“Jose... Jose... Jose...,” gumam Davin sambil mondar-mandir di tengah kamar. Satu tangannya berkacak pinggang, tangan yang lain mengusap tengkuk atau sesekali mengusap dagu. “Anak siapa dia sebenarnya? Kenapa orang tuanya sudah mengajari berbicara seperti tadi pada anak sekecil itu?” gerutu Davin dengan ekspresi jengkel. “Jose dan Olivia masih anak-anak, Sayang.” Jingga berkata lembut sambil menghentikan aktifitasnya sejenak yang tengah menghapus sisa make up di wajah. Ia duduk di depan meja rias, memperhatikan suaminya yang tampak seperti beruang kebingungan sejak tadi, melalui cermin. “Tapi anak-anak nggak akan mengerti hal-hal seperti itu kalau nggak diajarkan, Sayang,” gerutu Davin lagi. “Kita juga nggak pernah mengajarkan Olivia berkata seperti tadi, ‘kan?” Jingga balik bertanya, yang membuat Davin terdiam seketika. “Dan aku yakin mereka sendiri nggak paham dengan apa yang mereka ucapkan. Jaman sekarang ini kemajuan teknologi sangat berpengaruh, Sayang.” Davin akhirnya mende
Selesai mandi yang tak hanya benar-benar mandi saja, Jingga dan Davin memeriksa kedua anak mereka di kamar masing-masing.Karena kelelahan setelah menghabiskan energi mereka di pesta ulang tahun yang sangat meriah siang tadi, Oliver dan Olivia sudah terlelap tanpa perlu dibacakan buku oleh ayahnya.“Aku belum ngantuk, temani aku nonton dulu, ya?” pinta Jingga sambil bergelayut manja di lengan Davin setelah menutup pintu kamar Oliver.Sejujurnya Davin mengantuk setelah apa yang mereka lakukan di kamar mandi tadi. Namun, ia tidak mau menolak keinginan wanita yang dicintainya.“Baiklah,” ucap Davin pada akhirnya. “Aku akan menemani kamu sampai kamu ngantuk dan tidur.”Jingga mengerling. “Terima kasih. Aku beruntung punya suami seperti kamu, yang selalu tahu cara membuatku bahagia.”“Sayang,” desis Davin setelah mereka duduk di sofabed ruang televisi. “Jangan berbicara mesra seperti itu, kalau kamu nggak mau kita melanjutkan sesi kedua malam ini.”Mendengarnya, Jingga hanya tertawa. Ia su
Hal pertama yang dilakukan Davin setibanya ia di rumah adalah menghampiri istrinya yang menyambutnya, dengan langkah cepat. Lalu menarik pinggang wanita itu, memeluknya, memagut bibirnya dengan mesra seolah ingin melampiaskan rasa rindu yang tertahan sejak pagi.Jingga hanya tertawa. Davin selalu berbuat sesuatu tanpa berpikir panjang, tanpa tahu bahwa di belakang Jingga ada Arum yang langsung membalikkan badan dan bergegas pergi dengan pipi memerah melihat pemandangan itu.“Aku merindukanmu,” bisik Davin setelah ia menjauhkan wajah mereka. “Bagaimana persiapan pamerannya? Apa perlu bantuan lebih banyak orang lagi?”Selama beberapa tahun terakhir ini, Jingga telah sukses mengelola studionya hingga menjadi studio seni yang banyak dikunjungi para pecinta seni lukis. Jingga juga sudah merekrut beberapa karyawan. Dan rencananya, minggu depan mereka akan mengadakan pameran di studio.“Sejauh ini persiapannya lancar, kok,” jawab Jingga seraya melangkah masuk ke rumah, berjalan di samping Da
Oliver berdiri di tengah lapangan basket sekolah, mengenakan seragam timnya yang berwarna biru dengan angka "7" di punggungnya.Sorakan dan tepuk tangan dari penonton menggema di seluruh gymnasium. Hari ini adalah pertandingan final yang telah lama ditunggu-tunggu. Dan Oliver, sebagai kapten tim, memimpin dengan penuh percaya diri.Di bangku penonton, Davin dan Jingga duduk berdampingan bersama Olivia dan si kembar—Ariana Briana. Mereka menyaksikan setiap gerakan Oliver dengan bangga. Jingga memegang tangan Davin, mencoba menenangkan suaminya yang tampak tegang."Tenang saja, Sayang," bisik Jingga, "Oliver pasti bisa."Davin hanya mengangguk, mata elangnya tetap tertuju pada lapangan. Ia selalu merasa cemas setiap kali menyaksikan anak-anaknya dalam situasi kompetitif. Tapi di balik kecemasan itu, ada rasa bangga yang luar biasa.Pertandingan berlangsung sengit. Oliver menunjukkan kemampuannya sebagai kapten dengan memimpin timnya melalui stra
Rasa kehilangan itu masih ada meski sudah tiga tahun berlalu sejak ia kehilangan ibu mertuanya.Dengan perasaan sedih dan rindu, Jingga menaburkan bunga di atas tanah sebuah makam. Tanpa terasa air mata meluruh di pelupuk mata, rindu akan pelukan sang ibu mertua, yang kala itu mengembuskan napas terakhir di dalam pelukannya.“Ma, apa kabar?” bisik Jingga dengan suara lirih. “Aku kangen Mama.”Davin merangkul pundak Jingga, meremasnya lembut untuk memberinya ketenangan. Meski tidak banyak berbicara, tapi Jingga tahu bahwa saat ini yang paling terluka dan kehilangan di antara mereka berdua adalah Davin.Dulu, di hari kematian Lucy, Davin tampak terpuruk dan tidak ‘berfungsi’ sebagai manusia normal hampir selama seminggu lebih.“Kemarin Oliver dan tim basketnya dapat juara satu, Ma,” lanjut Jingga, seolah-olah Lucy ada di hadapannya. “Mama pasti bangga, ‘kan?” Jingga terkekeh pelan, membayangkan jika Lucy ada, dia akan menciumi pipi Oliver saat mendapat juara, tidak peduli jika di sampin
“Masih ada satu kejutan lagi untukmu, Sayang.” “Kejutan apa lagi? Kamu belum cukup membuatku syok, ya?” Davin tertawa kecil. Menatap Jingga dengan mesra. “Kamu suka dengan kejutanku barusan?” “Tentu saja,” jawab Jingga malu-malu. Hatinya merasa berbunga-bunga, seolah-olah mereka adalah pengantin yang baru merayakan anniversary pertama. “Aku tahu, setiap kejutan dari kamu selalu out of the box, tapi kali ini jauh lebih out of the box lagi.” Tawa Davin kembali terdengar, kebahagiaan terpancar jelas dalam sorot matanya, menggantikan kesedihan saat di makam beberapa saat yang lalu. Davin tampak lebih misterius daripada biasanya. Ia tidak memberi tahu ke mana mereka akan pergi, hanya mengatakan bahwa ini adalah kejutan terakhir yang telah ia siapkan. Jingga terus menduga-duga ke mana Davin akan membawanya. Namun, semua tebakannya salah saat mereka tiba di sebuah gedung besar yang dikelilingi oleh lampu-lampu gemerlap. Hati Jingga berdebar-debar saat menyadari apa yang ada di depan
“Pak, aku turun di sini aja, deh.” Oliver melirik arloji di pergelangan tangan kirinya dengan gelisah. “Udah mau bel soalnya.” “Siap, Den.” Sang sopir bergegas melepas sabuk pengaman dan hendak turun, akan membuka pintu untuk tuan mudanya. Akan tetapi Oliver sudah membuka pintu sendiri sambil berkata, “Nggak usah turun, Pak. Terima kasih, ya!” Pemuda berseragam putih abu itu berlari di trotoar jalan, menyampirkan ransel di bahu kiri, memeluk beberapa buku tebal, melewati kendaraan yang terjebak kemacetan di depan sekolah elit tersebut. Di tempat itu ada dua sekolah SMA populer yang berbeda, tempatnya saling berseberangan. Kemacetan sudah menjadi konsumsi para pengendara setiap pagi dan sore. Pasalnya, setidaknya satu orang pelajar diantar oleh satu mobil. Tidak terbayang bagaimana panjangnya antrean kendaraan itu. Oliver berlari tergesa-gesa. Dua menit lagi bel berbunyi. Hari ini ia terlambat berangkat karena bangun tidurnya kesiangan. Semalam ia berlatih basket untuk persiapan p
“Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah