“Dari mana? kenapa ponselmu tidak bisa dihubungi?”Hari berdiri di depan Affandi yang sibuk menatap berkas di meja kerja. Pria itu tak tahu kalau dirinya diam-diam baru saja menemui Ayuda. Hari masih menyembunyikan kebenaran bahwa dia sudah bisa menemukan keberadaan putri atasannya itu.Bukan tanpa alasan, Hari hanya takut jika diperintah melakukan hal yang macam-macam. Sebenarnya baru seminggu ini dia bisa melacak di mana Ayuda tinggal. Semenjak Ayuda pergi, Affandi sama sekali tidak pernah membahas rencana ataupun hal yang ingin diperbuat ke sang putri, untuk itu Hari memutuskan hati-hati, karena di awal Affandi ingin menyingkirkan bayi yang ada di kandungan Ayuda. Hari merasa niatan atasannya sampai sekarang masih sama, sehingga dirinya memilih menyimpan hal ini dulu.“Ponsel saya kehabisan daya,”dusta Hari.“Apa kamu butuh ponsel baru?”“Tidak, Pak! saya hanya butuh mengisi batrenya. Maaf membuat Anda tidak nyaman.” Hari menundukkan kepala, beruntung Affandi sama sekali tak mencur
“Mas Al!”Dira yang mengantar Aldi sampai halaman terdengar memanggil lagi nama pria itu, terang saja Aldi yang hendak pulang kaget dan menoleh. Tatapan pria itu didominasi dengan rasa heran, dan berubah cemas saat menyadari mata Dira merambang. Gadis itu berjalan cepat mendekat lalu memeluk pinggangnya.“Sudah aku bilang ‘kan, menangis saja kalau mau menangis, terlihat lemah bukan hal buruk, Ra,”bisik Aldi.“Aku nggak nangis, cuma pengen meluk.”“Belum muhrim.”“Ya udah cepetan halalin aku,”gerutu Dira.“Ya udah besok kita ke KUA.”Dira menjauhkan badan, bibirnya cemberut karena tahu hal itu tidak mungkin dilakukan dalam tempo cepat. Namun, di balik itu ada sesuatu yang tidak dia tahu. Diam-diam Aldi berniat menemui Affandi, meminta pria itu untuk menandatangani surat pernyataan, jika memang tidak bisa menjadi wali nikah Dira maka dengan kesadaran menyerahkan ke wali hakim.“Kenapa? apa kamu tidak percaya?” goda Aldi. “Tenang saja! kita pasti akan menikah sebelum Nala bisa tengkurap.
Affandi bukanlah pria bodoh, dia sudah puluhan tahun menjadi atasan Hari, sehingga dengan mudah membaca gelagat aneh dari sekretarisnya itu. Diam-diam, Affandi memberi perintah ke anak buahnya yang lain untuk mengawasi Hari, dan terbukti pria yang sudah menemaninya bekerja selama ini berbohong. Affandi jelas kecewa, dia meminta anak buahnya memeriksa dan pada akhirnya tahu di mana keberadaan Ayuda.“Pak Hari tidak pergi menengok keponakan istrinya seperti yang disampaikan, dia menuju sebuah gedung apartemen dan terlihat menemui Nona Ayuda.”Mata Affandi fokus ke pria yang kini berlutut dalam kondisi babak belur dihajar oleh anak buahnya, pria itu tak lain adalah orang yang diam-diam diminta Hari mengawasi gedung RG group selama ini.“Kenapa kamu tidak memberitahu hal ini padaku lebih dulu, bukankah bosmu itu aku bukannya Hari?” tanya Affandi dengan ekspresi datar, dia tak sedikitpun merasa bersalah sudah membuat muka orang babak belur.Pria itu diam, dia tak mungkin menjatuhkan Hari d
