Jingga mengusap lengan Davin seraya menatap wajahnya yang tampak ditekuk. Davin menoleh. Jingga terkekeh pelan.“Kamu menertawakan penderitaanku, Sayang?” gerutu Davin seraya memajukan badannya ke hadapan Jingga, untuk melepas sabuk pengaman.“Lucu aja, sih.” Jingga kembali tertawa. “Gimana? Masih mau minta nambah anak?”“Untuk sekarang tidak. Mereka berdua saja sudah membuat kepalaku pening.”Jingga tahu ucapan Davin tersebut bukan berarti dia membenci anak-anak mereka. Pria ini hanya sedang sakit kepala akibat kejadian di kamar mandi tadi harus gagal karena kedatangan anak-anak.Kini, Jingga menghela napas pelan seraya melihat anak-anak sudah turun dari mobil lebih dulu saat satpam membukakan pintu.Lalu kedua bocah itu berlari menghampiri Lucy yang sudah menunggu di depan rumah.Lucy memeluk mereka secara bersamaan. Meski kondisi Lucy sampai saat ini masih harus menjalani pengobatan, tapi Jingga kagum akan semangat wanita itu untuk tetap hidup dan selalu terlihat bahagia.Jingga te
Keluar dari kamar Amarylis setelah menyiapkan pakaian tidur anak-anak yang sedang bermain di dalam sana, Davin lantas memeluk Jingga dari belakang sambil berjalan menuju kamarnya. “Aku tahu apa rencana kamu menyuruh anak-anak tidur di kamar Amarylis,” gurau Jingga sambil memiringkan wajah saat Davin menciumi lehernya. Davin berbisik, "Aku cuma ingin kita punya waktu berdua, Sayang. Sudah lama kita nggak punya kesempatan seperti ini." Jingga tertawa kecil dan mengacak rambut suaminya. "Terima kasih, Dave. Aku juga rindu momen-momen seperti ini." "Aku juga merindukanmu, Sayang. Kadang-kadang kita terlalu sibuk sama anak-anak dan pekerjaan, sampai lupa meluangkan waktu buat kita berdua." Jingga mengangguk setuju. "Iya, tapi aku senang kita bisa punya waktu seperti ini,” aku Jingga dengan jujur. “Kamu selalu tahu cara membuatku merasa istimewa." Davin tersenyum dan mulai menciumi leher Jingga kembali. Mereka berhenti di depan pintu kamar Davin. Jingga mendorong pintu itu sambi
Jingga merasa hatinya sangat bahagia hari ini, tetapi di sisi lain ia juga merasa gugup. Pasalnya, sore ini ia akan melaksanakan sesi wawancara kerja di restoran, yang ada di sebuah hotel bintang lima.Bagi wanita yang tidak sempurna seperti dirinya, mencari pekerjaan adalah sesuatu yang sulit. Banyak perusahaan yang menolaknya hanya karena cara berjalannya tidak seimbang.Namun, restoran ini—yang saat ini tengah Jingga pijak, mau memberinya kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya.Jingga melamar menjadi barista, karena ia suka sekali membuat kopi. Dan hasil tes beberapa hari sebelumnya, ia lolos. Jadi, saat ini, ia akan melakukan tahapan terakhir. Wawancara.“Selamat sore, dengan Jingga Thania?”Seorang pria paruh baya berperut buncit dan sebagian kepalanya botak, datang menghampiri Jingga sambil membawa berkas di tangannya.Jingga mengusapkan telapak tangannya yang berkeringat pada celana, sebelum ia tersenyum dan berdiri dari kursinya.“Benar, Pak. Saya Jingga Thania. Saya datang
Pria paruh baya itu menjilat bibirnya sendiri seraya menyentuh lengan polos Jingga dengan jemarinya, setelah sebelumnya pria itu berhasil melepas blazer yang dikenakan wanita yang tengah terlelap itu. Warna kemeja berlengan pendek Jingga memiliki warna yang sama dengan sprai dan selimut. Putih. “Sudah kuduga. Kamu memang sangat menarik,” bisik Agus dengan nada menjijikan. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering, membuat Agus mengembuskan napas kasar dan terpaksa menerima panggilan tersebut. “Ada apa?” Suara Agus terdengar sedikit kesal karena kesenangannya terganggu. “Pak Agus, gawat! Ada masalah besar! Dapur kita kebakaran. Kami harap Bapak bisa meninjau ke lokasi sekarang.” Agus berdecak lidah. Ia tidak mungkin mengabaikan masalah di restorannya. “Baik. Saya ke sana.” Setelah menutup panggilan telepon, Agus menatap Jingga kembali, senyuman nakal kembali terukir di bibirnya. “Tunggu sebentar, Manis. Aku akan segera kembali.” Dan Agus pun keluar. Sementara itu, Jingga tetap t
