Kata-kata Davin membuat Jingga meringis malu. Ia menyikut perut suaminya itu sambil menggerutu, “Aku nggak se-kekanakkan itu, tahu!”“Jadi?” Davin menatap Jingga dengan senyuman menggoda. “Aku boleh memberikan bunga pada wanita lain?”“Boleh.” Jingga mengangguk. Lalu melanjutkan kata-katanya, “Kalau wanita itu adalah ibu-ibu, nenek-nenek atau anak-anak.”Davin tergelak mendengarnya. Ia berhenti melangkah, dengan gemas dicubitnya kedua pipi sang istri hingga wanita itu cemberut.“Sama saja,” ledek Davin, “itu artinya kamu akan cemburu pada wanita selain ibu-ibu, nenek-nenek dan anak-anak.”“Ya... ya... karena kamu suamiku dan aku mencintaimu,” ucap Jingga seraya merotasi matanya.Davin tidak bisa menahan tawa mendengar pengakuan Jingga. “Aku suka ketika kamu cemburu, Sayang. Itu berarti kamu sangat mencintaiku,” ujarnya masih dengan nada menggoda.Jingga hanya bisa merengut manja, ia merasa sedikit tersipu tapi tetap ingin mempertahankan gengsinya. “Kamu memang selalu berhasil membuatk
Jingga tersenyum tanpa membuka matanya yang masih terasa lengket saat ia merasakan perutnya dihujani kecupan-kecupan ringan. Ia juga mendengar bisikan lembut dari Davin di depan perutnya, seolah-olah pria itu sedang mengajak mengobrol janin di dalam sana.“Papa nggak sabar ingin ketemu kamu.”“Hai, Baby, sebenarnya kamu laki-laki atau perempuan, hm?”“Kalau laki-laki, kamu akan jadi anak yang tampan sepertiku, seperti kakakmu. Sedangkan kalau kamu perempuan, Papa yakin sekali kamu akan tumbuh jadi wanita cantik seperti mamamu.”Jingga terkekeh pelan mendengarnya, membuat Davin sadar bahwa istrinya itu sudah bangun.Davin mengangkat wajahnya dari perut Jingga, lalu beringsut mensejajarkan wajah mereka berdua. Davin menahan tubuhnya dengan lutut dan siku di atas Jingga, tanpa benar-benar menindih tubuh wanita itu.“Kamu sudah bangun, Sayang?” bisik Davin sebelum mengecup kening Jingga dengan mesra.Dengan suara serak khas orang bangun tidur, Jingga menjawab, “Hm. Sudah. Tapi aku masih n
Jingga menyikut perut Davin sambil memicingkan mata. “Dave, beri aku waktu untuk istirahat,” gerutunya dengan bibir sedikit merengut.Davin tertawa. Air menetes dari rambutnya yang basah ke bahu bidangnya. “Baiklah,” ucapnya sebelum kembali melabuhkan kecupan di bibir Jingga, membuat wanita itu kembali tersenyum. “Aku juga nggak mau membuat dia terganggu. Tapi aku yakin, dia anak yang kuat,” lanjutnya lagi sambil menghujani baby bump Jingga dengan kecupan-kecupan ringan.Jingga terkekeh-kekeh.“Jadi? Mau berenang di laut atau sarapan dulu?” tanya Davin sambil mensejajarkan lagi wajah mereka.“Sarapan dulu, deh. Aku sudah lapar.”Davin mengangguk. Ia merangkul pinggang istrinya menuju balkon dan mengambil bathrobes yang teronggok di sunbed—yang sebelumnya Jingga taruh di sana.“Aku punya kejutan untuk sarapan kita, tapi kamu harus pakai ini dulu,” kata Davin seraya ‘membungkus’ tubuh seksi istrinya dengan bathrobes tersebut. “Tunggu dulu di sini, hm?”Jingga mengangguk patuh dengan pen
“Dave, sebenarnya kamu mau membawaku ke mana?” tanya Jingga, penasaran. Ia berpegangan semakin erat pada pinggang Davin karena matanya ditutupi kain yang diikatkan ke belakang kepala. “Sabar, Sayang. Sebentar lagi kita akan sampai.” Suara Davin terdengar lembut. “Tapi ini sekarang kita di mana? Aku nggak akan jatuh ke laut, ‘kan?” Mendengar pertanyaan istrinya yang dipenuhi kekhawatiran itu, Davin tak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa. “Aku bersamamu, Jingga Thania,” ucap Davin mengingatkan dengan nada mesra. Ia mengeratkan rangkulannya di bahu sang istri. “Percaya padaku, hm? Ikuti saja aku dan jangan takut, aku akan memastikan kamu tetap aman.” Jingga mengangguk mengerti, dan kepercayaan yang terbangun pada suaminya membuat Jingga tidak ragu untuk melangkahkan kakinya di atas pijakan yang tidak bisa ia lihat. Davin memangkunya saat berjalan di tangga, lalu menurunkan Jingga lagi. Dan sesekali kecupan mesra Jingga rasakan di pelipis dan pipinya. Bahasa tubuh yang Da
Jingga membuka pintu sebuah ruang rawat inap. Di tangan kirinya tergenggam seikat bunga mawar putih dan baby breath.Dengan langkah hati-hati karena kehamilannya yang sudah besar, Jingga masuk ke dalam ruangan tersebut.Ia melihat Lucy yang tubuhnya semakin kurus dari hari ke hari, sedang terbaring lemah di atas ranjang pasien. Kepalanya ditutupi turban, untuk menyembunyikan kebotakannya, karena kemoterapi dan pengobatan yang ia jalani menyebabkan rambutnya rontok.“Selamat siang, Tante,” ucap Jingga dengan suara pelan.Namun, suaranya tidak membangunkan Lucy dari tidurnya. Sengaja, ia tidak mau mengganggu tidur sang ibu mertua.Setelah menaruh sling bag di sofa, Jingga segera mengganti bunga yang mulai layu di dalam vas bunga, di atas rak dekat jendela, tepat di samping ranjang pasien. Menggantinya dengan bunga yang barusan ia bawa.Sesekali Jingga mengusap perutnya sambil tersenyum saat ia merasakan tendangan kecil dari calon bayinya.Andai Davin yang merasakan tendangan itu, pria i
Setelah menelepon dengan Davin, Jingga menghampiri ibu mertuanya yang masih memejamkan mata.Ia membetulkan letak selimutnya yang sedikit berantakan. Memastikan cairan infusan tidak terhambat. Lalu mengelap punggung tangan Lucy yang terbebas dari jarum infus, saat ia melihat ada sedikit noda darah yang tertinggal dan sudah mengering, menggunakan tisu basah.Jingga berpikir, mungkin Lucy sempat muntah darah sebelum Jingga datang kemari.Sejenak Jingga memandangi wajah Lucy yang tampak lebih tua daripada sebelumnya. Ia juga menyingkirkan helaian rambut yang menghalangi mata Lucy, ke samping.“Aku berharap Tante kuat dan mampu berjuang untuk sembuh. Aku yakin, keajaiban itu pasti ada,” gumam Jingga, yang hanya bisa ia ucapkan di kala Lucy sedang terlelap seperti sekarang ini.Padahal, tanpa Jingga sadari, Lucy tidak benar-benar tidur. Ia mendengar semua ucapan Jingga sejak menelepon dengan Davin beberapa saat yang lalu.Jingga hendak pergi untuk duduk di sofa karena pinggangnya mulai ter
“Dave... perut aku sakit banget,” keluh Jingga sambil mencengkeram lengan suaminya dengan erat. Mata Davin terbelalak. “Apa? Sakit?” tanyanya dengan ekspresi panik yang tak bisa ia sembunyikan. Jingga menggigit bibir bawah menahan nyeri, mengangguk. “Iya. Sepertinya aku akan segera melahirkan.” Tanpa sengaja Davin menjatuhkan kunci mobil dari genggamannya. “Sayang, kamu akan melahirkan sekarang? Tunggu! Kamu harus masuk ke mobil dulu. Oh, air. Mana air? Kamu butuh minum? Aku ambil minum dulu. Tapi nggak, nggak. Kamu harus masuk dulu ke mobil.” Davin tiba-tiba tampak kalut, ia menarik pintu mobil yang masih terkunci. Lalu merogoh saku. “Astaga... di mana kuncinya? Aku lupa menaruh kunci!” Jingga yang tengah meringis menahan sakit, mencoba menenangkan Davin yang tampaknya kehilangan konsentrasi. “Dave, tenang... kuncinya tadi jatuh.” Jingga menunjuk kunci di lantai dekat ban mobil. “Sial! Kenapa bisa jatuh?” gerutu Davin sambil memungut kunci tersebut dan membuka pintu. “Sayang, a
Prang!!! Bunyi gelas yang terjatuh ke lantai membuat Jingga terkejut. Seketika itu juga Jingga mematikan kompor, lalu bergegas menyeret langkah kakinya yang terseok-seok menuju ruang tengah. Jingga tertegun. Ia melihat pecahan gelas berserakan di lantai. Putranya tengah memeluk salah satu kaki Davin dengan wajah ketakutan. Dan… suaminya—Davin William, yang tampak marah sambil mengepalkan kedua belah telapak tangannya, menatap Jingga dengan tatapan penuh kebencian. Jingga menghampiri mereka dengan perasaan bingung. Dengan suara pelan ia bertanya, “Dave, apa yang terjadi?” “Pa… pa. Pa… pa…,” celoteh anak berusia satu tahun itu sambil mengeratkan pelukannya pada kaki Davin. Jingga kembali tertegun. Papa? Oliver memanggil Davin dengan panggilan ‘papa’? Hati Jingga seketika diliputi perasaan haru, karena untuk pertama kalinya ia mendengar Oliver berbicara setelah lama ia menantikannya. Papa, kata pertama yang terucap dari mulut Oliver. “Kamu dengar?” Suara dingin Davin membuat ra