Aura pengantin baru terpancar jelas dari wajah Dira. Kembaran Ayuda itu nampak sedang duduk bersama mertua dan saudara-saudara Aldi di teras sambil bercanda. Ibunda Aldi menceritakan bagaimana masa kecil pria itu, sampai aibnya yang masih suka minum susu menggunakan dot meski sudah kelas 5 SD.“Besok kalau kamu hamil banyak-banyak sugesti calon bayimu, jangan sampai kayak bapaknya.”Dira tertawa, dia tak sadar Aldi sedang memandanginya. Pria yang sudah resmi mempersuntingnya itu sibuk membantu merapikan kursi yang dipinjam dari RT untuk acara pengajian.“Lha … gimana nggak kayak bapaknya, Bu? Kalau aku hamil ‘kan memang anak mas Aldi, kalau nggak mirip nanti bisa-bisa malah menimbulkan fitnah,”kata Dira.“Maksudnya sifatnya yang jelek-jelek itu lho, Ra!”“Mas Aldi nggak punya sifat jelek, Bu. Mas Aldi itu sempurna buatku.”Aldi yang mendengar pujian sang istri seketika malu. Pipinya bahkan merona merah sedangkan Dira terlihat sangat santai meski orang-orang bersorak menggoda.“Ya begi
Pelukan, kasih sayang dan senyuman tulus kini bisa Jiwa rasakan setiap hari. Hidupnya sudah lengkap dengan kehadiran istri yang sangat dia cintai, juga putri cantik yang semakin hari semakin pintar. Jiwa berdiri sambil memegang cangkir kopi di tangan, dia memandang ke arah Nala yang sudah mulai belajar berjalan bersama bik Nini. Sementara itu, Ayuda bertelanjang kaki menemani dengan perut yang nampak membuncit. Nala, dia pasti terlihat seperti saudara kembar dengan adiknya nanti. “Nala pintarnya!” puji Ayuda, putrinya itu tertawa dan memeluk kakinya. Dia sedikit kesusahan untuk mengusap punggung sang putri karena terganjal perutnya yang sudah besar. Dengan bantuan bik Nini, Ayuda akhirnya bisa menggendong Nala. Namun, tak diduga Jiwa langsung berlari dan meminta Ayuda untuk tidak melakukan itu. “Sayang, kasihan adik Nala nanti,”ucap Jiwa. Bik Nini yang melihat tuannya sangat posesif pun tersenyum. Ia bahkan dibuat malu sendiri dengan tingkah Jiwa yang over protective. “Dari pada
“Siapa kalian? Apa yang mau kalian lakukan, Ha?”Gadis dengan tubuh ramping dan mata cokelat itu meronta. Dia bahkan berusaha menggigit tangan salah satu pria yang menariknya masuk ke dalam mobil dan langsung membekap mulutnya. Ayudara baru saja keluar dari hotel tempatnya menginap dan hendak pergi membeli makanan, tapi tiba-tiba saja dua orang pria tak dikenal menariknya paksa. “Diamlah Nona Arra!” titah salah satu pria itu. Setelahnya memberi kode ke temannya - yang langsung menyumpalkan kain ke dalam mulut gadis yang biasa dipanggil Ayuda itu.Ayuda tidak bisa lagi bergerak, di dalam mobil van mewah berwarna hitam itu kaki dan tangannya diikat. Dia bahkan tidak bisa melihat dengan jelas kemana mobil itu membawanya pergi. Dua pria yang mengapitnya ini seolah tidak memberinya kesempatan untuk melihat ke luar mobil. Ayuda terus mengumpat, tapi suaranya tak terdengar jelas karena kain yang ada dimulutnya. Ia kebingungan, terlebih mereka memanggilnya Arra, meski dia bernama Ayudara tap
Setelah puas bergulat di atas ranjang, Jiwa dan Ayuda jatuh ke alam mimpi. Paginya Ayuda terjaga dengan kepala yang terasa berputar, dia melihat pria yang baru saja merenggut kehormatannya masih terbaring di sampingnya. Ayuda masih mencoba berpikir apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa pria ini menyebut kata bayaran, kabur dan juga hamil. Ayuda tak menyangka dia akan mengalami hal semacam ini di hidupnya, padahal dia datang ke Indonesia untuk melakukan pekerjaan di perusahaan papanya yang sedang mengalami krisis.Beberapa menit kemudian Jiwa nampak bangun, pria itu menatap dingin Ayuda yang duduk menekuk kaki di atas sofa.“Aku akan datang lagi untuk membawamu ke dokter, jadi jangan melakukan hal-hal yang akan merugikan dirimu sendiri,” ancam Jiwa. Dia bangkit dan memunguti pakaiannya yang berceceran. Pria itu mengenakannya kembali tanpa peduli dengan perasaan gadis yang dia renggut kehormatannya dengan paksa itu .Ayuda hanya diam dan masih mencerna semuanya, dia bahkan harus rela mera
Aldi memilih untuk menunggu di lobi. Namun, sudah hampir satu jam di sana nyatanya Ayuda tidak kembali juga ke hotel. Aldi mulai gelisah, dia pun menghubungi sekretaris Affandi untuk membantu berbicara ke pria itu, siapa tahu Ayuda bisa dihubungi oleh papanya.“Apa?”Aldi terperanjat saat sekretaris Affandi yang bernama Hari memberitahunya bahwa saat ini Affandi juga panik, setelah menelepon putrinya tapi tidak ada jawaban.“Apa mungkin dia diculik?” tanya Hari. “Bagaimana kalau lapor polisi?”“Diculik? Lapor polisi, ini belum ada satu kali dua puluh empat jam, tentu polisi belum mau menerima laporan, sebaiknya aku minta saja pihak hotel membukakan pintu kamarnya,” kata Aldi. Pria itu bergegas menuju meja front office lagi dan mengatakan bahwa ada kejanggalan yang terjadi.Awalnya pihak hotel menolak, Aldi bahkan harus berdebat dengan manager hotel. Hingga dia mengancam jika ternyata Ayuda pingsan atau mengalami keadaan darurat di dalam kamar, maka pihak hotel harus beranggungjawab.M
BRAKSatu suara disusul dengan bunyi keras membuat Ayuda yang baru saja memejamkan mata terbangun. Ia mendengar suara ribut lantas bangkit dari atas kasur. Ayuda mendekat, tapi tanpa sengaja kakinya menginjak sisa pecahan vas bunga, dia pun meringis dan kakinya nampak mengeluarkan darah.“Brengsek! berani-beraninya kalian menyekap putriku!”Mendengar suara itu, wajah kuyu Ayuda berubah. Ada binar harapan di matanya mendengar suara garang pria yang sangat memanjakannya. Dengan sisa tenaga, Ayuda menggedor pintu sambil berteriak.“Papa, apa itu Papa? Papa tolong!”Tak lama setelah dia berteriak, suara ribut-ribut itu terdengar semakin dekat, hingga Ayuda mundur ke belakang karena melihat bayangan beberapa orang dari celah bawah pintu. Air mata gadis itu berlinang membasahi pipi, tapi seketika dia hapus karena tidak ingin terlihat lemah di depan orang lain. Ya, begitulah Ayuda, tidak ingin menunjukkan sisi rapuhnya sebagai seorang wanita.“Ayuda!” teriak Affandi setelah pintu didobrak p
Ayuda diam di kamar hotelnya. Ia termenung mencoba mencerna apa yang terjadi. Gadis itu benar-benar syok saat Affandi berkata dia memang memiliki saudara kembar. Papanya itu belum menjelaskan alasan memisahkan dia dan saudari kembarnya, yang jelas Ayuda merasa sangat kecewa dan marah ke Affandi. “Harusnya semua ini tidak terjadi kepadaku,” sesal Ayuda. Ia menekuk kedua kaki lalu menggunakan lututnya sebagai bantalan kepala. “Tapi jika bukan aku pasti dia yang akan mengalami semua hal buruk ini.” Ayuda diambang bimbang. “Bagaimana dia menjalani hidup sampai bisa dijual ke pria sakit jiwa itu?” gumam Ayuda lagi. Dia terus memikirkan nasib saudarinya, berharap bisa bertemu segera. “Di mana dia sekarang? Apa dia sengaja melarikan diri?” Ayuda kembali bertanya-tanya ke dirinya sendiri, hingga dia lelah dan memilih untuk merebahkan tubuhnya ke ranjang. _ _ “Kalian benar-benar tidak becus,” bentak Affandi. “Andai saja kalian mencari orang yang bisa membersihkan rumah dengan baik, pasti
Sore itu seorang pria berkaos hitam lusuh nampak duduk di depan Jiwa dan Wangi di sebuah restoran mewah. Pria yang merupakan ayah tiri gadis bernama Arra itu bernama Bowo. Pria yang sudah menjual anak tirinya sendiri demi uang itu gemetaran, saat Wangi berkata bahwa putri tirinya berani memukul kepala Jiwa menggunakan vas bunga sampai terluka.Wangi ingat, awal perkenalan mereka sekitar tiga bulan yang lalu, di mana saat itu dirinya dibantu sang manager mencari gadis yang bisa dijadikan alat untuk mengandung dan melahirkan anaknya dan Jiwa, tapi ternyata rencana yang sudah Wangi susun tidak berjalan mulus. Banyaknya prosedur yang dilalui, hingga dokter yang enggan melakukan tindakan medis melawan hukum karena mereka ingin memakai ibu pengganti. Alhasil, Wangi harus memaksa Jiwa menyetubuhi Arra. Dan jika ada satu wanita gila di dunia ini yang rela membiarkan perbuatan itu terjadi, dia adalah Wangi – si ambisius.“Kamu tahu, setelah membuat suamiku terluka anakmu kabur dari villa. Oran
Pelukan, kasih sayang dan senyuman tulus kini bisa Jiwa rasakan setiap hari. Hidupnya sudah lengkap dengan kehadiran istri yang sangat dia cintai, juga putri cantik yang semakin hari semakin pintar. Jiwa berdiri sambil memegang cangkir kopi di tangan, dia memandang ke arah Nala yang sudah mulai belajar berjalan bersama bik Nini. Sementara itu, Ayuda bertelanjang kaki menemani dengan perut yang nampak membuncit. Nala, dia pasti terlihat seperti saudara kembar dengan adiknya nanti. “Nala pintarnya!” puji Ayuda, putrinya itu tertawa dan memeluk kakinya. Dia sedikit kesusahan untuk mengusap punggung sang putri karena terganjal perutnya yang sudah besar. Dengan bantuan bik Nini, Ayuda akhirnya bisa menggendong Nala. Namun, tak diduga Jiwa langsung berlari dan meminta Ayuda untuk tidak melakukan itu. “Sayang, kasihan adik Nala nanti,”ucap Jiwa. Bik Nini yang melihat tuannya sangat posesif pun tersenyum. Ia bahkan dibuat malu sendiri dengan tingkah Jiwa yang over protective. “Dari pada
Aura pengantin baru terpancar jelas dari wajah Dira. Kembaran Ayuda itu nampak sedang duduk bersama mertua dan saudara-saudara Aldi di teras sambil bercanda. Ibunda Aldi menceritakan bagaimana masa kecil pria itu, sampai aibnya yang masih suka minum susu menggunakan dot meski sudah kelas 5 SD.“Besok kalau kamu hamil banyak-banyak sugesti calon bayimu, jangan sampai kayak bapaknya.”Dira tertawa, dia tak sadar Aldi sedang memandanginya. Pria yang sudah resmi mempersuntingnya itu sibuk membantu merapikan kursi yang dipinjam dari RT untuk acara pengajian.“Lha … gimana nggak kayak bapaknya, Bu? Kalau aku hamil ‘kan memang anak mas Aldi, kalau nggak mirip nanti bisa-bisa malah menimbulkan fitnah,”kata Dira.“Maksudnya sifatnya yang jelek-jelek itu lho, Ra!”“Mas Aldi nggak punya sifat jelek, Bu. Mas Aldi itu sempurna buatku.”Aldi yang mendengar pujian sang istri seketika malu. Pipinya bahkan merona merah sedangkan Dira terlihat sangat santai meski orang-orang bersorak menggoda.“Ya begi
