"Itu Jenni?"Sebuah celetukan terdengar dari salah satu meja di sisi kiri Bela. Sekarang Bela semakin yakin dengan dugaannya bahwa itu adalah Jenni.Perempuan yang sempat diceritakan Nial. Perempuan yang pada masa itu tidak menginginkan Nial karena dia menganggap Nial tidak sepadan dengannya. Perempuan yang menjadi awal perjodohannya dengan Catherine."Selamat datang."Stefani memecah keheningan sesaat di antara mereka."Anak-anak bilang kamu buka restoran? Selamat ya!"Beni menyikut sekilas lengannya.Dugaan Bela kembali benar bahwa restoran yang hari itu ia datangi bersama Siska adalah milik Jenni. Perempuan yang sekarang ada dan berdiri di hadapannya dengan sekilas mencuri pandang pada Nial dan juga Bela."Apa kabar, Nial?" tanyanya simpul. Memandang Nial juga Bela."Bisa kamu lihat sendiri. Baik kabarku."Bela merasa Nial menggenggam tangannya semakin erat."Ini istriku, Arabela."Jenni lebih dulu merebahkan tangannya dan Bela menyambutnya setelah meletakkan gelas minuman di tanga
Nial sudah menemukan Han dan memberi tahunya kalau ia dan Bela akan menginap di sini. Agar ia pulang saja dan datang menjemputnya besok pagi.Saat itu, ia melihat Jenni yang juga ada di luar ruangan. Melihat Nial yang baru saja bicara dengan sopirnya.Nial mengabaikannya namun Jenni lebih dulu memanggilnya "Nial. Bisa kita bicara?""Nggak sekarang, Jen!"Nial meneruskan langkah. Tapi Jenni berlari dan berhenti di depannya."Sebentar saja."Mendengus kesal, Nial benar-benar tidak ingin terlibat, melihat, atau bicara apapun padanya. Tapi perempuan di depannya ini tampaknya tidak akan membiarkannya pergi begitu saja sebelum Nial mendengarkan—entah itu omong kosong atau hal serius—yang akan dia katakan."Kamu sudah menikah lagi? Kenapa nggak mengundangku?"Jenni bertanya, menatap teduh Nial tapi Nial menghindarinya."Kamu siapa yang harus kuundang? Mengundang atau nggak, itu hakku.""Maaf."Telinga Nial memanas mendengar itu."Maaf untuk apa sih?""Karena mengabaikan perasaanmu saat itu.
....Siska hanya tertawa melihat wajah ditekuk Bela setelah kelas mereka usai. Mereka masuk ke kantin dan duduk di sudut tempat setelah mengambil dua kaleng minuman."Why it's sucks?"Siska membuka suara. Seperti isyarat agar Bela tidak lupa kalau ada janji cerita yang semalam mereka singgung di dalam pesan."Kamu tahu pemilik restoran yang kita datangi tempo hari?"Bela bertanya sembari membuka kaleng minumannya."Oh? Yang Cheese cake nutella?""Iya.""Nggak lihat wajahnya. Kenapa, Bel?""Dia itu teman masa kecilnya Mas Nial, sampai masa SMA. Dan semalam dia ada di sana, di reuni.""Hah? Terus?""Namanya Jenni. Dan ... dulu sebelum Mas Nial menikah dengan Catherine, Jenni menolak Mas Nial. Tapi semalam, dia bilang pada suamiku kalau dia menyesal melakukan itu."Mata Siska melebar. Ia meremas kaleng di tangan kanannya erat-erat."Dia mau jadi pelakor?"Bela mengangkat kedua pundaknya."Entahlah! Tapi aku sudah bilang dengannya kalau jangan mengganggu hidupku dan Mas Nial. Mungkin dia
"M-Mas? Tunggu ....""Apa, Sayang?""Bagaimana kalau Kak Jerry masuk?""Aku sudah mengunci pintunya. Jangan khawatir!"Bela merasa sekujur tubuhnya merinding. Ia kedinginan karena penyejuk udara di dalam ruangan Nial berskala raksasa menurutnya."Kamu takut?"Ia saling pandang dengan Nial."Aku hanya ....""Semalam kamu bilang nggak bisa melakukannya karena kesal. Sekarang masih kesal? Kalau masih—""Nggak kok"Nial tersneyum."Kok nggak? Mas nggak—"Nial tidak bisa melanjutkan kalimatnya karena Bela meraih wajahnya dengan kedua tangannya dan mengecup Nial. Dengan begini, lampu hijau telah dinyalakan bahwa akan ada aktivitas panas yang akan mengalahkan pendingin udara di dalam ruangan ini.Bela menempatkan kedua tanganya di bahu Nial yang terbuka. Tentu saja! Karena mereka baru saja menanggalkan semua pakaian mereka tanpa sisa.Hujan deras turun di luar. Membuat jendela mengembun apalagi ini di lantai atas, di mana udara dingin di luar menggila. Bela dapat melihat pantulan dirinya d
Pesan dari Nial membuat Bela keluar dari dalam gedung. Ia berlari menuju ke depan setelah Nial mengabarkan kalau dia ada di sana bersama dengan Jerry. Yang membuat Siska juga ikut ke mana ia pergi."Mas Nial!"Akhirnya Bela melihatnya. Ia menawan dalam jas yang tadi pagi ia siapkan. Yang menunjukkan bahwa kepergiannya benar-benar di luar rencana karena mereka tidak tampak membawa bekal perjalanan."Sayang?"Bela berhenti dari larinya saat ia sampai di hadapan Nial."Mas sungguh akan pergi?""Iya.""Kapan pulang?""Mas nggak tahu, mungkin bisa cepat atau bahkan lebih lambat.""Kenapa tiba-tiba pergi?""Ada masalah di sana. Mas nggak bisa cerita. Kamu bisa jaga diri, 'kan?""Aku bisa. Tapi Mas Nial bagaimana?"Nial tersenyum saat mengusap puncak kepalanya."Mas akan baik-baik saja. Mas pergi sama Jerry, kok. Jangan khawatir!"Bela merasa telinganya memanas dan ia yakin air matanya akan jatuh sebentar lagi. "Pak Nial, waktunya!"Jerry mengingatkan dengan sekilas mengerling ke arlojinya.
"Untukku?"Bela memastikan bahwa apa yang didengarnya benar kalau Niko memberikan bunga itu untuknya. Bela suka bunga peony, tapi tidak yang datang dari Niko. Ia hanya suka bunga dari Nial."Maaf. Tapi, bukankah aku sudah jelas mengatakannya? Kak Niko jangan seperti ini, kumohon!"Suara Bela bergetar tidak nyaman. Ia sedang menjadi pusat perhatian.Selagi Siska yang ada di belakangnya juga merasa situasi ini membuat mereka menjadi bahan pergunjingan orang-orang."Tapi ... aku bilang antara melepaskan atau gigih, 'kan? Kamu sekarang tahu jawabannya."Bela mendengus kesal. Ia memejamkan matanya sejenak sebelum kembali memandang Niko. Mengabaikan tangannya yang masih ada di depannya."Aku nggak bisa menerimanya."Bela beranjak pergi dengan menarik tangan Siska agar mereka segera enyah dari sana. Dari situasi bodoh yang bisa saja dimanfaatkan orang lain untuk artikel di website kampusnya dengan jebakan click bait.Namun, tidak semudah itu karena kalimat Niko kembali membuatnya terhenti. N
...."Ke mana dia?"Jerry bingung karena saat ia masuk ke dalam apartemen yang ditinggali Nial pada pagi harinya, dia tidak dapat menemukan keberadaannya di sana.Nial menghilang sepagi ini dengan tidak berpamitan akan mengatakan akan pergi ke mana.Kamarnya rapi, dokumen yang semalam mereka kerjakan juga masih dalam keadaan sama seperti saat terakhir kali ia menumpuknya.Dia khawatir karena Siska tadi malam—waktu Seattle—bilang kalau Nial menelpon Bela dan mengatakan kalau mereka bertengkar. Bela menangis dan tidak ingin bicara sementara waktu dengan Nial.Itu karena foto dari nomor tidak dikenal yang dilihatnya, tentang Niko yang memberi bunga pada Bela."Astaga ...."Jerry menghela napasnya lalu pergi dari sana. Berpikir bahwa Bela tentu saja marah pada Nial karena secara tidak langsung itu Nial seperti sedang mengatakan bahwa Bela berselingkuh darinya.Tapi tampaknya Jerry yang sudah hafal kebiasaan Nial tahu ke mana akan membawa langkah kakinya ini pergi.Ia menuju tempat gym di
