Bela marah pada Nial. Kesal.Sangat kesal seperti ingin mencubit hidungnya saja.Sudah lepas dari sehari Nial tidak memberinya kabar. Saat ia hubungi balik tidak ada jawaban. Jangankan jawaban, tersambung saja tidak.Percobaan terakhirnya adalah menghubungi Jerry, tapi tampaknya kesibukan yang ada di Seattle membuatnya tak bisa menjawabnya. Begitu juga sebaliknya saat Jerry mencoba menghubunginya, Bela ketiduran."Jangan menangis, Bel!"Sasti mengusap punggungnya yang ambruk di atas ranjang di dalam kamarnya saat ia menginap di rumah ayahnya."Mas Nial nggak ada kabarnya, Buk. Bela harus bagaimana sekarang?""Dia mungkin sibuk. Atau ponselnya rusak. Nggak ada yang tahu, 'kan? Perbedaan waktu kalian empat belas jam. Kalian kesulitan menghubungi satu sama lain."Sasti mengusap rambut hitam anak perempuannya."Selamat malam."Suara Handoko terdengar dari arah depan setelah beberapa bunyi bip-bip di gagang pintu. Ia terdengar bercakap-cakap dengan seseorang dan Sasti tahu betul itu adala
Beberapa menit sebelum suara Jerry terdengar ....Kruyuuk ...."Astaga ... aku belum makan!"Jerry yang tadinya sudah berniat santai malam ini karena pekerjaan sedikit longgar kini harus bangkit dari tidurnya karena perutnya minta diberi makan.Bahkan mungkin bukan hanya perutnya. Tapi perut orang di apartemen sebelah juga. Nial suka lupa makan jika ia lelah dan memilih untuk tidur saja. Jerry tahu Nial sedang murung sepanjang hari sejak komunikasi antara dirinya dan Bela tidak berjalan dengan lancar sama seperti sebelumnya.Jerry masuk ke dalam apartemen Nial dan tidak menjumpainya. Yang biasanya duduk di ruang tamu dengan menonton televisi atau membaca buku tebal yang membuat kepala Jerry pusing. Tapi kini dia tidak ada di sana."Ke mana dia? Belum pulang jogging?"Jerry memilih pergi dari sana, memesankan makanan untuk Nial dan meletakkannya di atas mejanya. Namun, niatannya gagal saat ia mendengar suara orang yang bercakap-cakap di dalam kamar Nial dan itu adalah suara perempuan.
Dengan tangan yang gemetar, Bela menghubungi Jerry sejak ponsel Nial tidak bisa digunakan. Tapi ... Jerry tidak mengangkat panggilannya."Jangan! Jangan seperti ini kumohon!"Bela mencoba menenangkan hatinya, tapi tidak bisa. Perempuan mana yang tidak menggila mendengar kabar suaminya mengalami kecelakaan padahal tadi pagi mereka masih saling bertemu dan tersenyum.Bela mencari nomor Hendro, ia menemukannya dan menelpon ayah mertuanya."Ya, Bela?"Suaranya terdengar santai dari seberang sana. Tampaknya masih belum tahu kalau ada berita buruk yang menimpa anaknya."Ayah ....""Ya? Kamu kenapa? Kamu menangis? Kamu bertengkar dengan Nial?""Mas Nial—""Kenapa dia? Kamu diapakan sama dia?""Mas Nial ... helikopter yang diuji coba hari ini kecelakaan. Dia dan Kak Jerry menghilang.""Hah? B-bagaimana bisa? Tenanglah! Biar Ayah cari tahu kebenarannya.""Antar aku ke sana!""Ke mana?""Ke tempat Mas Nial melakukan uji coba!"Kediaman sesaat terjadi. Tampaknya Hendro lebih memilih mengalah da
***"Ini bisa diperbaiki, bisa tunggu sebentar saja?"Seorang lelaki berseragam, staf yang ada di mall, yang akan memperbaiki ponsel Nial membawa kedua ponsel Nial pergi dari pemiliknya. Selagi Nial dan Bela duduk di sana, di dalam ruang VIP.Sofanya berwarna putih, memberikan kesan luas yang memanjakan mata. Bela masih memandang Nial yang matanya terfokus pada lukisan abstrak di dinding."Kenapa?"Entah sejak kapan kepala Nial sudah berputar memandangnya."Nggak.""Kamu ingin bicara sesuatu sama Mas?""Nggak."Nial tertawa kecil. Menyadari Bela ada di sini seperti sebuah keajaiban. Padahal malam-malam sebelumnya hatinya hanya diisi gundah gulana dan nestapa. Rindu pada Bela.Rindu wajah cantik dan dagu kecilnya.Rindu untuk menggodanya.Tapi sekarang dia ada di sini, duduk di sampingnya dan menemaninya memperbaiki ponsel pembawa sial itu."Aku sangat takut tadi."Akhirnya Bela menjawab."Takut kenapa?""Takut Mas Nial dan Kak Jerry hilang. Rasanya sudah ingin lari untuk memastikan. A