Pernikahan adalah impian setiap wanita, apalagi menikah dengan pria yang sangat dicintai. Begitu juga dengan Sienna, dia tidak pernah menyangka hatinya akan tertambat pada pria casanova seperti Raga. Meski tahu bagaimana sepak terjang pria itu, tapi Sienna yakin, suaminya itu kini sudah berubah. Ibarat panci bertemu tutupnya, mereka saling melengkapi. Membangun pernikahan yang sebenarnya mereka sendiri masih belum begitu yakin.Namun, Raga dan Sienna yakin mimpi-mimpi dan rencana akan mereka temukan seiring berjalannya waktu. Seperti saat ini. Mereka harus menunda bulan madu karena Sienna harus menghadapi ujian semester."Boleh aku bicara serius?" tanya Raga saat mereka berada di dalam salah satu kamar villa milik Ramahadi.Raga teringat akan Ayuda yang mual-mual tadi, setelah ditanya kakak iparnya itu menjawab dia memang belum datang bulan sejak melahirkan Nala. Kata Linda, kemungkinan besar Ayuda pasti hamil lagi."Bicara serius? Apa?"Sienna yang memakai paha Raga sebagai bantalan
Tiga bulan kemudianHari yang membahagiakan untuk semua orang akhirnya tiba. Ramahadi mengajak seluruh keluarganya pergi ke villanya yang dulu digunakan Ayuda untuk bersembunyi.Raga baru seminggu menikah dengan Sienna. Bulan madu mereka pun tertunda karena Sienna harus menghadapi ujian semester minggu ini. Raga tidak mau kalau sampai kuliah istrinya itu terganggu hanya karena bulan madu - yang sejatinya sudah sering mereka lakukan sebelum menikah.Affandi juga hadir, dia menerima undangan dari Ramahadi dengan penuh suka cita. Awalnya Affandi ingin mengajak Dira ke sana, tapi putrinya itu lebih dulu menerima ajakan dari sang mertua untuk berkumpul di rumah keluarga besar Aldi.Ayuda nampak memangku Nala, dia menyusui putrinya sambil menatap keluar jendela di mana papanya tengah sibuk mengobrol dengan sang mertua. Ayuda menepuk pantat Nala lembut, dia menoleh kaget kala Jiwa keluar dengan membawa buku - yang dulu selalu menjadi teman saat dirinya merasa kesepian tinggal sendiri di sana
Di saat putra putri mereka sedang berdua dan kembali meleburkan asa, Affandi dan Ramahadi duduk bersama. Ramahadi tak menyangka pria yang seumur hidup terus menganggapnya musuh kini mengajaknya bicara. Affandi bahkan mengeluarkan satu kata yang dia rasa mustahil untuk didengar. “Maaf!” Ramahadi tentu tak bisa percaya begitu saja, setelah hampir berpuluh-puluh tahun menganggapnya musuh, kini Affandi mengucap kata maaf dan terdengar begitu sangat tulus. “Aku tahu perbuatanku salah, dan selama ini aku terlalu malu untuk mengakuinya. Mungkin, pertemuan Ayuda dan Jiwa adalah takdir yang memang sudah ditetapkan, hingga akhirnya aku bisa sadar,”ungkap Affandi panjang lebar. Hening, Ramahadi tak langsung membalas permintaan maaf Affandi. Ia mencoba mencerna dulu, menimbang apakah pria itu tulus atau hanya sekadar meminta maaf agar dirinya tak lagi menaruh prasangka. “Aku sudah lelah bekerja, aku ingin menyerahkan perusahaan ke anak-anakku, dan aku ingin hidup tenang bermain bersama cucu,”
Terkesan nakal, tapi begitulah naluri manusia dewasa. Mereka memiliki birahi yang butuh disalurkan. Ayuda tahu perbuatannya membuat Jiwa semakin ingin menerkamnya. Namun, bukankah itu yang mereka inginkan? Ayuda memindai manik mata Jiwa, di sana terlihat penuh cinta, berbeda dengan tatapan mata pria itu saat pertama kali menyentuhnya. Tak ada perasaan hangat seperti ini, Jiwa bahkan mencekoki dirinya obat perangsang agar nafsunya tersalurkan tanpa perlu ikatan seperti saat ini. Jiwa membelai pipi Ayuda, mencium setiap bagian wajahnya seolah setiap incinya tak ingin terlewatkan untuk dia cicipi. Pria itu menghentikan sapuan bibir di hidung bangir sang istri, sorot matanya seolah meminta izin. “Bisakah aku bisa melakukannya jauh lebih dari ini.” Ayuda tersenyum tipis, tangannya menarik tengkuk Jiwa hingga bibir mereka kembali bertaut. Mereka sama-sama memejamkan mata, menyelami setiap perasaan cinta yang membara. Perlahan tangan Ayuda melonggar dan beralih membuka kancing kemeja Jiw
Dira masih berada di pelukan Ayuda, meski tak mau membalas pelukan saudaranya, tapi Dira menyandarkan kepala ke pundak ibunda Nala itu. Ia masih tergugu, tak menyangka satu orang datang lagi ke rumahnya dan masuk dengan wajah kebingungan. Aldi menjadi pusat perhatian semua orang, sampai Ayuda melonggarkan pelukan dan Dira memanggil dengan manja nama pria itu.“Mas Al!”“Ra, kenapa kamu menangis?” tanya Aldi bingung, dia hanya diberitahu Affandi akan datang, tapi jika tahu akan membuat calon istrinya menangis, tentu saja Aldi akan melarang. Alih-alih berada di sana tepat waktu, Aldi terjebak lampu merah beberapa kali.“Pak, ini bukan seperti yang Anda janjikan, bukankah ….”Aldi menjeda kata, Dira yang masih sesenggukan mendekat dan memberitahu Aldi kalau Affandi baru saja berkata akan menikahkannya.“Benarkah?” Aldi nampak bahagia. Ia raih tangan Affandi dan menggoyang-goyangkannya beberapa kali.Meski awalnya kesal, tapi Dira tertawa melihat kelakuan Aldi. Ayuda lega karena yakin Dir
Setelah Jiwa berangkat ke kantor, Ayuda tak langsung pergi ke rumah Dira. Ia malah berdiri di depan lemari baju, bingung memilih pakaian mana yang cocok dia kenakan untuk malam spesial yang Jiwa katakan tadi. Ayuda menekuk bibir ke dalam lalu memajukannya lagi, bunyi decapan lidahnya membuat bik Nini yang baru saja masuk untuk menata baju Nala keheranan.“Non, cari apa?”Ayuda menggeleng, wanita itu sedang berpikir mana mungkin memakai gaun yang sama di depan Jiwa. Apalagi dia sama sekali tidak memiliki satu pun baju tempur selain piyama satin yang sering dia pakai karena praktis saat menyusui Nala.“Seharusnya aku pergi shopping kemarin,”ucap Ayuda.Bik Nini tentu saja semakin heran, dia sejajari Nonanya itu dan kembali bertanya,”Non cari apa?”“Linger … “ Ayuda keceplosan, matanya melotot menoleh bik Nini dan melempar senyuman canggung.Pembantunya itu pun menarik sudut bibir, tersenyum aneh sambil menaikturunkan alis mata. Bik Nini berhasil membuat Ayuda merasa malu, dia pasti tahu
Sejak pagi, Jiwa terus saja menampakkan wajah riang. Ia memandangi sang istri yang sibuk melakukan tugas merawat putrinya seperti biasa. Jiwa membuat Ayuda salah tingkah setelah semalam wanita itu menjawab pertanyaannya dengan kata ‘ya’.“Apa sudah?”“Berhenti bertanya apa sudah – apa sudah,”amuk Ayuda. Pipinya merona merah karena Jiwa bersikap sangat agresif. “Aku mau bertemu papa dan Dira dulu, kamu cepat bersiap sana untuk pergi bekerja!”Jiwa tak menggubris ucapan Ayuda, dia malah melingkarkan tangan di pinggang wanita itu yang sedang menggendong putrinya.“Jiwa!” bentak Ayuda.“Malam ini aku akan memberi bonus ke Bik Nini untuk menjaga Nala, kita bisa pakai apartemenku untuk melakukan itu.”“Melakukan apa?” Ayuda dengan sengaja menggoyangkan pinggang untuk membuat Jiwa melepaskan tangan. Namun, pria itu terlalu kuat dan membuatnya berakhir pasrah karena Nala ada di pelukannya.“Jangan berpura-pura! aku tahu kamu tidak sepolos itu, bahkan saat tidur kamu sesekali nakal dengan meng