“Mas Al!”Dira yang mengantar Aldi sampai halaman terdengar memanggil lagi nama pria itu, terang saja Aldi yang hendak pulang kaget dan menoleh. Tatapan pria itu didominasi dengan rasa heran, dan berubah cemas saat menyadari mata Dira merambang. Gadis itu berjalan cepat mendekat lalu memeluk pinggangnya.“Sudah aku bilang ‘kan, menangis saja kalau mau menangis, terlihat lemah bukan hal buruk, Ra,”bisik Aldi.“Aku nggak nangis, cuma pengen meluk.”“Belum muhrim.”“Ya udah cepetan halalin aku,”gerutu Dira.“Ya udah besok kita ke KUA.”Dira menjauhkan badan, bibirnya cemberut karena tahu hal itu tidak mungkin dilakukan dalam tempo cepat. Namun, di balik itu ada sesuatu yang tidak dia tahu. Diam-diam Aldi berniat menemui Affandi, meminta pria itu untuk menandatangani surat pernyataan, jika memang tidak bisa menjadi wali nikah Dira maka dengan kesadaran menyerahkan ke wali hakim.“Kenapa? apa kamu tidak percaya?” goda Aldi. “Tenang saja! kita pasti akan menikah sebelum Nala bisa tengkurap.
Affandi bukanlah pria bodoh, dia sudah puluhan tahun menjadi atasan Hari, sehingga dengan mudah membaca gelagat aneh dari sekretarisnya itu. Diam-diam, Affandi memberi perintah ke anak buahnya yang lain untuk mengawasi Hari, dan terbukti pria yang sudah menemaninya bekerja selama ini berbohong. Affandi jelas kecewa, dia meminta anak buahnya memeriksa dan pada akhirnya tahu di mana keberadaan Ayuda.“Pak Hari tidak pergi menengok keponakan istrinya seperti yang disampaikan, dia menuju sebuah gedung apartemen dan terlihat menemui Nona Ayuda.”Mata Affandi fokus ke pria yang kini berlutut dalam kondisi babak belur dihajar oleh anak buahnya, pria itu tak lain adalah orang yang diam-diam diminta Hari mengawasi gedung RG group selama ini.“Kenapa kamu tidak memberitahu hal ini padaku lebih dulu, bukankah bosmu itu aku bukannya Hari?” tanya Affandi dengan ekspresi datar, dia tak sedikitpun merasa bersalah sudah membuat muka orang babak belur.Pria itu diam, dia tak mungkin menjatuhkan Hari d
“Dokter Thomas?”Ayuda syok, dia semakin tak habis pikir dengan jalan pikiran Affandi. Tidak cukupkah mengancam dan membuat dokter itu hendak berbohong kepadanya dulu?“Apa yang Papa lakukan ke dokter Thomas?”Ayuda memang tidak pernah berhubungan lagi dengan dokter itu sehingga tidak tahu apa yang terjadi. Ayuda takut, bagaimanapun juga dokter Thomas membantu proses bayi tabung karena desakannya, jadi jika sampai nyawa dokter itu terancam, jelas ini semua salahnya.“Aku tidak melakukan apa-apa ke dokter itu. Ayuda, apa kamu lebih percaya pria yang belum dua tahun kamu kenal dari pada Papa?” Affandi menyangkal dengan pertanyaan. Ia bahkan menunjukkan raut kekecewaan.Ramahadi sendiri tak gentar, dia merasa tak memiliki kesalahan sehingga tak takut dengan tatapan Affandi yang penuh kebencian.“Kamu jelas tahu, di dunia bisnis kejujuran adalah barang langka. Sesempurna apapun dirimu sebagai seorang pengusaha, kamu pasti pernah mengajak orang minum bersama dan menawarkan sejumlah uang un
Sore itu Jiwa pulang dari RG Group dengan senyuman di wajah, meski tubuhnya terasa linu, tapi membayangkan bertemu dengan Nala dan Ayuda membuat semua lelah tak lagi berarti baginya. Ia berjalan dengan langkah tegap menuju mobil. Namun, tak Jiwa sadari, sejak tadi seorang pria mengawasi lalu mengikutinya dari belakang. Menggunakan mobil dengan warna yang sama, pria itu berhenti tak jauh dari sebuah toko kue saat Jiwa berbelok untuk membelikan camilan Ayuda. Ia tahu, istrinya itu sering merasa kelaparan di malam hari. Ayuda selalu menolak makanan berat karena takut bentuk tubuhnya berubah, tapi hari ini Jiwa berencana memaksa sang istri untuk menikmati kue manis berkalori tinggi. Pria itu ingin Ayuda tahu, bentuk tubuh yang berubah tidak akan merubah cinta yang dia miliki. Jiwa masih tak curiga sama sekali, hingga saat tiba di gedung tempat tinggal Ayuda, dia merasa gerak-geriknya ada yang mengawasi. Jiwa melirik ke belakang saat menunggu pintu lift terbuka dan tetap berpura-pura t
Raga kesal bukan kepalang, semalam dia bahkan tidak bisa tidur memikirkan Sienna yang sedang mengandung anaknya, tapi ternyata gadis itu berbohong. Raga pun bergegas pergi dari penthouse Ayuda, dia berjalan sambil mendial nomor Sienna dengan rasa jengkel, dan saat panggilan itu terhubung Raga pun langsung bertanya -"Di mana kamu sekarang? Aku ingin bertemu.""Aku? Di rumah, bukankah kamu tahu sekarang aku menjadi anak baik," jawab Sienna dengan santai. Ia sedang tiduran di kasur sambil melihat-lihat gaun pengantin dari sebuah majalah fashion. "Aku akan sampai rumahmu dalam lima belas menit," kata Raga. "Ada apa?" Sienna menegakkan badan, dia kebingungan dan Raga tidak menjawab pertanyaannya. Gadis itu pun bergegas merapikan majalah dan bungkus snack yang berserakan di atas kasur. Seperti biasa jika papa dan mama Sienna sedang tidak ada di rumah, Raga pasti akan ke kamarnya, Sienna pikir pria itu pasti akan mengajaknya bercinta. “Aduh, mana bau citata lagi,” gerutu Sienna. Ia se
Di penthouse sang istri, Jiwa akhirnya tak bisa melakukan apa-apa, dia takut sesuatu yang buruk sedang terjadi dan dia malah mengusir Aldi pulang. Dengan setengah hati Jiwa memersilahkan pria itu masuk, diraihnya Nala dari gendongan Ayuda tanpa berkata-kata.“Ada apa? apa ada masalah?” Ayuda memandangi punggung Jiwa yang berjalan menjauh, dia menoleh ke arah pintu dan mendapati Aldi berjalan mendekat.“Al, kok … “ Kening Ayuda berkerut, dia sedang menerka situasi apa yang terjadi saat ini sampai Aldi tiba-tiba saja memohon.“Nona, bantu saya memilih cincin yang paling sesuai dengan karakter Dira.”“Apa?” Ayuda melongo, dia tak percaya hanya demi hal seperti ini Aldi sampai datang ke rumahnya.“Dira bilang seharusnya sebagai calon suami saya tahu bagaimana karakternya, kami bertengkar hanya karena sebuah cincin. Masa depanku terancam, Nona,”ucap Aldi memelas.Ternyata diam-diam, Jiwa menguping pembicaraan. Ia mencebik kesal lalu memandang Nala yang terlelap tidur. Ia berjalan ke ranjan
“Jangan memancing macan kelaparan Ayuda.” Jiwa menegakkan badan. Ia tatap sang istri lekat lalu membelai pipinya dengan raut muka yang sengaja dibuat dingin.“Apa kamu ingin ciuman selamat malam sebelum tidur?”Ayuda menggoda, dia tertawa kala Jiwa mengangguk cepat. Wanita itu merangkum pipi sang suami, menyatukan daging tak bertulang mereka dan mengecapnya sedikit lama. Ciuman itu tak terjeda, hingga beberapa menit berlalu, Ayuda hendak menjauhkan kepala untuk melepaskan tautan bibirnya, tapi Jiwa merengkuh pundaknya, melepas sebentar bibir mereka lalu berkata-“Tidak bisa! tidak boleh sebentar, aku sangat merindukanmu hari ini.”“Bukankah kita bisa berciuman setiap hari?” tanya Ayuda dengan suara lirih.“Ya, tapi kamu pasti tahu yang seperti ini tidak bisa dikontrol.”Mereka sama-sama tersenyum dan kembali menautkan bibir, berpikir mumpung Nala belum paham dengan apa yang sedang mereka lakukan saat ini. Ayuda bahkan naik ke ranjang, dia saling mengadu bibir dengan Jiwa dalam posisi
Dira yang tak menyangka akan kedatangan tamu pagi-pagi nampak kebingungan. Ia melihat dua orang yang sangat serasi berdiri di depan pintu rumahnya dengan senyuman aneh. Dira cukup pandai sehingga sudah menduga bahwa tujuan Ayuda datang pasti untuk membantu Aldi. Padahal Dira tak serius dengan ucapannya. Menurut gadis itu sang kekasih menjadi sedikit sensitif menjelang pernikahan, hingga ucapannya tentang cincin membuat Aldi kalang kabut.“Kamu membuatnya pusing, kenapa harus sambil merajuk hanya demi cincin?”Ayuda menasehati, tapi sepertinya Dira tak suka hingga merengut dan menggeser posisinya menjauh.“Apa dia bercerita kalau aku marah? aku tidak marah, aku hanya memintanya untuk memutuskan mana cincin yang menurutnya sesuai denganku,”jawab Dira.“Kamu pikir pria itu cenayang bisa menebak apa yang ada di pikiranmu?”Jiwa hampir saja terbahak saat mendengar sang istri mengatakan hal seperti itu, bagaimana tidak? sejatinya Ayuda juga sama saja, terkadang marah dan tak mau menjelaskan