Wanita itu mendekati Farid dan memeluknya. Dia mendekap Farid seakan tak ingin ditinggal. Namun, Farid justru menghindar dan mendekati Aiska yang pingsan dengan darah mengucur di pelipis.
“Ais, Sayang, aku mohon sadarlah, maafkan aku.” Farid hendak mengelus pipi Aiska. Namun, Arun segera menepis tangannya. “Kau!” Farid menatap nyalang.Arun melirik ke arah wanita itu kemudian menatap Farid dengan senyum menyeringai. “Berhenti mengganggu istri orang, urus saja wanitamu itu!”“Kau, kau yang telah merebutnya dariku!” Farid tidak mau mengalah.“Farid, sudahlah, tinggalkan dia. Ayo kita pulang!” rengek Maya kembali bergelayut pada Farid.Arun tidak peduli dengan penentangan Farid, terlebih karena ulah mantan kekasih istrinya itu Aiska terluka. Lelaki matang tersebut langsung mengangkat istrinya dan meninggalkan sepasang kekasih gila itu.“Farid ayo pulang!” Maya semakin mengoceh.Farid menghempaskan tangan Maya, menatap nyalang wanita itu, “Lepaskan Maya!” pekik Farid. “Suaramu mengganggu telingaku!” Lelaki tersebut berjalan meninggalkan Maya begitu saja."Farid!" panggil Maya. Namun, lelaki tersebut tidak menoleh sama sekali dan tetap berjalan menjauh. "Kurang ajar! Ini tidak bisa kubiarkan begitu saja. Usahaku merebut Farid tidak boleh sia-sia.”Sementara itu setelah mendapatkan penanganan, beberapa saat kemudian Aiska tersadar. Dia memindai ke segala arah, dirinya tengah berbaring di kaaur empuk, sebuah kamar nan luas bernuansa klasik, di mana ada lemari berwarna gold menambah kesan mewah. Aiska memijat kening yang terasa nyeri, ada bekas jahitan di kening. Baru gadis itu ingat akan apa yang terjadi sebelumnya.“Ini di mana?”“Kamarku. Kau sudah sadar?” Suara Arun mengagetkan Aiska.Gadis itu melihat ke arah samping di mana Arun duduk di sudut sofa yang ada di ujung ruangan, di mana dia sibuk mengetik dengan mata menatap layar laptop di meja. Arun berucap tanpa menoleh ke arahnya. Aiska mengerjapkan mata beberapa kali, kehadiran lelaki yang telah menjadi suaminya itu benar-benar tidak dia rasa.“Kata dokter kau hanya kelelahan dan lukamu tidak terlalu buruk. Sehingga aku langsung membawamu pulang karena sibuk!” Arun menoleh ke arah Aiska. Membuat gadis itu berpaling ke arah lain.Aiska merasa lelah fisik dan pikiran, dia tak menyangka akan berada di kamar mewah tersebut, membuat Aiska membayangkan seberapa megah ruangan lain rumah juragan Arun itu. Namun, Aiska segera sadar diri untuk tidak banyak berharap. Pernikahan mereka hanya sebuah kontrak saja sebagai penebus hutang orang tuanya."Arun, di mana wanita itu?” Suara wanita terdengar menggema dari depan. Beberapa detik kemudian menyembul dari balik pintu yang tidak ditutup rapat, seorang wanita paruh baya berpenampilan menarik masuk ke dalam.Wanita itu menatap Aiska yang sedang berbaring. Aiska yang merasa risih hendak bangun dari tidurnya.“Tetap berbaring, Aiska. Dokter menyuruhmu untuk banyak istirahat dalam beberapa hari!” Arun berucap seraya bangkit dari duduk dan menghampiri wanita yang naru saja nyelonong masuk. “Ibu,” panggil Arun.Mendengar Arun memanggilnya ibu membuat Aiska semakin risih. Gadis tersebut beringsut duduk di tepi ranjang.