Sore itu Jiwa pulang dari RG Group dengan senyuman di wajah, meski tubuhnya terasa linu, tapi membayangkan bertemu dengan Nala dan Ayuda membuat semua lelah tak lagi berarti baginya. Ia berjalan dengan langkah tegap menuju mobil. Namun, tak Jiwa sadari, sejak tadi seorang pria mengawasi lalu mengikutinya dari belakang. Menggunakan mobil dengan warna yang sama, pria itu berhenti tak jauh dari sebuah toko kue saat Jiwa berbelok untuk membelikan camilan Ayuda. Ia tahu, istrinya itu sering merasa kelaparan di malam hari. Ayuda selalu menolak makanan berat karena takut bentuk tubuhnya berubah, tapi hari ini Jiwa berencana memaksa sang istri untuk menikmati kue manis berkalori tinggi. Pria itu ingin Ayuda tahu, bentuk tubuh yang berubah tidak akan merubah cinta yang dia miliki. Jiwa masih tak curiga sama sekali, hingga saat tiba di gedung tempat tinggal Ayuda, dia merasa gerak-geriknya ada yang mengawasi. Jiwa melirik ke belakang saat menunggu pintu lift terbuka dan tetap berpura-pura t
Raga kesal bukan kepalang, semalam dia bahkan tidak bisa tidur memikirkan Sienna yang sedang mengandung anaknya, tapi ternyata gadis itu berbohong. Raga pun bergegas pergi dari penthouse Ayuda, dia berjalan sambil mendial nomor Sienna dengan rasa jengkel, dan saat panggilan itu terhubung Raga pun langsung bertanya -"Di mana kamu sekarang? Aku ingin bertemu.""Aku? Di rumah, bukankah kamu tahu sekarang aku menjadi anak baik," jawab Sienna dengan santai. Ia sedang tiduran di kasur sambil melihat-lihat gaun pengantin dari sebuah majalah fashion. "Aku akan sampai rumahmu dalam lima belas menit," kata Raga. "Ada apa?" Sienna menegakkan badan, dia kebingungan dan Raga tidak menjawab pertanyaannya. Gadis itu pun bergegas merapikan majalah dan bungkus snack yang berserakan di atas kasur. Seperti biasa jika papa dan mama Sienna sedang tidak ada di rumah, Raga pasti akan ke kamarnya, Sienna pikir pria itu pasti akan mengajaknya bercinta. “Aduh, mana bau citata lagi,” gerutu Sienna. Ia se
Di penthouse sang istri, Jiwa akhirnya tak bisa melakukan apa-apa, dia takut sesuatu yang buruk sedang terjadi dan dia malah mengusir Aldi pulang. Dengan setengah hati Jiwa memersilahkan pria itu masuk, diraihnya Nala dari gendongan Ayuda tanpa berkata-kata.“Ada apa? apa ada masalah?” Ayuda memandangi punggung Jiwa yang berjalan menjauh, dia menoleh ke arah pintu dan mendapati Aldi berjalan mendekat.“Al, kok … “ Kening Ayuda berkerut, dia sedang menerka situasi apa yang terjadi saat ini sampai Aldi tiba-tiba saja memohon.“Nona, bantu saya memilih cincin yang paling sesuai dengan karakter Dira.”“Apa?” Ayuda melongo, dia tak percaya hanya demi hal seperti ini Aldi sampai datang ke rumahnya.“Dira bilang seharusnya sebagai calon suami saya tahu bagaimana karakternya, kami bertengkar hanya karena sebuah cincin. Masa depanku terancam, Nona,”ucap Aldi memelas.Ternyata diam-diam, Jiwa menguping pembicaraan. Ia mencebik kesal lalu memandang Nala yang terlelap tidur. Ia berjalan ke ranjan
“Jangan memancing macan kelaparan Ayuda.” Jiwa menegakkan badan. Ia tatap sang istri lekat lalu membelai pipinya dengan raut muka yang sengaja dibuat dingin.“Apa kamu ingin ciuman selamat malam sebelum tidur?”Ayuda menggoda, dia tertawa kala Jiwa mengangguk cepat. Wanita itu merangkum pipi sang suami, menyatukan daging tak bertulang mereka dan mengecapnya sedikit lama. Ciuman itu tak terjeda, hingga beberapa menit berlalu, Ayuda hendak menjauhkan kepala untuk melepaskan tautan bibirnya, tapi Jiwa merengkuh pundaknya, melepas sebentar bibir mereka lalu berkata-“Tidak bisa! tidak boleh sebentar, aku sangat merindukanmu hari ini.”“Bukankah kita bisa berciuman setiap hari?” tanya Ayuda dengan suara lirih.“Ya, tapi kamu pasti tahu yang seperti ini tidak bisa dikontrol.”Mereka sama-sama tersenyum dan kembali menautkan bibir, berpikir mumpung Nala belum paham dengan apa yang sedang mereka lakukan saat ini. Ayuda bahkan naik ke ranjang, dia saling mengadu bibir dengan Jiwa dalam posisi
