***Sekitar pukul delapan malam saat Bela mendengar, "Bela!" panggilan yang datang dari Siska.Siska mendekap erat Bela sesampainya ia di dalam rumah Nial setelah pulang kencan dengan Jerry."Selamat malam."Jerry yang masuk dari belakang Siska menundukkan kepala memberi salam pada Nial yang berjalan menuruni tangga."Selamat malam, Jerry, Siska. Bagaimana filmnya? Bagus?""Bagus, terima kasih."Nial mengangguk dan tersenyum, lalu mereka menoleh pada Bela dan Siska yang masih memeluk satu sama lain."Yah-yah! Ini Dio yang membuatnya?"Siska memelototkan matanya, menyentuh wajah Bela yang membiru si beberapa titik. Selagi Bela menjawabnya dengan mengangguk."Bagus dia dipenjara, kalau nggak ... wah ... aku akan merencanakan pembunuhan karena dia menyakiti temanku.""Tenang saja, Mas Nial sudah menghajarnya."Bela sekilas menoleh pada Nial."Selamat malam." Jerry menundukkan kepala pada Bela setelah jeda karena percakapan mereka."Malam, Kak Jerry.""Terima kasih Pak Nial sudah memesan
Niko gugup.Ini sudah semalam berselang sejak ia mengamati bunga yang ada di atas meja di dalam kamarnya. Dan pagi ini ia keluar dari mobilnya yang ia parkir tak jauh dari pintu gerbang kampus.Ia gelisah, antara melanjutkan menunggu Bela untuk meminta maaf atas insiden yang ia lakukan di rumah sakit tempo hari, ataukah sebaiknya ia mundur saja dan melupakan semuanya.Simalakama.Jika ia ada di sini, bisa saja Bela bertambah marah. Tapi jika ia mundur, ia tidak tahu apakah Bela memaafkannya atau tidak."Kak Niko?"Niko berbalik, tersenyum mendengar suara panggilan yang keluar dari bibir seorang perempuan. Tapi saat ia berbalik, itu bukanlah Bela. Bukan yang ia harapkan kedatangannya karena itu adalah Siska.Niko sekilas melihat melewati pundak Siska, berharap Bela ada di belakangnya. Namun hasilnya nihil."Kamu sendirian? Bela mana?""Kak Niko menunggunya?""Iya.""Dia nggak akan masuk.""Kenapa?""Dia sakit."Mata Niko bergerak tidak nyaman. Tidak mengantisipasi jawaban dari Siska ya
"Bapak!"Bela berlari memasuki ruangan di mana Handoko terbaring di dalam sana. Bersama Sasti yang duduk di sebelahnya. Dan juga Hendro yang duduk di sofa ruang VIP. Menyambut kedatangan Bela dan juga Nial dengan tersenyum."Bapak baik-baik saja?"Bela meraih tangan Handoko yang tersenyum. Kondisinya tidak seburuk yang ia pikirkan."Baik, Bel.""Sungguh?""Iya, jangan khawatir!"Nial menunduk, menyalami Sasti, Handoko dan ayahnya sendiri bergantian. Ia memandang Handoko yang tersenyum melihat wajah paniknya setelah Hendro mengabarinya bahwa ia dilarikan ke sini."Ayah sungguh baik-baik saja? Apa yang dikatakan William?""Hanya perlu istirahat saja, Nak Nial, dan tidak perlu memikirkan hal yang berat-berat."Bela bersyukur ayahnya dalam kondisi yang baik. Ia juga bersyukur obat dari Stefani bekerja dengan cukup baik sehingga luka memar di wajahnya sudah hampir sepenuhnya pulih. Sekarang tidak tampak karena ia mengaplikasikan make up tipis.Ia ingin apa yang terjadi padanya hari itu tid
"Ingin bicara apa, Kak Nik?"Bela bertanya sekeluarnya mereka dari ruang rawat Handoko dan Bela memutuskan untuk ikut dengannya. Setidaknya ia harus mendengarkan apa yang ingin dikatakan Niko kepadanya.Mereka ada di bawah pohon, dekat bangku tak jauh dari ruang VIP."Nggak, Bel. Tadi pagi aku datang ke kampus tapi Siska bilang kamu sedang sakit. Aku hanya ingin minta maaf."Niko menatap teduh Bela, lebih teduh ketimbang bayangan pohon besar yang saling tumpang tindih menaungi mereka dari matahari yang mulai meninggi."Iya, aku maafkan."Niko meraih tangan kanan Bela, meletakkan sebuah cincin di sana. Cincin dengan warna rose gold yang cantik dan itu membuat Bela tidak nyaman. "Apa ini?""Hadiah.""Untuk apa?""Saat kamu pergi bulan madu dengan Nial, aku terus berpikir haruskah aku menunggumu lebih lama ataukah melepasmu. Aku berniat akan menanyakannya secara langsung."Canggung.Bela tidak tahu bagaimana harus menyikapi situasi ini. Dengan Niko yang sudah jelas tahu statusnya adalah
