Dira baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Ia kembali ke kamarnya untuk beristirahat sebentar. Gadis itu merebahkan badan ke kasur sambil menyalakan kipas angin, tangannya nampak memegang ponsel yang memang sengaja dia tinggal di kamar saat bekerja.Awalnya bibir Dira tersenyum melihat dua panggilan tak terjawab dari Hanung. Namun, setelah membaca pesan yang dikirimkan pacarnya itu, ekspresi wajahnya seketika berubah. Dira menegakkan badan lantas membaca ulang pesan yang tertera pada layar.“Mirip? Apa maksud Mas Hanung mirip?”Dira pun membalas pesan itu. Ia mengawali pesannya dengan mengucapkan permintaan maaf karena tidak membawa ponselnya saat berada di toko batik pak Asman, setelah itu Dira bertanya kenapa orang yang dibilang Hanung mirip dengannya sampai ingin mendapat kontaknya. Apa alasan wanita itu.[ Dia sangat mirip denganmu. Jika dia juga memakai hijab, aku yakin orang pasti bingung membedakan mana dirimu dan dia. Dan satu lagi nama kalian juga mirip ]Dira tak lantas meng
Raga patah hati mendengar penolakan yang begitu jelas diucapkan oleh Ayuda. Ia tidak pernah menyangka akan mendengar wanita itu berkata berkencan dengan kakaknya. Raga pun mengangguk lemah, lalu berusaha memulas senyum di wajah. Dia mengajak Ayuda untuk minum kopi untuk mengobati rasa kecewa. “Kalau keluar minum kopi sekarang? Apa kamu bisa?” Ayuda terdiam menekuk bibir. Ia nampak berpikir, sampai pada akhirnya menganggukkan kepala. Wanita itu menggeser kursi ke belakang untuk bangkit. Ia mendekati Raga dan memulas senyum manis, tangan Ayuda menyentuh pinggang pria itu sebelum mendahului berjalan. Namun, baru saja membuka pintu dan hendak melangkah keluar, baik Ayuda dan Raga kaget milihat sosok Jiwa sudah berdiri di hadapan mereka. Aldi bahkan berdiri tak jauh dari Jiwa, sepertinya sekretaris Ayuda itu baru saja memberitahu Jiwa bahwa sang atasan sedang ada tamu. “Apa ini tamunya?” sindir Jiwa. “Untuk apa ke sini?” Ayuda bertanya dengan nada suara biasa, tak ketus seperti dulu.
Hari itu, Wangi memilih mengosongkan jadwal. Rasa tak nyaman yang dia rasakan di perut setelah proses pengambilan sel telur membuatnya merasa tak fokus untuk pergi bekerja. Sebenarnya Ayuda juga merasakan hal yang sama. Namun, jika dibandingkan dengan Wangi jelas Ayuda lebih kuat. Ia tidak ingin terus meratapi rasa sakit dan manja. Apalagi kompres hangat dari Jiwa semalam benar-benar membantu mengurangi rasa nyerinya.Wangi terlihat duduk di halaman samping rumah sambil memandangi layar ponsel. Ia sibuk membalas pesan yang masuk ke gawai. Wanita itu tidak tahu Linda sudah berada di dekatnya dan menjulurkan kepala untuk melihat apa yang dia lakukan. Hingga, dia sadar dan bergegas mengunci layar ponsel hingga padam.“Rasanya aneh melihatmu di rumah,” sindir Linda.“Kenapa? Mama tidak perlu takut, aku akan tetap memberi jatah Mama seperti biasa.”Linda agak tersentak mendengar ucapan Wangi. Ia tak menyangka sang menantu berani bicara seperti itu padanya. Menelisik lebih jauh, selama ini
