“Apa?”“Ayuda berjanji mau menemaniku makan mikurame, apa telingamu butuh corong?”“Brtt … “ Ayuda tak bisa menahan gelenyar geli yang menggelitiki perutnya karena ucapan Raga ke Jiwa barusan. Dia menggosok hidung lalu berdehem. “Hem … iya, aku mau menemani Raga makan,” ucapnya.“Kalau begitu aku juga akan makan bersama kalian.” Jiwa tak mau kalah.“Tapi Susi pasti hanya membeli dua bungkus,” kilah Raga.“Aku bisa memintanya pergi membeli lagi.”“Tidak boleh, dia harus memasakkannya untuk kami.”Ayuda benar-benar merasa dua kakak beradik ini sungguh kekanak-kanakan, hingga dia pun mendapat ide. Ayuda berpikir tidak akan ada satu pun di antara Jiwa atau Raga yang bisa menolak idenya ini. “Aku akan memasakkan mi itu untuk kalian, dan aku tidak akan ikut makan,”kata Ayuda.“Nah … kalau kamu tidak makan, biarkan saja dia makan sendiri. Ayo kita naik!” Jiwa meraih pergelangan tangan Ayuda dan hendak melangkahkan kaki.“Enak saja! tidak bisa, dia sudah berjanji menemaniku.” Raga bersuara.
“Pa-pa-papa, apa ini?”Malam itu Bowo pulang di antar oleh dua pengawal La Royale yang disewanya. Pria itu membawa satu tas besar berisi uang yang dia menangkan dari sana. Setelah kerusuhan di La Royale, Bowo memang memutuskan untuk tidak pulang. Terlebih dia memiliki banyak chip yang sudah ditukar oleh Aldi, sayang jika tidak dia pergunakan untuk berjudi.Sebelum menjawab pertanyaan Randy, Bowo memberikan satu gepok uang pecahan lima puluh ribuan ke pengawal La Royale sebagai jasa karena sudah mengantarnya dengan selamat ke rumah. Ia pun menutup pintu lalu menggandeng putranya untuk masuk ke kamar.“Ini uang yang Papa menangkan dari La Royale, kali ini Papa tidak mau bodoh. Papa berhenti main saat Papa sudah menang. Di sini ada tujuh ratus juta Randy, kamu bisa kuliah.”Bowo tersenyum senang dan mengguncang tubuh putranya. Randy sendiri sampai hampir menangis dibuatnya, pemuda itu merasa bahagia sekaligus sedih di saat yang bersamaan. Papanya benar-benar memikirkan kuliahnya dan ini
Jiwa menoleh saat pintu terbuka dan memandang datar wajah Ayuda. Selang infus nampak masih terpasang di tangan kiri pria itu, Jiwa merasa sial karena istri ke duanya itu malah datang ke rumah sakit. Padahal dia berencana pulang setelah dokter melakukan kunjungan sekitar jam sebelas nanti.Ayuda berdiri tepat di samping ranjang Jiwa, dia melihat sarapan pria itu yang masih utuh di atas nakas. Melihat wajah Jiwa yang sedikit pucat, Ayuda urung melancarkan aksi untuk mengata-ngatai suaminya itu. Ia menarik kursi lalu duduk di samping ranjang Jiwa. Meski tak tega, tapi Ayuda merasa malu jika harus memberi perhatian pria ini, dan pada akhirnya dia tetap saja menyindir.“Lihat! apa gunanya menikah kalau saat sakit saja istrimu masih sibuk bekerja.”Jiwa diam. Ia menatap lekat Ayuda dan membiarkan wanita itu berbicara seenaknya. Ayuda yang ditatap seperti itu pun merasa salah tingkah, akan lebih baik jika Jiwa ketus atau mengusirnya dari kamar perawatan itu.“Hanya makan mi instan saja sampa
Baru kali ini Ayuda bisa diam karena ancaman Jiwa. Ia akhirnya naik ke atas ranjang dan berbaring. Ayuda bukannya takut dengan ucapan sang suami, hanya saja dia merasa sangat malas berdebat malam itu. Ayuda merasakan satu perasaan aneh, dia benci sekaligus kasihan melihat Jiwa. Pria itu seperti terlalu terbebani dengan banyak hal, mulai dari orangtua yang suka membandingkan, diremehkan oleh papanya sendiri, juga istri yang sangat dicintai tapi memanfaatkan.“Enak bukan punya dua istri? saat kamu kesal dengan yang satu kamu bisa tidur di kamar yang lain,” sindir Ayuda.“Hanya berlaku jika yang satu juga bisa menerimaku dengan baik, masalahnya tidur di kamar istri ke duaku seperti uji nyali. Bagaimana kalau aku dicekik sampai mati?”Jiwa dan Ayuda menoleh bersamaan hingga tatapan mereka beradu. Jiwa menipiskan bibir, sedangkan Ayuda malah tergelak. Wanita itu meluruskan pandangan menatap langit-langit kamar. Berpikir, baik dirinya dan Jiwa ternyata sama-sama punya sifat suka menyindir.
Siang itu, Wangi duduk di ruang pribadi yang ada di agensi tempatnya bernaung untuk beristirahat sebelum pergi ke lokasi shuting berikutnya. Asisten MUA yang dibayar oleh Aldi juga ada di sana dan sibuk bermain ponsel. Seperti biasa, Lulu akan memberitahu kegiatan Wangi ke pria yang membayarnya itu. Sama seperti Jiwa, Aldi dan Ayuda juga mencurigai Wangi memiliki hubungan dengan pria lain.“Lu!”Panggilan Wangi membuat Lulu gugup. Gadis berumur dua puluh dua tahun itu bergeges memasukkan ponsel ke dalam kantung baju.“Iya Mba.”“Tolong kamu ambilkan bantal leher di sebelahmu itu!” titah Wangi.Lulu tergagap, hingga Wangi mengerutkan kening melihat tingkah asisten MUAnya itu. Ia juga bertanya kenapa Lulu nampak kaget.“Kenapa sih, Lu? Tremor? Belum makan kamu?”Lulu menggeleng menanggapi pertanyaan Wangi, gadis itu memilih berdiri lalu menawarkan kopi ke orang-orang yang ada di sana. “Aku buatkan kopi ya? mau tidak?”Wangi mengangguk setelah itu saling pandang dengan Audy. Ia merasa ti
Raga membaringkan tubuh Ayuda ke ranjang. Terlihat jelas pipi wanita itu merona karena perlakuan pria yang tak lain adalah adik iparnya sendiri. Ayuda hanya bisa berterima kasih tanpa mengomel seperti biasa, karena rasa kurang nyaman di perutnya semakin menjadi.“Apa kamu butuh bantuan? Heh … jangan bilang setelah Jiwa, kini giliran dirimu yang diare.”“Bukan, ini sakit perut yang hanya bisa dirasakan oleh wanita,” ketus Ayuda pada akhirnya.Raga yang masih berdiri di dekat ranjang pun memandang dengan tatapan iba, dia pikir susah juga menjadi wanita, harus merasakan nyeri haid, belum saat mengandung dan melahirkan. Raga menggeleng menepis pikirannya tentang hal berbau perkembangbiakan. Ia meminta Ayuda istirahat dan tak sungkan untuk memanggilnya jika butuh bantuan.“Terima kasih, tapi aku sudah mendingan.”“Mendingan apa? wajahmu jelas menahan sakit.” Raga bingung bagaimana cara membantu, hingga menawarkan makanan atau minum untuk Ayuda. “Apa kamu mau bubur? Teh hangat?”“Tidak, kam
“Iya, dia ada di dalam.” Ayuda menjawab dengan jujur, apa yang dikatakannya barusan terdengar oleh Jiwa dan pria itu pun tertawa senang. Raga mencoba mendorong pintu agar bisa melihat ke dalam, tapi Ayuda melarang. Ia tidak ingin terjadi keributan antara Jiwa dan Raga yang ujung-ujungnya membuat kepalanya menjadi pening. “Ayo kita pergi ke bawah, aku akan memakan bubur ini di ruang makan.” Ayuda meraih mangkuk yang dibawa oleh Raga lalu mendorong pria itu menjauh dari pintu kamar. Ayuda mengangguk untuk meyakinkan Raga, dia membiarkan Jiwa yang masih berada di dalam kamar mandi terus berakting dan memanggil namanya. “Ayuda!” Jiwa mengerutkan kening karena tak ada jawaban. Ia pun akhirnya keluar dari dalam kamar mandi. Jiwa bingung melihat sang istri sudah tidak ada di dalam sana. “Dasar wanita itu,” gerutunya. _ _ “Apa hubungan kalian sudah sangat dekat? Kenapa aku tidak tahu, apa artinya aku sudah tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkanmu?” Ayuda berjalan di depan Raga,
Jiwa merasa senang, dia berdiri sambil melempar senyum menghina ke Raga. Namun, saat memutar tumit. Ia keget melihat Wangi sudah berdiri menatap ke arahnya. Ayuda membuang muka dan tertawa, setiap kali membuat dua mahkluk itu berselisih dia merasa bahagia.“Katanya Mas akan pulang malam,” ucap Wangi.Ayuda memilih kembali duduk dan menghabiskan buburnya. Sedangkan Raga melirik dengan ekor mata, dia menduga Ayuda pasti sudah melihat Wangi tadi dan sengaja meminta Jiwa ke kamar.“Hem … aku juga baru saja pulang,” jawab Jiwa.“Bohong, dia sudah lama pulang. Ia bahkan mandi dan keramas di kamar Ayuda.”Jiwa menoleh Raga karena mulut adik kandungnya itu tak bisa dijaga. Sementara Ayuda susah payah menahan diri untuk tidak tertawa terbahak-bahak.“Jika tidak bisa menjadi pebinor, aku akan terus membuatmu kesulitan,” gumam Raga di dalam hati.Jiwa pun bingung, pria itu sejatinya masih tidak tahu ke mana arah perasaannya. Ia memang mulai menyukai Ayuda, tapi untuk melepaskan Wangi hatinya jug