Suara musik di dalam sini sedang secara berirama mengalun tanpa henti. Seorang penari tiang dengan pakaian minim dan bisa dibilang hampir tidak mengenakan, sedang meliuk-liukkan tubuhnya.DJ lelaki yang ada di depan seperti sedang memimpin gerak setiap orang agar mereka melantai di bawah gemerlapnya lampu.Seorang lelaki masuk ke dalam club malam, menjadi pusat perhatian atas wajah tampan yang ia bawa masuk dari luar ruangan.Dia seperti sengaja mempertunjukkan proporsi tingginya yang membuat orang-orang berdecak kagum padanya.Itu adalah Jerry. Dengan pakaian serba hitam layaknya malaikat maut, ia melenggang bebas di dalam sana.Matanya menangkap sosok yang ingin ia temui dan melihatnya sedang duduk di depan meja bartender dan menenggak segelas minuman beralkohol warna biru.Yang tampak terkejut karena ada laki-laki super tampan yang duduk di sebelah kirinya."Jerry?"Jerry menoleh padanya, tersenyum dengan salah satu sudut bibirnya yang lebih tinggi sehingga yang timbul adalah sebua
"Kenapa Mas nggak bilang sama aku?"Wajah putus asa Bela membuat Nial yang baru keluar dari kamar mandi menghentikan langkahnya dengan seketika."Apa, Sayang?"Nial mendekat, menyentil hidung Bela dan masuk ke dalam ruang ganti. Diikuti Bela yang masih mengekor di belakangnya."Kalau Vida yang membuat bapak sakit."Nial yang tadinya mengeringkan rambut dengan handuk memutar tubuhnya menghadap Bela. Tatapan matanya lebih pada mengatakan, 'Dari mana kamu tahu?'"Dia baru saja mengirim pesan. Dia bilang aku mengadu padamu kalau dia yang bikin bapak serangan jantung.""Astaga ... penyihir itu!"Nial memijit keningnya sekilas. Padahal ia baru saja keramas untuk melunturkan segala pikiran yang mengikat kepalanya. Tapi sepagi ini makhluk hidup dalam wujud perempuan bernama Navida Mandala telah membuat kepala yang harusnya dingin menjadi panas."Mas nggak bilang ke kamu karena Mas nggak ingin kamu kepikiran."Bela mendengus. Nial hanya tersenyum sembari menanggalkan bathrobe yang dipakainya.
***"Bapak sudah minum obat?"Bela bertanya pada Handoko yang duduk-duduk di ruang tamu rumah saat ia dan Nial menjenguknya. Jam sudah hampir pukul sembilan malam selagi dua orang itu masih asyik main catur."Iya, sudah, Nak."Bela hanya mengangguk. Kembali ke dapur dan membantu Sasti yang mengembalikan piring ke dalam lemari setelah selesai mereka pakai makan."Ajak suamimu istirahat! Kamu menginap di sini, 'kan?"Sasti sekilas menyentuh punggung tangan Bela."Iya, Buk. Mas Nial bilang hari ini kita akan menginap. Kita juga sudah bawa baju ganti, kok.""Iya."Bela memandang Sasti yang tersenyum. Tapi sebenarnya itu bukan nyata tersenyum karena matanya menunjukkan gurat kesedihan. Dan sebuah rasa kecewa yang dalam."Ibuk kepikiran kak Vida ya?"Sasti mendorong napasnya pelan, duduk di kursi di ruang makan dan diikuti Bela yang duduk di sampingnya."Iya, Nak. Ibuk nggak nyangka bapakmu kena serangan jantung setelah bertengkar dengannya."Mata Sasti basah."Sekarang, apa yang dikatakan
"Itu Jenni?"Sebuah celetukan terdengar dari salah satu meja di sisi kiri Bela. Sekarang Bela semakin yakin dengan dugaannya bahwa itu adalah Jenni.Perempuan yang sempat diceritakan Nial. Perempuan yang pada masa itu tidak menginginkan Nial karena dia menganggap Nial tidak sepadan dengannya. Perempuan yang menjadi awal perjodohannya dengan Catherine."Selamat datang."Stefani memecah keheningan sesaat di antara mereka."Anak-anak bilang kamu buka restoran? Selamat ya!"Beni menyikut sekilas lengannya.Dugaan Bela kembali benar bahwa restoran yang hari itu ia datangi bersama Siska adalah milik Jenni. Perempuan yang sekarang ada dan berdiri di hadapannya dengan sekilas mencuri pandang pada Nial dan juga Bela."Apa kabar, Nial?" tanyanya simpul. Memandang Nial juga Bela."Bisa kamu lihat sendiri. Baik kabarku."Bela merasa Nial menggenggam tangannya semakin erat."Ini istriku, Arabela."Jenni lebih dulu merebahkan tangannya dan Bela menyambutnya setelah meletakkan gelas minuman di tanga