“Dave, sebenarnya kamu mau membawaku ke mana?” tanya Jingga, penasaran. Ia berpegangan semakin erat pada pinggang Davin karena matanya ditutupi kain yang diikatkan ke belakang kepala. “Sabar, Sayang. Sebentar lagi kita akan sampai.” Suara Davin terdengar lembut. “Tapi ini sekarang kita di mana? Aku nggak akan jatuh ke laut, ‘kan?” Mendengar pertanyaan istrinya yang dipenuhi kekhawatiran itu, Davin tak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa. “Aku bersamamu, Jingga Thania,” ucap Davin mengingatkan dengan nada mesra. Ia mengeratkan rangkulannya di bahu sang istri. “Percaya padaku, hm? Ikuti saja aku dan jangan takut, aku akan memastikan kamu tetap aman.” Jingga mengangguk mengerti, dan kepercayaan yang terbangun pada suaminya membuat Jingga tidak ragu untuk melangkahkan kakinya di atas pijakan yang tidak bisa ia lihat. Davin memangkunya saat berjalan di tangga, lalu menurunkan Jingga lagi. Dan sesekali kecupan mesra Jingga rasakan di pelipis dan pipinya. Bahasa tubuh yang Da
Jingga membuka pintu sebuah ruang rawat inap. Di tangan kirinya tergenggam seikat bunga mawar putih dan baby breath.Dengan langkah hati-hati karena kehamilannya yang sudah besar, Jingga masuk ke dalam ruangan tersebut.Ia melihat Lucy yang tubuhnya semakin kurus dari hari ke hari, sedang terbaring lemah di atas ranjang pasien. Kepalanya ditutupi turban, untuk menyembunyikan kebotakannya, karena kemoterapi dan pengobatan yang ia jalani menyebabkan rambutnya rontok.“Selamat siang, Tante,” ucap Jingga dengan suara pelan.Namun, suaranya tidak membangunkan Lucy dari tidurnya. Sengaja, ia tidak mau mengganggu tidur sang ibu mertua.Setelah menaruh sling bag di sofa, Jingga segera mengganti bunga yang mulai layu di dalam vas bunga, di atas rak dekat jendela, tepat di samping ranjang pasien. Menggantinya dengan bunga yang barusan ia bawa.Sesekali Jingga mengusap perutnya sambil tersenyum saat ia merasakan tendangan kecil dari calon bayinya.Andai Davin yang merasakan tendangan itu, pria i
Setelah menelepon dengan Davin, Jingga menghampiri ibu mertuanya yang masih memejamkan mata.Ia membetulkan letak selimutnya yang sedikit berantakan. Memastikan cairan infusan tidak terhambat. Lalu mengelap punggung tangan Lucy yang terbebas dari jarum infus, saat ia melihat ada sedikit noda darah yang tertinggal dan sudah mengering, menggunakan tisu basah.Jingga berpikir, mungkin Lucy sempat muntah darah sebelum Jingga datang kemari.Sejenak Jingga memandangi wajah Lucy yang tampak lebih tua daripada sebelumnya. Ia juga menyingkirkan helaian rambut yang menghalangi mata Lucy, ke samping.“Aku berharap Tante kuat dan mampu berjuang untuk sembuh. Aku yakin, keajaiban itu pasti ada,” gumam Jingga, yang hanya bisa ia ucapkan di kala Lucy sedang terlelap seperti sekarang ini.Padahal, tanpa Jingga sadari, Lucy tidak benar-benar tidur. Ia mendengar semua ucapan Jingga sejak menelepon dengan Davin beberapa saat yang lalu.Jingga hendak pergi untuk duduk di sofa karena pinggangnya mulai ter
“Dave... perut aku sakit banget,” keluh Jingga sambil mencengkeram lengan suaminya dengan erat. Mata Davin terbelalak. “Apa? Sakit?” tanyanya dengan ekspresi panik yang tak bisa ia sembunyikan. Jingga menggigit bibir bawah menahan nyeri, mengangguk. “Iya. Sepertinya aku akan segera melahirkan.” Tanpa sengaja Davin menjatuhkan kunci mobil dari genggamannya. “Sayang, kamu akan melahirkan sekarang? Tunggu! Kamu harus masuk ke mobil dulu. Oh, air. Mana air? Kamu butuh minum? Aku ambil minum dulu. Tapi nggak, nggak. Kamu harus masuk dulu ke mobil.” Davin tiba-tiba tampak kalut, ia menarik pintu mobil yang masih terkunci. Lalu merogoh saku. “Astaga... di mana kuncinya? Aku lupa menaruh kunci!” Jingga yang tengah meringis menahan sakit, mencoba menenangkan Davin yang tampaknya kehilangan konsentrasi. “Dave, tenang... kuncinya tadi jatuh.” Jingga menunjuk kunci di lantai dekat ban mobil. “Sial! Kenapa bisa jatuh?” gerutu Davin sambil memungut kunci tersebut dan membuka pintu. “Sayang, a
Vincent melangkah secepat mungkin untuk menghampiri Davin, setelah sebelumnya ia mendapatkan telepon dari bosnya itu yang terdengar sedang uring-uringan sendiri.“Pak Davin, saya sudah datang. Ada yang bisa saya bantu?’ tanya Vincent saat ia sudah tiba di depan ruang bersalin.Davin tak berhenti mondar-mandir sambil menggeram kesal. “Ini benar-benar gila!” gerutunya sambil menyeka keringat di dahi. “Mereka tidak mengizinkanku masuk dan menemani istriku di dalam ruangan bersalin. Jingga di sana sendirian! Bagaimana bisa mereka begitu kejam? Apa yang harus aku lakukan sekarang?!"Vincent menghela napas sepelan mungkin. “Pak, tenang dulu. Ibu Jingga pasti akan baik-baik saja. Dokter-dokter di sini sangat profesional,” ujar Vincent, berusaha meyakinkan Davin yang biasanya selalu tenang dan tidak suka menunjukkan kecemasannya di hadapan orang lain.“Tenang? Kamu bilang tenang?” tukas Davin sambil menatap Vincent dengan kesal, lalu mondar-mandir lagi sa
Jingga yang tampak kelelahan, dengan keringat yang membanjiri wajah serta lehernya adalah pemandangan pertama yang Davin dapati begitu ia memasuki ruangan tersebut.Davin mematung. Pintu di belakangnya kembali tertutup. Ekspresinya tampak kacau. Khawatir, panik, kaget, bahagia dan sedih bercampur menjadi satu.Baru kali ini ia melihat seorang wanita yang baru selesai melahirkan. Dan pemandangan di hadapannya itu membuat dada Davin terasa nyeri, menyesali diri yang tidak ada di samping Jingga setelah melahirkan Oliver di masa lalu.“Dave, kenapa diam saja di situ?” Suara lemah Jingga berhasil membuyarkan keterdiaman Davin. “Sini. Bayi kita sudah lahir.”Jingga tersenyum. Dan Davin tahu, wanitanya itu sedang memaksakan diri tersenyum untuk menenangkannya, di tengah rasa sakitnya.Davin bergegas menghampiri Jingga. Seolah-olah hanya Jingga yang ada di ruangan itu. Bahkan ia tidak melihat ada bayi merah yang menelungkup di dada istrinya. Tangan Davin menangkup pipi Jingga dan menatap mata
“Aku mau dimandiinnya sama Papa!” seru Oliver dengan bibir cemberut dan tangan bersedekap dada. “Aku juga mau sama Papa!” Olivia tidak mau kalah, anak berusia 3 tahun yang berpipi chubby itu langsung memeluk salah satu kaki Davin. “Kakak, Adik, mandi sama Papanya nanti saja, ya? Kasihan Papa capek habis pulang kerja, Nak,” ujar Jingga dengan penuh kelembutan, membuat wajah kakak beradik itu semakin merengut. “It’s okay, Sayang.” Davin berkata pada Jingga seraya menatapnya dengan yakin. “Aku akan memandikan mereka sekarang.” Terang saja Jingga tidak setuju. Pasalnya, ia tahu suaminya itu lelah setelah seharian berkutat dengan pekerjaannya di kantor. “Tapi—“ “Jangan khawatir,” sela Davin dengan cepat, tersenyum lembut. “Aku memang lelah, tapi setelah pulang ke rumah dan bertemu kalian, rasa lelahku langsung hilang.” Melihat keyakinan yang tergambar dalam sorot mata suaminya, akhirnya Jingga merasa sedikit lebih lega. “Ya sudah kalau begitu, aku mau siapin kue dulu untuk dibawa ke
“Papa galak! Aku mau lapor ke Mama!”Davin sedikit terkejut mendengarnya. Ia buru-buru menyusul Oliver yang berlari keluar kamar dan masih dibalut handuk itu. Bisa lain urusannya kalau sampai Oliver mengadu pada Jingga bahwa Davin bersikap galak ke anak-anak. Padahal barusan Davin hanya bicara sedikit tegas.“Oh? Mainnya lapor-lapor sekarang, ya!” seru Davin sambil meraup Oliver ke pangkuannya dan menggelitikinya dengan pelan, membuat Oliver yang menangis itu seketika tertawa. “Maaf, Sayang, barusan Papa bicara sedikit lebih tegas. Tapi Papa nggak galak. Papa nggak marah.”“Jadi aku boleh pakai baju superhero?” tanya Oliver saat ia sudah diturunkan ke lantai oleh ayahnya.“Aku juga boleh pakai baju princess, Pa?” Olivia tak mau ketinggalan, bibirnya masih cemberut seraya berderai air mata.Davin memijat pelipis sambil terkekeh pelan. Astaga... selain sering mengganggu momen kemesraannya dengan Jingga, kedua malaikat kecilnya itu sering membuat Davin tak bisa berkutik. Seperti sekarang