Nial menceburkan dirinya ke dalam kolam renang hotel pagi ini. Pagi yang bahkan cicadas saja belum selesai bernyanyi.Tapi dia sudah di sini dengan harapan semua rasa marahnya luntur. Pada Hendro, pada Jenni, pada ucapan mereka yang semalaman telah ia pertimbangkan. Tidak bisa dimaafkan.Semalam dia tidak bisa memejamkan mata. Hanya memandang wajah cantik Bela yang kelelahan dan selamat dari jurang, hal yang telah membuat rusuknya nyeri."Kenapa renang pagi-pagi begini?"Nial memunculkan kepalanya ke permukaan saat mendengar suara Bela."Bela?""Mas kenapa sudah di sini?"Dia ikut mendekat. Duduk di tepi kolam yang kering dan memasukkan kakinya. Membuat Nial berenang mendekat padanya dan tersenyum."Selamat pagi. Beri Mas kecupan selamat pagi dulu! Hm?"Bela tidak bisa menahan senyumnya. Ia menunduk dan mengecup bibir Nial."Selamat pagi, kenapa Mas Nial sudah renang? Ini masih pagi loh!"Bela melihat Nial yang menjauh. Kembali berenang dan melakukan sekali putaran."Nggak bisa tidur.
"Daebak!"Bisa diartikan sebagai, 'Hebat, luar biasa' dari bahasa Korea. Ini biasanya diucapkan oleh para penggemar K-drama.Tapi kali ini yang mengucapkannya bukanlah penggemar drama. Melainkan beberapa orang perempuan yang sedang nongkrong di dalam sebuah restoran."Yah-yah! Siapa itu perempuan cantik yang datang?""Wah ... dia artis?"Semua ucapan itu dapat didengar oleh Jenni saat ia duduk di dalam sana. Membuatnya memutar kepala dengan segera mengikuti arah pandang orang-orang yang terpesona pada seorang perempuan di halaman restoran.Yang saat ini sedang keluar dari sebuah mobil mewah berlambang trisula. Siapapun yang melihat pasti tahu mobil itu harganya mahal.Perempuan itu sangat cantik di mata Jenni. Mengenakan dress merah di bawah lutut dengan kaca mata hitamnya. Rambut panjangnya mengkilat hitam diterpa sinar matahari siang ini.Jenni terkejut karena itu adalah,"Bela?"Jenni terhenyak. Karena panggilan itu bukan keluar dari bibirnya. Melainkan dari seorang perempuan lain
"I know that you're an annoying old man. But ... this is too much. You cross the boundaries, Sir."Nyatanya Nial yang sedari pagi pamit pada Bela ada urusan dengan Jerry itu sebenarnya sedang pergi ke kantor ayahnya. Ini di dalam ruang kerja Hendro. Presiden Direktur Ones Company dan Nial duduk dengan memutar kursi kerjanya. "Apa yang kamu lakukan di sini, Nial? Dan apa yang kamu katakan barusan?"Nial bangun dari duduknya. Dia berjalan pada Hendro dengan menasehati dirinya sendiri agar tidak marah atau mengeluarkan sumpah serapah paling buruk.Tapi mengingat mata putus asa Bela yang hampir mati bunuh diri di pantai, ia tidak bisa melakukannya."Ayah tahu kalau Ayah itu sangat memuakkan? Apa yang kamu katakan pada istriku, pada Bela?"Hendro bergerak tidak nyaman, ia tahu Nial pasti sedang membicarakan pertemuannya dengan Bela tempo hari. Pertengkaran mereka dan hari di mana ia bisa menyaksikan Bela menangis."Maaf!"Hendro menjawab dengan cepat, tidak ingin merusak mood Nial semaki
"Nggak! Jangan!"Bela hampir menangis saat mengatakan itu. Ia melihat Jenni datang dari sisi kanan Nial, dengan sebilah pisau yang dibawanya. Bela tahu Jenni sudah pasti diam-diam mengikutinya karena dia marah setelah Bela memberinya perlawanan dan memberinya batas agar Jenni tahu diri. Tapi kemarahan Jenni yang tadinya ia tujukan pada Bela telah berubah haluan saat ia menjumpai Nial di tempat ini. Bela tahu apa yang ada di pikiran Jenni saat ia melihat Nial.Menghancurkan Nial, tidak ada yang boleh memilikinya jika itu bukan Jenni.Dugaannya benar! Karena Jenni menyerangnya. Membuat Bela berlari secepat kilat melindungi Nial. Maka ... di sinilah dia sekarang. Meski Bela telah memeluk Nial dan menjadikan punggung kecilnya sebagai umpan, namun Jenni memilih melukai yang lain.Wajahnya."BELA!"Nial berseru dalam kecemasan saat melihat sebelah pipi kiri Bela tersayat pisau. Darahnya terpercik hingga mengenai wajah Nial.Meski dalam rasa terkejut yang hebat, dan mengira ini hanyalah
***"Dia memang kehilangan banyak darah. Tapi lukanya nggak parah, Pak Nial."Niko mengatakan demikian saat mereka ada di depan ruang rawat Bela yang sudah dipindah dari ICU. Dua puluh empat jam pasca peristiwa penyerangan.Mereka melihat ke dalam ruangan. Di mana Bela dibiarkan istirahat setelah mendapatkan pengobatan dan jahitan kecil di lukanya yang menganga."Sungguh itu akan baik-baik saja?"Nial mempertegas. Ia takut Niko hanya mengatakan kalimat penghibur agar dia tidak larut dalam kesedihannya."Ya, bekas jahitannya akan menghilang dengan cepat. Aku akan meresepkan gel dan salep untuknya. Dipakai secara rutin, itu akan membantunya dengan cepat pulih.""Nggak perlu operasi revisi?"Niko menoleh padanya. Melihat wajah khawatir Nial yang tampak tak bisa ia sembunyikan. Meski ia bicara dengan nada suara yang ia buat senormal mungkin."Nggak, Pak Nial. Operasi revisi dilakukan pada luka berskala besar atau bekas luka yang kesulitan sembuhnya tinggi. Konsultasilah dengan dokter kuli
Jenni seperti kesetanan dengan ucapan Jerry. Sekarang dia tahu alasan kenapa tidak ada sama sekali lawyer yang datang padanya atau bahkan batang hidung ayah atau keluarganya guna menjenguknya.Itu karena dia sudah dibuang."Selamat menuai apa yang kamu tabur, Nona Jenni. Semoga lantai penjara yang dingin membuka kedua matamu."Jerry melemparkan pandangan bencinya lalu pergi dari sana. Tidak peduli bagaimana jerit marahnya Jenni yang merasa Jerry seperti baru saja memberikannya sebuah hukuman.Jerry melihat Nial sudah ada si samping mobil. Menunggu kedatangannya."Pak Nial akan kembali ke rumah sakit?""Iya.""Baiklah. Ayo aku antar!"Nial hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan. Mereka masuk ke dalam mobil saat Jerry kembali membuka suaranya."Pak Nial kenapa? Merasa bersalah dengan nona?"Nial mendorong napasnya dengan cemas. Diakui atau tidak, memang itulah yang dia rasakan."Ya. Aku selalu saja membuatnya menderita. Apa yang harus aku lakukan untuk menebus semua ini?""Berada di s
***"Bela? Mas akan mengobati lukamu. Hm?"Hari sudah pagi, berlalu setelah sekian hari ia habiskan di rumah sakit dengan penuh kesedihan karena Bela tidak akan sama lagi saat melihat orang-orang. Atau lebih tepatnya orang-orang yang tidak akan sama lagi saat melihatnya. Bela dapat mendengar suara bariton hangat Nial saat ia duduk di tepi ranjang dengan wajahnya yang tertunduk. Tak bisa ia perlihatkan.Nial datang dari ruang ganti dengan keadaan sudah rapi. Ia mengenakan pakaian yang tadi disiapkan Bela. Kemeja berwarna hitam yang membuat kulit putihnya mencolok sekaligus serasi karena ia mwnjadi semakin tampan.Ia duduk berlutut di hadapan Bela. Tangannya sibuk membuka kotak obat. Mengambil gel yang diresepkan dokter kulit, sama dengan apa yang dikatakan oleh Niko bahwa Bela tidak perlu menjalani operasi revisi. Nial memutar tutupnya, mengoleskannya pada wajah Bela yang hanya menyuguhkan kebisuan tanpa adanya tanda dia akan mengeluarkan sepatah kata. Nial juga dalam kebisuan yang
Panti Asuhan.Itu adalah jawabannya. Itu adalah jawaban dari apa yang tadi ditanyakan Bela pada Nial tentang tempat yang akan mereka kunjungi setelah Nial selesai kerja."Ini panti asuhan tempat Catherine berasal dulu."Nial mengucapkannya saat mereka sampai di sana. Turun dari mobil dengan Nial yang menggenggam erat-erat tangan Bela."Mas!"Bela menahan Nial yang sudah akan membawanya masuk melalui pintu utama. Bela ragu, ia takut anak-anak di sini menangis karena ketakutan melihat sebelah wajahnya yang belum pulih. Jangankan pulih, itu seperti luka yang tidak tahu kapan akan menghilang."Kenapa? Kamu bukannya pernah bilang ingin datang ke sini?""Iya, tapi ... wajahku? Aku takut mereka menangis.""Nggak akan begitu, Bela. Ayo!"Nial mengisyaratkan dengan senyumnya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Mereka masuk melalui pintu yang besar dan kokoh. Disambut beberapa staf yang memang dipekerjakan Ones Company di sini, untuk menjaga dan mengelola panti sejak Catherine tiada."Pak Ni
***"Selamat pagi."Bariton dalam nan seksi milik Nial selalu menyambutnya setiap pagi.Dia juga tampak baru saja mandi saat melihat Bela yang bangun dari tidurnya dan memberi istrinya kecupan yang manis."Selamat pagi, Mas. Kamu sudah mandi?""Sudah, Sayang. Hm ... kenapa kamu bangun cepat-cepat? Istirahatlah lagi!""Tapi belum ada makanan untuk pagi ini."Nial tersenyum mendengarnya. Ia berlutut di depan Bela dengan sebelah kakinya dan mengusap perutnya yang bulat dan lucu."Oh? Oh!"Nial terkejut. Ia memandang Bela dengan tidak percaya."Kenapa Mas? Dia gerak ya?""Iya. Oh mungkin ingin ucapan selamat pagi juga? Hm ... kamu iri?"Nial mengecup perutnya dan memandang Bela."Bela?""Ya?""Kamu sempurna. Terima kasih untuk sudah mengandung dan mwlahirkan anak-anak kita."Bela mengangguk. Ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat senyum Nial juga tampak sangat manis."Kamu mandilah! Nanti jadi pergi, 'kan?"Nial lebih dulu bangkit dari posisinya. Mengusap puncak kepala Bela dan memer
***"Ini kebebasan?"Terik. Matahari bersinar terik siang ini.Cerah dan juga berawan. Gugusan Cirro stratus membentang seperti karpet selamat datang yang menyaksikannya keluar dari tahanan. Pada akhirnya ....Tahun-tahun penebusannya telah berlalu. Dan ia tersenyum sekarang. Senyum yang kini tampak lega. Itu adalah Vida.Ia bebas dari tahanan setelah melewati masa yang suram. Yang tidak ingin lagi ia ulangi untuk ke dua kalinya.Dadanya lega sekaligus sebah. Ada perasaan bersalah pada Bela yang kini meluap hingga tumpah.Ia berjalan di sepanjang jalur pedestrian, menunduk dan memasuki sebuah kafe setelah keluar dari toko emas, menjual perhiasan yang dulu masih ia pakai sebelum dibawa polisi.Ponsel dan emas yang dikembalikan padanya itu ia jual dan ia gunakan setidaknya untuk bertahan hidup beberapa waktu ke depan. Sementara ponselnya masih bagus dan saat ini ada di atas meja.Ia duduk. Menghadap sebuah kertas kosong yang baru ia beli dari sebuah toko alat tulis.Netranya tergenan
Bela tersenyum membaca pesan dari Nial yang mengatakan agar ia bicara dengan Niko lebih dulu.Kini, bagi mereka ... semua telah sembuh dari luka. Tidak ada lagi pertengkaran atau baku hantam sama seperti yang dilakukan Nial dan Niko jika dulu mereka bertemu.Kebencian mereka telah berakhir. Bela ingat Nial sempat mengatakan bahwa Niko-lah yang dulu memberi tahu Nial saat Bela pergi ke Jawa Barat dan memutuskan akan mengakhiri hidupnya sendiri.Niko jugalah yang telah menanganinya saat Bela dilukai Jenni.Semuanya telah berlalu dengan sangat cepat. Waktu membuat kebencian bermetamorfosa menjadi obat penyembuh paling mujarab."Bagaimana kabarnya Pak Nial?"Pertanyaan Niko kembali merengkuh kesadaran Bela yang sedari tadi dibelenggu oleh pemikiran panjangnya."Kabar baik juga, Kak Nik. Dia sedang menikmati hari menjadi Papa yang super sibuk dengan anak lelakinya yang berlarian tanpa henti."Niko tersenyum mendengarnya. Sudah lama ia juga tidak bertemu Nial."Kak Niko mau bertenu dengan M
"Baby, be careful!"Bela merendahkan tinggi tubuhnya, berlutut saat anak kecil laki-laki berumur tiga tahun itu berlari dan memeluknya."Mommy! Mrs. Kim gets some letters!"Jari kecilnya menunjuk pada pintu ruang makan. Tapi saat Bela melihatnya, Nial lah yang masuk dengan bahu merosot penuh kelegaan. Ia baru saja berlari mengikuti anak lelakinya yang berderap secepat kilat meninggalkannya di belakang."Gavin? Papa 'kan sudah bilang jangan--""Mas? Sudahlah!"Bela tersenyum, mengusap punggung tangan Nial saat mendekat."Gavin, lihat perut mama! Hm? Gavin sayang dengan mama?"Nial ikut berlutut dan mengusap puncak kepalanya."Pasti sayang. Gavin sayang mama.""Kalau begitu pelan-pelan ya kalau peluk mama? Nanti kalau adik sakit bagaimana?"Gavin mengusap perut Bela yang membesar."Dia namanya adik?"Bela tertawa mendengar pertanyaan polosnya."No, Baby! Dia belum punya nama. Masih di dalam perut Mama. Nanti kalau sudah keluar, baru bisa diberi nama."Bela meraih tangan kecilnya. Meleta
Bela hanya menahan senyumnya saat ini. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan Siska rasakan bersama Jerry untuk pertama kalinya.'Jadi, akan ada yang segelnya dirusak malam ini.'Bela tertawa sendiri. Ia berdiri di deoan cermin setinggi pintu yang ada di dalam kamar ganti dan mengulurkan tangannya ke belakang. Meraih resleting di punggungnya, untuk melepas gaun malam yang tadi ia gunakan untuk menghadiri pernikahan Siska dan juga Jerry."Astaga! Kenapa selalu saja seperti ini. Tadi dipakai mudah tapi kalau mau dilepas sulitnya minta ampun."Bela menggerutu. Ia masih mencoba menarik resletingnya tapi rasanya tidak bisa.Sampai sebuah tangan menariknya turun dan Bela dengan cepat menoleh ke belakang. Ia menunduk teelalu lama sampai tidak sadar Nial sudah masuk dan membantunya."Terima kasih, Mas Nial.""Iya, sama-sama, Sayang."Bela melepasnya. Melemparnya ke sandaran sofa ruang ganti dengan hanya menyisakan underwear. Saat Nial juga membuka kancing jasnya dan ikut melemparnya di temp
Nial tidak bisa membendung senyumnya saat tahu isi di dalam kotak kado itu. Itu berisi figura yang membingkai sebuah foto.Foto anak kecil perempuan dengan topi bundarnya. Itu adalah foto masa kecil Bela."Mas Nial 'kan selalu bilang kalau aku adalah hadiah yang kamu sukai?""Ya. Memang benar begitu, kok.""Jadi aku memberikan foto anak kecil itu padamu. Anak kecil yang hidupnya kamu selamatkan dan meski terpisah selama lebih dari satu dekade, takdir kembali mempertemukannu dengannya.""Ya, benar. Terima kasih. Mas akan letakkan ini di atas meja kantor kalau pulang nanti. Tapi ada yang harus kamu lakukan sekarang."Nial menutup kotak kado itu dan meletakkannya di atas nakas. Ia meraih tangan Bela dan membuatnya duduk di atas pangkuannya."Apa? Apa yang harus aku lakukan?""Berperan sebagai hadiah yang baik. Hm?"Nial telah membuka kancing dress yang dipakai Bela."Mas? Kamu nggak ingin makan kuenya dulu? Itu enak loh! Aku pesan di toko kue di ujung jalan yang ramai itu."Nial menggele
***Nial membuka matanya, hari sudah pagi. Dengan keadaan dirinya yang terbaring di atas ranjang bulan madunya. Dengan keadaan tanpa pakaian.Ia sama sekali tidak turun dari ranjang sejak dengan Bela kemarin sore. Akh.Mengingatnya saja membuatnya gerah setengah mati bahkan saat pendingin udara dinyalakan di atas sana. Ingatannya kembali terpanggil di saat-saat ia dan Bela memasuki kamar kemarin."Are you sure?" ragu Bela, bertanya memastikan pada Nial bahwa ia diperbolehkan mengambil alih kontrol mulai saat ini sejak Nial tidak bisa mendominasi hubungan ranjang karena ia masih tidak diperbolehkan bergerak terlalu banyak."Yeah, Baby! Take off my clothes!"Jantung Bela berdebar mendengar permintaan Nial agar melucuti pakaiannya. Bela tidak membantahnya dan membuka kancing kemeja Nial satu demi satu. Melihat perutnya yang masih terlilit perban dan belum sepenuhnya bisa dikatakan pulih.Nial hanya tersenyum saat Bela membuka kancing di celana panjang putih yang ia kenakan dan membuatny
Darah lebih kental dari Air. Jika di Swiss Leo menyerang Nial saat semua orang lengah, atau Jenni yang menyerang Bela saat itu, sekarang di sini, di Jakarta, Rafael menyerang Jerry.Tapi Jerry telah meningkatkan kewaspadaannya sepuluh kali lipat. Ia membaca pergerakan Rafael dan secepat mungkin menahan pergelangan tangannya yang membawa pisau cutter."Kamu yang brengsek!"Jerry memuntir tangannya hingga terbalik dan jatuhlah pisau itu. Rafael didorongnya hingga punggungnya terbentur dinding dengan kasar."Untuk semua yang telah kamu lakukan pada keluarga Nial, dan kali ini padaku. Bayarkan dan tebuslah semuanya, Rafael! Kamu punya kesempatan untuk menyesal."Jerry mengalihkan tangannya dari bahu Rafael ke kerah bajunya."Tapi saat kamu nggak berubah, aku pastikan kerah bajumu ini nggak lagi sama karena kamu akan mendekam di dalam penjara. Do you get it? Get lost you bastard!"Jerry memberikan penekanan pada setiap kalimatnya. Membuat Rafael bergidik ngeri karena dia dalam ancaman yan
"Selamat malam."Jerry datang dan menunduukan kepalanya pada Nial dan juga Bela yang ada di dalam kamar rawat."Selamat malam," balas mereka hampir bersamaan."Pak Nial sudah baikan?""Ya, Jerry. Dari mana kamu seharian? Kamu nggak datang menjengukku loh."Jerry menunjukkan senyumnya yang manis. Tapi Bela dapat melihat ada gurat kemarahan yang ia pendam saat ini."Bisa kita bicara? Hanya berdua saja."Jerry memandang Bela, memohon pengertian dan maaf."Sure, aku akan keluar. Aku akan ngobrol dengan Pak Watson."Bela hanya melemparkan senyumnya lalu memberi tempat untuk Jerry."Sebentar ya, Sayang?" Nial meraih tangannya sebelum ia benar-benar pergi."Iya, Mas. Kalian bicaralah!"Bela melambaikan tangannya sekilas pada Nial sebelum menghilang di balik pintu ruangan."Kenapa, Jerry? Hari ini kamu mengunjungi anak itu?"Nial bertanya sesegera mungkin. Tidak ingin membuang waktu lebih banyak karena ia ingin dengar apa yang ingin dikatakan oleh Jerry sampai membuat Bela harus pergi dari si