“Dokter Thomas?”Ayuda syok, dia semakin tak habis pikir dengan jalan pikiran Affandi. Tidak cukupkah mengancam dan membuat dokter itu hendak berbohong kepadanya dulu?“Apa yang Papa lakukan ke dokter Thomas?”Ayuda memang tidak pernah berhubungan lagi dengan dokter itu sehingga tidak tahu apa yang terjadi. Ayuda takut, bagaimanapun juga dokter Thomas membantu proses bayi tabung karena desakannya, jadi jika sampai nyawa dokter itu terancam, jelas ini semua salahnya.“Aku tidak melakukan apa-apa ke dokter itu. Ayuda, apa kamu lebih percaya pria yang belum dua tahun kamu kenal dari pada Papa?” Affandi menyangkal dengan pertanyaan. Ia bahkan menunjukkan raut kekecewaan.Ramahadi sendiri tak gentar, dia merasa tak memiliki kesalahan sehingga tak takut dengan tatapan Affandi yang penuh kebencian.“Kamu jelas tahu, di dunia bisnis kejujuran adalah barang langka. Sesempurna apapun dirimu sebagai seorang pengusaha, kamu pasti pernah mengajak orang minum bersama dan menawarkan sejumlah uang un
Sore itu Jiwa pulang dari RG Group dengan senyuman di wajah, meski tubuhnya terasa linu, tapi membayangkan bertemu dengan Nala dan Ayuda membuat semua lelah tak lagi berarti baginya. Ia berjalan dengan langkah tegap menuju mobil. Namun, tak Jiwa sadari, sejak tadi seorang pria mengawasi lalu mengikutinya dari belakang. Menggunakan mobil dengan warna yang sama, pria itu berhenti tak jauh dari sebuah toko kue saat Jiwa berbelok untuk membelikan camilan Ayuda. Ia tahu, istrinya itu sering merasa kelaparan di malam hari. Ayuda selalu menolak makanan berat karena takut bentuk tubuhnya berubah, tapi hari ini Jiwa berencana memaksa sang istri untuk menikmati kue manis berkalori tinggi. Pria itu ingin Ayuda tahu, bentuk tubuh yang berubah tidak akan merubah cinta yang dia miliki. Jiwa masih tak curiga sama sekali, hingga saat tiba di gedung tempat tinggal Ayuda, dia merasa gerak-geriknya ada yang mengawasi. Jiwa melirik ke belakang saat menunggu pintu lift terbuka dan tetap berpura-pura t
Raga kesal bukan kepalang, semalam dia bahkan tidak bisa tidur memikirkan Sienna yang sedang mengandung anaknya, tapi ternyata gadis itu berbohong. Raga pun bergegas pergi dari penthouse Ayuda, dia berjalan sambil mendial nomor Sienna dengan rasa jengkel, dan saat panggilan itu terhubung Raga pun langsung bertanya -"Di mana kamu sekarang? Aku ingin bertemu.""Aku? Di rumah, bukankah kamu tahu sekarang aku menjadi anak baik," jawab Sienna dengan santai. Ia sedang tiduran di kasur sambil melihat-lihat gaun pengantin dari sebuah majalah fashion. "Aku akan sampai rumahmu dalam lima belas menit," kata Raga. "Ada apa?" Sienna menegakkan badan, dia kebingungan dan Raga tidak menjawab pertanyaannya. Gadis itu pun bergegas merapikan majalah dan bungkus snack yang berserakan di atas kasur. Seperti biasa jika papa dan mama Sienna sedang tidak ada di rumah, Raga pasti akan ke kamarnya, Sienna pikir pria itu pasti akan mengajaknya bercinta. “Aduh, mana bau citata lagi,” gerutu Sienna. Ia se
Di penthouse sang istri, Jiwa akhirnya tak bisa melakukan apa-apa, dia takut sesuatu yang buruk sedang terjadi dan dia malah mengusir Aldi pulang. Dengan setengah hati Jiwa memersilahkan pria itu masuk, diraihnya Nala dari gendongan Ayuda tanpa berkata-kata.“Ada apa? apa ada masalah?” Ayuda memandangi punggung Jiwa yang berjalan menjauh, dia menoleh ke arah pintu dan mendapati Aldi berjalan mendekat.“Al, kok … “ Kening Ayuda berkerut, dia sedang menerka situasi apa yang terjadi saat ini sampai Aldi tiba-tiba saja memohon.“Nona, bantu saya memilih cincin yang paling sesuai dengan karakter Dira.”“Apa?” Ayuda melongo, dia tak percaya hanya demi hal seperti ini Aldi sampai datang ke rumahnya.“Dira bilang seharusnya sebagai calon suami saya tahu bagaimana karakternya, kami bertengkar hanya karena sebuah cincin. Masa depanku terancam, Nona,”ucap Aldi memelas.Ternyata diam-diam, Jiwa menguping pembicaraan. Ia mencebik kesal lalu memandang Nala yang terlelap tidur. Ia berjalan ke ranjan
