Meski hanya tidur sekitar dua jam tadi malam, tapi hal itu tidak mengurangi ketampanan Davin pagi ini. Hanya saja ekspresinya tampak tegang dan suram. Vincent segera menyadari bahwa suasana hati bosnya itu pasti sedang buruk.Gawat!Davin memasuki ruang rapat dan melemparkan pandangannya ke meja. Matanya langsung tertuju pada tumpukan laporan yang dicetak di kertas putih. Ia mengembuskan napas kasar."Siapa yang mencetak laporan ini?" tanya Davin dengan suara dingin dan tatapan tajam.Karyawan di ruang rapat saling bertukar pandang, merasa bingung dan cemas. Mia, sekretarisnya, segera berdiri dan menjawab dengan tenang."Saya, Pak. Apakah ada yang salah dengan laporan tersebut?""Apa kamu tidak melihat ada yang sangat salah di sini? Kenapa kertasnya putih, bukan biru seperti biasanya?" Suara Davin setengah membentak, membuat Mia terkejut sekaligus bingung.Mia lantas mencoba menjelaskan dengan hati-hati. "Maaf, Pak. Kami kehabisan kertas biru, jadi kami menggunakan kertas putih untuk
“Hey, Nak. Apa yang harus Papa lakukan untuk menaklukan hati ibumu, hem?”Oliver tertawa. Tawa yang terdengar renyah seolah-olah senang melihat ayahnya masih diabaikan ibunya.“Jangan mengejekku.” Davin mencubit pucuk hidung Oliver dengan gemas.Anak berusia 1 tahun itu memeluk pinggang ayahnya dan bersandar di dada. Matanya mulai mengantuk saat Davin tak berhenti mengelus punggungnya dengan lembut.Sementara itu, Davin yang sejak tadi duduk di depan meja kerja sambil menggendong Oliver, merasakan pikirannya amat penuh. Ia terus berusaha mencari cara untuk menaklukan hati Jingga.Saat pulang dari kantor sore tadi, istrinya itu masih enggan bicara dengannya. Bahkan Davin yakin, malam ini pun ia harus kembali tidur sendirian. Dan hal itu membuatnya sangat tersiksa. Sial.Cukup lama Davin berpikir sampai ia menemukan beberapa ide brilian untuk mengambil kembali hati istrinya. Hingga ia baru sadar bahwa Oliver sudah tertidur di pangkuannya.Davin tersenyum miring, ia lantas membawa Oliver
“Ini kiriman untuk Bu Jingga,” kata pria di hadapannya, membuat Jingga seketika keluar dari keterpanaannya.Jingga mengalihkan tatapannya dari beberapa mobil yang masuk satu persatu memenuhi halaman rumah, ke arah pria tersebut dengan bingung. “Tapi saya nggak memesan apa-apa, Pak.”“Di sini pemesannya memang atas nama Pak Davin, Bu. Dan penerimanya Jingga Thania,” ujar pria itu sekali lagi.“Davin?” Jingga mengerjap.Dengan ekspresi yang masih kebingunan, Jingga akhirnya menandatangani surat penerimaan, lalu tercengang saat melihat bunga demi bunga diturunkan dari mobil-mobil itu yang mengantre dari halaman hingga ke luar gerbang. Jingga terkejut melihat betapa banyak bunga tulip yang diantar ke rumah.Tukang bunga tidak berhenti datang, membawa buket demi buket, hingga ruang tamu penuh dengan aroma harum bunga tulip.Jingga mematung, tak habis pikir mengapa Davin membeli semua bunga itu.“Totalnya ada seribu bunga, Bu. Kami sengaja mendatangkannya dari berbagai kota tadi malam, kare
Mata Jingga berkaca-kaca. Hatinya terenyuh. Bagaimanapun, ia juga seorang perempuan yang hatinya mudah tersentuh oleh hal-hal romantis, apalagi dengan penuh perjuangan seperti yang dilakukan suaminya saat ini.Helikopter itu perlahan-lahan mendarat di halaman belakang rumah yang luas. Angin yang bertiup kencang dari baling-baling helikopter, membuat pohon pinus yang memagari halaman bergoyang-goyang. Jingga menutupi mata dari tiupan angin kencang itu menggunakan lengan.Saat Jingga menurunkan lengannya, ia melihat seorang pria berkemeja putih dan celana hitam melompat turun dari helikopter tersebut. Menghampirinya dengan langkah tegap.Jingga menatap pria itu dengan wajah merengut dan mata yang masih berkaca-kaca. Sementara helikopter di belakangnya kembali mengudara.Pria itu berhenti di hadapan Jingga, menyisakan jarak sekitar satu meter di antara mereka. Mata lelahnya menatap Jingga dengan penuh ketulusan. Keduanya tak ada yang bersuara, hanya tatapan masing-masing yang saling berb
