Ar tampak duduk gelisah, sedari tadi dia menelepon sang ibu, tetapi nomor ponsel wanita yang sudah melahirkannya itu tidak aktif sama sekali. "Mommy ke mana?" desahnya. "Kenapa, Kak?" Ziva langsung duduk di samping kakaknya itu. Ar tersenyum hangat. "Tidak apa-apa," kilahnya yang seolah mampu menyembunyikan kesedihan dari raut dan ekspresi wajahnya. "Kakak, kenapa tidak ingin main baleng Ziva, kak Zayn dan kak Zean?" tanyanya dengan wajah polos. "Kakak sedang tidak enak badan, Zi," kilahnya. "Kakak sakit?" Ar menggeleng, bukan tidak enak badan karena sakit, tetapi tidak enak badan karena menghawatirkan kondisi ibunya di luar sana. Hati Ar benar-benar merasa tak nyaman dan tak tenang. Bahkan jika bisa ia ingin terbang agar segera bertemu sang istri. "Son!" Kedua orang itu menoleh ke arah Zayyan dan Zea yang baru saja datang. "Daddy, Mommy!" Keduanya sontak berdiri. Zea mendekati Ar. Ia berusaha untuk tak mengeluarkan air mata, sebab tidak mau jika kepona
Di pemakaman, Ar tak hentinya menangis dan terus meneriaki nama sang ibu. Zayyan berusaha menenangkan putranya itu. Ia tahu hal ini tidak mudah bagi Ar, apalagi merelakan kepergian sosok yang begitu dicintai karena Zayyan pernah berasa di posisi anaknya, ketika dipaksa ikhlas saat ditinggal dalam keadaan belum siap sama sekali. "Mommy!" Teriakan histeris Ar beriringan dengan peti mati Zevanya masuk ke dalam tanah. Namun, sekeras apapun ia berteriak, hal tersebut tidak akan membuat sang ibu kembali lagi ke dalam dekapannya. Zea ikut meneteskan air mata. Bukan hanya Ar, dirinya pun terluka. Zevanya saudara satu-satunya yang tersisa, kini pun telah kembali kepada sang pencipta. Zea sekarang hidup sebatang kara, bahkan suami pun belum jelas. Namun, ia bersyukur karena ada tiga malaikat yang Tuhan kirim untuk menemani hidupnya. Zea menatap ketiga batu nisan di depannya. Zevanya sengaja dikebumikan di dekat Miko dan ibu kandungnya yang telah meninggal saat mereka kecil. Zea ter
Satu bulan kemudian.... Seorang wanita cantik tengah duduk di depan cermin. Dia tersenyum menatap pantulan dirinya yang terlihat begitu cantik. Dia tak menyangka bahwa dia akan secantik ini. "Mommy!" Tiga bocah kembar berlari masuk menghampirinya. Wanita itu tersenyum hangat sambil menyambut ketiga buah hatinya. "Ayo, Mommy! Daddy dan kak Ar sudah menunggu!" ajak sang putri kecil yang tampak begitu antusias. "Iya, Mommy," sambung putra sulungnya. "Wahhh Mommy cantik sekali. Andai saja Zean sudah besar. Pasti Zean yang akan menikahi Mommy," ujar putra keduanya. "Ck, kau bicara apa? Mana boleh menikahi Mommy sendiri?" protes yang paling tua. Wanita itu hanya tersenyum gemas mendengar percakapan anak-anaknya yang terdengar begitu lucu. Dirinya masih tak menyangka bahwa hari ini, akan menjadi hari paling bersejarah dalam perjalanan cintanya. "Sudah jangan beltengkal!" Ziva menagahi kedua kakak kembarnya. "Ayo, Mom!" Zayn dan Zean mengandeng tangan wanita itu untuk
Zea mengeliat di balik selimut tebalnya. Dia merasakan perutnya berat seperti sesuatu yang menimpa perutnya tersebut. Wanita itu membuka matanya perlahan dan dia langsung disuguhkan dengan wajah tampan sang suami yang masih memeluk nya erat. Zea tersenyum hangat dan pergulatan panas mereka semalam terekam jelas di kepalanya. Suaminya ini sungguh ganas dan buas luar biasa. "Selamat pagi, Sayang," sapa Zayyan tanpa membuka matanya. "Pagi, Kakak Suami!" balas Zea. Zea turun perlahan dari ranjang. Ah dia malu sendiri saat mendapati dirinya tak memakai sehelai benang pun. Pakaian mereka berserakan di lantai. Baju pengantin itu sebagai bukti bahwa kini keduanya telah kembali bersama. Zea bergegas ke kamar mandi. Untung sudah tidak perawan seperti pertama kali melakukan, kalau perawan kemungkinan dia tidak bisa berjalan akibat kebuasan Zayyan di atas ranjang. Suaminya itu seperti memiliki kekuatan baja yang sanggup menembus tembok pertahanannya. Zea menatap pantulan dirinya di depan
Beberapa bulan kemudian ... Zea beberapa kali mengucek mata saat melihat hasil test kehamilan di tangannya. Wanita itu tak menyangka jika dia garis merah positif di sana. Memang dia sudah telat haid dari biasanya. "Ak-ku ha-mil?" gumamnya dengan mata berkaca-kaca dan tak menyangka. Bahkan tangan sontak menutup mulut. "Ya, Tuhan. Aku hamil!" Wanita itu tersenyum kesenangan. "Aku hamii." Dia mengusap perut ratanya. "Selamat datang, Nak. Selamat datang di kehidupan Daddy dan Mommy, selamat datang di kehidupan keempat kakakmu. Semoga Tuhan menyertai perjalanan mu datang ke dunia!" Air mata bahagianya menetes. Kebahagiaan Zea akan semakin bertambah jika anaknya lahir nanti. Dia tak sabar. Dia ingin waktu segera berlalu dan dia juga tak sabar untuk memberitahu suami dan anak-anaknya tentang kabar bahagia ini. "Kakak, Kakak, Kakak!" teriaknya dari kamar mandi. Zayyan sontak berhambur ke arah kamar mandi dengan wajah panik nya. Padahal dia tengah nyaman memasang pakaian kerjanya. Waj
Zayyan bangun pagi sekali. Sementara Zea masih terlelap nyaman. Sejak hamil, wanita ini tak hanya manja tapi juga sedikit pemalas. "Sayang, bangun!" panggil Zayyan"Sudah siang ya, Kak?" Zea sontak duduk sembari mengucek matanya. Wanita itu masih berusaha mengumpulkan sejuta nyawanya yang terasa hilang ke alam mimpi. "Iya, Sayang. Ayo cuci muka dulu!" Zayyan menyimak selimut mereka. "Iya, Kak." "Kakak gendong, ya." Zayyan langsung mengangkat tubuh wanita itu. Usia kehamilan Zea sudah memasuki bulan keenam. Jadi masa mengidamnya pun sudah berkurang hanya manjanya masih kuat. "Kak, maaf merepotkan mu," ucap Zea tak enak hati. "Sama sekali tidak, Sayang. Aku ingin kau terus manja-manja padaku." Zayyan mencolek dagu istrinya dengan gemas. "Ehem, tidak mungkin aku manja terus, Kak. Sudah ayo cuci muka, kita harus siapkan sarapan untuk anak-anak," ajak Zea. Setelah mencuci muka dan gosok gigi kedua pasangan itu keluar dari kamar mandi. Seperti biasa aktivitas pagi adalah mengur
Shania menatap pantulan dirinya di depan cermin. Gadis cantik berstatus model itu tampak tersenyum lebar, ketika gaun mewah tersebut melekat dengan sempurna di tubuh ramping dan juga mungilnya."Kak, apa aku sudah cantik?" tanyanya pada sang kakak yang sedari menunggunya. "Cantik!" balas Sean. "Apa kak Zavier akan terpesona padaku?" tanyanya lagi yang seolah belum puas. "Tidak," jawab Sean. Shania mendengkus kesal. Ia menatap kakaknya malas. "Kakak." "Sudahlah, jangan terlalu lama. Zavier sudah menunggu," ujar Sean terkekeh melihat wajah kesal adiknya. Lagian Shania terus bertanya, apa dia cantik? Apa Zavier akan terpesona padanya? Sean saja bosan dengan pertanyaan tersebut. "Ayo, Kak!" ajak Shania. "Tapi..." Gadis itu mendesah pelan. "Tapi, kenapa?" Sean menatap adiknya. Shania tersenyum kecut. Di hari bahagia harusnya dikelilingi oleh orang tua serta orang-orang yang menyayanginya. Namun, tidak dengan Shania sang ayah dan sang ibu bahkan tak meluangkan waktu sedikitpun untu
"Melihat tuan Zavier dan nona Shania yang menikah, aku jadi ingin menikah," ujar Niko mendesah. "Memang punya calon?" Josua melirik sahabatnya. "Ada, banyak," jawab Niko penuh percaya diri. Jika dia mau banyak sekali wanita yang mengantri untuk menjadi istrinya. Namun, wanita-wanita itu hanya mengincar harta dan ketampanannya saja. Niko ingin menemukan wanita yang tulus mencintai dirinya, seperti Zea mencintai Zayyan contohnya. Sementara Samuel terdiam saja. Dia melihat betapa cantik dan bahagianya Shania duduk di pelaminan bersama lelaki terbaik pilihannya. Lagi-lagi, pria itu tersenyum kecut karena selalu gagal dalam hal percintaan. Padahal selain jatuh cinta pada Zea berkali-kali, ia juga menyukai Shania dan berharap wanita itu akan menjadi pelabuhan terakhirnya. Namun, apalah daya jodoh memang tidak selalu bisa dipaksakan. "Hem!" Josua berdehem di dekat telinga Samuel. "Kenapa?" tanyanya. Walaupun sudah tahu, tetapi sengaja bertanya untuk sekedar basa-basi. "Tidak," kilah Sam