“Aku mau dimandiinnya sama Papa!” seru Oliver dengan bibir cemberut dan tangan bersedekap dada. “Aku juga mau sama Papa!” Olivia tidak mau kalah, anak berusia 3 tahun yang berpipi chubby itu langsung memeluk salah satu kaki Davin. “Kakak, Adik, mandi sama Papanya nanti saja, ya? Kasihan Papa capek habis pulang kerja, Nak,” ujar Jingga dengan penuh kelembutan, membuat wajah kakak beradik itu semakin merengut. “It’s okay, Sayang.” Davin berkata pada Jingga seraya menatapnya dengan yakin. “Aku akan memandikan mereka sekarang.” Terang saja Jingga tidak setuju. Pasalnya, ia tahu suaminya itu lelah setelah seharian berkutat dengan pekerjaannya di kantor. “Tapi—“ “Jangan khawatir,” sela Davin dengan cepat, tersenyum lembut. “Aku memang lelah, tapi setelah pulang ke rumah dan bertemu kalian, rasa lelahku langsung hilang.” Melihat keyakinan yang tergambar dalam sorot mata suaminya, akhirnya Jingga merasa sedikit lebih lega. “Ya sudah kalau begitu, aku mau siapin kue dulu untuk dibawa ke
“Papa galak! Aku mau lapor ke Mama!”Davin sedikit terkejut mendengarnya. Ia buru-buru menyusul Oliver yang berlari keluar kamar dan masih dibalut handuk itu. Bisa lain urusannya kalau sampai Oliver mengadu pada Jingga bahwa Davin bersikap galak ke anak-anak. Padahal barusan Davin hanya bicara sedikit tegas.“Oh? Mainnya lapor-lapor sekarang, ya!” seru Davin sambil meraup Oliver ke pangkuannya dan menggelitikinya dengan pelan, membuat Oliver yang menangis itu seketika tertawa. “Maaf, Sayang, barusan Papa bicara sedikit lebih tegas. Tapi Papa nggak galak. Papa nggak marah.”“Jadi aku boleh pakai baju superhero?” tanya Oliver saat ia sudah diturunkan ke lantai oleh ayahnya.“Aku juga boleh pakai baju princess, Pa?” Olivia tak mau ketinggalan, bibirnya masih cemberut seraya berderai air mata.Davin memijat pelipis sambil terkekeh pelan. Astaga... selain sering mengganggu momen kemesraannya dengan Jingga, kedua malaikat kecilnya itu sering membuat Davin tak bisa berkutik. Seperti sekarang
Jingga mengusap lengan Davin seraya menatap wajahnya yang tampak ditekuk. Davin menoleh. Jingga terkekeh pelan.“Kamu menertawakan penderitaanku, Sayang?” gerutu Davin seraya memajukan badannya ke hadapan Jingga, untuk melepas sabuk pengaman.“Lucu aja, sih.” Jingga kembali tertawa. “Gimana? Masih mau minta nambah anak?”“Untuk sekarang tidak. Mereka berdua saja sudah membuat kepalaku pening.”Jingga tahu ucapan Davin tersebut bukan berarti dia membenci anak-anak mereka. Pria ini hanya sedang sakit kepala akibat kejadian di kamar mandi tadi harus gagal karena kedatangan anak-anak.Kini, Jingga menghela napas pelan seraya melihat anak-anak sudah turun dari mobil lebih dulu saat satpam membukakan pintu.Lalu kedua bocah itu berlari menghampiri Lucy yang sudah menunggu di depan rumah.Lucy memeluk mereka secara bersamaan. Meski kondisi Lucy sampai saat ini masih harus menjalani pengobatan, tapi Jingga kagum akan semangat wanita itu untuk tetap hidup dan selalu terlihat bahagia.Jingga te
Keluar dari kamar Amarylis setelah menyiapkan pakaian tidur anak-anak yang sedang bermain di dalam sana, Davin lantas memeluk Jingga dari belakang sambil berjalan menuju kamarnya. “Aku tahu apa rencana kamu menyuruh anak-anak tidur di kamar Amarylis,” gurau Jingga sambil memiringkan wajah saat Davin menciumi lehernya. Davin berbisik, "Aku cuma ingin kita punya waktu berdua, Sayang. Sudah lama kita nggak punya kesempatan seperti ini." Jingga tertawa kecil dan mengacak rambut suaminya. "Terima kasih, Dave. Aku juga rindu momen-momen seperti ini." "Aku juga merindukanmu, Sayang. Kadang-kadang kita terlalu sibuk sama anak-anak dan pekerjaan, sampai lupa meluangkan waktu buat kita berdua." Jingga mengangguk setuju. "Iya, tapi aku senang kita bisa punya waktu seperti ini,” aku Jingga dengan jujur. “Kamu selalu tahu cara membuatku merasa istimewa." Davin tersenyum dan mulai menciumi leher Jingga kembali. Mereka berhenti di depan pintu kamar Davin. Jingga mendorong pintu itu sambi
Jingga merasa hatinya sangat bahagia hari ini, tetapi di sisi lain ia juga merasa gugup. Pasalnya, sore ini ia akan melaksanakan sesi wawancara kerja di restoran, yang ada di sebuah hotel bintang lima.Bagi wanita yang tidak sempurna seperti dirinya, mencari pekerjaan adalah sesuatu yang sulit. Banyak perusahaan yang menolaknya hanya karena cara berjalannya tidak seimbang.Namun, restoran ini—yang saat ini tengah Jingga pijak, mau memberinya kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya.Jingga melamar menjadi barista, karena ia suka sekali membuat kopi. Dan hasil tes beberapa hari sebelumnya, ia lolos. Jadi, saat ini, ia akan melakukan tahapan terakhir. Wawancara.“Selamat sore, dengan Jingga Thania?”Seorang pria paruh baya berperut buncit dan sebagian kepalanya botak, datang menghampiri Jingga sambil membawa berkas di tangannya.Jingga mengusapkan telapak tangannya yang berkeringat pada celana, sebelum ia tersenyum dan berdiri dari kursinya.“Benar, Pak. Saya Jingga Thania. Saya datang
Pria paruh baya itu menjilat bibirnya sendiri seraya menyentuh lengan polos Jingga dengan jemarinya, setelah sebelumnya pria itu berhasil melepas blazer yang dikenakan wanita yang tengah terlelap itu. Warna kemeja berlengan pendek Jingga memiliki warna yang sama dengan sprai dan selimut. Putih. “Sudah kuduga. Kamu memang sangat menarik,” bisik Agus dengan nada menjijikan. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering, membuat Agus mengembuskan napas kasar dan terpaksa menerima panggilan tersebut. “Ada apa?” Suara Agus terdengar sedikit kesal karena kesenangannya terganggu. “Pak Agus, gawat! Ada masalah besar! Dapur kita kebakaran. Kami harap Bapak bisa meninjau ke lokasi sekarang.” Agus berdecak lidah. Ia tidak mungkin mengabaikan masalah di restorannya. “Baik. Saya ke sana.” Setelah menutup panggilan telepon, Agus menatap Jingga kembali, senyuman nakal kembali terukir di bibirnya. “Tunggu sebentar, Manis. Aku akan segera kembali.” Dan Agus pun keluar. Sementara itu, Jingga tetap t
Hari itu, seluruh taman di sekitar rumah keluarga Davin disulap bak dunia negeri dongeng. Balon-balon berwarna pastel melayang-layang di udara, hiasan bunga-bunga beraneka warna menghiasi setiap sudut, dan dekorasi peri tersebar di seluruh taman.Lampu-lampu kecil berkelap-kelip, memberikan sentuhan hangat dan menakjubkan, membuat taman itu benar-benar tampak seperti dunia dongeng yang nyata.Di tengah taman, sebuah panggung kecil didirikan, dikelilingi oleh kursi-kursi kecil yang disiapkan untuk tamu-tamu kecil Olivia.Ada meja besar penuh dengan makanan lezat, kue ulang tahun berbentuk kastil yang indah, dan berbagai permainan yang sudah diatur untuk menghibur anak-anak.Olivia dengan gaun putih berbulu dan mahkota kecil di kepalanya, berlari-lari dengan riang di antara teman-temannya.Sementara itu, Jingga yang mengenakan gaun merah muda yang anggun, dan Davin dengan setelan jas kasual tetapi elegan, sibuk memastikan acara hari ini berjalan lancar. Dan Oliver yang mengenakan setela
“Jose... Jose... Jose...,” gumam Davin sambil mondar-mandir di tengah kamar. Satu tangannya berkacak pinggang, tangan yang lain mengusap tengkuk atau sesekali mengusap dagu. “Anak siapa dia sebenarnya? Kenapa orang tuanya sudah mengajari berbicara seperti tadi pada anak sekecil itu?” gerutu Davin dengan ekspresi jengkel. “Jose dan Olivia masih anak-anak, Sayang.” Jingga berkata lembut sambil menghentikan aktifitasnya sejenak yang tengah menghapus sisa make up di wajah. Ia duduk di depan meja rias, memperhatikan suaminya yang tampak seperti beruang kebingungan sejak tadi, melalui cermin. “Tapi anak-anak nggak akan mengerti hal-hal seperti itu kalau nggak diajarkan, Sayang,” gerutu Davin lagi. “Kita juga nggak pernah mengajarkan Olivia berkata seperti tadi, ‘kan?” Jingga balik bertanya, yang membuat Davin terdiam seketika. “Dan aku yakin mereka sendiri nggak paham dengan apa yang mereka ucapkan. Jaman sekarang ini kemajuan teknologi sangat berpengaruh, Sayang.” Davin akhirnya mende