"Kenapa, Bel?"Hendro menyadarkannya dan membawanya kembali dari lamunan panjangnya.Bela cepat-cepat mematikan panggilan itu. Tidak ingin ketenangan dan kedamaian makan malam ini harus berakhir oleh hal tidak baik apalagi pertengkaran susulan yang akan membuatnya pusing.Sudah cukup pertengkaran Nial dan Niko pagi ini, dia tidak ingin keributan lainnya."Nomor iseng."Bela akhirnya menjawab Hendro dan hanya ditanggapi dengan anggukan."Ayah serius, Bel."Mata Bela melebar mengisyaratkan bahwa ia tidak mengerti apa artinya 'Ayah serius, Bel!' barusan."Apa, Ayah?""Ucapan terima kasih Ayah. Ayah serius."Bela tersenyum."Iya, Bela hanya nggak tahu harus memberikan apa untuk Mas Nial dan juga Ayah karena kalian sudah memiliki segalanya. Mungkin ... sedikit cinta dariku akan membuat kalian damai dan kembali seperti sedia kala.""Jangan memberi apapun! Kamu adalah hadian terbaik yang diberikan pada hidup Nial."Darah lebih kental dari air. Bahkan ucapan Hendro sama persis dengan apa yang
***"Capeknya ...."Pada akhirnya, kembali ke rumah adalah hal paling baik yang selama ini diidamkan banyak orang setelah kepergian yang jauh dan tak kunjung pulang.Bela menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang yang empuk di kamarnya dan Nial. Lembutnya seprai yang tampak baru saja diganti, pasti sengaja disiapkan oleh Kim untuk mengobati rasa lelahnya. Bau harum ruangan ini ia rindukan sejak dia dan Nial menghabiskan hari-hari mereka di unit apartemen yang jauh dari sini, di Seattle.Tubuhnya segar setelah mandi. Ia melihat Nial yang duduk menghadap meja, di depannya ada laptop yang terbuka dan mata elangnya runcing mengawasi angka-angka yang bergulir saat ia melakukan scroll pada wireless mouse-nya."Mas Nial kerja?"Bela bangkit, menghampirinya dan meraih handuk di atas kepala Nial, rambutnya masih basah setelah keramas dan Bela membantunya mengeringkan."Iya, Sayang. Mas kerja. Ini laporan final dari yang dikerjakan Mas dan Jerry di Seattle." "Iya, kalau sudah selesai istirahatla
***"Kamu yang mengangkat panggilan Jenni saat kita makan malam dengan ayah di Seattle?"Nial bertanya pada Bela pada malam berikutnya.Bela yang duduk di depan mejanya dengan jari-jari yang mengetik di layar laptop dengan cepat bereaksi dan memutar kursinya pada Nial yang duduk dengan meluruskan kakinya di atas ranjang."Iya, Mas."Bela menggigit bibirnya sekilas. Ia tidak ingin memberi tahukan hal itu pada Nial namun malam ini suaminya telah menemukan kebenarannya. Ia gugup, jemarinya yang tadi menari di atas keyboard untuk mengerjakan tugas terasa dingin."Kenapa kamu nggak bilang sama Mas?""Karena ... aku nggak membebani pikiranmu."Nial tersenyum, lalu bangkit dan mendekat pada Bela. Duduk di atas meja di samping laptopnya yang terbuka."Semalam dia menelpon lagi.""Semalam?""Iya. Saat kamu sudah tidur."Bela menghembuskan napasnya dengan kesal. Mengepalkan tangannya yang ada di atas lutut. Berusaha menenangkan diri karena datangnya perempuan dari masa lalu Nial yang tiba-tiba
Bela merasakan telinganya yang berdengung. Ia menyentuh keningnya yang mengalirkan darah dari sana bertepatan saat Nial memanggil namanya. Nial yang melihat Bela roboh kemudian menahannya dan Han yang tadi berdiri di belakang Bela terlihat marah. Ia menghantamkan tinju mentahnya ke wajah lawan yang baru saja mencelakai nonanya."Ayo pergi dari sini, Pak Han!"Nial mengangkat Bela dan dengan cepat membawanya ke dalam mobil. Dia dengan langkah yang tertatih, sebenarnya juga terluka karena terkena sabetan belati."Pergi dari sini, Jerry!"Nial memerintahkan Jerry agar mundur dari sana karena ia mendengar sirine polisi yang menderu memecah malam sekaligus membubarkan kerusuhan. Jerry menurut saja dan mengemudikan mobil Nial menjauh dari sana karena Jerry sendiri datang ke sini dengan ikut salah satu bodyguard dari Ones Company yang tadi menjemputnya."Apa kita bawa Nona Bela ke rumah sakit?" Han mengerling pada kaca spion di atasnya saat mobil melaju pada kecepatan penuh. Pada Nial yan
Niko baru mengenakan jas dokternya saat seorang perawat bernama Silvana datang menghampirinya dengan mengatakan,"Dokter William memintamu untuk melihat keadaan pasien di semua ruang VIP karena beliau sudah pindah shift.""Iya. Ayo kita ke sana!"Silvana mengangguk. Mengikuti langkah kaki Niko yang berjalan meninggalkan ruang dokter menuju ruang VIP pertama. Ruangannya tertutup, kordennya juga. Dan lampunya juga belum dinyalakan. Tapi dia dapat mendengar orang yang bercakap-cakap di dalam.Niko ragu, tapi ia harus memastikannya. Dia mengetuk pintu dengan lirih tapi tidak mendapat jawaban. Akhirnya memutar kenop dan mengambil satu langkah masuk ke dalam."Selamat pagi!"Tapi yang dilihatnya membuat hatinya jatuh hingga hancur berkeping-keping. Karena yang ada di dalam sana adalah Bela. Bersama dengan Nial.Dengan bahu yang terbuka karena mereka tampak terkejut saat Niko masuk dan membuat Nial dengan cepat menarik kepalanya."Bela?"Bela terkejut, terang saja! Ia merapikan pakaiannya de
"Mana Nial?" Sebuah suara mengejutkan Jerry dan Siska. Tanya itu datang dari Hendro pada keduanya yang melihatnya meletakkan sashimi di atas meja makan.Jerry dan Siska segera menoleh dan menunduk menyambut kedatangannya yang memasuki ruang makan."Selamat datang. Pak Nial masih di kamar, Pak Hendro." Hendro mengangguk menjawab Jerry. Dia datang ke sini karena Bela memintanya datang, mengatakan akan ada pesta barbeque tapi sepertinya gagal sejak di luar hujan dan Jerry tangan kanan yang serba bisa itu tampak akan memanjakan lidah mereka dengan makanan yang dibuatnya."Di mana Bela?" Sebuah pertanyaan lain akhirnya datang.Sekali lagi membuat Jerry yang mengambil salad buah yang baru dibuat Siska segera memandangnya lagi. "Selamat datang, Pak Handoko, Bu Sasti. Pak Nial dan Nona masih ada di kamar." Mereka datang ke sini untuk memenuhi undangan Nial yang mengatakan bawa mereka akan mengadakan makan-makan kecil untuk menyambut kepulangan Bela dari rumah sakit.Karena tahu Nial itu
"Apa yang kamu lakukan di sini?"Nial bereaksi dengan cepat saat melihat perempuan yang sama sekali tidak ingin dia lihat atau dia temui. Karenanya, dia hampir bertengkar dengan Bela selepas acara reuni SMA mereka."Melihat pameran. Tentu saja." Dia menjawab tanpa dosa.Bela sangat muak. Jika sebelumnya ada Dio yang terobsesi dengannya dan juga Niko yang mengejarnya tanpa henti, maka sekarang ada Jenni. Perempuan yang datang dari masa lalu Nial.Yang setelah penolakannya terhadap Nial kini justru merangsek masuk untuk merecoki hidup bahagianya, biduk rumah tangganya."Kamu--" Nial mengeluarkan suara setelah mungkin hampir seabad kebisuan."Mas?"Bela memanggil Nial dengan mesra, menahan tangannya untuk tidak melangkah menjauh. Agar sebaiknya mereka pergi saja dari sini untuk menjaga mood baik mereka.Nial mendengus kesal. Mereka pergi dari sana dengan diikuti Marvin yang berjalan di samping Nial. Meninggalkan Jenni yang bediri kaku di tempatnya.Ia kesal. Dilihat dari bagaimana patuhn
"Kamu Vida?"Vida bereaksi mendengar tanya itu. Pertanyaan yang datang dari sisi kanannya tepat saat ia selesai telepon dengan Reyhan."Ya, kamu mengenalku?"Vida memutar kursi tinggi di depan meja bar sehingga dia berhadapan dengan orang yang memanggilnya."Namaku Jenni."Vida menyambut jabat tangannya dengan tersenyum."Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"Vida penasaran karena ia merasa ini adalah pertama kalinya mereka bertatap muka satu sama lain tapi perempuan ini seperti sudah mengenalnya cukup lama. Ah, dia lupa! Dia sudah jadi terkenal sejak skandalnya dengan Dio jadi konsumsi publik.Perempuan bernama Jenni ini juga pasti tahu berita itu, apalagi percobaan pencurian dua juta dolar dari akun Danial Abdisatya yang mengguncang jagat bisnis."Belum. Tapi aku mengenalmu.""Kamu mengenalku? Apa aku seterkenal itu karena skandal panas?"Jenni menggeleng."Aku mengenalmu sebagai kakaknya Bela.""Kamu juga mengenal Bela?""Ya. Dia menikah dengan Nial. Nial adalah pria yang kuinginkan