. "Ada," balasnya cepat."Apa?" tanya Arga lagi."Bukti transfer uang," jawabnya lalu mengambil ponsel di dalam saku.Wanita itu langsung berkutat dengan ponsel di genggamannya. Beberapa detik kemudian dia memperlihatkan banyak sekali transferan atas nama dirinya dan ibu Hesti, ibu tiriku."Ibu Hesti," celetuk Arga setelah dia membaca bukti itu."Iya, Hesti wanita ular itu. Wanita penjilat dan penipu!""Apa maksudnya penipu?" tanyaku yang tentunya penasaran dengan kata penipu."Wanita itu sudah menipuku habis-habisan. Uang tabunganku habis gara-gara dia," jawabnya penuh dengan amarah."Maks
"Mereka bilang ...."Kemudian Arga menjelaskan apa yang dia dengar. "Bu, dia sudah kembali." "Dia siapa?""Wanita itu, Bu?""Wanita siapa?""Ibu kandung Salma.""Jannah?""Iya.""Biarkan saja dia kembali, Bang Handoko juga sudah meninggal.""Nanti kalau dia datang ke sini dan ngamuk-ngamuk ke ibu gimana?""Tinggal teriak maling atau orang gila pasti warga percaya dan wanita itu yang diusir."Arga menjelaskan seperti gaya bicara ibu dan Sinta. Tak hanya itu, Arga juga mengungkap jika ibu tiriku tahu soal Sinta kabur. Justru itu adalah ide ibu agar aku dan yang lainnya tidak curiga. Dan soal alasan pagi itu dia datang ke rumah Arga hanya sebuah akting demi meyakinkan aku, Arga dan almarhumah mama mertua. Dasar licik! Mungkin dia adalah titisan ratu Maleficent."Terus kenapa kamu datang ke rumah ibu bukan ke rumah juragan Amran?" tanyaku menyelidik."Aku sudah datang ke sana, tetapi kata Aldo Sinta pergi ke rumah ibunya," jawab Arga tetapi tatapanku masih dengan kecurigaan."Nggak perc
Di saat bersamaan, Aldo datang dengan Winda. Wajah mereka sama-sama gelisah seperti Mbak Sinta.Dengan cepat Winda turun dari motor diikuti oleh Aldo. Mereka berlari-lari tergesa-gesa menemui Arga."Mas Arga!""Ada apa?""Juragan Amran, Mas, dia ....""Juragan Amran mengalami kecelakaan kerja," ucap Aldo."Kecelakaan kerja gimana?" tanya Arga bingung."Kakinya tertimpa kayu kusen saat memantau para pekerja," tutur Aldo wajahnya sudah tidak begitu panik."Astaghfirullah, terus sekarang gimana?" tanya Mbak Sinta penuh rasa takut. Entah apa yang dia takutkan, takut juragan Amran mati atau entah ketakutan yang lainnya."Dibawa ke klinik dan sebentar lagi akan dibawa pulang," balas Winda ikut berbicara.Wajah Arga tampak gelisah, tetapi dia berusaha menutupi semuanya. Ia bertingkah seperti tak peduli."Ayo Bu kita temui juragan Amran," ajak Mbak Sinta pada Bu Hesti.Mereka berjalan terlebih dahulu, sedangkan aku dan Arga masih di tempat semula. Awalnya aku sudah bangkit, tetapi ketika aku
"Ada yang telepon kenapa nggak diangkat," ucap Arga seraya mengusap wajahnya."Lagi ganti baju, Sayang," balasku sibuk dengan pakaian."Aku angkat boleh?" tanyanya.Aku mengangguk dan Arga pun langsung menyambar hp di atas nakas lalu menerima telepon tersebut."Dia itu istriku! Macam laki nggak laku aja!" sentaknya lalu mengakhiri panggilan dan meletakkan ponsel dengan kasar."Gil4 tu laki. Dah tahu kamu istri orang, masih ada mengganggu. Maunya apa sih!" Arga begitu kesal. Mungkin yang baru saja menelpon adalah Najas. Terlihat jelas jika Arga tidak menyukainya."Sejak kapan dia memiliki nomor kamu? Apa jangan-jangan kalian saling save nomor?""Dullu iya, kan kita sering bertemu di rumah juragan aku waktu masih kerja. Dia sering beliin aku makanan kalau dia berkunjung ke rumah kakaknya," balasku yang tidak menampik jika aku memang menyimpan nomor Najas."Oh," jawabnya dengan ekspresi campur aduk tidak menentu. Antara marah, kesal, jengkel dan lain-lain. Dah semacam sambal urap aja tuh
"Sinta, tanpa aku menjawab pun sepertinya kamu sudah tahu," balas Arga."Kamu mau kita rujuk?""Tidak. Kata talak itu telah terucap dan perceraian akan tetap terjadi," sahut Arga tak mau ambil pusing. Tangannya menuntunku masuk rumah lalu menutup pintu tanpa peduli jika Mbak Sinta masih ada di luar. Alhamdulillah, pendirian Arga tak tergoyahkan sama sekali. Perceraian akan tetap terjadi. Namun, kini yang menjadi pertanyaanku adalah, kenapa Mbak Sinta minta rujuk? "Kamu tidak penasaran kenapa Mbak Sinta minta rujuk?" tanyaku saat kami sudah berada di dalam kamar."Tidak," balasnya bersiap duduk menghadap layar laptopnya."Kamu juga tidak mau tahu bagaimana keadaan papa?""Tidak."Aku menghela napas. Entah kenapa aku merasa ada yang aneh. Mbak Sinta datang tiba-tiba minta rujuk, Aldo juga sejak tadi aku tanya bagaimana keadaan juragan Amran, dia sama sekali tidak membalas.Apakah mertuaku baik-baik saja? Atau mungkin terjadi sesuatu dengannya hingga Mbak Sinta minta rujuk?Pikiranku
HuekHuekRasa mual seketika menyertai. Arga langsung panik melihatku tiba-tiba muntah secara mendadak. Dengan cepat ia membantu memijat tengkukku.Namun, entah kenapa saat tubuh Arga semakin dekat. Rasa mual itu kian bertambah. Akan tetapi, saat Arga menjauh, rasa mual itu menghilang.Menurutku ini aneh, apakah aku alergi padanya. Tetapi masak baru sekarang sih alerginya. Seharusnya sejak dulu, masak baru sekarang.Ibu yang mendengar aku mual-mual pun langsung keluar dan membantu memijat tengkuk. Ketika dia bertanya aku kenapa dan Arga menjawab dengan jujur. Ibu malah tertawa dan mengatakan jika aku ngidam."Ngidam?" tanyaku dan Arga bersamaan."Iya, kamu hamil, Sal," imbuhnya saat melihat keanehan padaku dan Arga."Coba kamu ingat-ingat sudah haid apa belum bulan ini," ujar ibu.Aku pun mulai mengingat dan menghitung. Dan benar saja kalau bulan ini aku sudah telat hampir sepuluh hari. Sampai-sampai aku tidak sadar jika sudah selama itu tidak datang bulan."Buruan ajak periksa ke dok
Ya Tuhan, itu Arga. Aduh, kenapa dia marah-marah sih. Kan malu di depan dokter Ariana."Kamu nggak lihat aku pakai baju apa? Baju seragam dan tanpa perlu aku jelaskan pasti kamu sudah tahu," jawab Najas dengan memajukan dada bidangnya.Aduh, apa mereka akan bertengkar di dalam ruangan ini? Bikin malu aja kalau sampai itu terjadi.Itu Arga kenapa juga pakai acara datang ke sini segala. Bukannya tadi dia bilang tidak mau ikut memeriksakan kandungan. Kenapa tiba-tiba malah datang sih. "Maaf, Anda siapa?" tanya dokter Ariana.Dengan cepat Arga menjawab. "Saya suaminya." Seraya melirik ke arahku."Oh, silahkan duduk dan mari kita lihat hasil pemeriksaannya," ujar dokter Ariana dan Arga langsung patuh.Mereka sudah seperti anak kecil saja. Saat Arga akan duduk, dia mendorong tubuh Najas agar menjauh. Hingga terjadi aksi dorong-dorongan hingga Najas hampir saja terjatuh karena Arga mendorong terlalu kuat."Najas, tolong ambilkan ultrasound gel," pinta dokter Ariana saat tahu jika kedua pria