“Jangan memancing macan kelaparan Ayuda.” Jiwa menegakkan badan. Ia tatap sang istri lekat lalu membelai pipinya dengan raut muka yang sengaja dibuat dingin.“Apa kamu ingin ciuman selamat malam sebelum tidur?”Ayuda menggoda, dia tertawa kala Jiwa mengangguk cepat. Wanita itu merangkum pipi sang suami, menyatukan daging tak bertulang mereka dan mengecapnya sedikit lama. Ciuman itu tak terjeda, hingga beberapa menit berlalu, Ayuda hendak menjauhkan kepala untuk melepaskan tautan bibirnya, tapi Jiwa merengkuh pundaknya, melepas sebentar bibir mereka lalu berkata-“Tidak bisa! tidak boleh sebentar, aku sangat merindukanmu hari ini.”“Bukankah kita bisa berciuman setiap hari?” tanya Ayuda dengan suara lirih.“Ya, tapi kamu pasti tahu yang seperti ini tidak bisa dikontrol.”Mereka sama-sama tersenyum dan kembali menautkan bibir, berpikir mumpung Nala belum paham dengan apa yang sedang mereka lakukan saat ini. Ayuda bahkan naik ke ranjang, dia saling mengadu bibir dengan Jiwa dalam posisi
Pelukan, kasih sayang dan senyuman tulus kini bisa Jiwa rasakan setiap hari. Hidupnya sudah lengkap dengan kehadiran istri yang sangat dia cintai, juga putri cantik yang semakin hari semakin pintar. Jiwa berdiri sambil memegang cangkir kopi di tangan, dia memandang ke arah Nala yang sudah mulai belajar berjalan bersama bik Nini. Sementara itu, Ayuda bertelanjang kaki menemani dengan perut yang nampak membuncit. Nala, dia pasti terlihat seperti saudara kembar dengan adiknya nanti. “Nala pintarnya!” puji Ayuda, putrinya itu tertawa dan memeluk kakinya. Dia sedikit kesusahan untuk mengusap punggung sang putri karena terganjal perutnya yang sudah besar. Dengan bantuan bik Nini, Ayuda akhirnya bisa menggendong Nala. Namun, tak diduga Jiwa langsung berlari dan meminta Ayuda untuk tidak melakukan itu. “Sayang, kasihan adik Nala nanti,”ucap Jiwa. Bik Nini yang melihat tuannya sangat posesif pun tersenyum. Ia bahkan dibuat malu sendiri dengan tingkah Jiwa yang over protective. “Dari pada
Aura pengantin baru terpancar jelas dari wajah Dira. Kembaran Ayuda itu nampak sedang duduk bersama mertua dan saudara-saudara Aldi di teras sambil bercanda. Ibunda Aldi menceritakan bagaimana masa kecil pria itu, sampai aibnya yang masih suka minum susu menggunakan dot meski sudah kelas 5 SD.“Besok kalau kamu hamil banyak-banyak sugesti calon bayimu, jangan sampai kayak bapaknya.”Dira tertawa, dia tak sadar Aldi sedang memandanginya. Pria yang sudah resmi mempersuntingnya itu sibuk membantu merapikan kursi yang dipinjam dari RT untuk acara pengajian.“Lha … gimana nggak kayak bapaknya, Bu? Kalau aku hamil ‘kan memang anak mas Aldi, kalau nggak mirip nanti bisa-bisa malah menimbulkan fitnah,”kata Dira.“Maksudnya sifatnya yang jelek-jelek itu lho, Ra!”“Mas Aldi nggak punya sifat jelek, Bu. Mas Aldi itu sempurna buatku.”Aldi yang mendengar pujian sang istri seketika malu. Pipinya bahkan merona merah sedangkan Dira terlihat sangat santai meski orang-orang bersorak menggoda.“Ya begi