Sabtu pagi, Ayuda memilih untuk menghabiskan waktu di kamar. Semua orang sepertinya sibuk dengan waktu libur masing-masing. Bahkan Jiwa dan Wangi sejak sarapan belum keluar dari kamar. Ayuda jelas berpikir yang macam-macam. Padahal, dua orang itu tengah harap-harap cemas untuk melancarkan rencana nanti malam.Wangi bukan tidak merasakan perubahan sikap Jiwa. Ia merasa suaminya itu sedikit dingin hingga dia pun tak berani mengajaknya banyak bicara. Wangi hanya menegaskan dua hal dari rencana mereka. Pertama, membuat Ayuda tak sadar dokter Thomas sudah melakukan tindakan penanaman embrio ke rahimnya. Kedua, membuat wanita itu berpikir baru saja menghabiskan malam bersama Jiwa.“Aku percaya padamu, kalau kamu tidak akan melakukan hal yang di luar rencana kita,” kata Wangi agar Jiwa bisa mengendalikan diri. Meski sadar hati suaminya pasti sudah sedikit terbagi.Jiwa mengangguk, belakangan pria itu sudah jarang menyentuh sang istri pertama Namun, hal ini tidak Wangi ambil pusing. Pekerjaan
Raga berdiri di dekat kolam renang rumahnya sambil memandangi pantulan bulan yang mengenai permukaain air. Ia sedang merenungi perasaannya. Semua kalimat yang dia ucapkan di depan Jiwa untuk menjadi seorang pebinor jelas bukan hanya gertakan belaka.Namun, saat melihat wanita yang disukainya pergi bersama sang kakak dan nampak begitu serasi. Raga merasa rendah diri, dia seperti tak memiliki kesempatan untuk bisa mengambil hati Ayuda.“Dia menyukai Jiwa, aku bisa melihat dari tatapan matanya,” gumam Raga. “Harusnya kamu bertemu denganku lebih dulu. Aku benar-benar menyesal, Ayuda.”Saat Raga masih melamun, Wangi datang mendekat. Wanita itu bukannya tak tahu kalau sang adik ipar sangat menyukai madunya. Jika tidak memiliki kepentingan untuk mendapatkan anak dan memperalat Ayuda, jelas Wangi akan memilih untuk mendekatkan Raga dengan wanita yang paling dia benci itu, agar hubungannya dan sang suami tetap harmonis.Namun, apa yang terlanjur terjadi tidak bisa diulangi apalagi disesali. Ki
“Sudahlah Jiwa, tutup mulutmu dan segera buat aku mabuk.”Ayuda bermonolog. Ia tak memerdulikan ucapan suaminya. Tak sabaran, wanita itu menuangkan cairan berwarna merah keuangan dengan kadar alkohol tinggi itu ke gelasnya sendiri. Ayuda menenggaknya, tapi aneh. Semakin ingin mabuk, kesadarannya malah semakin terjaga. Hingga hidangan makan malam diantar oleh pelayan dan dia pun terpaksa harus menikmati. "Jangan menatapku seperti itu, makan! Dan ceritakan tentangmu." Ayuda membuka percakapan karena Jiwa ternyata sangat pasif. Pria itu selain dingin juga tak banyak bicara. Sangat berbeda dengan sang adik yang ekspresif dan cerewet. "Tentangku? Apa kamu tertarik padaku?" Jiwa mengambil kesempatan ini untuk menggoda Ayuda. Ia memulas senyum tipis lantas memandang sang istri yang sibuk memotong daging steak yang menjadi hidangan makan malam itu. "Tertarik, sangat tertarik. Bukankah untuk menghancurkan musuhmu kamu harus tahu tentangnya?"Selepas bicara Ayuda menyuapkan daging ke dal
Aldi yang mengikuti Ayuda sejak dari hotel ke klinik dokter dan kembali ke hotel, akhirnya memilih untuk pulang setelah memastikan tak ada aktivitas di dalam kamar yang ditempati Ayuda dan Jiwa. Ia juga sengaja mendatangi dokter Thomas karena pria itu mengirim pesan ada beberapa vitamin yang harus diminum oleh Ayuda. Langkah Aldi mengayun pelan, dia masih tak habis pikir dengan keputusan balas dendam yang dipilih oleh Ayuda. Aldi mengusap muka lalu menyugar rambut, dia harus mulai menyiapkan diri jika benar-benar Ayuda hamil. "Semoga bukan aku yang akan terkena imbas dari perubahan moodnya nanti," gumam Aldi. Sementara itu di dalam kamar, Jiwa sengaja membuat ponselnya dalam mode diam. Ada puluhan panggilan dari Wangi yang tidak dia jawab. Pria itu sibuk memandangi wajah Ayuda yang terlelap karena obat tidur yang dia berikan. "Bisa tidak bersikap manis padaku?" tanya Jiwa. Ia bahkan melakukan hal konyol karena sedang merasakan getaran asmara. "Kenapa kamu tidak datang lebih cepat
"Apa kamu yakin mau pulang sendiri!" Tanya Jiwa sambil berjalan membuntuti Ayuda."Kita datang bersama, maka ayo pulang bersama!""Dasar wanita itu, aktingnya untuk mengelabuiku benar-benar sudah dia siapkan dengan rapi," gerutu Jiwa dengan suara pelan nyaris tak terdengar. Ia seperti tak sadar akan ucapannya, bahwa dia sendiri juga melakukan hal yang sama seperti Ayuda.Tak mendapat respon dari orang yang diajak bicara, Jiwa pun menyalip sang istri lalu menghadang tepat di depannya. Ayuda masih memasang wajah kesal, tak sadar bahwa dia sedang dibodohi."Ayo pulang bersama!" bujuk Jiwa."Tidak mau! Aku bisa pulang naik taksi."Ayuda menepis tangan Jiwa dengan kasar. Ia hampir melewati pria itu tapi tangannya ditarik. Jiwa memegang erat ke dua lengan Ayuda dan mengguncangnya sedikit kencang."Diam! Dan menurut padaku. Kita ini suami istri, bukankah wajar kalau kita berhubungan badan?"Ayuda berpura-pura tergelak, beruntung tidak ada orang lain di lorong tempat mereka berdiri. Jika ada,
Pelukan, kasih sayang dan senyuman tulus kini bisa Jiwa rasakan setiap hari. Hidupnya sudah lengkap dengan kehadiran istri yang sangat dia cintai, juga putri cantik yang semakin hari semakin pintar. Jiwa berdiri sambil memegang cangkir kopi di tangan, dia memandang ke arah Nala yang sudah mulai belajar berjalan bersama bik Nini. Sementara itu, Ayuda bertelanjang kaki menemani dengan perut yang nampak membuncit. Nala, dia pasti terlihat seperti saudara kembar dengan adiknya nanti. “Nala pintarnya!” puji Ayuda, putrinya itu tertawa dan memeluk kakinya. Dia sedikit kesusahan untuk mengusap punggung sang putri karena terganjal perutnya yang sudah besar. Dengan bantuan bik Nini, Ayuda akhirnya bisa menggendong Nala. Namun, tak diduga Jiwa langsung berlari dan meminta Ayuda untuk tidak melakukan itu. “Sayang, kasihan adik Nala nanti,”ucap Jiwa. Bik Nini yang melihat tuannya sangat posesif pun tersenyum. Ia bahkan dibuat malu sendiri dengan tingkah Jiwa yang over protective. “Dari pada
Aura pengantin baru terpancar jelas dari wajah Dira. Kembaran Ayuda itu nampak sedang duduk bersama mertua dan saudara-saudara Aldi di teras sambil bercanda. Ibunda Aldi menceritakan bagaimana masa kecil pria itu, sampai aibnya yang masih suka minum susu menggunakan dot meski sudah kelas 5 SD.“Besok kalau kamu hamil banyak-banyak sugesti calon bayimu, jangan sampai kayak bapaknya.”Dira tertawa, dia tak sadar Aldi sedang memandanginya. Pria yang sudah resmi mempersuntingnya itu sibuk membantu merapikan kursi yang dipinjam dari RT untuk acara pengajian.“Lha … gimana nggak kayak bapaknya, Bu? Kalau aku hamil ‘kan memang anak mas Aldi, kalau nggak mirip nanti bisa-bisa malah menimbulkan fitnah,”kata Dira.“Maksudnya sifatnya yang jelek-jelek itu lho, Ra!”“Mas Aldi nggak punya sifat jelek, Bu. Mas Aldi itu sempurna buatku.”Aldi yang mendengar pujian sang istri seketika malu. Pipinya bahkan merona merah sedangkan Dira terlihat sangat santai meski orang-orang bersorak menggoda.“Ya begi
