Home / Pernikahan / Istri Manis sang Pewaris / 221. Satu Kesempatan Lagi

Share

221. Satu Kesempatan Lagi

Author: Rosa Uchiyamana
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Kata-kata Davin membuat Jingga meringis malu. Ia menyikut perut suaminya itu sambil menggerutu, “Aku nggak se-kekanakkan itu, tahu!”

“Jadi?” Davin menatap Jingga dengan senyuman menggoda. “Aku boleh memberikan bunga pada wanita lain?”

“Boleh.” Jingga mengangguk. Lalu melanjutkan kata-katanya, “Kalau wanita itu adalah ibu-ibu, nenek-nenek atau anak-anak.”

Davin tergelak mendengarnya. Ia berhenti melangkah, dengan gemas dicubitnya kedua pipi sang istri hingga wanita itu cemberut.

“Sama saja,” ledek Davin, “itu artinya kamu akan cemburu pada wanita selain ibu-ibu, nenek-nenek dan anak-anak.”

“Ya... ya... karena kamu suamiku dan aku mencintaimu,” ucap Jingga seraya merotasi matanya.

Davin tidak bisa menahan tawa mendengar pengakuan Jingga. “Aku suka ketika kamu cemburu, Sayang. Itu berarti kamu sangat mencintaiku,” ujarnya masih dengan nada menggoda.

Jingga hanya bisa merengut manja, ia merasa sedikit tersipu tapi tetap ingin mempertahankan gengsinya. “Kamu memang selalu berhasil membuatk
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (9)
goodnovel comment avatar
Ririn Satkwantono
boleh dave... asal brmain yg lmbut ya.. hehe
goodnovel comment avatar
Ennasta Jazzi
apakah cerita ini sudah tamat thor ?
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuti
sudah tamat ya ceritanya Thor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Istri Manis sang Pewaris   222. Babymoon

    Jingga tersenyum tanpa membuka matanya yang masih terasa lengket saat ia merasakan perutnya dihujani kecupan-kecupan ringan. Ia juga mendengar bisikan lembut dari Davin di depan perutnya, seolah-olah pria itu sedang mengajak mengobrol janin di dalam sana.“Papa nggak sabar ingin ketemu kamu.”“Hai, Baby, sebenarnya kamu laki-laki atau perempuan, hm?”“Kalau laki-laki, kamu akan jadi anak yang tampan sepertiku, seperti kakakmu. Sedangkan kalau kamu perempuan, Papa yakin sekali kamu akan tumbuh jadi wanita cantik seperti mamamu.”Jingga terkekeh pelan mendengarnya, membuat Davin sadar bahwa istrinya itu sudah bangun.Davin mengangkat wajahnya dari perut Jingga, lalu beringsut mensejajarkan wajah mereka berdua. Davin menahan tubuhnya dengan lutut dan siku di atas Jingga, tanpa benar-benar menindih tubuh wanita itu.“Kamu sudah bangun, Sayang?” bisik Davin sebelum mengecup kening Jingga dengan mesra.Dengan suara serak khas orang bangun tidur, Jingga menjawab, “Hm. Sudah. Tapi aku masih n

  • Istri Manis sang Pewaris   223. Senja Bersama

    Jingga menyikut perut Davin sambil memicingkan mata. “Dave, beri aku waktu untuk istirahat,” gerutunya dengan bibir sedikit merengut.Davin tertawa. Air menetes dari rambutnya yang basah ke bahu bidangnya. “Baiklah,” ucapnya sebelum kembali melabuhkan kecupan di bibir Jingga, membuat wanita itu kembali tersenyum. “Aku juga nggak mau membuat dia terganggu. Tapi aku yakin, dia anak yang kuat,” lanjutnya lagi sambil menghujani baby bump Jingga dengan kecupan-kecupan ringan.Jingga terkekeh-kekeh.“Jadi? Mau berenang di laut atau sarapan dulu?” tanya Davin sambil mensejajarkan lagi wajah mereka.“Sarapan dulu, deh. Aku sudah lapar.”Davin mengangguk. Ia merangkul pinggang istrinya menuju balkon dan mengambil bathrobes yang teronggok di sunbed—yang sebelumnya Jingga taruh di sana.“Aku punya kejutan untuk sarapan kita, tapi kamu harus pakai ini dulu,” kata Davin seraya ‘membungkus’ tubuh seksi istrinya dengan bathrobes tersebut. “Tunggu dulu di sini, hm?”Jingga mengangguk patuh dengan pen