'Ke manapun, sejauh apapun, tapi jika langit membuat skenario, maka manusia hanya bisa dibuat tertunduk.'Kalimat itu datang dari antah berantah, memenuhi isi kepala Bela saat ia melihat Niko yang wajahnya terlihat dari balik pintu lift. Di sini, di Seattle.Nial menggenggam tangan Bela semakin erat saat melihat Niko yang entah bagaimana caranya juga ada di sini. Bahkan ada di lift yang akan digunakan oleh Bela dan juga Nial."Apa yang kamu lakukan di sini?"Pertanyaan Nial selalu tanpa basa-basi dan langsung pada titik fatal. "Aku sedang pergi cuti dan mengunjungi kakakku di sini."Bela mengerjapkan matanya beberapa kali. Tampaknya Niko tidak berbohong saat mengatakan demikian. Lagi pula mana mungkin lelaki ini berbohong? Karena di samping Niko berdiri, memang ada seorang perempuan dan Bela tahu itu adalah kekak perempuannya."Pak Nial di sini juga?""Ya. Uji coba helikopter milik Ones Air."Nial menjawab singkat.Bela merasakan tangan Nial yang dingin. Sekilas ia mengerling pada
"Niko?"Nial sudah sejak pagi jogging dan dalam perjalanannya kembali ke unit apartemennya. Tapi saat itu, ia malah melihat Niko yang baru saja menyeberang jalan.Ia menghentikan langkahnya karena Niko lebih dulu menghadangnya."Aku ingin bicara."Niko merebahkan sebelah tangannya, mencegah Nial pergi. Sembari mengerling sekilas pada kompleks apartemen mewah di mana ia yakin Nial tinggal di sana, bersama dengan Bela."Bicaralah!""Harusnya aku senang saat melihat orang lain bahagia. Tapi denganmu ... aku sama sekali nggak berharap."'Serius? Sepagi ini?' Nial menggerutu dalam hati. Sepagi ini sudah ada orang yang menghancurkan mood baiknya. Bertambah kesal lagi karena itu adalah Niko."Aku tahu kamu itu pintar. Jadi bicaralah langsung pada pokok persoalan, Niko.""Aku mengganggumu?""Tentu saja.""Karena aku akan mengganggu hidupmu terus, Pak Nial.""Bicara apa anak ini."Niko mendorong napasnya dengan pelan sebelum kembali mengucap,"Sudah kubilang aku nggak suka dengan hidup bahagia
Hati Nial mencelos.Ia tahu pertanyaannya lebih konyol dari pada perdebatan bumi bulat dan bumi datar. Sudah jelas Bela memasang badan dan mengatakan 'Jangan!' tepat di depan pucuk hidungnya demi melindungi Nial dari bogem mentah Niko.Jika bukan karena Bela, mungkin saat ini yang mengalami luka lebam itu adalah dirinya.Tapi dengan bodohnya ia justru melemparkan pertanyaan, 'Kamu membela Niko?' pada wanitanya yang telah meresikokan hidupnya sendiri."Maaf ...."Nial menyesal. Bela masih belum mengalihkan matanya dari Nial. Perlahan melonggarkan genggaman tangannya dan menunduk. Tapi Nial menahan dagunya sehingga mata mereka tetap bertemu sama seperti sebelumnya."Maaf! Sungguh nggak seperti itu maksud Mas, Bel! Mas percaya sama kamu, kok!"Bela memberikan anggukan kecil."Sudahlah! Lupakan pagi ini! Aku nggak mau kita membahas orang lain lagi. Mas Nial tahu aku hanya melihatmu saja. Nggak ada orang lain.""Iya, Sayang. Maaf ya."Suara Nial melunak, lembut dan hangat dalam waktu bers
"Kenapa, Bel?"Hendro menyadarkannya dan membawanya kembali dari lamunan panjangnya.Bela cepat-cepat mematikan panggilan itu. Tidak ingin ketenangan dan kedamaian makan malam ini harus berakhir oleh hal tidak baik apalagi pertengkaran susulan yang akan membuatnya pusing.Sudah cukup pertengkaran Nial dan Niko pagi ini, dia tidak ingin keributan lainnya."Nomor iseng."Bela akhirnya menjawab Hendro dan hanya ditanggapi dengan anggukan."Ayah serius, Bel."Mata Bela melebar mengisyaratkan bahwa ia tidak mengerti apa artinya 'Ayah serius, Bel!' barusan."Apa, Ayah?""Ucapan terima kasih Ayah. Ayah serius."Bela tersenyum."Iya, Bela hanya nggak tahu harus memberikan apa untuk Mas Nial dan juga Ayah karena kalian sudah memiliki segalanya. Mungkin ... sedikit cinta dariku akan membuat kalian damai dan kembali seperti sedia kala.""Jangan memberi apapun! Kamu adalah hadian terbaik yang diberikan pada hidup Nial."Darah lebih kental dari air. Bahkan ucapan Hendro sama persis dengan apa yang