"Niko?"Nial sudah sejak pagi jogging dan dalam perjalanannya kembali ke unit apartemennya. Tapi saat itu, ia malah melihat Niko yang baru saja menyeberang jalan.Ia menghentikan langkahnya karena Niko lebih dulu menghadangnya."Aku ingin bicara."Niko merebahkan sebelah tangannya, mencegah Nial pergi. Sembari mengerling sekilas pada kompleks apartemen mewah di mana ia yakin Nial tinggal di sana, bersama dengan Bela."Bicaralah!""Harusnya aku senang saat melihat orang lain bahagia. Tapi denganmu ... aku sama sekali nggak berharap."'Serius? Sepagi ini?' Nial menggerutu dalam hati. Sepagi ini sudah ada orang yang menghancurkan mood baiknya. Bertambah kesal lagi karena itu adalah Niko."Aku tahu kamu itu pintar. Jadi bicaralah langsung pada pokok persoalan, Niko.""Aku mengganggumu?""Tentu saja.""Karena aku akan mengganggu hidupmu terus, Pak Nial.""Bicara apa anak ini."Niko mendorong napasnya dengan pelan sebelum kembali mengucap,"Sudah kubilang aku nggak suka dengan hidup bahagia
Hati Nial mencelos.Ia tahu pertanyaannya lebih konyol dari pada perdebatan bumi bulat dan bumi datar. Sudah jelas Bela memasang badan dan mengatakan 'Jangan!' tepat di depan pucuk hidungnya demi melindungi Nial dari bogem mentah Niko.Jika bukan karena Bela, mungkin saat ini yang mengalami luka lebam itu adalah dirinya.Tapi dengan bodohnya ia justru melemparkan pertanyaan, 'Kamu membela Niko?' pada wanitanya yang telah meresikokan hidupnya sendiri."Maaf ...."Nial menyesal. Bela masih belum mengalihkan matanya dari Nial. Perlahan melonggarkan genggaman tangannya dan menunduk. Tapi Nial menahan dagunya sehingga mata mereka tetap bertemu sama seperti sebelumnya."Maaf! Sungguh nggak seperti itu maksud Mas, Bel! Mas percaya sama kamu, kok!"Bela memberikan anggukan kecil."Sudahlah! Lupakan pagi ini! Aku nggak mau kita membahas orang lain lagi. Mas Nial tahu aku hanya melihatmu saja. Nggak ada orang lain.""Iya, Sayang. Maaf ya."Suara Nial melunak, lembut dan hangat dalam waktu bers
"Kenapa, Bel?"Hendro menyadarkannya dan membawanya kembali dari lamunan panjangnya.Bela cepat-cepat mematikan panggilan itu. Tidak ingin ketenangan dan kedamaian makan malam ini harus berakhir oleh hal tidak baik apalagi pertengkaran susulan yang akan membuatnya pusing.Sudah cukup pertengkaran Nial dan Niko pagi ini, dia tidak ingin keributan lainnya."Nomor iseng."Bela akhirnya menjawab Hendro dan hanya ditanggapi dengan anggukan."Ayah serius, Bel."Mata Bela melebar mengisyaratkan bahwa ia tidak mengerti apa artinya 'Ayah serius, Bel!' barusan."Apa, Ayah?""Ucapan terima kasih Ayah. Ayah serius."Bela tersenyum."Iya, Bela hanya nggak tahu harus memberikan apa untuk Mas Nial dan juga Ayah karena kalian sudah memiliki segalanya. Mungkin ... sedikit cinta dariku akan membuat kalian damai dan kembali seperti sedia kala.""Jangan memberi apapun! Kamu adalah hadian terbaik yang diberikan pada hidup Nial."Darah lebih kental dari air. Bahkan ucapan Hendro sama persis dengan apa yang
***"Capeknya ...."Pada akhirnya, kembali ke rumah adalah hal paling baik yang selama ini diidamkan banyak orang setelah kepergian yang jauh dan tak kunjung pulang.Bela menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang yang empuk di kamarnya dan Nial. Lembutnya seprai yang tampak baru saja diganti, pasti sengaja disiapkan oleh Kim untuk mengobati rasa lelahnya. Bau harum ruangan ini ia rindukan sejak dia dan Nial menghabiskan hari-hari mereka di unit apartemen yang jauh dari sini, di Seattle.Tubuhnya segar setelah mandi. Ia melihat Nial yang duduk menghadap meja, di depannya ada laptop yang terbuka dan mata elangnya runcing mengawasi angka-angka yang bergulir saat ia melakukan scroll pada wireless mouse-nya."Mas Nial kerja?"Bela bangkit, menghampirinya dan meraih handuk di atas kepala Nial, rambutnya masih basah setelah keramas dan Bela membantunya mengeringkan."Iya, Sayang. Mas kerja. Ini laporan final dari yang dikerjakan Mas dan Jerry di Seattle." "Iya, kalau sudah selesai