Bodoh!Vida merasa dirinya bodoh karena telah membongkar apa yang dia lakukan dalam usahanya mengusik biduk rumah tangga Nial dan juga Bela.'Kamu bodoh? Pantas Nial menyingkirkanmu jauh-jauh!'Kalimat Dio hari itu teringat dalam kepalanya. Sekarang seperti ucapannya terbukti benar karena Vida tidak bisa mengendalikan mulutnya dan mengatakan yang sebenarnya pada Bela.Bahwa hari itu ia memang datang ke sekitar kampus Bela untuk bertemu dengan Deni. Tanpa sengaja melihat Niko yang memberikan bunga pada Bela, memotretnya dan mengirimnya pada Nial."Jawab!"Intonasi bicara Bela Meninggi. Atmosfer di sekitarnya menjadi lebih dingin walaupun tensi amarah memanas.Vida berdehem untuk membersihkan tenggorokannya. Menghindari tatapan Bela yang marah melihatnya. "Lalu kenapa kalau aku yang mengirimnya?""Kamu keterlaluan!""Kamu yang keterlaluan, Bel! Nggak sopan kamu!"Vida berdiri dan melayangkan tangannya pada Bela. Tapi Bela lebih dulu meraih gelas kopi di depannya dan melempar isinya pad
***"Selamat pagi."Bariton dalam nan seksi milik Nial selalu menyambutnya setiap pagi.Dia juga tampak baru saja mandi saat melihat Bela yang bangun dari tidurnya dan memberi istrinya kecupan yang manis."Selamat pagi, Mas. Kamu sudah mandi?""Sudah, Sayang. Hm ... kenapa kamu bangun cepat-cepat? Istirahatlah lagi!""Tapi belum ada makanan untuk pagi ini."Nial tersenyum mendengarnya. Ia berlutut di depan Bela dengan sebelah kakinya dan mengusap perutnya yang bulat dan lucu."Oh? Oh!"Nial terkejut. Ia memandang Bela dengan tidak percaya."Kenapa Mas? Dia gerak ya?""Iya. Oh mungkin ingin ucapan selamat pagi juga? Hm ... kamu iri?"Nial mengecup perutnya dan memandang Bela."Bela?""Ya?""Kamu sempurna. Terima kasih untuk sudah mengandung dan mwlahirkan anak-anak kita."Bela mengangguk. Ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat senyum Nial juga tampak sangat manis."Kamu mandilah! Nanti jadi pergi, 'kan?"Nial lebih dulu bangkit dari posisinya. Mengusap puncak kepala Bela dan memer
***"Ini kebebasan?"Terik. Matahari bersinar terik siang ini.Cerah dan juga berawan. Gugusan Cirro stratus membentang seperti karpet selamat datang yang menyaksikannya keluar dari tahanan. Pada akhirnya ....Tahun-tahun penebusannya telah berlalu. Dan ia tersenyum sekarang. Senyum yang kini tampak lega. Itu adalah Vida.Ia bebas dari tahanan setelah melewati masa yang suram. Yang tidak ingin lagi ia ulangi untuk ke dua kalinya.Dadanya lega sekaligus sebah. Ada perasaan bersalah pada Bela yang kini meluap hingga tumpah.Ia berjalan di sepanjang jalur pedestrian, menunduk dan memasuki sebuah kafe setelah keluar dari toko emas, menjual perhiasan yang dulu masih ia pakai sebelum dibawa polisi.Ponsel dan emas yang dikembalikan padanya itu ia jual dan ia gunakan setidaknya untuk bertahan hidup beberapa waktu ke depan. Sementara ponselnya masih bagus dan saat ini ada di atas meja.Ia duduk. Menghadap sebuah kertas kosong yang baru ia beli dari sebuah toko alat tulis.Netranya tergenan
Bela tersenyum membaca pesan dari Nial yang mengatakan agar ia bicara dengan Niko lebih dulu.Kini, bagi mereka ... semua telah sembuh dari luka. Tidak ada lagi pertengkaran atau baku hantam sama seperti yang dilakukan Nial dan Niko jika dulu mereka bertemu.Kebencian mereka telah berakhir. Bela ingat Nial sempat mengatakan bahwa Niko-lah yang dulu memberi tahu Nial saat Bela pergi ke Jawa Barat dan memutuskan akan mengakhiri hidupnya sendiri.Niko jugalah yang telah menanganinya saat Bela dilukai Jenni.Semuanya telah berlalu dengan sangat cepat. Waktu membuat kebencian bermetamorfosa menjadi obat penyembuh paling mujarab."Bagaimana kabarnya Pak Nial?"Pertanyaan Niko kembali merengkuh kesadaran Bela yang sedari tadi dibelenggu oleh pemikiran panjangnya."Kabar baik juga, Kak Nik. Dia sedang menikmati hari menjadi Papa yang super sibuk dengan anak lelakinya yang berlarian tanpa henti."Niko tersenyum mendengarnya. Sudah lama ia juga tidak bertemu Nial."Kak Niko mau bertenu dengan M
"Baby, be careful!"Bela merendahkan tinggi tubuhnya, berlutut saat anak kecil laki-laki berumur tiga tahun itu berlari dan memeluknya."Mommy! Mrs. Kim gets some letters!"Jari kecilnya menunjuk pada pintu ruang makan. Tapi saat Bela melihatnya, Nial lah yang masuk dengan bahu merosot penuh kelegaan. Ia baru saja berlari mengikuti anak lelakinya yang berderap secepat kilat meninggalkannya di belakang."Gavin? Papa 'kan sudah bilang jangan--""Mas? Sudahlah!"Bela tersenyum, mengusap punggung tangan Nial saat mendekat."Gavin, lihat perut mama! Hm? Gavin sayang dengan mama?"Nial ikut berlutut dan mengusap puncak kepalanya."Pasti sayang. Gavin sayang mama.""Kalau begitu pelan-pelan ya kalau peluk mama? Nanti kalau adik sakit bagaimana?"Gavin mengusap perut Bela yang membesar."Dia namanya adik?"Bela tertawa mendengar pertanyaan polosnya."No, Baby! Dia belum punya nama. Masih di dalam perut Mama. Nanti kalau sudah keluar, baru bisa diberi nama."Bela meraih tangan kecilnya. Meleta
Bela hanya menahan senyumnya saat ini. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan Siska rasakan bersama Jerry untuk pertama kalinya.'Jadi, akan ada yang segelnya dirusak malam ini.'Bela tertawa sendiri. Ia berdiri di deoan cermin setinggi pintu yang ada di dalam kamar ganti dan mengulurkan tangannya ke belakang. Meraih resleting di punggungnya, untuk melepas gaun malam yang tadi ia gunakan untuk menghadiri pernikahan Siska dan juga Jerry."Astaga! Kenapa selalu saja seperti ini. Tadi dipakai mudah tapi kalau mau dilepas sulitnya minta ampun."Bela menggerutu. Ia masih mencoba menarik resletingnya tapi rasanya tidak bisa.Sampai sebuah tangan menariknya turun dan Bela dengan cepat menoleh ke belakang. Ia menunduk teelalu lama sampai tidak sadar Nial sudah masuk dan membantunya."Terima kasih, Mas Nial.""Iya, sama-sama, Sayang."Bela melepasnya. Melemparnya ke sandaran sofa ruang ganti dengan hanya menyisakan underwear. Saat Nial juga membuka kancing jasnya dan ikut melemparnya di temp
Nial tidak bisa membendung senyumnya saat tahu isi di dalam kotak kado itu. Itu berisi figura yang membingkai sebuah foto.Foto anak kecil perempuan dengan topi bundarnya. Itu adalah foto masa kecil Bela."Mas Nial 'kan selalu bilang kalau aku adalah hadiah yang kamu sukai?""Ya. Memang benar begitu, kok.""Jadi aku memberikan foto anak kecil itu padamu. Anak kecil yang hidupnya kamu selamatkan dan meski terpisah selama lebih dari satu dekade, takdir kembali mempertemukannu dengannya.""Ya, benar. Terima kasih. Mas akan letakkan ini di atas meja kantor kalau pulang nanti. Tapi ada yang harus kamu lakukan sekarang."Nial menutup kotak kado itu dan meletakkannya di atas nakas. Ia meraih tangan Bela dan membuatnya duduk di atas pangkuannya."Apa? Apa yang harus aku lakukan?""Berperan sebagai hadiah yang baik. Hm?"Nial telah membuka kancing dress yang dipakai Bela."Mas? Kamu nggak ingin makan kuenya dulu? Itu enak loh! Aku pesan di toko kue di ujung jalan yang ramai itu."Nial menggele
***Nial membuka matanya, hari sudah pagi. Dengan keadaan dirinya yang terbaring di atas ranjang bulan madunya. Dengan keadaan tanpa pakaian.Ia sama sekali tidak turun dari ranjang sejak dengan Bela kemarin sore. Akh.Mengingatnya saja membuatnya gerah setengah mati bahkan saat pendingin udara dinyalakan di atas sana. Ingatannya kembali terpanggil di saat-saat ia dan Bela memasuki kamar kemarin."Are you sure?" ragu Bela, bertanya memastikan pada Nial bahwa ia diperbolehkan mengambil alih kontrol mulai saat ini sejak Nial tidak bisa mendominasi hubungan ranjang karena ia masih tidak diperbolehkan bergerak terlalu banyak."Yeah, Baby! Take off my clothes!"Jantung Bela berdebar mendengar permintaan Nial agar melucuti pakaiannya. Bela tidak membantahnya dan membuka kancing kemeja Nial satu demi satu. Melihat perutnya yang masih terlilit perban dan belum sepenuhnya bisa dikatakan pulih.Nial hanya tersenyum saat Bela membuka kancing di celana panjang putih yang ia kenakan dan membuatny
Darah lebih kental dari Air. Jika di Swiss Leo menyerang Nial saat semua orang lengah, atau Jenni yang menyerang Bela saat itu, sekarang di sini, di Jakarta, Rafael menyerang Jerry.Tapi Jerry telah meningkatkan kewaspadaannya sepuluh kali lipat. Ia membaca pergerakan Rafael dan secepat mungkin menahan pergelangan tangannya yang membawa pisau cutter."Kamu yang brengsek!"Jerry memuntir tangannya hingga terbalik dan jatuhlah pisau itu. Rafael didorongnya hingga punggungnya terbentur dinding dengan kasar."Untuk semua yang telah kamu lakukan pada keluarga Nial, dan kali ini padaku. Bayarkan dan tebuslah semuanya, Rafael! Kamu punya kesempatan untuk menyesal."Jerry mengalihkan tangannya dari bahu Rafael ke kerah bajunya."Tapi saat kamu nggak berubah, aku pastikan kerah bajumu ini nggak lagi sama karena kamu akan mendekam di dalam penjara. Do you get it? Get lost you bastard!"Jerry memberikan penekanan pada setiap kalimatnya. Membuat Rafael bergidik ngeri karena dia dalam ancaman yan
"Selamat malam."Jerry datang dan menunduukan kepalanya pada Nial dan juga Bela yang ada di dalam kamar rawat."Selamat malam," balas mereka hampir bersamaan."Pak Nial sudah baikan?""Ya, Jerry. Dari mana kamu seharian? Kamu nggak datang menjengukku loh."Jerry menunjukkan senyumnya yang manis. Tapi Bela dapat melihat ada gurat kemarahan yang ia pendam saat ini."Bisa kita bicara? Hanya berdua saja."Jerry memandang Bela, memohon pengertian dan maaf."Sure, aku akan keluar. Aku akan ngobrol dengan Pak Watson."Bela hanya melemparkan senyumnya lalu memberi tempat untuk Jerry."Sebentar ya, Sayang?" Nial meraih tangannya sebelum ia benar-benar pergi."Iya, Mas. Kalian bicaralah!"Bela melambaikan tangannya sekilas pada Nial sebelum menghilang di balik pintu ruangan."Kenapa, Jerry? Hari ini kamu mengunjungi anak itu?"Nial bertanya sesegera mungkin. Tidak ingin membuang waktu lebih banyak karena ia ingin dengar apa yang ingin dikatakan oleh Jerry sampai membuat Bela harus pergi dari si