'Ke manapun, sejauh apapun, tapi jika langit membuat skenario, maka manusia hanya bisa dibuat tertunduk.'Kalimat itu datang dari antah berantah, memenuhi isi kepala Bela saat ia melihat Niko yang wajahnya terlihat dari balik pintu lift. Di sini, di Seattle.Nial menggenggam tangan Bela semakin erat saat melihat Niko yang entah bagaimana caranya juga ada di sini. Bahkan ada di lift yang akan digunakan oleh Bela dan juga Nial."Apa yang kamu lakukan di sini?"Pertanyaan Nial selalu tanpa basa-basi dan langsung pada titik fatal. "Aku sedang pergi cuti dan mengunjungi kakakku di sini."Bela mengerjapkan matanya beberapa kali. Tampaknya Niko tidak berbohong saat mengatakan demikian. Lagi pula mana mungkin lelaki ini berbohong? Karena di samping Niko berdiri, memang ada seorang perempuan dan Bela tahu itu adalah kekak perempuannya."Pak Nial di sini juga?""Ya. Uji coba helikopter milik Ones Air."Nial menjawab singkat.Bela merasakan tangan Nial yang dingin. Sekilas ia mengerling pada
"Niko?"Nial sudah sejak pagi jogging dan dalam perjalanannya kembali ke unit apartemennya. Tapi saat itu, ia malah melihat Niko yang baru saja menyeberang jalan.Ia menghentikan langkahnya karena Niko lebih dulu menghadangnya."Aku ingin bicara."Niko merebahkan sebelah tangannya, mencegah Nial pergi. Sembari mengerling sekilas pada kompleks apartemen mewah di mana ia yakin Nial tinggal di sana, bersama dengan Bela."Bicaralah!""Harusnya aku senang saat melihat orang lain bahagia. Tapi denganmu ... aku sama sekali nggak berharap."'Serius? Sepagi ini?' Nial menggerutu dalam hati. Sepagi ini sudah ada orang yang menghancurkan mood baiknya. Bertambah kesal lagi karena itu adalah Niko."Aku tahu kamu itu pintar. Jadi bicaralah langsung pada pokok persoalan, Niko.""Aku mengganggumu?""Tentu saja.""Karena aku akan mengganggu hidupmu terus, Pak Nial.""Bicara apa anak ini."Niko mendorong napasnya dengan pelan sebelum kembali mengucap,"Sudah kubilang aku nggak suka dengan hidup bahagia
Hati Nial mencelos.Ia tahu pertanyaannya lebih konyol dari pada perdebatan bumi bulat dan bumi datar. Sudah jelas Bela memasang badan dan mengatakan 'Jangan!' tepat di depan pucuk hidungnya demi melindungi Nial dari bogem mentah Niko.Jika bukan karena Bela, mungkin saat ini yang mengalami luka lebam itu adalah dirinya.Tapi dengan bodohnya ia justru melemparkan pertanyaan, 'Kamu membela Niko?' pada wanitanya yang telah meresikokan hidupnya sendiri."Maaf ...."Nial menyesal. Bela masih belum mengalihkan matanya dari Nial. Perlahan melonggarkan genggaman tangannya dan menunduk. Tapi Nial menahan dagunya sehingga mata mereka tetap bertemu sama seperti sebelumnya."Maaf! Sungguh nggak seperti itu maksud Mas, Bel! Mas percaya sama kamu, kok!"Bela memberikan anggukan kecil."Sudahlah! Lupakan pagi ini! Aku nggak mau kita membahas orang lain lagi. Mas Nial tahu aku hanya melihatmu saja. Nggak ada orang lain.""Iya, Sayang. Maaf ya."Suara Nial melunak, lembut dan hangat dalam waktu bers
"Kenapa, Bel?"Hendro menyadarkannya dan membawanya kembali dari lamunan panjangnya.Bela cepat-cepat mematikan panggilan itu. Tidak ingin ketenangan dan kedamaian makan malam ini harus berakhir oleh hal tidak baik apalagi pertengkaran susulan yang akan membuatnya pusing.Sudah cukup pertengkaran Nial dan Niko pagi ini, dia tidak ingin keributan lainnya."Nomor iseng."Bela akhirnya menjawab Hendro dan hanya ditanggapi dengan anggukan."Ayah serius, Bel."Mata Bela melebar mengisyaratkan bahwa ia tidak mengerti apa artinya 'Ayah serius, Bel!' barusan."Apa, Ayah?""Ucapan terima kasih Ayah. Ayah serius."Bela tersenyum."Iya, Bela hanya nggak tahu harus memberikan apa untuk Mas Nial dan juga Ayah karena kalian sudah memiliki segalanya. Mungkin ... sedikit cinta dariku akan membuat kalian damai dan kembali seperti sedia kala.""Jangan memberi apapun! Kamu adalah hadian terbaik yang diberikan pada hidup Nial."Darah lebih kental dari air. Bahkan ucapan Hendro sama persis dengan apa yang
***"Capeknya ...."Pada akhirnya, kembali ke rumah adalah hal paling baik yang selama ini diidamkan banyak orang setelah kepergian yang jauh dan tak kunjung pulang.Bela menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang yang empuk di kamarnya dan Nial. Lembutnya seprai yang tampak baru saja diganti, pasti sengaja disiapkan oleh Kim untuk mengobati rasa lelahnya. Bau harum ruangan ini ia rindukan sejak dia dan Nial menghabiskan hari-hari mereka di unit apartemen yang jauh dari sini, di Seattle.Tubuhnya segar setelah mandi. Ia melihat Nial yang duduk menghadap meja, di depannya ada laptop yang terbuka dan mata elangnya runcing mengawasi angka-angka yang bergulir saat ia melakukan scroll pada wireless mouse-nya."Mas Nial kerja?"Bela bangkit, menghampirinya dan meraih handuk di atas kepala Nial, rambutnya masih basah setelah keramas dan Bela membantunya mengeringkan."Iya, Sayang. Mas kerja. Ini laporan final dari yang dikerjakan Mas dan Jerry di Seattle." "Iya, kalau sudah selesai istirahatla
***"Kamu yang mengangkat panggilan Jenni saat kita makan malam dengan ayah di Seattle?"Nial bertanya pada Bela pada malam berikutnya.Bela yang duduk di depan mejanya dengan jari-jari yang mengetik di layar laptop dengan cepat bereaksi dan memutar kursinya pada Nial yang duduk dengan meluruskan kakinya di atas ranjang."Iya, Mas."Bela menggigit bibirnya sekilas. Ia tidak ingin memberi tahukan hal itu pada Nial namun malam ini suaminya telah menemukan kebenarannya. Ia gugup, jemarinya yang tadi menari di atas keyboard untuk mengerjakan tugas terasa dingin."Kenapa kamu nggak bilang sama Mas?""Karena ... aku nggak membebani pikiranmu."Nial tersenyum, lalu bangkit dan mendekat pada Bela. Duduk di atas meja di samping laptopnya yang terbuka."Semalam dia menelpon lagi.""Semalam?""Iya. Saat kamu sudah tidur."Bela menghembuskan napasnya dengan kesal. Mengepalkan tangannya yang ada di atas lutut. Berusaha menenangkan diri karena datangnya perempuan dari masa lalu Nial yang tiba-tiba
Bela merasakan telinganya yang berdengung. Ia menyentuh keningnya yang mengalirkan darah dari sana bertepatan saat Nial memanggil namanya. Nial yang melihat Bela roboh kemudian menahannya dan Han yang tadi berdiri di belakang Bela terlihat marah. Ia menghantamkan tinju mentahnya ke wajah lawan yang baru saja mencelakai nonanya."Ayo pergi dari sini, Pak Han!"Nial mengangkat Bela dan dengan cepat membawanya ke dalam mobil. Dia dengan langkah yang tertatih, sebenarnya juga terluka karena terkena sabetan belati."Pergi dari sini, Jerry!"Nial memerintahkan Jerry agar mundur dari sana karena ia mendengar sirine polisi yang menderu memecah malam sekaligus membubarkan kerusuhan. Jerry menurut saja dan mengemudikan mobil Nial menjauh dari sana karena Jerry sendiri datang ke sini dengan ikut salah satu bodyguard dari Ones Company yang tadi menjemputnya."Apa kita bawa Nona Bela ke rumah sakit?" Han mengerling pada kaca spion di atasnya saat mobil melaju pada kecepatan penuh. Pada Nial yan
Niko baru mengenakan jas dokternya saat seorang perawat bernama Silvana datang menghampirinya dengan mengatakan,"Dokter William memintamu untuk melihat keadaan pasien di semua ruang VIP karena beliau sudah pindah shift.""Iya. Ayo kita ke sana!"Silvana mengangguk. Mengikuti langkah kaki Niko yang berjalan meninggalkan ruang dokter menuju ruang VIP pertama. Ruangannya tertutup, kordennya juga. Dan lampunya juga belum dinyalakan. Tapi dia dapat mendengar orang yang bercakap-cakap di dalam.Niko ragu, tapi ia harus memastikannya. Dia mengetuk pintu dengan lirih tapi tidak mendapat jawaban. Akhirnya memutar kenop dan mengambil satu langkah masuk ke dalam."Selamat pagi!"Tapi yang dilihatnya membuat hatinya jatuh hingga hancur berkeping-keping. Karena yang ada di dalam sana adalah Bela. Bersama dengan Nial.Dengan bahu yang terbuka karena mereka tampak terkejut saat Niko masuk dan membuat Nial dengan cepat menarik kepalanya."Bela?"Bela terkejut, terang saja! Ia merapikan pakaiannya de
***"Selamat pagi."Bariton dalam nan seksi milik Nial selalu menyambutnya setiap pagi.Dia juga tampak baru saja mandi saat melihat Bela yang bangun dari tidurnya dan memberi istrinya kecupan yang manis."Selamat pagi, Mas. Kamu sudah mandi?""Sudah, Sayang. Hm ... kenapa kamu bangun cepat-cepat? Istirahatlah lagi!""Tapi belum ada makanan untuk pagi ini."Nial tersenyum mendengarnya. Ia berlutut di depan Bela dengan sebelah kakinya dan mengusap perutnya yang bulat dan lucu."Oh? Oh!"Nial terkejut. Ia memandang Bela dengan tidak percaya."Kenapa Mas? Dia gerak ya?""Iya. Oh mungkin ingin ucapan selamat pagi juga? Hm ... kamu iri?"Nial mengecup perutnya dan memandang Bela."Bela?""Ya?""Kamu sempurna. Terima kasih untuk sudah mengandung dan mwlahirkan anak-anak kita."Bela mengangguk. Ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat senyum Nial juga tampak sangat manis."Kamu mandilah! Nanti jadi pergi, 'kan?"Nial lebih dulu bangkit dari posisinya. Mengusap puncak kepala Bela dan memer
***"Ini kebebasan?"Terik. Matahari bersinar terik siang ini.Cerah dan juga berawan. Gugusan Cirro stratus membentang seperti karpet selamat datang yang menyaksikannya keluar dari tahanan. Pada akhirnya ....Tahun-tahun penebusannya telah berlalu. Dan ia tersenyum sekarang. Senyum yang kini tampak lega. Itu adalah Vida.Ia bebas dari tahanan setelah melewati masa yang suram. Yang tidak ingin lagi ia ulangi untuk ke dua kalinya.Dadanya lega sekaligus sebah. Ada perasaan bersalah pada Bela yang kini meluap hingga tumpah.Ia berjalan di sepanjang jalur pedestrian, menunduk dan memasuki sebuah kafe setelah keluar dari toko emas, menjual perhiasan yang dulu masih ia pakai sebelum dibawa polisi.Ponsel dan emas yang dikembalikan padanya itu ia jual dan ia gunakan setidaknya untuk bertahan hidup beberapa waktu ke depan. Sementara ponselnya masih bagus dan saat ini ada di atas meja.Ia duduk. Menghadap sebuah kertas kosong yang baru ia beli dari sebuah toko alat tulis.Netranya tergenan
Bela tersenyum membaca pesan dari Nial yang mengatakan agar ia bicara dengan Niko lebih dulu.Kini, bagi mereka ... semua telah sembuh dari luka. Tidak ada lagi pertengkaran atau baku hantam sama seperti yang dilakukan Nial dan Niko jika dulu mereka bertemu.Kebencian mereka telah berakhir. Bela ingat Nial sempat mengatakan bahwa Niko-lah yang dulu memberi tahu Nial saat Bela pergi ke Jawa Barat dan memutuskan akan mengakhiri hidupnya sendiri.Niko jugalah yang telah menanganinya saat Bela dilukai Jenni.Semuanya telah berlalu dengan sangat cepat. Waktu membuat kebencian bermetamorfosa menjadi obat penyembuh paling mujarab."Bagaimana kabarnya Pak Nial?"Pertanyaan Niko kembali merengkuh kesadaran Bela yang sedari tadi dibelenggu oleh pemikiran panjangnya."Kabar baik juga, Kak Nik. Dia sedang menikmati hari menjadi Papa yang super sibuk dengan anak lelakinya yang berlarian tanpa henti."Niko tersenyum mendengarnya. Sudah lama ia juga tidak bertemu Nial."Kak Niko mau bertenu dengan M
"Baby, be careful!"Bela merendahkan tinggi tubuhnya, berlutut saat anak kecil laki-laki berumur tiga tahun itu berlari dan memeluknya."Mommy! Mrs. Kim gets some letters!"Jari kecilnya menunjuk pada pintu ruang makan. Tapi saat Bela melihatnya, Nial lah yang masuk dengan bahu merosot penuh kelegaan. Ia baru saja berlari mengikuti anak lelakinya yang berderap secepat kilat meninggalkannya di belakang."Gavin? Papa 'kan sudah bilang jangan--""Mas? Sudahlah!"Bela tersenyum, mengusap punggung tangan Nial saat mendekat."Gavin, lihat perut mama! Hm? Gavin sayang dengan mama?"Nial ikut berlutut dan mengusap puncak kepalanya."Pasti sayang. Gavin sayang mama.""Kalau begitu pelan-pelan ya kalau peluk mama? Nanti kalau adik sakit bagaimana?"Gavin mengusap perut Bela yang membesar."Dia namanya adik?"Bela tertawa mendengar pertanyaan polosnya."No, Baby! Dia belum punya nama. Masih di dalam perut Mama. Nanti kalau sudah keluar, baru bisa diberi nama."Bela meraih tangan kecilnya. Meleta
Bela hanya menahan senyumnya saat ini. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan Siska rasakan bersama Jerry untuk pertama kalinya.'Jadi, akan ada yang segelnya dirusak malam ini.'Bela tertawa sendiri. Ia berdiri di deoan cermin setinggi pintu yang ada di dalam kamar ganti dan mengulurkan tangannya ke belakang. Meraih resleting di punggungnya, untuk melepas gaun malam yang tadi ia gunakan untuk menghadiri pernikahan Siska dan juga Jerry."Astaga! Kenapa selalu saja seperti ini. Tadi dipakai mudah tapi kalau mau dilepas sulitnya minta ampun."Bela menggerutu. Ia masih mencoba menarik resletingnya tapi rasanya tidak bisa.Sampai sebuah tangan menariknya turun dan Bela dengan cepat menoleh ke belakang. Ia menunduk teelalu lama sampai tidak sadar Nial sudah masuk dan membantunya."Terima kasih, Mas Nial.""Iya, sama-sama, Sayang."Bela melepasnya. Melemparnya ke sandaran sofa ruang ganti dengan hanya menyisakan underwear. Saat Nial juga membuka kancing jasnya dan ikut melemparnya di temp
Nial tidak bisa membendung senyumnya saat tahu isi di dalam kotak kado itu. Itu berisi figura yang membingkai sebuah foto.Foto anak kecil perempuan dengan topi bundarnya. Itu adalah foto masa kecil Bela."Mas Nial 'kan selalu bilang kalau aku adalah hadiah yang kamu sukai?""Ya. Memang benar begitu, kok.""Jadi aku memberikan foto anak kecil itu padamu. Anak kecil yang hidupnya kamu selamatkan dan meski terpisah selama lebih dari satu dekade, takdir kembali mempertemukannu dengannya.""Ya, benar. Terima kasih. Mas akan letakkan ini di atas meja kantor kalau pulang nanti. Tapi ada yang harus kamu lakukan sekarang."Nial menutup kotak kado itu dan meletakkannya di atas nakas. Ia meraih tangan Bela dan membuatnya duduk di atas pangkuannya."Apa? Apa yang harus aku lakukan?""Berperan sebagai hadiah yang baik. Hm?"Nial telah membuka kancing dress yang dipakai Bela."Mas? Kamu nggak ingin makan kuenya dulu? Itu enak loh! Aku pesan di toko kue di ujung jalan yang ramai itu."Nial menggele
***Nial membuka matanya, hari sudah pagi. Dengan keadaan dirinya yang terbaring di atas ranjang bulan madunya. Dengan keadaan tanpa pakaian.Ia sama sekali tidak turun dari ranjang sejak dengan Bela kemarin sore. Akh.Mengingatnya saja membuatnya gerah setengah mati bahkan saat pendingin udara dinyalakan di atas sana. Ingatannya kembali terpanggil di saat-saat ia dan Bela memasuki kamar kemarin."Are you sure?" ragu Bela, bertanya memastikan pada Nial bahwa ia diperbolehkan mengambil alih kontrol mulai saat ini sejak Nial tidak bisa mendominasi hubungan ranjang karena ia masih tidak diperbolehkan bergerak terlalu banyak."Yeah, Baby! Take off my clothes!"Jantung Bela berdebar mendengar permintaan Nial agar melucuti pakaiannya. Bela tidak membantahnya dan membuka kancing kemeja Nial satu demi satu. Melihat perutnya yang masih terlilit perban dan belum sepenuhnya bisa dikatakan pulih.Nial hanya tersenyum saat Bela membuka kancing di celana panjang putih yang ia kenakan dan membuatny
Darah lebih kental dari Air. Jika di Swiss Leo menyerang Nial saat semua orang lengah, atau Jenni yang menyerang Bela saat itu, sekarang di sini, di Jakarta, Rafael menyerang Jerry.Tapi Jerry telah meningkatkan kewaspadaannya sepuluh kali lipat. Ia membaca pergerakan Rafael dan secepat mungkin menahan pergelangan tangannya yang membawa pisau cutter."Kamu yang brengsek!"Jerry memuntir tangannya hingga terbalik dan jatuhlah pisau itu. Rafael didorongnya hingga punggungnya terbentur dinding dengan kasar."Untuk semua yang telah kamu lakukan pada keluarga Nial, dan kali ini padaku. Bayarkan dan tebuslah semuanya, Rafael! Kamu punya kesempatan untuk menyesal."Jerry mengalihkan tangannya dari bahu Rafael ke kerah bajunya."Tapi saat kamu nggak berubah, aku pastikan kerah bajumu ini nggak lagi sama karena kamu akan mendekam di dalam penjara. Do you get it? Get lost you bastard!"Jerry memberikan penekanan pada setiap kalimatnya. Membuat Rafael bergidik ngeri karena dia dalam ancaman yan
"Selamat malam."Jerry datang dan menunduukan kepalanya pada Nial dan juga Bela yang ada di dalam kamar rawat."Selamat malam," balas mereka hampir bersamaan."Pak Nial sudah baikan?""Ya, Jerry. Dari mana kamu seharian? Kamu nggak datang menjengukku loh."Jerry menunjukkan senyumnya yang manis. Tapi Bela dapat melihat ada gurat kemarahan yang ia pendam saat ini."Bisa kita bicara? Hanya berdua saja."Jerry memandang Bela, memohon pengertian dan maaf."Sure, aku akan keluar. Aku akan ngobrol dengan Pak Watson."Bela hanya melemparkan senyumnya lalu memberi tempat untuk Jerry."Sebentar ya, Sayang?" Nial meraih tangannya sebelum ia benar-benar pergi."Iya, Mas. Kalian bicaralah!"Bela melambaikan tangannya sekilas pada Nial sebelum menghilang di balik pintu ruangan."Kenapa, Jerry? Hari ini kamu mengunjungi anak itu?"Nial bertanya sesegera mungkin. Tidak ingin membuang waktu lebih banyak karena ia ingin dengar apa yang ingin dikatakan oleh Jerry sampai membuat Bela harus pergi dari si