Jingga terpenjara. Ia sulit menggerakkan tubuhnya karena pelukan Davin yang sangat erat. Seolah-olah pria itu merasa takut Jingga akan kabur saat ia tengah terlelap.Usai percintaan panas mereka beberapa saat yang lalu, Davin langsung memejamkan matanya dan mendengkur halus, tertidur nyenyak, tangan dan kakinya memeluk Jingga di bawah selimut putih yang membungkus tubuh polos mereka berdua.Kini, Jingga memandangi wajah suaminya yang tampak tenang. Dalam hati ia bergumul dengan perasaan yang campur aduk.Perasaan cemburu yang menghantui pikirannya beberapa hari terakhir ini, mulai mereda seiring waktu. Jingga tahu, bahwa ia harus belajar menerima masa lalu Davin, jika ingin mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka.“Kenapa kamu terlahir jadi pria yang sangat tampan seperti ini?” bisik Jingga nyaris tak terdengar, seraya menyapukan jemari lentiknya di wajah Davin. “Banyak wanita yang tertarik padamu. Dan aku nggak suka.”Jika Davin sedang terjaga, rasanya Jingga tidak mungkin jujur
“Sekarang harus kita apakan semua bunga ini, Dave?”Jingga menghela napas panjang seraya melangkah dengan susah payah. Pasalnya, ia berjalan dengan Davin yang terus memeluk perutnya dari belakang dan dagu bertumpu di pundaknya. Seakan-akan pria itu tak ingin terpisah dari Jingga barang sedetikpun.“Rumah kita luas, Sayang. Simpan saja bunganya di setiap sudut ruangan,” jawab Davin sebelum mendaratkan kecupan singkat di leher sang istri.Jingga sempat menahan napasnya mendapati kecupan itu. Mereka berdiri di hadapan lautan bunga tulip. Jingga menoleh ke arah suaminya seraya mengusap rahang kasar itu dengan lembut.“Dave, kamu tahu? Aku senang sekali mendapatkan semua bunga ini dari kamu,” katanya sambil tersenyum lembut. “Aku merasa spesial dan dicintai. Terima kasih, ya.” Sebuah ciuman lembut Jingga berikan di bibir Davin, membuat pria itu mengerang pelan.“Sayang, jangan memancingku. Aku sedang berusaha menahan diri demi anak kita di perut kamu,” gerutu Davin, “karena kalau tidak, bi
Kata-kata Davin membuat Jingga meringis malu. Ia menyikut perut suaminya itu sambil menggerutu, “Aku nggak se-kekanakkan itu, tahu!”“Jadi?” Davin menatap Jingga dengan senyuman menggoda. “Aku boleh memberikan bunga pada wanita lain?”“Boleh.” Jingga mengangguk. Lalu melanjutkan kata-katanya, “Kalau wanita itu adalah ibu-ibu, nenek-nenek atau anak-anak.”Davin tergelak mendengarnya. Ia berhenti melangkah, dengan gemas dicubitnya kedua pipi sang istri hingga wanita itu cemberut.“Sama saja,” ledek Davin, “itu artinya kamu akan cemburu pada wanita selain ibu-ibu, nenek-nenek dan anak-anak.”“Ya... ya... karena kamu suamiku dan aku mencintaimu,” ucap Jingga seraya merotasi matanya.Davin tidak bisa menahan tawa mendengar pengakuan Jingga. “Aku suka ketika kamu cemburu, Sayang. Itu berarti kamu sangat mencintaiku,” ujarnya masih dengan nada menggoda.Jingga hanya bisa merengut manja, ia merasa sedikit tersipu tapi tetap ingin mempertahankan gengsinya. “Kamu memang selalu berhasil membuatk
Jingga tersenyum tanpa membuka matanya yang masih terasa lengket saat ia merasakan perutnya dihujani kecupan-kecupan ringan. Ia juga mendengar bisikan lembut dari Davin di depan perutnya, seolah-olah pria itu sedang mengajak mengobrol janin di dalam sana.“Papa nggak sabar ingin ketemu kamu.”“Hai, Baby, sebenarnya kamu laki-laki atau perempuan, hm?”“Kalau laki-laki, kamu akan jadi anak yang tampan sepertiku, seperti kakakmu. Sedangkan kalau kamu perempuan, Papa yakin sekali kamu akan tumbuh jadi wanita cantik seperti mamamu.”Jingga terkekeh pelan mendengarnya, membuat Davin sadar bahwa istrinya itu sudah bangun.Davin mengangkat wajahnya dari perut Jingga, lalu beringsut mensejajarkan wajah mereka berdua. Davin menahan tubuhnya dengan lutut dan siku di atas Jingga, tanpa benar-benar menindih tubuh wanita itu.“Kamu sudah bangun, Sayang?” bisik Davin sebelum mengecup kening Jingga dengan mesra.Dengan suara serak khas orang bangun tidur, Jingga menjawab, “Hm. Sudah. Tapi aku masih n
“Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta
“Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At
Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,
Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak
Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud
“Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter
Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim
Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men
“Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah