Ayuda diam di kamar hotelnya. Ia termenung mencoba mencerna apa yang terjadi. Gadis itu benar-benar syok saat Affandi berkata dia memang memiliki saudara kembar. Papanya itu belum menjelaskan alasan memisahkan dia dan saudari kembarnya, yang jelas Ayuda merasa sangat kecewa dan marah ke Affandi.
“Harusnya semua ini tidak terjadi kepadaku,” sesal Ayuda. Ia menekuk kedua kaki lalu menggunakan lututnya sebagai bantalan kepala. “Tapi jika bukan aku pasti dia yang akan mengalami semua hal buruk ini.” Ayuda diambang bimbang.
“Bagaimana dia menjalani hidup sampai bisa dijual ke pria sakit jiwa itu?” gumam Ayuda lagi. Dia terus memikirkan nasib saudarinya, berharap bisa bertemu segera.
“Di mana dia sekarang? Apa dia sengaja melarikan diri?” Ayuda kembali bertanya-tanya ke dirinya sendiri, hingga dia lelah dan memilih untuk merebahkan tubuhnya ke ranjang.
_
_
“Kalian benar-benar tidak becus,” bentak Affandi. “Andai saja kalian mencari orang yang bisa membersihkan rumah dengan baik, pasti Ayuda tidak akan memilih menginap di hotel dan berujung diculik seperti ini.”
Hari, Aldi dan beberapa bawahannya hanya bisa menunduk. Ayuda memang memiliki alergi debu, gadis itu enggan pergi ke rumah papanya karena sudah lebih dari dua bulan rumah itu tidak ditinggali. Ayuda juga jarang datang ke kota itu, biasanya dia ke Indonesia hanya untuk liburan beberapa minggu lalu kembali ke luar negeri dan jarang sekali singgah ke kediaman Affandi. Ia dan papanya memang sudah berpuluh-puluh tahun menetap di Singapura, tapi mereka masih memegang status kewarganegaraan Indonesia.
“Maaf Tuan, kami …. “
Affandi mengeram, dia hampir saja melayangkan pukulan ke orang yang bertanggungjawab menjaga rumahnya saat ponsel Aldi berbunyi. Pemuda itu mendapat info dari temannya yang sesama anak buah Affandi,bahwa sudah menemukan siapa pemilik villa itu dan akan mengirimkan infonya segera.
“Pak, ini …. “ Hari yang ikut melihat layar ponsel Aldi nampak kaget, setelah tahu bahwa pemilik villa itu bernama Ramahadi.
“Berikan padaku!” bentak Affandi. Ia menyambar ponsel dari tangan Hari dengan kasar, membaca informasi dan bahkan beberapa foto yang dikirim oleh bawahannya tadi ke ponsel Aldi.
“Brengsek! Pria jahanam itu ternyata anak dari Ramahadi.” Affandi murka, dia bahkan membanting ponsel Aldi ke lantai hingga pecah. “Aku akan membuat hidupnya berantakan, aku akan membunuhnya,” ucapnya dengan suara menggelegar.
“Pak jangan gegabah, sebaiknya kita mengkonfirmasinya dulu ke Nona Ayuda,”ujar Hari. Pria berumur tiga puluh lima tahun itu memang selalu bisa mengimbangi sifat tuannya.
Beberapa jam kemudian, Ayuda akhirnya tiba di rumah yang kemarin tidak ingin dia tinggali karena banyak debu sana sini. Dia menatap sekeliling dan menyesal. Seharusnya dia tinggal saja di sana meski harus bersin-bersin seharian.
Affandi duduk di sofa melihat putrinya duduk dengan santai, dia yakin bahwa Ayuda pasti menyimpan lara tapi tidak berniat menunjukkan itu ke dirinya. Nampak jelas dua mata gadis itu sembab, Affandi yakin Ayuda pasti menangis sejak kembali ke hotel.
“Aku pikir nama Jiwa banyak di negara ini ….” Affandi menjeda lisannya saat Hari menunjukkan ponselnya ke Ayuda. Di layar benda pipih itu terpampang foto Jiwa. “Tapi yang memiliki nama belakang Ramahadi pasti hanya dia,” imbuhnya.
Ayuda membuang muka, dia meminta Hari untuk menyingkirkan potret Jiwa dari hadapannya. “Di dunia ini semua laki-laki sama, jika tidak brengsek seperti pria ini pasti pembohong seperti Papa,” sindirnya.
Affandi membuang napasnya kasar mendengar ucapan Ayuda yang menusuk sampai ke tulang. Pria bertubuh agak gempal itu menegakkan punggung lalu mencondongkan tubuh ke arah sang putri. Sebagai ayah yang sangat menyanyangi dan memanjakan Ayuda, dia jelas tidak akan tinggal diam dengan perbuatan Jiwa yang merupakan anak dari musuh bebuyutannya. Ia dan Ramahadi merupakan saingan bisnis, bahkan kepindahannya dulu ke Singapura juga didasari oleh fitnah yang dia yakini dibuat oleh pria itu.
“Aku akan membuatnya membayar semua ini, aku akan menghabisi pria itu dan menghancurkan keluarganya,” kata Affandi dengan rahang mengetat.
“Apa yang akan Papa lakukan? Papa akan melaporkan dia ke polisi dengan pasal pemerkosaan? Mau ditaruh mana mukaku, Pa?” Ayuda akhirnya angkat bicara, matanya kembali memanas tapi dia meninggikan dagu agar air mata tak sampai keluar dari sana tapi tetap saja tidak bisa. Ayuda buru-buru mengusap pipi agar dia tidak terlihat menyedihkan di depan papanya dan Hari.
Affandi terdiam, dia melihat dengan jelas air mata Ayuda. Sebagai seorang ayah hatinya ikut merasa hancur. Hingga sebuah keinginan dari sang putri membuat dirinya syok. Ayuda berkata ingin membuat Jiwa menikahinya secara resmi.
“Nona, tapi dia sudah memiliki istri,” sambar Hari yang tak kalah kaget dengan niatan anak tuannya.
“Aku tahu,” jawab Ayuda enteng.
“Apa maksudmu? Apa kamu ingin menjadi istri keduanya? Menikahi anak Ramahadi sialan itu bukan candaan yang lucu, Ayuda apa kamu sudah tidak bisa berpikir jernih?” cecar Affandi.
“Tidak, aku sudah memikirkannya sejak si brengsek itu menyekapku di villa. Aku yakin ada rahasia besar kenapa dia melakukan perbuatan menjijikan itu. Dia sepertinya memperkosa untuk membuat Arra hamil dan melahirkan anaknya, aku yakin istrinya pasti mandul. Ia pasti akan menyiksa Arra dengan sangat kejam.” Sorot mata Ayuda berubah, tangannya bahkan mengepal di atas paha. “Dia membeli manusia layaknya barang, dan pasti akan dibuang setelahnya. Dasar pria sakit jiwa,” imbuhnya.
Affandi tak lantas mengiyakan atau melarang niatan Ayuda, dia menatap Hari yang terus memandangi putrinya, orang kepercayaannya itu jelas tak kalah heran darinya.
“Aku akan datang menemui pria itu, aku akan memintanya menikahiku dan akan kuhancurkan hidupnya. Bukankah Papa sangat membenci ayahnya? Aku akan dengan senang hati membantu Papa memporak-porandakan keluarganya.” Ayuda semakin menggebu, dia bahkan memulas senyuman sinis dan membuat Affandi menelan saliva.
“Ayuda, apa kamu serius dengan niatanmu?”
“Meski Papa melarang, aku akan mendatanginya dan membuat kekacauan, dia harus tahu bahwa aku bukan Arra tapi Ayuda, dan karena dia sudah merenggut hal paling berharga dariku maka aku juga akan merenggut hal paling berharga di hidupnya,” jawab Ayuda.
“Pak Hari, carikan aku semua informasi tentang pria itu! Jangan lewatkan hal sekecil apapun, aku akan membuatnya membayar semua ini.” Ayuda memulas smirk, di dalam hati dia berbisik-
“Mati kau Jiwa Ramahadi!”