istirahatla
***"Kamu yang mengangkat panggilan Jenni saat kita makan malam dengan ayah di Seattle?"Nial bertanya pada Bela pada malam berikutnya.Bela yang duduk di depan mejanya dengan jari-jari yang mengetik di layar laptop dengan cepat bereaksi dan memutar kursinya pada Nial yang duduk dengan meluruskan kakinya di atas ranjang."Iya, Mas."Bela menggigit bibirnya sekilas. Ia tidak ingin memberi tahukan hal itu pada Nial namun malam ini suaminya telah menemukan kebenarannya. Ia gugup, jemarinya yang tadi menari di atas keyboard untuk mengerjakan tugas terasa dingin."Kenapa kamu nggak bilang sama Mas?""Karena ... aku nggak membebani pikiranmu."Nial tersenyum, lalu bangkit dan mendekat pada Bela. Duduk di atas meja di samping laptopnya yang terbuka."Semalam dia menelpon lagi.""Semalam?""Iya. Saat kamu sudah tidur."Bela menghembuskan napasnya dengan kesal. Mengepalkan tangannya yang ada di atas lutut. Berusaha menenangkan diri karena datangnya perempuan dari masa lalu Nial yang tiba-tiba
Bela merasakan telinganya yang berdengung. Ia menyentuh keningnya yang mengalirkan darah dari sana bertepatan saat Nial memanggil namanya. Nial yang melihat Bela roboh kemudian menahannya dan Han yang tadi berdiri di belakang Bela terlihat marah. Ia menghantamkan tinju mentahnya ke wajah lawan yang baru saja mencelakai nonanya."Ayo pergi dari sini, Pak Han!"Nial mengangkat Bela dan dengan cepat membawanya ke dalam mobil. Dia dengan langkah yang tertatih, sebenarnya juga terluka karena terkena sabetan belati."Pergi dari sini, Jerry!"Nial memerintahkan Jerry agar mundur dari sana karena ia mendengar sirine polisi yang menderu memecah malam sekaligus membubarkan kerusuhan. Jerry menurut saja dan mengemudikan mobil Nial menjauh dari sana karena Jerry sendiri datang ke sini dengan ikut salah satu bodyguard dari Ones Company yang tadi menjemputnya."Apa kita bawa Nona Bela ke rumah sakit?" Han mengerling pada kaca spion di atasnya saat mobil melaju pada kecepatan penuh. Pada Nial yan
Niko baru mengenakan jas dokternya saat seorang perawat bernama Silvana datang menghampirinya dengan mengatakan,"Dokter William memintamu untuk melihat keadaan pasien di semua ruang VIP karena beliau sudah pindah shift.""Iya. Ayo kita ke sana!"Silvana mengangguk. Mengikuti langkah kaki Niko yang berjalan meninggalkan ruang dokter menuju ruang VIP pertama. Ruangannya tertutup, kordennya juga. Dan lampunya juga belum dinyalakan. Tapi dia dapat mendengar orang yang bercakap-cakap di dalam.Niko ragu, tapi ia harus memastikannya. Dia mengetuk pintu dengan lirih tapi tidak mendapat jawaban. Akhirnya memutar kenop dan mengambil satu langkah masuk ke dalam."Selamat pagi!"Tapi yang dilihatnya membuat hatinya jatuh hingga hancur berkeping-keping. Karena yang ada di dalam sana adalah Bela. Bersama dengan Nial.Dengan bahu yang terbuka karena mereka tampak terkejut saat Niko masuk dan membuat Nial dengan cepat menarik kepalanya."Bela?"Bela terkejut, terang saja! Ia merapikan pakaiannya de
"Mana Nial?" Sebuah suara mengejutkan Jerry dan Siska. Tanya itu datang dari Hendro pada keduanya yang melihatnya meletakkan sashimi di atas meja makan.Jerry dan Siska segera menoleh dan menunduk menyambut kedatangannya yang memasuki ruang makan."Selamat datang. Pak Nial masih di kamar, Pak Hendro." Hendro mengangguk menjawab Jerry. Dia datang ke sini karena Bela memintanya datang, mengatakan akan ada pesta barbeque tapi sepertinya gagal sejak di luar hujan dan Jerry tangan kanan yang serba bisa itu tampak akan memanjakan lidah mereka dengan makanan yang dibuatnya."Di mana Bela?" Sebuah pertanyaan lain akhirnya datang.Sekali lagi membuat Jerry yang mengambil salad buah yang baru dibuat Siska segera memandangnya lagi. "Selamat datang, Pak Handoko, Bu Sasti. Pak Nial dan Nona masih ada di kamar." Mereka datang ke sini untuk memenuhi undangan Nial yang mengatakan bawa mereka akan mengadakan makan-makan kecil untuk menyambut kepulangan Bela dari rumah sakit.Karena tahu Nial itu