Pernikahan adalah impian setiap wanita, apalagi menikah dengan pria yang sangat dicintai. Begitu juga dengan Sienna, dia tidak pernah menyangka hatinya akan tertambat pada pria casanova seperti Raga. Meski tahu bagaimana sepak terjang pria itu, tapi Sienna yakin, suaminya itu kini sudah berubah. Ibarat panci bertemu tutupnya, mereka saling melengkapi. Membangun pernikahan yang sebenarnya mereka sendiri masih belum begitu yakin.Namun, Raga dan Sienna yakin mimpi-mimpi dan rencana akan mereka temukan seiring berjalannya waktu. Seperti saat ini. Mereka harus menunda bulan madu karena Sienna harus menghadapi ujian semester."Boleh aku bicara serius?" tanya Raga saat mereka berada di dalam salah satu kamar villa milik Ramahadi.Raga teringat akan Ayuda yang mual-mual tadi, setelah ditanya kakak iparnya itu menjawab dia memang belum datang bulan sejak melahirkan Nala. Kata Linda, kemungkinan besar Ayuda pasti hamil lagi."Bicara serius? Apa?"Sienna yang memakai paha Raga sebagai bantalan
Tiga bulan kemudianHari yang membahagiakan untuk semua orang akhirnya tiba. Ramahadi mengajak seluruh keluarganya pergi ke villanya yang dulu digunakan Ayuda untuk bersembunyi.Raga baru seminggu menikah dengan Sienna. Bulan madu mereka pun tertunda karena Sienna harus menghadapi ujian semester minggu ini. Raga tidak mau kalau sampai kuliah istrinya itu terganggu hanya karena bulan madu - yang sejatinya sudah sering mereka lakukan sebelum menikah.Affandi juga hadir, dia menerima undangan dari Ramahadi dengan penuh suka cita. Awalnya Affandi ingin mengajak Dira ke sana, tapi putrinya itu lebih dulu menerima ajakan dari sang mertua untuk berkumpul di rumah keluarga besar Aldi.Ayuda nampak memangku Nala, dia menyusui putrinya sambil menatap keluar jendela di mana papanya tengah sibuk mengobrol dengan sang mertua. Ayuda menepuk pantat Nala lembut, dia menoleh kaget kala Jiwa keluar dengan membawa buku - yang dulu selalu menjadi teman saat dirinya merasa kesepian tinggal sendiri di sana
Di saat putra putri mereka sedang berdua dan kembali meleburkan asa, Affandi dan Ramahadi duduk bersama. Ramahadi tak menyangka pria yang seumur hidup terus menganggapnya musuh kini mengajaknya bicara. Affandi bahkan mengeluarkan satu kata yang dia rasa mustahil untuk didengar. “Maaf!” Ramahadi tentu tak bisa percaya begitu saja, setelah hampir berpuluh-puluh tahun menganggapnya musuh, kini Affandi mengucap kata maaf dan terdengar begitu sangat tulus. “Aku tahu perbuatanku salah, dan selama ini aku terlalu malu untuk mengakuinya. Mungkin, pertemuan Ayuda dan Jiwa adalah takdir yang memang sudah ditetapkan, hingga akhirnya aku bisa sadar,”ungkap Affandi panjang lebar. Hening, Ramahadi tak langsung membalas permintaan maaf Affandi. Ia mencoba mencerna dulu, menimbang apakah pria itu tulus atau hanya sekadar meminta maaf agar dirinya tak lagi menaruh prasangka. “Aku sudah lelah bekerja, aku ingin menyerahkan perusahaan ke anak-anakku, dan aku ingin hidup tenang bermain bersama cucu,”
Terkesan nakal, tapi begitulah naluri manusia dewasa. Mereka memiliki birahi yang butuh disalurkan. Ayuda tahu perbuatannya membuat Jiwa semakin ingin menerkamnya. Namun, bukankah itu yang mereka inginkan? Ayuda memindai manik mata Jiwa, di sana terlihat penuh cinta, berbeda dengan tatapan mata pria itu saat pertama kali menyentuhnya. Tak ada perasaan hangat seperti ini, Jiwa bahkan mencekoki dirinya obat perangsang agar nafsunya tersalurkan tanpa perlu ikatan seperti saat ini. Jiwa membelai pipi Ayuda, mencium setiap bagian wajahnya seolah setiap incinya tak ingin terlewatkan untuk dia cicipi. Pria itu menghentikan sapuan bibir di hidung bangir sang istri, sorot matanya seolah meminta izin. “Bisakah aku bisa melakukannya jauh lebih dari ini.” Ayuda tersenyum tipis, tangannya menarik tengkuk Jiwa hingga bibir mereka kembali bertaut. Mereka sama-sama memejamkan mata, menyelami setiap perasaan cinta yang membara. Perlahan tangan Ayuda melonggar dan beralih membuka kancing kemeja Jiw