“Aku dengar kalian sudah menikah." Suara wanita yang dipanggilnya ibu oleh Arun memenuhi ruang. Wanita itu menoleh ke arah Arun, tapi tangannya menuding ke arah Aiska. "Katakan padanya, jika dia ingin di terima oleh keluarga kita, suruh dia segera hamil." "Ibu, ini masih terlalu awal. Jangan terlalu menekan, kami baru menikah, dan dia masih muda!" Suara Arun terdengar datar tanpa emosi. Berbanding terbalik dengan suara sang ibu yang semakin keras."Ingat, dia kamu nikahi agar kamu segera punya keturunan bukan untuk numpang hidup enak. Apa gunanya kamu keluarkan banyak uang untuk dia kalau tak berguna," bantahnya.Perdebatan itu terus berlanjut, Aiska memilih untuk tidak ikut campur dengan urusan mereka, meski topik pembicaraan mereka berkaitan dengan dirinya. Aiska mencengkeram selimut untuk menahan dadanya yang bergemuruh, antara gugup dan sedikit rasa takut."Heh kamu, jangan diam saja. Punya mulut itu bicara. Kalau gak sanggup memberi Arun keturunan mendingan kamu gak usah nikah sama Arun saja. Dasar wanita gak guna," kata Ibu Arun.Sungguh sakit hati Aiska mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Ibu Arun. Biar bagaimanapun mereka memang baru menikah. Dan dia juga istri sah Arun di mata hukum dan agama, tapi di mata Ibu Arun, Aiska seakan hanya numpang hidup pada Arun."Aku mau segera punya cucu, ku beri waktu kalian satu tahun. Kalau kalian tak segera punya momongan maka lebih baik kalian bercerai!" cerocos Ibu Arun. "Malam ini aku menginap di sini.” Wanita itu kemudian berlalu pergi meninggalkan kamar. Arun tampak keberatan tapi dia tak berani membantah. Brak! Suara pintu ditutup dengan kencang.Arun dan Aiska saling pandang, “Aku tahu ini tidak nyaman untukmu. Namun, kita harus tidur satu kamar jika anggota keluargaku datang.” Arun menghela napas. “Sofa itu tidak mungkin muat untukku, tapi sepertinya pas untukmu. Jika kau sudah merasa lebih baik, kau bisa pindah ke sini!” Arun menunjuk sofa yang dia duduki. Lelaki tersebut kembali berkutat dengan laptopnya.Untuk sepersekian detik Aiska terbengong, tetapi gadis itu kemudian beranjak dari tempat tidur. Pengantin baru tanpa malam pertama itulah yang terjadi antara Arun dan Aiska."Juragan ...," panggil Aiska."Jangan ganggu aku.” Suaranya yang mendadak meninggi membuat Aiska sedikit terkejut.Aiska melanjutkan ucapan dengan takut-takut, "Bolehkan aku minta bantal dan selimut?""Ambil selimut di almari, jangan manja," sungut Arun masih fokus dengan leptopnya.Aiska membuka almari yang tidak terkunci, dia mencari selimut yang lebih kecil untuk dirinya. Setelah menemukannya dia segera kembali ke sofa dan berbaring. Di mana kaki Aiska menyentuh paha Arun yang terbalut piama tidur. Tentu Aiska semakin tidak bisa tidur, dia tak nyaman. Berulang kali menggulingkan badan ke kanan dan ke kiri sehingga membuat Arun terganggu.“Kau bisa tenang?” Arun menoleh ke arah Aiska. Gadis itu kemudian meraih selimut untuk menyembunyikan wajah. Arun menghela napas panjang lalu keluar dari kamar membawa leptopnya, sementara Aiska memilih untuk memejamkan matanya.Ponsel Aiska berdering, ada nomor baru yang menelfonnya. Dia abaikan saja panggilan tersebut. Namun, malah panggilan itu terjadi berulang hingga Aiska kesal."Hallo, siapa ya?" tanya Aiska."Aiska, aku tahu kamu gak akan bahagia menikah dengan tua bangka itu. Mari kita balikan! Aku akan memuaskan kamu," suara Farid terdengar di seberang sana. Dia sekan tahu kalau Aiska tengah tak bahagia bersama Arun."Ayolah, jangan jual mahal!" ajak Farid. "Kamu pasti kesepian punya suami pria tua yang sudha tidak perkasa," bujuk Farid."Diam, jangan hubungi aku lagi!” ucap Aiska lalu menutup panggilan secara sepihak dan memblokir nomor Farid.Aiska memijat kening yang semakin nyeri. Masalah datang bertubi. Secara mendadak dia sudah menjadi istri orang, belum lagi mantan pacarnya yang gila itu seperti tidak mau lepas bak benalu. Ditambah, sikap mertuanya yang ingin segera memiliki cucu.Bagaimana Aiska bisa hamil, jika dia dan juragan Arun saja tak saling bersentuhan?Arun kembali ke kamar, dia tanpa menyapa Aiska dan langsung saja pergi ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya. Setelah itu naik ke atas ranjang."Juragan...Juragan," panggil Aiska memberanikan diri.Tak mendapatkan jawaban, Aiska mendekatkan diri ke arah ranjang."Juragan, bagaimana ini? Ais bingung," kata Aiska."Berisik, bingung apa lagi?" tanya Arun kesal karena terganggu. "Jangan mendekat lagi!" larang Arun.Aiska memberanikan diri untuk bicara, dia tak mau jika terus kepikiran soal permintaan orang tua Arun."Juragan, Bagaimana saya bisa hamil kalau kita tidak saling bersentuhan? Sementara keluarga Juragan menekan kita untuk segera mempunyai keturunan," kata Aiska."Sudah jangan pikirkan hal itu, lagi pula waktu satu tahun itu masih lama," ucap Arun. "lebih baik kamu segera tidur dan jangan ganggu aku lagi," Arun menutupi tubuhnya dengan selimut.Aiska kembali ke sofa dan berusaha untuk tidur walaupun dia sama sekali tak bisa memejamkan matanya. Sementara itu, terdengar dengk
Aiska tidak lama di kampus, mereka lalu pulang kembali. Sampai di rumah ada mobil yang asing bagi Aiska karena itu bukan mobil keluarga Arun."Juragan, sepertinya ada tamu," kata Aiska.Arun mengabaikan Aiska dan masuk ke dalam rumah. Dia melihat wanita yang selama ini dia cintai berada di sana."Nesya mengapa kamu ke sini lagi?" tanya Arun.Aiska melihat Nesya mendekati Arun dan memeluknya. Arun sama sekali tak menolak pelukan Nesya."Aku kangen kamu sayang, beberapa hari ini kamu tidak menemui aku. Makanya ku beranikan datang kemari. Aku takut dengan adanya wanita itu akan menggantikan posisi aku di hati kamu," jawab Nesya."Nesya, aku ngerti tapi tolong jangan sering ke sini. Aku akan temui kamu nanti," kata Arun.Nesya semakin erat memeluk Arun saat melihat ada Aiska. Dia sengaja membuat Aiska cemburu. Aiska yang sudah tak mampu melihat adegan selanjutnya segera masuk ke kamar."Sayang, apa kamu yakin tidak akan mencintai wanita itu?" tanya Nesya. "Aku ingin kita segera kembali, A
"Kenapa kamu melihat kami seperti itu? Kamu tahu kan kalau kami masih saling mencintai? Jadi aku harap kamu menyerah saja. Kalau tidak begitu, kamu beri Arun anak lalu tinggalkan dia," kata Nesya.Arun terlihat hendak melepaskan tangannya dari tangan Nesya tetapi Nesya justru memegangnya semakin erat."Sayang, beri tahu istri kamu ini dong. Kalau kamu masih sangat mencintai aku," kata Nesya. "Biar dia sadar diri, dia tidak sebanding dengan kamu," sambung Nesya."Nesya, lebih baik kamu pulang naik taxi. Jangan bikin kerusuhan ditempat umum," kata Arun."Sayang, kamu membela dia," kata Nesya kesal. "Katakan padanya, kalau kamu sayang sama aku," bujuk Nesya.Arun melihat ke arah Aiska, dia menatap Aiska yang menunggu ucapannya."Ini jam kuliah, kenapa kamu tidak di kampus? Kalau malas kuliah pulanglah, jangan ganggu kami," ucap Arun. "Dan ingat aku masih mencintai Nesya," kata Arun terlihat berat."Sudah dengar, jadi mendingan kamu pulang sana," usir Nesya. Nesya langsung mengajak Arun p
Aiska tidak akan mudah menyerah, dia akan berusaha untuk mendapatkan hati Arun Sanjaya. Dia tidak mempermasalahkan jika semua orang mengolok-oloknya karena menikah dengan Duda. Toh baginya Arun bukanlah Duda sembarangan."Ngapain bengong, sana ke dapur bantu Bibi siapkan makanan!" perintah Arun yang tanpa Aiska sadari sudah keluar dari kamar mandi.Aiska mencuci wajahnya sebentar lalu merapikan rambutnya dan keluar ke kamar mandi. Sebelum keluar Arun menarik tangannya."Jangan keluar pakai baju seperti itu! Kamu mau menggoda siapa?" tanya Arun.Aiska lupa kalau baju tidur yang dia pakai sedikit terbuka. Dia mencari baju rumahan lalu segera ke dapur setelah ganti baju."Makin lama makin mesum itu anak," omel Arun.Aiska membaut nasi goreng terenak untuk Arun. Dia tidak mau Arun kembali pada Nesya, wanita masa lalu yang harus dibuang jauh-jauh."Masak apa kamu?" tanya Nawang."Mama, aku kira siapa. Ini masak nasi goreng, Ma," jawab Aiska berusaha mendekatkan diri pada sang mertua.Nawan
Arun segera masuk ke kamar mandi, melihat tingkah Arun yang salah tingkah membuat Aiska tersenyum. Dia menunggu Arun kembali dari kamar mandi. Cukup lama Arun berada di dalam sana."Juragan, apa yang Juragan lakukan di dalam sana?" tanya Aiska.Tidak ada jawaban dari dalam hanya ada suara air saja. Aiska memilih duduk santai di tepi ranjang. Capek menunggu, Aiska berbaring di ranjang dengan posisi yang sangat menggoda.Arun yang baru saja keluar dari kamar mandi terkejut kala melihat Aiska berbaring."Sini, Juragan!" pinta Aiska.Arun naik ke atas ranjang melalui sisi yang lain. Dia sedikit menghindari pandangannya dari tubuh Aiska."Juragan aku sudah siap kalau Juragan mau," kata Aiska."Maaf aku belum bisa," kata Arun lalu berbaring membelakangi Aiska. Bukannya Aiska mundur dia malah mendekatkan tubuhnya ke Arun. Di peluknya Arun dari belakang. "Lepaskan!" pinta Arun.Aiska bergeming, dia masih memeluk Arun dengan erat. Bahkan dia menenggelamkan wajahnya di bahu Arun."Aku tahu Jura
Arun melayangkan bogem ke wajah Farid, Farid segera melakukan perlawanan. Namun, tenaga Farid tak ada apa-apanya di bandingkan Arun.Semua siswa mengerumuni mereka, Aiska berusaha melerai mereka . Arun yang terlanjur emosi hilang kendali."Stop, Mas!" pinta Aiska."Dia sudah mengganggu kamu Aiska, aku tidak akan membiarkan dia mengganggu kamu lagi," kata Arun.Tidak berapa lama satpam dan beberapa dosen datang dan melerai mereka."Ada apa ini?" tanya salah satu dosen."Pak, tolong jangan biarkan anak ini mengganggu Aiska. Dia berusaha melecehkan Aiska. Saya tidak terima, saya akan bawa kasus ini ke jalur hukum," jawab Arun. Arun sedang dipegangi oleh salah satu satpam."Aiska apa benar yang dikatakannya?" tanya dosen itu."Benar, Pak," jawab Aiska "Lalu anda ini siapanya Aiska?" tanya Dosen tadi pada Arun."Saya suami Aiska, Pak," jawab Arun jujur.Aiska tidak menyangka kalau Arun akan membongkar identitasnya secepat itu. Aiska kira, Arun tidak mengakuinya sebagai istri."Baiklah kal
"Ada perlu apa ya, Mas?" tanya Aiska."Apa aku boleh meminta nomor ponselmu? Siapa tahu kita bisa makan berdua," kata Bram."Maaf, Mas. Aku tidak hafal nomorku, ponselku tertinggal di dompet," tolak Aiska."Baiklah, bagaimana kalau kita main sebentar?" tanya Bram.Aiska tidak mengerti apa maksud Bram, dia hendak pergi tetapi lengannya dicekal oleh Bram."Aku yakin kamu sama seperti Nesya," kata Bram. "Bagaimana kalau aku membayar mu?" tanya Bram.Bram mendekati Aiska dan berusaha untuk mencium Aiska. Aiska menghindar sehingga hal itu tak terjadi."Jangan jual mahal, Nesya yang banyak uang saja mau denganku. Apalagi kamu gadis kampung yang matre, aku tahu kamu menikah dengan Arun karena harta, kan," ucap Bram.Bram ternyata tidak menyerah, dia berusaha meraba tubuh Aiska. Namun, segera ditepisnya tangan Bram."Jangan lancang! Jangan samakan aku dengan Nesya. Sekarang aku jadi tahu kalau kamu dan Nesya punya hubungan terlarang," kata Aiska. "Jangan pernah membujukku lagi. Karena itu sem
"Oh dia temanku waktu sekolah," jawab Bram. "Sudah, ayo tidur!" ajak Bram mengambil ponselnya di tangan Soraya.Sebenarnya Soraya tak sepenuhnya percaya. Hanya saja dia tak ingin ribut, dia sudah capek dan ingin segera tidur.Esok paginya, Aiska diajak Maura jalan-jalan. Tentu saja Maura meminta izin dulu pada Arun."Mas Arun, pinjam istrinya boleh kan?" tanya Maura."Pinjam aja, toh dia hari ini gak ada kuliah. Awas jangan ajari dia macam-macam," jawab Arun santai."Siap, bos," ucap Maura.Maura dan Aiska pergi setelah Arun pergi ke peternakan. Dalam perjalanan, Aiska mencoba mengorek informasi dari Maura."Ra, aku lihat keluarga kamu tidak suka sama Nesya. Apa salah Nesya?" tanya Aiska."Oh ya aku lupa mengingatkan kamu, kalau kamu ketemu Mas Bram hati-hati ya," kata Maura. "Kami benci sama Nesya karena dia pernah selingkuh dengan Mas Bram. Mereka menjalin hubungan terlarang, tetapi Mas Arun tak pernah percaya," kata Maura."Apa Soraya tahu?" tanya Aiska penasaran."Tidak, yang Mbak
Di tempat kejadian, polisi ternyata menemukan barang bukti berupa korek api. Ternyata korek api itu milik pelaku penusukan Ningsih.Arun mendapatkan kabar dari pihak kepolisian, dia segera datang ke kantor polisi pagi itu."Bagaimana apa sudah ada info, Pak?""Benar dugaan Pak Arun. Pelakunya adalah Bram. Kami sudah memeriksa sidik jari dari barang bukti yang tertinggal."Pagi itu, polisi melakukan penangkapan terhadap Bram. Bram yang tidak tahu akan kedatangan polisi tidak bisa kabur."Pak Bram, anda kami tanggapi atas kasus penusukan Ibu Ningsih." Polisi itu memberikan surat penangkapan Bram."Jangan asal menuduh, Pak!""Kamu punya buktinya." Polisi lalu membawa Bram.Nesya yang hari itu hendak ke rumah Bram melihat penangkapan Bram. Dia pura-pura tidak melihat, dia tidak ingin di seret dalam kasus itu."Bodoh sekali dia, sampai ketahuan." Nesya merasa panik, dia takut Bram membuka suara.Sampai di kantor polisi, Bram tidak bisa mengelak lagi. Bukti sudah di tangan polisi, dan dia h
Arun siang itu datang ke rumah Aiska. Dia akan makan siang di sana karena sudah janji dengan Aiska."Mas, akhirnya kamu datang juga," ucap Aiska. "Tadi kamu ngerjain kerjaan rumah sendiri dong," kata Aiska."Ya iya mau gimana lagi, kamu kan harus temani ibu," kata Arun."Terimakasih, Mas. Kamu sudah pengertian," kata Aiska tersenyum.Mereka lalu makan siang bersama, setelah itu Aiska mengajak Arun ke pasar. Arun yang tidak biasa ke pasar merasa aneh. Apalagi di pasar cukup lama.Arun membantu Aiska membawa barang belanjaan karena belanjaan mereka cukup banyak. Karena tidak sanggup hanya berdua saja, Arun meminta bantuan kuli panggul yang ada di pasar untuk membantunya."Kamu Juragan Arun, kan?" tanya kuli panggul itu yang tampak mengenal Arun."Iya, Pak," jawab Arun."Kenapa Juragan ke pasar? Biasanya kan istri Juragan belanjanya di mall," kata kuli itu yang tidak tahu kalau Arun sudah tidak bersama Nesya."Dia bukan istriku lagi, Pak. Kami sudah lama bercerai. Sekarang dia yang istri
Aiska sadar dari pingsannya, dia menangis sesegukan. Dia tak menyangka jika bapaknya akan meninggalkan dirinya lebih cepat."Bu, apa yang terjadi sama bapak?" tanya Aiska."Bapakmu jatuh dari sepeda motor," jawab Ningsih sedih. "sepeda motornya mengalami rem blong," sambungnya.Aiska benar-benar kehilangan, dia sedih sekali. Arun, selalu menemani Aiska di sampingnya. Sampai pemakaman selesai, Aiska masih di sana."Mas, kamu pulang saja ya. Aku akan menginap di sini sampai tujuh hari bapak," kata Aiska."Iya, nanti malam aku balik lagi," kata Arun.Keluarga Arun ikut berbela sungkawa, mereka datang ke rumah Aiska sejak mendengar kabar kematian besannya itu."Aiska, kamu yang sabar ya. Jangan terlalu banyak pikiran, ingat kamu sedang mengandung,' pesan Nawang."Iya, Ma," ucap Aiska.Sore itu rumah tampak ramai karena saudara dan tetangga silih berganti mengunjungi rumah Aiska. Aiska juga melihat ada orang tua Maya yang datang. Hanya Ningsih yang menyambut mereka, Aiska memilih menyambut
Beberapa hari tinggal hanya berdua dengan Aiska membuat Arun menjadi tahu banyak hal tentang Aiska. Bahkan Arun mulai menerima Aiska. Sayangnya kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Nesya kembali mendatangi Arun, dia mulai menggoda Arun kembali."Arun, aku merindukan kamu," kata Nesya sore itu. Dia dengan berani mendatangi rumah Arun.Di sana ada Aiska juga tetapi Aiska memilih untuk diam saja. Dia ingin tahu, seberapa beraninya Nesya."Kita sudah tidak ada hubungan lagi," kata Arun. "lagian untuk apa aku memaafkan tukang selingkuh seperti kamu," sambung Arun."Arun, aku menyesal. Aku janji tidak akan mengulanginya. Percayalah Arun!" pinta Nesya.Nesya terlihat sangat sedih, tetapi Arun tak peduli."Pergilah dari sini! Jangan ganggu aku dan Aiska lagi," usir Arun mendorong Nesya agar keluar dari rumahnya."Arun....Arun...," panggil Nesya. Arun segera menutup pintu rumahnya. Dia enggan sekali bertemu dengan Nesya. Arun menatap Aiska yang sedari tadi diam."Kalau dia ke sini lagi
Setelah kepulangan Nawang dan Arman, Aiska masuk ke dalam rumah. Dia melihat Arun yang memainkan ponselnya di atas ranjang."Tega sekali mereka, ini pasti kerjaan kamu, kan," tuduh Arun."Bukan, Mas. Mereka sendiri yang melakukannya," kata Aiska."Bulshit..," ucap Arun kesal."Mas, itu cucian numpuk. Kemarin ibu belum sempat nyuci," kata Aiska.Arun dengan malas mengambil baju kotor di dalam keranjang dan membawanya ke tempat cuci. Aiska melihat Arun tampak kebingungan menggunakan mesin cuci."Ini di putar dulu, terus diisi air pakai selang ini. Masukin bajunya sama kasih detergen. Tunggu sampai airnya penuh," kata Aiska menjelaskan.Arun yang tak tahu menahu nurut saja dengan intruksi Aiska. Namun, Arun terlalu banyak memberikan detergen ke mesin cuci."Kebanyakan itu, Mas. Harusnya sedikit saja," kata Aiska sembari mengambili detergen yang belum tercampur dengan air."Ribet banget sih," gerutu Arun. "Setelah ini apa lagi tugasku?" tanya Arun."Sambil nunggu mencuci, kamu nyapu sama
Aiska sudah mendapatkan giliran untuk periksa. Alhamdulillah, kandungannya baik-baik saja. Nawang bersyukur sekali karena kandungan Aiska tidak bermasalah.Dokter memberikan obat mual untuk Aiska. Nawang sangat memperhatikan Aiska, sehingga apapun yang Aiska mau selalu dituruti."Aku heran kenapa Arun masih saja membenci kamu," kata Nawang. "Padahal kamu sudah mau hamil anaknya. Mama janji akan bantu kamu mendapatkan Arun," kata Nawang.Nawang meyakinkan Aiska agar tidak menyerah. Bahkan Nawang yakin jika suatu saat Arun akan mencintai Aiska."Terimakasih, Ma. Mama sudah meyakinkan Ais," ucap Aiska."Tadi kamu kenapa lama di kamar mandi?" tanya Ningsih.Aiska menceritakan kalau ada orang yang menguncinya di dalam kamar mandi. Tetapi dia tidak menyebutkan nama orang itu pada Nawang dan Ningsih."Sepertinya banyak yang memusuhi kamu, kamu harus hati-hati, Ais," kata Nawang mengingatkan."Iya, Ma," balas Aiska.Sampai di rumah, Arun sudah pulang. Dia tampak biasa saja saat melihat Aiska
Setelah Bram mendapatkan imbalan dari Nesya, dia segera menjalankan rencananya. Dia tak ingin melihat Arun bahagia, dia sudah diselimuti oleh perasaan dendam.Sore itu, Aiska biasa melakukan jalan sore di sekitar komplek. Aiska tidak pernah sendiri, ada pembantunya yang menemani dia."Bi, sore ini kok tumben sepi ya," kata Aiska melihat jalanan yang tidak ada orang berlalu lalang seperti biasanya."Mungkin belum pada pulang dari kerja, Non," ucap pembantu Aiska.Mereka berjalan menuju ke taman, sering jalan bisa mempermudah persalinan. Aiska ingin melahirkan secara normal san lancar. Maka dari itu setiap sore dan pagi dia jalan santai.Saat hendak menyebrang, dari arah lain ada mobil yang melaju dengan kencang. Mobil itu hampir saja menabrak Aiska. Namun, pembantunya justru yang tertabrak karena menghalangi Aiska.BrakkTubuh pembantu itu berguling di aspal, sementara mobil yang menabrak langsung pergi. Aiska yang shok langsung terduduk lemas. Melihat sang pembantu tak sadarkan diri,
"Sialan....," teriak Nesya sembari membanting ponselnya ke lantai. "Suara itu menjijikan sekali, ini pasti ulah wanita kampungan itu," kata Nesya.Desahan Aiska dan Arun masih terngiang di telinga Nesya. Dia tak bisa memejamkan mata, dia tak bisa tidur. Dia memilih untuk mendatangi Aiska di rumah Arun.Sampai di rumah Arun, lampu sudah padam. Kemungkinan sudah pada tidur.Nesya menggedor pintu rumah Arun, lampu menyala. Dan Arun membuka pintu."Aku sudah yakin kalau kamu yang datang," kata Arun."Mana wanita kampungan itu, dia sengaja memamerkan kemesraan itu kan," kata Nesya."Sayang, siapa?" tanya Aiska yang muncul di belakang Arun. Aiska memakai piyama tidur, dia terlihat lebih cantik dari Nesya. "Oh kamu, udah dengar ya tadi. Ups pasti kepanasan," kata Aiska."Kurang ajar kamu," pekik Nesya hendak meraih rambut Aiska. Namun, Arun melindungi Aiska."Pergi! Jangan buat keributan di sini!" usir Arun."Gak, aku gak akan pergi," kata Nesya menerobos masuk ke dalam namun dihalangi Arun.
Arun berdiri di ambang pintu, ternyata dia menyusul Aiska ke rumah sang mertua."Juragan, silahkan masuk!" perintah Pardi.Arun masuk, dia duduk di kursi tunggal dekat Sinta. "Jangan pernah sangkut pautkan Aiska dengan masalah Maya. Aku gak akan tega Aiska dekat kembali dengan Farid," kata Arun. "Harusnya Maya malu, dia sudah menyakiti Aiska, tetapi masih saja ingin meminta tolong," kata Arun."Juragan, aku mohon! Hanya Aiska yang bisa membantu Maya," kata Sinta memohon penuh iba."Itu semua salah Maya sendiri. Dia yang sudah melakukan kesalahan jadi resikonya buat dia tanggung sendiri," kata Arun. "Lagi pula sekarang Aiska bukan lagi teman Maya," lanjut Arun.Pardi akhirnya angkat bicara, dia yang sejak tadi menyimak akhirnya bersuara."Aku yakin ada cara lain, tanpa melibatkan Aiska. Lagi pula Aiska juga sudah punya kehidupan sendiri. Jangan ganggu dia lagi!" ucap Pardi."Aiska, Ibu mohon bantu Maya," kata Sinta."Maaf, Bu. Aiska gak bisa," kata Aiska."Ibu.. ngapain sih ke sini? M