  • Istri Manis sang Pewaris   224. (Ending)

    “Dave, sebenarnya kamu mau membawaku ke mana?” tanya Jingga, penasaran. Ia berpegangan semakin erat pada pinggang Davin karena matanya ditutupi kain yang diikatkan ke belakang kepala. “Sabar, Sayang. Sebentar lagi kita akan sampai.” Suara Davin terdengar lembut. “Tapi ini sekarang kita di mana? Aku nggak akan jatuh ke laut, ‘kan?” Mendengar pertanyaan istrinya yang dipenuhi kekhawatiran itu, Davin tak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa. “Aku bersamamu, Jingga Thania,” ucap Davin mengingatkan dengan nada mesra. Ia mengeratkan rangkulannya di bahu sang istri. “Percaya padaku, hm? Ikuti saja aku dan jangan takut, aku akan memastikan kamu tetap aman.” Jingga mengangguk mengerti, dan kepercayaan yang terbangun pada suaminya membuat Jingga tidak ragu untuk melangkahkan kakinya di atas pijakan yang tidak bisa ia lihat. Davin memangkunya saat berjalan di tangga, lalu menurunkan Jingga lagi. Dan sesekali kecupan mesra Jingga rasakan di pelipis dan pipinya. Bahasa tubuh yang Da

  • Istri Manis sang Pewaris   Extra Chapter 1.

    Jingga membuka pintu sebuah ruang rawat inap. Di tangan kirinya tergenggam seikat bunga mawar putih dan baby breath.Dengan langkah hati-hati karena kehamilannya yang sudah besar, Jingga masuk ke dalam ruangan tersebut.Ia melihat Lucy yang tubuhnya semakin kurus dari hari ke hari, sedang terbaring lemah di atas ranjang pasien. Kepalanya ditutupi turban, untuk menyembunyikan kebotakannya, karena kemoterapi dan pengobatan yang ia jalani menyebabkan rambutnya rontok.“Selamat siang, Tante,” ucap Jingga dengan suara pelan.Namun, suaranya tidak membangunkan Lucy dari tidurnya. Sengaja, ia tidak mau mengganggu tidur sang ibu mertua.Setelah menaruh sling bag di sofa, Jingga segera mengganti bunga yang mulai layu di dalam vas bunga, di atas rak dekat jendela, tepat di samping ranjang pasien. Menggantinya dengan bunga yang barusan ia bawa.Sesekali Jingga mengusap perutnya sambil tersenyum saat ia merasakan tendangan kecil dari calon bayinya.Andai Davin yang merasakan tendangan itu, pria i

  • Istri Manis sang Pewaris   Extra Chapter 2.

    Setelah menelepon dengan Davin, Jingga menghampiri ibu mertuanya yang masih memejamkan mata.Ia membetulkan letak selimutnya yang sedikit berantakan. Memastikan cairan infusan tidak terhambat. Lalu mengelap punggung tangan Lucy yang terbebas dari jarum infus, saat ia melihat ada sedikit noda darah yang tertinggal dan sudah mengering, menggunakan tisu basah.Jingga berpikir, mungkin Lucy sempat muntah darah sebelum Jingga datang kemari.Sejenak Jingga memandangi wajah Lucy yang tampak lebih tua daripada sebelumnya. Ia juga menyingkirkan helaian rambut yang menghalangi mata Lucy, ke samping.“Aku berharap Tante kuat dan mampu berjuang untuk sembuh. Aku yakin, keajaiban itu pasti ada,” gumam Jingga, yang hanya bisa ia ucapkan di kala Lucy sedang terlelap seperti sekarang ini.Padahal, tanpa Jingga sadari, Lucy tidak benar-benar tidur. Ia mendengar semua ucapan Jingga sejak menelepon dengan Davin beberapa saat yang lalu.Jingga hendak pergi untuk duduk di sofa karena pinggangnya mulai ter

  • Istri Manis sang Pewaris   Extra Chapter 3. Sisi Lain Davin

    “Dave... perut aku sakit banget,” keluh Jingga sambil mencengkeram lengan suaminya dengan erat. Mata Davin terbelalak. “Apa? Sakit?” tanyanya dengan ekspresi panik yang tak bisa ia sembunyikan. Jingga menggigit bibir bawah menahan nyeri, mengangguk. “Iya. Sepertinya aku akan segera melahirkan.” Tanpa sengaja Davin menjatuhkan kunci mobil dari genggamannya. “Sayang, kamu akan melahirkan sekarang? Tunggu! Kamu harus masuk ke mobil dulu. Oh, air. Mana air? Kamu butuh minum? Aku ambil minum dulu. Tapi nggak, nggak. Kamu harus masuk dulu ke mobil.” Davin tiba-tiba tampak kalut, ia menarik pintu mobil yang masih terkunci. Lalu merogoh saku. “Astaga... di mana kuncinya? Aku lupa menaruh kunci!” Jingga yang tengah meringis menahan sakit, mencoba menenangkan Davin yang tampaknya kehilangan konsentrasi. “Dave, tenang... kuncinya tadi jatuh.” Jingga menunjuk kunci di lantai dekat ban mobil. “Sial! Kenapa bisa jatuh?” gerutu Davin sambil memungut kunci tersebut dan membuka pintu. “Sayang, a

  • Istri Manis sang Pewaris   Extra Chapter 4. Detik Yang Menyiksa

    Vincent melangkah secepat mungkin untuk menghampiri Davin, setelah sebelumnya ia mendapatkan telepon dari bosnya itu yang terdengar sedang uring-uringan sendiri.“Pak Davin, saya sudah datang. Ada yang bisa saya bantu?’ tanya Vincent saat ia sudah tiba di depan ruang bersalin.Davin tak berhenti mondar-mandir sambil menggeram kesal. “Ini benar-benar gila!” gerutunya sambil menyeka keringat di dahi. “Mereka tidak mengizinkanku masuk dan menemani istriku di dalam ruangan bersalin. Jingga di sana sendirian! Bagaimana bisa mereka begitu kejam? Apa yang harus aku lakukan sekarang?!"Vincent menghela napas sepelan mungkin. “Pak, tenang dulu. Ibu Jingga pasti akan baik-baik saja. Dokter-dokter di sini sangat profesional,” ujar Vincent, berusaha meyakinkan Davin yang biasanya selalu tenang dan tidak suka menunjukkan kecemasannya di hadapan orang lain.“Tenang? Kamu bilang tenang?” tukas Davin sambil menatap Vincent dengan kesal, lalu mondar-mandir lagi sa

  • Istri Manis sang Pewaris   Extra Chapter 5. Nama Untuk Anak Mereka

    Jingga yang tampak kelelahan, dengan keringat yang membanjiri wajah serta lehernya adalah pemandangan pertama yang Davin dapati begitu ia memasuki ruangan tersebut.Davin mematung. Pintu di belakangnya kembali tertutup. Ekspresinya tampak kacau. Khawatir, panik, kaget, bahagia dan sedih bercampur menjadi satu.Baru kali ini ia melihat seorang wanita yang baru selesai melahirkan. Dan pemandangan di hadapannya itu membuat dada Davin terasa nyeri, menyesali diri yang tidak ada di samping Jingga setelah melahirkan Oliver di masa lalu.“Dave, kenapa diam saja di situ?” Suara lemah Jingga berhasil membuyarkan keterdiaman Davin. “Sini. Bayi kita sudah lahir.”Jingga tersenyum. Dan Davin tahu, wanitanya itu sedang memaksakan diri tersenyum untuk menenangkannya, di tengah rasa sakitnya.Davin bergegas menghampiri Jingga. Seolah-olah hanya Jingga yang ada di ruangan itu. Bahkan ia tidak melihat ada bayi merah yang menelungkup di dada istrinya. Tangan Davin menangkup pipi Jingga dan menatap mata

Latest chapter

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 10

    “Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 9

    “Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 8

    Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 7

    Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 6

    Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 5

    “Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 4

    Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 3

    Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 2

    “Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah

DMCA.com Protection Status