Sore itu seorang pria berkaos hitam lusuh nampak duduk di depan Jiwa dan Wangi di sebuah restoran mewah. Pria yang merupakan ayah tiri gadis bernama Arra itu bernama Bowo. Pria yang sudah menjual anak tirinya sendiri demi uang itu gemetaran, saat Wangi berkata bahwa putri tirinya berani memukul kepala Jiwa menggunakan vas bunga sampai terluka.Wangi ingat, awal perkenalan mereka sekitar tiga bulan yang lalu, di mana saat itu dirinya dibantu sang manager mencari gadis yang bisa dijadikan alat untuk mengandung dan melahirkan anaknya dan Jiwa, tapi ternyata rencana yang sudah Wangi susun tidak berjalan mulus. Banyaknya prosedur yang dilalui, hingga dokter yang enggan melakukan tindakan medis melawan hukum karena mereka ingin memakai ibu pengganti. Alhasil, Wangi harus memaksa Jiwa menyetubuhi Arra. Dan jika ada satu wanita gila di dunia ini yang rela membiarkan perbuatan itu terjadi, dia adalah Wangi – si ambisius.“Kamu tahu, setelah membuat suamiku terluka anakmu kabur dari villa. Oran
Terang saja Jiwa heran dengan tingkah gadis yang dirasanya sangat berani ini. Ia hampir menepis tangan Ayuda tapi gadis itu lebih dulu menjauhkan tangannya.“Kamu tidak akan bisa menyentuhku lagi kecuali aku yang menginginkannya,” ucap Ayuda. Ia kini menatap Wangi yang kebingungan. Dengan senyuman miring, dia menjinjitkan kaki lalu berbisik ke telinga Jiwa, matanya masih menatap ke arah wangi. Alih-alih berbicara lirih, dia malah sengaja mengeraskan suara.“Aku datang ke sini untuk meminta pertanggungjawaban.” Ayuda tersenyum, dia membuat Wangi geram dan mendorong pundaknya menjauh.“Berani-beraninya kamu!” Wangi mengangkat tangan ingin menampar Ayuda tapi gadis itu lebih dulu mencekal dan bahkan mencengekeram erat tangannya.“Apa kalian tahu siapa aku? aku bukan gadis yang … ““Sudah jangan bertengkar!” Jiwa memotong ucapan Ayuda karena tahu sang mama sedang menguping pembicaraan itu. Ia memberi kode ke Wangi dan istrinya itu pun paham, sedangkan Ayuda lagi-lagi tersenyum sinis.“Kit
Ayuda menatap keluar jendela mobil, senyum seringai terbit di bibirnya yang berpulas lipstick berwarna merah menyala . Ia sudah bertekad mengacaukan hidup Jiwa. Bukan hanya karena perbuatan pria itu yang salah sasaran dan merenggut paksa kehormatannya, tapi juga karena Ramahadi yang merupakan saingan bisnis papanya. Sejak awal Affandi sudah memintanya untuk mengambil alih perusahaan yang ada di Indonesia, tapi Ayuda masih gila belajar dan bahkan berniat mengambil S3 di Inggris.Kepulangannya ke Indonesia sejatinya untuk membantu sang papa menangani masalah. Affa Company yang didirikan oleh Affandi berpuluh-puluh tahun lalu sedang dilanda krisis, karena gejolak ekonomi yang tidak menentu belakangan ini. Namun, nahas Ayuda malah harus mengalami kejadian yang tak pernah dia sangka di hidupnya.Ayuda masih terus menatap jendela, dia mengingat ucapan Affandi kemarin saat dirinya mencecar pria itu dengan banyak pertanyaan, terutama kenyataan bahwa dia terlahir kembar.“Kamu memang memiliki
PLAKSatu tamparan mendarat di pipi Jiwa. Pria itu keluar saat mendengar suara berisik di depan kamarnya tadi, dia tak menyangka papanya sudah berdiri di depan pintu dan langsung melayangkan tangan. Jiwa menoleh sambil memegangi pipinya yang terasa panas.“Bagaimana bisa kamu memperkosa anak Affandi, apa kamu sudah gila? sudah Papa bilang jangan minum-minum dan pergi ke club! Kalau kamu ingin bebas dan tidak mau Papa atur pergi seperti yang adikmu lakukan!” amuk Ramahadi. Ia pikir sang putra sulung berada di bawah pengaruh minuman keras saat melakukan perbuatan itu.Jiwa tak bisa membantah, dia seolah tak berdaya jika berhadapan dengan sang papa. Bahkan selama ini dia selalu mengikuti aturan dan perintah Ramahadi bagai kerbau yang dicocok hidungnya.“Semua ini salah paham, Pa!” Wangi mencoba membela sang suami, tapi Ramahadi terlanjur tak percaya dengan bukti-bukti yang sudah ditunjukkan Affandi padanya.“Puluhan tahun Affandi menjadi musuhku di dunia bisnis, dan kini dia berani datan
“Ka-kamu. Kamu siapa, Nak?” Asman, pria paruh baya itu bingung saat seorang gadis datang ke toko batiknya hanya dengan membawa baju yang melekat di badan, dan sebuah tas kecil di tangan. Pria itu memindai penampilan si gadis dari atas sampai bawah. “Benar kamu anaknya Firly?” tanya Asman. “Benar Pak, Mama bilang saat tidak ada lagi yang bisa menolong saya, saya bisa menemui Anda.” Gadis itu menunduk. Ia sudah kehabisan uang, bahkan harus rela bekerja menjadi tukang cuci piring di warteg agar bisa mendapat ongkos pergi ke Jogja. Tujuannya hanya satu, menemui pria yang merupakan saudara jauh ibunya ini. Asman mengangguk paham, dia lantas memersilahkan gadis itu masuk. Dulu saat keluarga Firly sedang di puncak kejayaan, wanita itu membantunya agar bisa bangkit dari usahanya yang bangkrut. Saat Asman ingin membalas budi, Firly berkata- “Akan aku minta balas budimu saat butuh bantuan. Tenang saja aku pasti akan menagihnya, jika bukan aku mungkin anakku.” Asman lagi-lagi memindai pena
“Wanita itu gila Mas, kita harus mencari Arra. Gadis itu sepertinya bisa kita jadikan alat. Dia mengancamku bahkan secara terang-terangan berkata ingin menghancurkan keluarga papa.”Wangi meluapkan kekesalannya setelah menemui Ayuda. Ia mendekat ke arah ranjang di mana Jiwa duduk menatapnya. Wangi tak tahu sang suami sedang kesal karena Ramahadi begitu marah sampai meminta adik laki-lakinya kembali.“Kamu tahu? semuanya berantakan. Papa meminta Raga pulang,” ucap Jiwa dengan ekspresi datar.“A-a-pa?” Wangi mengerjap tak percaya. “Si pembangkang itu pu-pulang?”Jiwa mengangguk, baginya kepergian Raga ke luar negeri satu tahun yang lalu menjadi berkah tersendiri baginya. Pria yang usianya terpaut empat tahun darinya itu memang menjadi satu-satunya orang yang paling dia benci. Meski saudara kandung tapi persaingan di antara keduanya kental terasa.Berbeda dengan Jiwa yang selalu mengikuti perintah Ramahadi untuk mendapatkan rasa percaya dan dukungan, Raga cenderung seenaknya sendiri. Pri
Seperti tak bisa menolak pesona dan daya pikat Ayuda, Raga mengekor wanita itu menuju meja resepsonis. Ia bahkan tidak menoleh ke meja di mana teman-temannya sejak tadi melongo tak percaya.“Sudah biarkan saja! bukankah dia memang buaya,” ucap teman Raga. Ia mengangkat gelas dan mengajak teman satu mejanya bersulang.Raga tesenyum miring, dia berjalan di belakang Ayuda yang diantar pelayan ke ruangan yang dipesan. Sebuah ruangan dimana terdapat ranjang bahkan sofa dengan model ala film biru di dalamnya.Ayuda melempar tas ke sofa, dia menoleh Raga yang berdiri di dekat pintu yang sudah tertutup sambil membuka tiga kancing teratas kemejanya. Gadis itu menaikkan kaki ke meja. Bukan tanpa alasan Ayuda bersikap layaknya seorang jalang penuh nafsu. Ini karena dia frustrasi. Ayuda pikir dirinya sudah tidak perawan, bahkan korban dari tindakan asusila seorang pria. Jadi dari pada berakhir dipaksa Jiwa lagi di atas ranjang nanti, lebih baik dia melakukan perbuatan seperti ini sesuka hati.“Ap
