Jiwa merasa senang, dia berdiri sambil melempar senyum menghina ke Raga. Namun, saat memutar tumit. Ia keget melihat Wangi sudah berdiri menatap ke arahnya. Ayuda membuang muka dan tertawa, setiap kali membuat dua mahkluk itu berselisih dia merasa bahagia.“Katanya Mas akan pulang malam,” ucap Wangi.Ayuda memilih kembali duduk dan menghabiskan buburnya. Sedangkan Raga melirik dengan ekor mata, dia menduga Ayuda pasti sudah melihat Wangi tadi dan sengaja meminta Jiwa ke kamar.“Hem … aku juga baru saja pulang,” jawab Jiwa.“Bohong, dia sudah lama pulang. Ia bahkan mandi dan keramas di kamar Ayuda.”Jiwa menoleh Raga karena mulut adik kandungnya itu tak bisa dijaga. Sementara Ayuda susah payah menahan diri untuk tidak tertawa terbahak-bahak.“Jika tidak bisa menjadi pebinor, aku akan terus membuatmu kesulitan,” gumam Raga di dalam hati.Jiwa pun bingung, pria itu sejatinya masih tidak tahu ke mana arah perasaannya. Ia memang mulai menyukai Ayuda, tapi untuk melepaskan Wangi hatinya jug
Jiwa mengaduh, tangannya sakit karena baru saja membentur pintu kamar Ayuda. Sementara itu di dalam, Ayuda buru-buru memakai piyamanya lagi. Ia bergegas membuka pintu kamar dan mendapati tangan Jiwa yang sudah melayang hampir mengetuk.“Mau apa?”“Tidur di sini.” Jiwa hampir menerobos masuk tapi Ayuda menahannya.“Aku tidak mengizinkanmu, kembali ke kamarmu sendiri. Aku tidak percaya dengan pria sepertimu.”Ayuda kesal, jika ingat kejadian di ruang makan tadi rasanya ingin sekali dia memaki Jiwa. Namun, dia kini sudah kehabisan energi, yang ada dipikiran Ayuda sekarang hanya tidur agar besok bisa mengikuti pengumuman tender dari kementerian dengan tubuh bugar.“Aku akan pergi tapi jawab dulu pertanyaanku,” cegah Jiwa. “Hari Sabtu ini, maukah kamu pergi denganku ke suatu tempat?” tanyanya sebelum Ayuda benar-benar menutup pintu.Pikiran Ayuda seketika tertuju pada dokter Thomas, hari Sabtu adalah hari yang sudah mereka sepakati untuk melakukan transfer embrio. Meski begitu, Ayuda tak l
Ayuda mengangguk, dia berharap gadis bernama Dira yang disebutkan Hanung mau memberikan kontaknya. Kalau pun tidak, Ayuda jelas tak akan tinggal diam, dia punya cara lain. Dia akan memaksa pria itu asal rasa penasarannya bisa terpuaskan.Hanung mengangguk, dia pun terlihat sedikit canggung karena Aldi dan Ayuda menatapnya dengan mimik serius.“Kenapa?”“Kami sedang menunggumu menghubungi gadis bernama Dira itu,” jawab Aldi.Hanung jelas kaget, dia pikir bisa mendapat nomor Ayuda dan mengabarinya nanti. Tak tahunya saat itu juga dirinya harus mencari jawaban.“Tunggu sebentar!” ucap Hanung lalu sedikit menjauh dari Aldi dan Ayuda. Ia mendial nomor Dira dan berharap gadis itu segera mengangkat panggilannya.Namun, nihil. Hanung sudah mencoba dua kali tapi sang pujaan hati kemungkinan meninggalkan ponsel di kamar dan sibuk bekerja.“Dia tidak mengangkat,” ucap Hanung sesaat setelah mendekat ke Ayuda kembali. “Apa aku bisa meminta nomor kontakmu? setelah Dira bisa dihubungi aku akan menga
Dira baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Ia kembali ke kamarnya untuk beristirahat sebentar. Gadis itu merebahkan badan ke kasur sambil menyalakan kipas angin, tangannya nampak memegang ponsel yang memang sengaja dia tinggal di kamar saat bekerja.Awalnya bibir Dira tersenyum melihat dua panggilan tak terjawab dari Hanung. Namun, setelah membaca pesan yang dikirimkan pacarnya itu, ekspresi wajahnya seketika berubah. Dira menegakkan badan lantas membaca ulang pesan yang tertera pada layar.“Mirip? Apa maksud Mas Hanung mirip?”Dira pun membalas pesan itu. Ia mengawali pesannya dengan mengucapkan permintaan maaf karena tidak membawa ponselnya saat berada di toko batik pak Asman, setelah itu Dira bertanya kenapa orang yang dibilang Hanung mirip dengannya sampai ingin mendapat kontaknya. Apa alasan wanita itu.[ Dia sangat mirip denganmu. Jika dia juga memakai hijab, aku yakin orang pasti bingung membedakan mana dirimu dan dia. Dan satu lagi nama kalian juga mirip ]Dira tak lantas meng
Raga patah hati mendengar penolakan yang begitu jelas diucapkan oleh Ayuda. Ia tidak pernah menyangka akan mendengar wanita itu berkata berkencan dengan kakaknya. Raga pun mengangguk lemah, lalu berusaha memulas senyum di wajah. Dia mengajak Ayuda untuk minum kopi untuk mengobati rasa kecewa. “Kalau keluar minum kopi sekarang? Apa kamu bisa?” Ayuda terdiam menekuk bibir. Ia nampak berpikir, sampai pada akhirnya menganggukkan kepala. Wanita itu menggeser kursi ke belakang untuk bangkit. Ia mendekati Raga dan memulas senyum manis, tangan Ayuda menyentuh pinggang pria itu sebelum mendahului berjalan. Namun, baru saja membuka pintu dan hendak melangkah keluar, baik Ayuda dan Raga kaget milihat sosok Jiwa sudah berdiri di hadapan mereka. Aldi bahkan berdiri tak jauh dari Jiwa, sepertinya sekretaris Ayuda itu baru saja memberitahu Jiwa bahwa sang atasan sedang ada tamu. “Apa ini tamunya?” sindir Jiwa. “Untuk apa ke sini?” Ayuda bertanya dengan nada suara biasa, tak ketus seperti dulu.
Hari itu, Wangi memilih mengosongkan jadwal. Rasa tak nyaman yang dia rasakan di perut setelah proses pengambilan sel telur membuatnya merasa tak fokus untuk pergi bekerja. Sebenarnya Ayuda juga merasakan hal yang sama. Namun, jika dibandingkan dengan Wangi jelas Ayuda lebih kuat. Ia tidak ingin terus meratapi rasa sakit dan manja. Apalagi kompres hangat dari Jiwa semalam benar-benar membantu mengurangi rasa nyerinya.Wangi terlihat duduk di halaman samping rumah sambil memandangi layar ponsel. Ia sibuk membalas pesan yang masuk ke gawai. Wanita itu tidak tahu Linda sudah berada di dekatnya dan menjulurkan kepala untuk melihat apa yang dia lakukan. Hingga, dia sadar dan bergegas mengunci layar ponsel hingga padam.“Rasanya aneh melihatmu di rumah,” sindir Linda.“Kenapa? Mama tidak perlu takut, aku akan tetap memberi jatah Mama seperti biasa.”Linda agak tersentak mendengar ucapan Wangi. Ia tak menyangka sang menantu berani bicara seperti itu padanya. Menelisik lebih jauh, selama ini
Sabtu pagi, Ayuda memilih untuk menghabiskan waktu di kamar. Semua orang sepertinya sibuk dengan waktu libur masing-masing. Bahkan Jiwa dan Wangi sejak sarapan belum keluar dari kamar. Ayuda jelas berpikir yang macam-macam. Padahal, dua orang itu tengah harap-harap cemas untuk melancarkan rencana nanti malam.Wangi bukan tidak merasakan perubahan sikap Jiwa. Ia merasa suaminya itu sedikit dingin hingga dia pun tak berani mengajaknya banyak bicara. Wangi hanya menegaskan dua hal dari rencana mereka. Pertama, membuat Ayuda tak sadar dokter Thomas sudah melakukan tindakan penanaman embrio ke rahimnya. Kedua, membuat wanita itu berpikir baru saja menghabiskan malam bersama Jiwa.“Aku percaya padamu, kalau kamu tidak akan melakukan hal yang di luar rencana kita,” kata Wangi agar Jiwa bisa mengendalikan diri. Meski sadar hati suaminya pasti sudah sedikit terbagi.Jiwa mengangguk, belakangan pria itu sudah jarang menyentuh sang istri pertama Namun, hal ini tidak Wangi ambil pusing. Pekerjaan
Raga berdiri di dekat kolam renang rumahnya sambil memandangi pantulan bulan yang mengenai permukaain air. Ia sedang merenungi perasaannya. Semua kalimat yang dia ucapkan di depan Jiwa untuk menjadi seorang pebinor jelas bukan hanya gertakan belaka.Namun, saat melihat wanita yang disukainya pergi bersama sang kakak dan nampak begitu serasi. Raga merasa rendah diri, dia seperti tak memiliki kesempatan untuk bisa mengambil hati Ayuda.“Dia menyukai Jiwa, aku bisa melihat dari tatapan matanya,” gumam Raga. “Harusnya kamu bertemu denganku lebih dulu. Aku benar-benar menyesal, Ayuda.”Saat Raga masih melamun, Wangi datang mendekat. Wanita itu bukannya tak tahu kalau sang adik ipar sangat menyukai madunya. Jika tidak memiliki kepentingan untuk mendapatkan anak dan memperalat Ayuda, jelas Wangi akan memilih untuk mendekatkan Raga dengan wanita yang paling dia benci itu, agar hubungannya dan sang suami tetap harmonis.Namun, apa yang terlanjur terjadi tidak bisa diulangi apalagi disesali. Ki