Raga membaringkan tubuh Ayuda ke ranjang. Terlihat jelas pipi wanita itu merona karena perlakuan pria yang tak lain adalah adik iparnya sendiri. Ayuda hanya bisa berterima kasih tanpa mengomel seperti biasa, karena rasa kurang nyaman di perutnya semakin menjadi.“Apa kamu butuh bantuan? Heh … jangan bilang setelah Jiwa, kini giliran dirimu yang diare.”“Bukan, ini sakit perut yang hanya bisa dirasakan oleh wanita,” ketus Ayuda pada akhirnya.Raga yang masih berdiri di dekat ranjang pun memandang dengan tatapan iba, dia pikir susah juga menjadi wanita, harus merasakan nyeri haid, belum saat mengandung dan melahirkan. Raga menggeleng menepis pikirannya tentang hal berbau perkembangbiakan. Ia meminta Ayuda istirahat dan tak sungkan untuk memanggilnya jika butuh bantuan.“Terima kasih, tapi aku sudah mendingan.”“Mendingan apa? wajahmu jelas menahan sakit.” Raga bingung bagaimana cara membantu, hingga menawarkan makanan atau minum untuk Ayuda. “Apa kamu mau bubur? Teh hangat?”“Tidak, kam
“Iya, dia ada di dalam.” Ayuda menjawab dengan jujur, apa yang dikatakannya barusan terdengar oleh Jiwa dan pria itu pun tertawa senang. Raga mencoba mendorong pintu agar bisa melihat ke dalam, tapi Ayuda melarang. Ia tidak ingin terjadi keributan antara Jiwa dan Raga yang ujung-ujungnya membuat kepalanya menjadi pening. “Ayo kita pergi ke bawah, aku akan memakan bubur ini di ruang makan.” Ayuda meraih mangkuk yang dibawa oleh Raga lalu mendorong pria itu menjauh dari pintu kamar. Ayuda mengangguk untuk meyakinkan Raga, dia membiarkan Jiwa yang masih berada di dalam kamar mandi terus berakting dan memanggil namanya. “Ayuda!” Jiwa mengerutkan kening karena tak ada jawaban. Ia pun akhirnya keluar dari dalam kamar mandi. Jiwa bingung melihat sang istri sudah tidak ada di dalam sana. “Dasar wanita itu,” gerutunya. _ _ “Apa hubungan kalian sudah sangat dekat? Kenapa aku tidak tahu, apa artinya aku sudah tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkanmu?” Ayuda berjalan di depan Raga,
Jiwa merasa senang, dia berdiri sambil melempar senyum menghina ke Raga. Namun, saat memutar tumit. Ia keget melihat Wangi sudah berdiri menatap ke arahnya. Ayuda membuang muka dan tertawa, setiap kali membuat dua mahkluk itu berselisih dia merasa bahagia.“Katanya Mas akan pulang malam,” ucap Wangi.Ayuda memilih kembali duduk dan menghabiskan buburnya. Sedangkan Raga melirik dengan ekor mata, dia menduga Ayuda pasti sudah melihat Wangi tadi dan sengaja meminta Jiwa ke kamar.“Hem … aku juga baru saja pulang,” jawab Jiwa.“Bohong, dia sudah lama pulang. Ia bahkan mandi dan keramas di kamar Ayuda.”Jiwa menoleh Raga karena mulut adik kandungnya itu tak bisa dijaga. Sementara Ayuda susah payah menahan diri untuk tidak tertawa terbahak-bahak.“Jika tidak bisa menjadi pebinor, aku akan terus membuatmu kesulitan,” gumam Raga di dalam hati.Jiwa pun bingung, pria itu sejatinya masih tidak tahu ke mana arah perasaannya. Ia memang mulai menyukai Ayuda, tapi untuk melepaskan Wangi hatinya jug
Jiwa mengaduh, tangannya sakit karena baru saja membentur pintu kamar Ayuda. Sementara itu di dalam, Ayuda buru-buru memakai piyamanya lagi. Ia bergegas membuka pintu kamar dan mendapati tangan Jiwa yang sudah melayang hampir mengetuk.“Mau apa?”“Tidur di sini.” Jiwa hampir menerobos masuk tapi Ayuda menahannya.“Aku tidak mengizinkanmu, kembali ke kamarmu sendiri. Aku tidak percaya dengan pria sepertimu.”Ayuda kesal, jika ingat kejadian di ruang makan tadi rasanya ingin sekali dia memaki Jiwa. Namun, dia kini sudah kehabisan energi, yang ada dipikiran Ayuda sekarang hanya tidur agar besok bisa mengikuti pengumuman tender dari kementerian dengan tubuh bugar.“Aku akan pergi tapi jawab dulu pertanyaanku,” cegah Jiwa. “Hari Sabtu ini, maukah kamu pergi denganku ke suatu tempat?” tanyanya sebelum Ayuda benar-benar menutup pintu.Pikiran Ayuda seketika tertuju pada dokter Thomas, hari Sabtu adalah hari yang sudah mereka sepakati untuk melakukan transfer embrio. Meski begitu, Ayuda tak l
Ayuda mengangguk, dia berharap gadis bernama Dira yang disebutkan Hanung mau memberikan kontaknya. Kalau pun tidak, Ayuda jelas tak akan tinggal diam, dia punya cara lain. Dia akan memaksa pria itu asal rasa penasarannya bisa terpuaskan.Hanung mengangguk, dia pun terlihat sedikit canggung karena Aldi dan Ayuda menatapnya dengan mimik serius.“Kenapa?”“Kami sedang menunggumu menghubungi gadis bernama Dira itu,” jawab Aldi.Hanung jelas kaget, dia pikir bisa mendapat nomor Ayuda dan mengabarinya nanti. Tak tahunya saat itu juga dirinya harus mencari jawaban.“Tunggu sebentar!” ucap Hanung lalu sedikit menjauh dari Aldi dan Ayuda. Ia mendial nomor Dira dan berharap gadis itu segera mengangkat panggilannya.Namun, nihil. Hanung sudah mencoba dua kali tapi sang pujaan hati kemungkinan meninggalkan ponsel di kamar dan sibuk bekerja.“Dia tidak mengangkat,” ucap Hanung sesaat setelah mendekat ke Ayuda kembali. “Apa aku bisa meminta nomor kontakmu? setelah Dira bisa dihubungi aku akan menga
Dira baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Ia kembali ke kamarnya untuk beristirahat sebentar. Gadis itu merebahkan badan ke kasur sambil menyalakan kipas angin, tangannya nampak memegang ponsel yang memang sengaja dia tinggal di kamar saat bekerja.Awalnya bibir Dira tersenyum melihat dua panggilan tak terjawab dari Hanung. Namun, setelah membaca pesan yang dikirimkan pacarnya itu, ekspresi wajahnya seketika berubah. Dira menegakkan badan lantas membaca ulang pesan yang tertera pada layar.“Mirip? Apa maksud Mas Hanung mirip?”Dira pun membalas pesan itu. Ia mengawali pesannya dengan mengucapkan permintaan maaf karena tidak membawa ponselnya saat berada di toko batik pak Asman, setelah itu Dira bertanya kenapa orang yang dibilang Hanung mirip dengannya sampai ingin mendapat kontaknya. Apa alasan wanita itu.[ Dia sangat mirip denganmu. Jika dia juga memakai hijab, aku yakin orang pasti bingung membedakan mana dirimu dan dia. Dan satu lagi nama kalian juga mirip ]Dira tak lantas meng
Raga patah hati mendengar penolakan yang begitu jelas diucapkan oleh Ayuda. Ia tidak pernah menyangka akan mendengar wanita itu berkata berkencan dengan kakaknya. Raga pun mengangguk lemah, lalu berusaha memulas senyum di wajah. Dia mengajak Ayuda untuk minum kopi untuk mengobati rasa kecewa. “Kalau keluar minum kopi sekarang? Apa kamu bisa?” Ayuda terdiam menekuk bibir. Ia nampak berpikir, sampai pada akhirnya menganggukkan kepala. Wanita itu menggeser kursi ke belakang untuk bangkit. Ia mendekati Raga dan memulas senyum manis, tangan Ayuda menyentuh pinggang pria itu sebelum mendahului berjalan. Namun, baru saja membuka pintu dan hendak melangkah keluar, baik Ayuda dan Raga kaget milihat sosok Jiwa sudah berdiri di hadapan mereka. Aldi bahkan berdiri tak jauh dari Jiwa, sepertinya sekretaris Ayuda itu baru saja memberitahu Jiwa bahwa sang atasan sedang ada tamu. “Apa ini tamunya?” sindir Jiwa. “Untuk apa ke sini?” Ayuda bertanya dengan nada suara biasa, tak ketus seperti dulu.
Hari itu, Wangi memilih mengosongkan jadwal. Rasa tak nyaman yang dia rasakan di perut setelah proses pengambilan sel telur membuatnya merasa tak fokus untuk pergi bekerja. Sebenarnya Ayuda juga merasakan hal yang sama. Namun, jika dibandingkan dengan Wangi jelas Ayuda lebih kuat. Ia tidak ingin terus meratapi rasa sakit dan manja. Apalagi kompres hangat dari Jiwa semalam benar-benar membantu mengurangi rasa nyerinya.Wangi terlihat duduk di halaman samping rumah sambil memandangi layar ponsel. Ia sibuk membalas pesan yang masuk ke gawai. Wanita itu tidak tahu Linda sudah berada di dekatnya dan menjulurkan kepala untuk melihat apa yang dia lakukan. Hingga, dia sadar dan bergegas mengunci layar ponsel hingga padam.“Rasanya aneh melihatmu di rumah,” sindir Linda.“Kenapa? Mama tidak perlu takut, aku akan tetap memberi jatah Mama seperti biasa.”Linda agak tersentak mendengar ucapan Wangi. Ia tak menyangka sang menantu berani bicara seperti itu padanya. Menelisik lebih jauh, selama ini