Jiwa memasang muka datar melihat kedatangan sang adik, dia sudah menduga bahwa papanya pasti akan bersikap seperti ini. Dulu Ramahadi membiarkan Raga pergi karena anak itu susah diatur, sekarang memanggilnya pulang karena dia terlibat masalah yang dibuatnya dan Wangi.Raga memeluk Linda, setelah itu menoleh Jiwa yang pasang badan dan berkata sedikit ketus,”Jangan peluk aku! aku baru selesai mandi.”Jiwa memilih pergi ke mini bar yang ada di rumah mewah sang Papa, istana Ramahadi itu dibangun di atas lahan seluas hampir satu hektar, maka dari itu Linda tidak mengizinkan putra sulungnya untuk pindah karena rumah itu pasti akan sepi nantinya.“Ke mana saja kamu? mamamu sudah lama menunggu,” amuk Ramahadi. “Berhenti bersikap kekanak-kanakan, Ga. Bantu Papa di perusahaan.”“Untuk apa? sudah ada Kak Jiwa, aku tidak ingin menjadi saingannya,” sindir Raga. Ia memilih pergi ke luar negeri juga karena masalah ini.Semua orang terus membanding-bandingkan Jiwa dan Raga. Untuk menghindari perselis
Pelukan, kasih sayang dan senyuman tulus kini bisa Jiwa rasakan setiap hari. Hidupnya sudah lengkap dengan kehadiran istri yang sangat dia cintai, juga putri cantik yang semakin hari semakin pintar. Jiwa berdiri sambil memegang cangkir kopi di tangan, dia memandang ke arah Nala yang sudah mulai belajar berjalan bersama bik Nini. Sementara itu, Ayuda bertelanjang kaki menemani dengan perut yang nampak membuncit. Nala, dia pasti terlihat seperti saudara kembar dengan adiknya nanti. “Nala pintarnya!” puji Ayuda, putrinya itu tertawa dan memeluk kakinya. Dia sedikit kesusahan untuk mengusap punggung sang putri karena terganjal perutnya yang sudah besar. Dengan bantuan bik Nini, Ayuda akhirnya bisa menggendong Nala. Namun, tak diduga Jiwa langsung berlari dan meminta Ayuda untuk tidak melakukan itu. “Sayang, kasihan adik Nala nanti,”ucap Jiwa. Bik Nini yang melihat tuannya sangat posesif pun tersenyum. Ia bahkan dibuat malu sendiri dengan tingkah Jiwa yang over protective. “Dari pada
Aura pengantin baru terpancar jelas dari wajah Dira. Kembaran Ayuda itu nampak sedang duduk bersama mertua dan saudara-saudara Aldi di teras sambil bercanda. Ibunda Aldi menceritakan bagaimana masa kecil pria itu, sampai aibnya yang masih suka minum susu menggunakan dot meski sudah kelas 5 SD.“Besok kalau kamu hamil banyak-banyak sugesti calon bayimu, jangan sampai kayak bapaknya.”Dira tertawa, dia tak sadar Aldi sedang memandanginya. Pria yang sudah resmi mempersuntingnya itu sibuk membantu merapikan kursi yang dipinjam dari RT untuk acara pengajian.“Lha … gimana nggak kayak bapaknya, Bu? Kalau aku hamil ‘kan memang anak mas Aldi, kalau nggak mirip nanti bisa-bisa malah menimbulkan fitnah,”kata Dira.“Maksudnya sifatnya yang jelek-jelek itu lho, Ra!”“Mas Aldi nggak punya sifat jelek, Bu. Mas Aldi itu sempurna buatku.”Aldi yang mendengar pujian sang istri seketika malu. Pipinya bahkan merona merah sedangkan Dira terlihat sangat santai meski orang-orang bersorak menggoda.“Ya begi