Pernikahan adalah impian setiap wanita, apalagi menikah dengan pria yang sangat dicintai. Begitu juga dengan Sienna, dia tidak pernah menyangka hatinya akan tertambat pada pria casanova seperti Raga. Meski tahu bagaimana sepak terjang pria itu, tapi Sienna yakin, suaminya itu kini sudah berubah. Ibarat panci bertemu tutupnya, mereka saling melengkapi. Membangun pernikahan yang sebenarnya mereka sendiri masih belum begitu yakin.Namun, Raga dan Sienna yakin mimpi-mimpi dan rencana akan mereka temukan seiring berjalannya waktu. Seperti saat ini. Mereka harus menunda bulan madu karena Sienna harus menghadapi ujian semester."Boleh aku bicara serius?" tanya Raga saat mereka berada di dalam salah satu kamar villa milik Ramahadi.Raga teringat akan Ayuda yang mual-mual tadi, setelah ditanya kakak iparnya itu menjawab dia memang belum datang bulan sejak melahirkan Nala. Kata Linda, kemungkinan besar Ayuda pasti hamil lagi."Bicara serius? Apa?"Sienna yang memakai paha Raga sebagai bantalan
Tiga bulan kemudianHari yang membahagiakan untuk semua orang akhirnya tiba. Ramahadi mengajak seluruh keluarganya pergi ke villanya yang dulu digunakan Ayuda untuk bersembunyi.Raga baru seminggu menikah dengan Sienna. Bulan madu mereka pun tertunda karena Sienna harus menghadapi ujian semester minggu ini. Raga tidak mau kalau sampai kuliah istrinya itu terganggu hanya karena bulan madu - yang sejatinya sudah sering mereka lakukan sebelum menikah.Affandi juga hadir, dia menerima undangan dari Ramahadi dengan penuh suka cita. Awalnya Affandi ingin mengajak Dira ke sana, tapi putrinya itu lebih dulu menerima ajakan dari sang mertua untuk berkumpul di rumah keluarga besar Aldi.Ayuda nampak memangku Nala, dia menyusui putrinya sambil menatap keluar jendela di mana papanya tengah sibuk mengobrol dengan sang mertua. Ayuda menepuk pantat Nala lembut, dia menoleh kaget kala Jiwa keluar dengan membawa buku - yang dulu selalu menjadi teman saat dirinya merasa kesepian tinggal sendiri di sana
Di saat putra putri mereka sedang berdua dan kembali meleburkan asa, Affandi dan Ramahadi duduk bersama. Ramahadi tak menyangka pria yang seumur hidup terus menganggapnya musuh kini mengajaknya bicara. Affandi bahkan mengeluarkan satu kata yang dia rasa mustahil untuk didengar. “Maaf!” Ramahadi tentu tak bisa percaya begitu saja, setelah hampir berpuluh-puluh tahun menganggapnya musuh, kini Affandi mengucap kata maaf dan terdengar begitu sangat tulus. “Aku tahu perbuatanku salah, dan selama ini aku terlalu malu untuk mengakuinya. Mungkin, pertemuan Ayuda dan Jiwa adalah takdir yang memang sudah ditetapkan, hingga akhirnya aku bisa sadar,”ungkap Affandi panjang lebar. Hening, Ramahadi tak langsung membalas permintaan maaf Affandi. Ia mencoba mencerna dulu, menimbang apakah pria itu tulus atau hanya sekadar meminta maaf agar dirinya tak lagi menaruh prasangka. “Aku sudah lelah bekerja, aku ingin menyerahkan perusahaan ke anak-anakku, dan aku ingin hidup tenang bermain bersama cucu,”
Terkesan nakal, tapi begitulah naluri manusia dewasa. Mereka memiliki birahi yang butuh disalurkan. Ayuda tahu perbuatannya membuat Jiwa semakin ingin menerkamnya. Namun, bukankah itu yang mereka inginkan? Ayuda memindai manik mata Jiwa, di sana terlihat penuh cinta, berbeda dengan tatapan mata pria itu saat pertama kali menyentuhnya. Tak ada perasaan hangat seperti ini, Jiwa bahkan mencekoki dirinya obat perangsang agar nafsunya tersalurkan tanpa perlu ikatan seperti saat ini. Jiwa membelai pipi Ayuda, mencium setiap bagian wajahnya seolah setiap incinya tak ingin terlewatkan untuk dia cicipi. Pria itu menghentikan sapuan bibir di hidung bangir sang istri, sorot matanya seolah meminta izin. “Bisakah aku bisa melakukannya jauh lebih dari ini.” Ayuda tersenyum tipis, tangannya menarik tengkuk Jiwa hingga bibir mereka kembali bertaut. Mereka sama-sama memejamkan mata, menyelami setiap perasaan cinta yang membara. Perlahan tangan Ayuda melonggar dan beralih membuka kancing kemeja Jiw
Dira masih berada di pelukan Ayuda, meski tak mau membalas pelukan saudaranya, tapi Dira menyandarkan kepala ke pundak ibunda Nala itu. Ia masih tergugu, tak menyangka satu orang datang lagi ke rumahnya dan masuk dengan wajah kebingungan. Aldi menjadi pusat perhatian semua orang, sampai Ayuda melonggarkan pelukan dan Dira memanggil dengan manja nama pria itu.“Mas Al!”“Ra, kenapa kamu menangis?” tanya Aldi bingung, dia hanya diberitahu Affandi akan datang, tapi jika tahu akan membuat calon istrinya menangis, tentu saja Aldi akan melarang. Alih-alih berada di sana tepat waktu, Aldi terjebak lampu merah beberapa kali.“Pak, ini bukan seperti yang Anda janjikan, bukankah ….”Aldi menjeda kata, Dira yang masih sesenggukan mendekat dan memberitahu Aldi kalau Affandi baru saja berkata akan menikahkannya.“Benarkah?” Aldi nampak bahagia. Ia raih tangan Affandi dan menggoyang-goyangkannya beberapa kali.Meski awalnya kesal, tapi Dira tertawa melihat kelakuan Aldi. Ayuda lega karena yakin Dir
Setelah Jiwa berangkat ke kantor, Ayuda tak langsung pergi ke rumah Dira. Ia malah berdiri di depan lemari baju, bingung memilih pakaian mana yang cocok dia kenakan untuk malam spesial yang Jiwa katakan tadi. Ayuda menekuk bibir ke dalam lalu memajukannya lagi, bunyi decapan lidahnya membuat bik Nini yang baru saja masuk untuk menata baju Nala keheranan.“Non, cari apa?”Ayuda menggeleng, wanita itu sedang berpikir mana mungkin memakai gaun yang sama di depan Jiwa. Apalagi dia sama sekali tidak memiliki satu pun baju tempur selain piyama satin yang sering dia pakai karena praktis saat menyusui Nala.“Seharusnya aku pergi shopping kemarin,”ucap Ayuda.Bik Nini tentu saja semakin heran, dia sejajari Nonanya itu dan kembali bertanya,”Non cari apa?”“Linger … “ Ayuda keceplosan, matanya melotot menoleh bik Nini dan melempar senyuman canggung.Pembantunya itu pun menarik sudut bibir, tersenyum aneh sambil menaikturunkan alis mata. Bik Nini berhasil membuat Ayuda merasa malu, dia pasti tahu
Sejak pagi, Jiwa terus saja menampakkan wajah riang. Ia memandangi sang istri yang sibuk melakukan tugas merawat putrinya seperti biasa. Jiwa membuat Ayuda salah tingkah setelah semalam wanita itu menjawab pertanyaannya dengan kata ‘ya’.“Apa sudah?”“Berhenti bertanya apa sudah – apa sudah,”amuk Ayuda. Pipinya merona merah karena Jiwa bersikap sangat agresif. “Aku mau bertemu papa dan Dira dulu, kamu cepat bersiap sana untuk pergi bekerja!”Jiwa tak menggubris ucapan Ayuda, dia malah melingkarkan tangan di pinggang wanita itu yang sedang menggendong putrinya.“Jiwa!” bentak Ayuda.“Malam ini aku akan memberi bonus ke Bik Nini untuk menjaga Nala, kita bisa pakai apartemenku untuk melakukan itu.”“Melakukan apa?” Ayuda dengan sengaja menggoyangkan pinggang untuk membuat Jiwa melepaskan tangan. Namun, pria itu terlalu kuat dan membuatnya berakhir pasrah karena Nala ada di pelukannya.“Jangan berpura-pura! aku tahu kamu tidak sepolos itu, bahkan saat tidur kamu sesekali nakal dengan meng