Dira yang tak menyangka akan kedatangan tamu pagi-pagi nampak kebingungan. Ia melihat dua orang yang sangat serasi berdiri di depan pintu rumahnya dengan senyuman aneh. Dira cukup pandai sehingga sudah menduga bahwa tujuan Ayuda datang pasti untuk membantu Aldi. Padahal Dira tak serius dengan ucapannya. Menurut gadis itu sang kekasih menjadi sedikit sensitif menjelang pernikahan, hingga ucapannya tentang cincin membuat Aldi kalang kabut.“Kamu membuatnya pusing, kenapa harus sambil merajuk hanya demi cincin?”Ayuda menasehati, tapi sepertinya Dira tak suka hingga merengut dan menggeser posisinya menjauh.“Apa dia bercerita kalau aku marah? aku tidak marah, aku hanya memintanya untuk memutuskan mana cincin yang menurutnya sesuai denganku,”jawab Dira.“Kamu pikir pria itu cenayang bisa menebak apa yang ada di pikiranmu?”Jiwa hampir saja terbahak saat mendengar sang istri mengatakan hal seperti itu, bagaimana tidak? sejatinya Ayuda juga sama saja, terkadang marah dan tak mau menjelaskan
Malam harinya, Ayuda nampak bersiap di kamarnya untuk mendatangi acara lamaran Raga. Ia mengenakan baju yang memang dia punya di lemari. Ayuda lega melihat bentuk tubuhnya masih sama seperti sebelum melahirkan Nala. Ia mematut diri di depan cermin, menoleh ke kiri dan kanan untuk memastikan penampilan. Wanita itu mendengar suara pintu kediamannya terbuka, menebak pasti itu Jiwa yang baru saja kembali dari apartemennya sendiri.Ayuda menoleh, dia memulas senyum mendapati Jiwa mendekat sambil berusaha mengancingkan lengan kemeja. Ayuda tak tinggal diam, dia raih tangan pria itu untuk membantu.“Kenapa menatapku terus? Apa ada yang salah?”Meski tanpa memandang wajah sang suami, tapi Ayuda tahu apa yang sedang Jiwa lakukan. Ia turunkan tangan Jiwa perlahan lalu merapikan bagian depan kemeja yang pria itu kenakan.“Apa harus ada yang salah agar punya alasan? Aku sedang mengagumi wajah istriku sendiri,” goda Jiwa.“Tidak, karena memang hanya akuyang harus kamu lihat mulai sekarang,”jawab A
Ayuda dan keluarga Ramahadi masih terlibat perbincangan hangat dengan keluarga Bisma, saat bik Nini menghubungi. Raga dan Sienna direncanakan menikah dua bulan lagi dan Rahwana hotel tentu saja akan menjadi lokasi, di mana resepsi pernikahan keduanya akan berlangsung.Ayuda awalnya tak begitu merespon panggilan bik Nini, dia pikir wanita itu pasti hanya akan meminta persetujuannya tentang cara menidurkan Nala. Namun, perasaan Ayuda menjadi kurang nyaman, dan memutuskan meminta izin untuk menerima panggilan itu.Jiwa yang melihat ekspresi wajah Ayuda berubah, memandangi istrinya itu sampai punggungnya menjauh, hingga putra sulung Ramahadi itu memutuskan ikut berdiri untuk menyusul Ayuda.“Apa?” Ayuda kaget saat bik Nini berkata papanya dan Hari sudah berdiri di depan pintu. “Kenapa om Hari tidak memberitahuku lebih dulu?” ucapnya.Ayuda menoleh mendapati Jiwa mendekat, pria itu bertanya apa yang terjadi, dan dia pun menjelaskan yang baru saja disampaikan oleh bik Nini.“Apa kita harus
Affandi belum menjawab akankah menerima permintaan Ayuda, tapi putri kesayangannya itu lebih dulu berkata kembali. Ayuda meminta sang Papa juga harus menerima Jiwa sebagai menantu. Seperti Ramahadi yang sangat menyayanginya, Affandi juga harus menyayangi Jiwa.“Aku mencintai Jiwa, aku ingin hidup bahagia bersamanya, jadi Papa juga harus menerimanya sebagai anak.”Jiwa menoleh karena tak menyangka Ayuda akan berkata mencintainya setegas itu di depan Affandi. Hatinya merasa berbunga-bunga terlebih Ayuda melingkarkan tangan ke lengannya dengan posesif.“Pa, aku sudah menemukan orang yang ingin aku ajak menghabiskan sisa umur bersama, aku bahagia, jadi kalau Papa benar-benar menyayangiku, tolong kabulkan permintaanku ini!”Affandi tak menjawab, dia hanya bisa memandang putrinya dan Jiwa bergantian, putra sulung pria yang paling dibencinya itu nampak menatap wajah putrinya lekat, sampai suara tangis dari dalam kamar terdengar dan bik Nini yang sejak tadi menjadi pendengar buru-buru masuk.