Pernikahan adalah impian setiap wanita, apalagi menikah dengan pria yang sangat dicintai. Begitu juga dengan Sienna, dia tidak pernah menyangka hatinya akan tertambat pada pria casanova seperti Raga. Meski tahu bagaimana sepak terjang pria itu, tapi Sienna yakin, suaminya itu kini sudah berubah. Ibarat panci bertemu tutupnya, mereka saling melengkapi. Membangun pernikahan yang sebenarnya mereka sendiri masih belum begitu yakin.Namun, Raga dan Sienna yakin mimpi-mimpi dan rencana akan mereka temukan seiring berjalannya waktu. Seperti saat ini. Mereka harus menunda bulan madu karena Sienna harus menghadapi ujian semester."Boleh aku bicara serius?" tanya Raga saat mereka berada di dalam salah satu kamar villa milik Ramahadi.Raga teringat akan Ayuda yang mual-mual tadi, setelah ditanya kakak iparnya itu menjawab dia memang belum datang bulan sejak melahirkan Nala. Kata Linda, kemungkinan besar Ayuda pasti hamil lagi."Bicara serius? Apa?"Sienna yang memakai paha Raga sebagai bantalan
Tiga bulan kemudianHari yang membahagiakan untuk semua orang akhirnya tiba. Ramahadi mengajak seluruh keluarganya pergi ke villanya yang dulu digunakan Ayuda untuk bersembunyi.Raga baru seminggu menikah dengan Sienna. Bulan madu mereka pun tertunda karena Sienna harus menghadapi ujian semester minggu ini. Raga tidak mau kalau sampai kuliah istrinya itu terganggu hanya karena bulan madu - yang sejatinya sudah sering mereka lakukan sebelum menikah.Affandi juga hadir, dia menerima undangan dari Ramahadi dengan penuh suka cita. Awalnya Affandi ingin mengajak Dira ke sana, tapi putrinya itu lebih dulu menerima ajakan dari sang mertua untuk berkumpul di rumah keluarga besar Aldi.Ayuda nampak memangku Nala, dia menyusui putrinya sambil menatap keluar jendela di mana papanya tengah sibuk mengobrol dengan sang mertua. Ayuda menepuk pantat Nala lembut, dia menoleh kaget kala Jiwa keluar dengan membawa buku - yang dulu selalu menjadi teman saat dirinya merasa kesepian tinggal sendiri di sana
Di saat putra putri mereka sedang berdua dan kembali meleburkan asa, Affandi dan Ramahadi duduk bersama. Ramahadi tak menyangka pria yang seumur hidup terus menganggapnya musuh kini mengajaknya bicara. Affandi bahkan mengeluarkan satu kata yang dia rasa mustahil untuk didengar. “Maaf!” Ramahadi tentu tak bisa percaya begitu saja, setelah hampir berpuluh-puluh tahun menganggapnya musuh, kini Affandi mengucap kata maaf dan terdengar begitu sangat tulus. “Aku tahu perbuatanku salah, dan selama ini aku terlalu malu untuk mengakuinya. Mungkin, pertemuan Ayuda dan Jiwa adalah takdir yang memang sudah ditetapkan, hingga akhirnya aku bisa sadar,”ungkap Affandi panjang lebar. Hening, Ramahadi tak langsung membalas permintaan maaf Affandi. Ia mencoba mencerna dulu, menimbang apakah pria itu tulus atau hanya sekadar meminta maaf agar dirinya tak lagi menaruh prasangka. “Aku sudah lelah bekerja, aku ingin menyerahkan perusahaan ke anak-anakku, dan aku ingin hidup tenang bermain bersama cucu,”
Terkesan nakal, tapi begitulah naluri manusia dewasa. Mereka memiliki birahi yang butuh disalurkan. Ayuda tahu perbuatannya membuat Jiwa semakin ingin menerkamnya. Namun, bukankah itu yang mereka inginkan? Ayuda memindai manik mata Jiwa, di sana terlihat penuh cinta, berbeda dengan tatapan mata pria itu saat pertama kali menyentuhnya. Tak ada perasaan hangat seperti ini, Jiwa bahkan mencekoki dirinya obat perangsang agar nafsunya tersalurkan tanpa perlu ikatan seperti saat ini. Jiwa membelai pipi Ayuda, mencium setiap bagian wajahnya seolah setiap incinya tak ingin terlewatkan untuk dia cicipi. Pria itu menghentikan sapuan bibir di hidung bangir sang istri, sorot matanya seolah meminta izin. “Bisakah aku bisa melakukannya jauh lebih dari ini.” Ayuda tersenyum tipis, tangannya menarik tengkuk Jiwa hingga bibir mereka kembali bertaut. Mereka sama-sama memejamkan mata, menyelami setiap perasaan cinta yang membara. Perlahan tangan Ayuda melonggar dan beralih membuka kancing kemeja Jiw
Dira masih berada di pelukan Ayuda, meski tak mau membalas pelukan saudaranya, tapi Dira menyandarkan kepala ke pundak ibunda Nala itu. Ia masih tergugu, tak menyangka satu orang datang lagi ke rumahnya dan masuk dengan wajah kebingungan. Aldi menjadi pusat perhatian semua orang, sampai Ayuda melonggarkan pelukan dan Dira memanggil dengan manja nama pria itu.“Mas Al!”“Ra, kenapa kamu menangis?” tanya Aldi bingung, dia hanya diberitahu Affandi akan datang, tapi jika tahu akan membuat calon istrinya menangis, tentu saja Aldi akan melarang. Alih-alih berada di sana tepat waktu, Aldi terjebak lampu merah beberapa kali.“Pak, ini bukan seperti yang Anda janjikan, bukankah ….”Aldi menjeda kata, Dira yang masih sesenggukan mendekat dan memberitahu Aldi kalau Affandi baru saja berkata akan menikahkannya.“Benarkah?” Aldi nampak bahagia. Ia raih tangan Affandi dan menggoyang-goyangkannya beberapa kali.Meski awalnya kesal, tapi Dira tertawa melihat kelakuan Aldi. Ayuda lega karena yakin Dir
Setelah Jiwa berangkat ke kantor, Ayuda tak langsung pergi ke rumah Dira. Ia malah berdiri di depan lemari baju, bingung memilih pakaian mana yang cocok dia kenakan untuk malam spesial yang Jiwa katakan tadi. Ayuda menekuk bibir ke dalam lalu memajukannya lagi, bunyi decapan lidahnya membuat bik Nini yang baru saja masuk untuk menata baju Nala keheranan.“Non, cari apa?”Ayuda menggeleng, wanita itu sedang berpikir mana mungkin memakai gaun yang sama di depan Jiwa. Apalagi dia sama sekali tidak memiliki satu pun baju tempur selain piyama satin yang sering dia pakai karena praktis saat menyusui Nala.“Seharusnya aku pergi shopping kemarin,”ucap Ayuda.Bik Nini tentu saja semakin heran, dia sejajari Nonanya itu dan kembali bertanya,”Non cari apa?”“Linger … “ Ayuda keceplosan, matanya melotot menoleh bik Nini dan melempar senyuman canggung.Pembantunya itu pun menarik sudut bibir, tersenyum aneh sambil menaikturunkan alis mata. Bik Nini berhasil membuat Ayuda merasa malu, dia pasti tahu
Sejak pagi, Jiwa terus saja menampakkan wajah riang. Ia memandangi sang istri yang sibuk melakukan tugas merawat putrinya seperti biasa. Jiwa membuat Ayuda salah tingkah setelah semalam wanita itu menjawab pertanyaannya dengan kata ‘ya’.“Apa sudah?”“Berhenti bertanya apa sudah – apa sudah,”amuk Ayuda. Pipinya merona merah karena Jiwa bersikap sangat agresif. “Aku mau bertemu papa dan Dira dulu, kamu cepat bersiap sana untuk pergi bekerja!”Jiwa tak menggubris ucapan Ayuda, dia malah melingkarkan tangan di pinggang wanita itu yang sedang menggendong putrinya.“Jiwa!” bentak Ayuda.“Malam ini aku akan memberi bonus ke Bik Nini untuk menjaga Nala, kita bisa pakai apartemenku untuk melakukan itu.”“Melakukan apa?” Ayuda dengan sengaja menggoyangkan pinggang untuk membuat Jiwa melepaskan tangan. Namun, pria itu terlalu kuat dan membuatnya berakhir pasrah karena Nala ada di pelukannya.“Jangan berpura-pura! aku tahu kamu tidak sepolos itu, bahkan saat tidur kamu sesekali nakal dengan meng