Dira masih berada di pelukan Ayuda, meski tak mau membalas pelukan saudaranya, tapi Dira menyandarkan kepala ke pundak ibunda Nala itu. Ia masih tergugu, tak menyangka satu orang datang lagi ke rumahnya dan masuk dengan wajah kebingungan. Aldi menjadi pusat perhatian semua orang, sampai Ayuda melonggarkan pelukan dan Dira memanggil dengan manja nama pria itu.“Mas Al!”“Ra, kenapa kamu menangis?” tanya Aldi bingung, dia hanya diberitahu Affandi akan datang, tapi jika tahu akan membuat calon istrinya menangis, tentu saja Aldi akan melarang. Alih-alih berada di sana tepat waktu, Aldi terjebak lampu merah beberapa kali.“Pak, ini bukan seperti yang Anda janjikan, bukankah ….”Aldi menjeda kata, Dira yang masih sesenggukan mendekat dan memberitahu Aldi kalau Affandi baru saja berkata akan menikahkannya.“Benarkah?” Aldi nampak bahagia. Ia raih tangan Affandi dan menggoyang-goyangkannya beberapa kali.Meski awalnya kesal, tapi Dira tertawa melihat kelakuan Aldi. Ayuda lega karena yakin Dir
Setelah Jiwa berangkat ke kantor, Ayuda tak langsung pergi ke rumah Dira. Ia malah berdiri di depan lemari baju, bingung memilih pakaian mana yang cocok dia kenakan untuk malam spesial yang Jiwa katakan tadi. Ayuda menekuk bibir ke dalam lalu memajukannya lagi, bunyi decapan lidahnya membuat bik Nini yang baru saja masuk untuk menata baju Nala keheranan.“Non, cari apa?”Ayuda menggeleng, wanita itu sedang berpikir mana mungkin memakai gaun yang sama di depan Jiwa. Apalagi dia sama sekali tidak memiliki satu pun baju tempur selain piyama satin yang sering dia pakai karena praktis saat menyusui Nala.“Seharusnya aku pergi shopping kemarin,”ucap Ayuda.Bik Nini tentu saja semakin heran, dia sejajari Nonanya itu dan kembali bertanya,”Non cari apa?”“Linger … “ Ayuda keceplosan, matanya melotot menoleh bik Nini dan melempar senyuman canggung.Pembantunya itu pun menarik sudut bibir, tersenyum aneh sambil menaikturunkan alis mata. Bik Nini berhasil membuat Ayuda merasa malu, dia pasti tahu
Sejak pagi, Jiwa terus saja menampakkan wajah riang. Ia memandangi sang istri yang sibuk melakukan tugas merawat putrinya seperti biasa. Jiwa membuat Ayuda salah tingkah setelah semalam wanita itu menjawab pertanyaannya dengan kata ‘ya’.“Apa sudah?”“Berhenti bertanya apa sudah – apa sudah,”amuk Ayuda. Pipinya merona merah karena Jiwa bersikap sangat agresif. “Aku mau bertemu papa dan Dira dulu, kamu cepat bersiap sana untuk pergi bekerja!”Jiwa tak menggubris ucapan Ayuda, dia malah melingkarkan tangan di pinggang wanita itu yang sedang menggendong putrinya.“Jiwa!” bentak Ayuda.“Malam ini aku akan memberi bonus ke Bik Nini untuk menjaga Nala, kita bisa pakai apartemenku untuk melakukan itu.”“Melakukan apa?” Ayuda dengan sengaja menggoyangkan pinggang untuk membuat Jiwa melepaskan tangan. Namun, pria itu terlalu kuat dan membuatnya berakhir pasrah karena Nala ada di pelukannya.“Jangan berpura-pura! aku tahu kamu tidak sepolos itu, bahkan saat tidur kamu sesekali nakal dengan meng