Hari itu, seluruh taman di sekitar rumah keluarga Davin disulap bak dunia negeri dongeng. Balon-balon berwarna pastel melayang-layang di udara, hiasan bunga-bunga beraneka warna menghiasi setiap sudut, dan dekorasi peri tersebar di seluruh taman.Lampu-lampu kecil berkelap-kelip, memberikan sentuhan hangat dan menakjubkan, membuat taman itu benar-benar tampak seperti dunia dongeng yang nyata.Di tengah taman, sebuah panggung kecil didirikan, dikelilingi oleh kursi-kursi kecil yang disiapkan untuk tamu-tamu kecil Olivia.Ada meja besar penuh dengan makanan lezat, kue ulang tahun berbentuk kastil yang indah, dan berbagai permainan yang sudah diatur untuk menghibur anak-anak.Olivia dengan gaun putih berbulu dan mahkota kecil di kepalanya, berlari-lari dengan riang di antara teman-temannya.Sementara itu, Jingga yang mengenakan gaun merah muda yang anggun, dan Davin dengan setelan jas kasual tetapi elegan, sibuk memastikan acara hari ini berjalan lancar. Dan Oliver yang mengenakan setela
“Jose... Jose... Jose...,” gumam Davin sambil mondar-mandir di tengah kamar. Satu tangannya berkacak pinggang, tangan yang lain mengusap tengkuk atau sesekali mengusap dagu. “Anak siapa dia sebenarnya? Kenapa orang tuanya sudah mengajari berbicara seperti tadi pada anak sekecil itu?” gerutu Davin dengan ekspresi jengkel. “Jose dan Olivia masih anak-anak, Sayang.” Jingga berkata lembut sambil menghentikan aktifitasnya sejenak yang tengah menghapus sisa make up di wajah. Ia duduk di depan meja rias, memperhatikan suaminya yang tampak seperti beruang kebingungan sejak tadi, melalui cermin. “Tapi anak-anak nggak akan mengerti hal-hal seperti itu kalau nggak diajarkan, Sayang,” gerutu Davin lagi. “Kita juga nggak pernah mengajarkan Olivia berkata seperti tadi, ‘kan?” Jingga balik bertanya, yang membuat Davin terdiam seketika. “Dan aku yakin mereka sendiri nggak paham dengan apa yang mereka ucapkan. Jaman sekarang ini kemajuan teknologi sangat berpengaruh, Sayang.” Davin akhirnya mende
Selesai mandi yang tak hanya benar-benar mandi saja, Jingga dan Davin memeriksa kedua anak mereka di kamar masing-masing.Karena kelelahan setelah menghabiskan energi mereka di pesta ulang tahun yang sangat meriah siang tadi, Oliver dan Olivia sudah terlelap tanpa perlu dibacakan buku oleh ayahnya.“Aku belum ngantuk, temani aku nonton dulu, ya?” pinta Jingga sambil bergelayut manja di lengan Davin setelah menutup pintu kamar Oliver.Sejujurnya Davin mengantuk setelah apa yang mereka lakukan di kamar mandi tadi. Namun, ia tidak mau menolak keinginan wanita yang dicintainya.“Baiklah,” ucap Davin pada akhirnya. “Aku akan menemani kamu sampai kamu ngantuk dan tidur.”Jingga mengerling. “Terima kasih. Aku beruntung punya suami seperti kamu, yang selalu tahu cara membuatku bahagia.”“Sayang,” desis Davin setelah mereka duduk di sofabed ruang televisi. “Jangan berbicara mesra seperti itu, kalau kamu nggak mau kita melanjutkan sesi kedua malam ini.”Mendengarnya, Jingga hanya tertawa. Ia su
Hal pertama yang dilakukan Davin setibanya ia di rumah adalah menghampiri istrinya yang menyambutnya, dengan langkah cepat. Lalu menarik pinggang wanita itu, memeluknya, memagut bibirnya dengan mesra seolah ingin melampiaskan rasa rindu yang tertahan sejak pagi.Jingga hanya tertawa. Davin selalu berbuat sesuatu tanpa berpikir panjang, tanpa tahu bahwa di belakang Jingga ada Arum yang langsung membalikkan badan dan bergegas pergi dengan pipi memerah melihat pemandangan itu.“Aku merindukanmu,” bisik Davin setelah ia menjauhkan wajah mereka. “Bagaimana persiapan pamerannya? Apa perlu bantuan lebih banyak orang lagi?”Selama beberapa tahun terakhir ini, Jingga telah sukses mengelola studionya hingga menjadi studio seni yang banyak dikunjungi para pecinta seni lukis. Jingga juga sudah merekrut beberapa karyawan. Dan rencananya, minggu depan mereka akan mengadakan pameran di studio.“Sejauh ini persiapannya lancar, kok,” jawab Jingga seraya melangkah masuk ke rumah, berjalan di samping Da
“Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta
“Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At
Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,
Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak
Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud
“Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter
Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim
Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men
“Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah