"Saya minta Maaf Nyonya. Perusahaan kecolongan karena ulah saya, yang tidak teliti. Ini karena saya terlalu senang, proyek awal bulan kita hampir rampung. Jadi, saya tidak memperhatikan email yang masuk. Saya acc saja, tanpa memeriksanya lagi. Maafkan saya, Nyonya. Saya bersedia mengembalikan uang perusahaan. Dan berjanji, tidak akan mengulangi kesalahan saya lagi. Tolong maafkan saya, Nyonya," Guruh memohon, dengan lesu. Matanya berkaca-kaca, kepalanya menunduk, sedangkan pandangannya hanya tertuju pada ujung sepatunya. Pria paruh baya itu, sudah tidak punya keberanian untuk mengangkat kepalanya. Hanya untuk melirik Anaya saja, dia tidak berani. "Tebakan saya memang tepat Pak Guruh. Saya sangat mengenal etos kerja anda selama bersama saya. Anda adalah karyawan panutan. Semua rahasia keuangan perusahaan ini, anda ketahui. Jika ingin mengambil, anda mungkin tidak akan menggelapkan dalam jumlah yang sedikit seperti ini," Tutur Anaya. "Sepuluh milyar adalah uang sedikit, untuk perusa
Melisa dan Talita sama-sama terpaku di tempat, saat melihat siapa yang berdiri di samping Erhan. Ekspresi Melisa datar tanpa irama. Sedangkan Talita, wanita itu terlihat gusar dan gelisah. Tentu saja. Marvel, adalah satu-satunya pria yang menjadi pemicu utama, perceraiannya dengan Surya. "Kamu apa kabar Ta?" tanya Marvel, tanpa rasa bersalah. Pria itu cengengesan di hadapan Talita.Kedua tangannya ada dalam saku celana. Gayanya dibuat semacho mungkin. Entah apa tujuannya. Dasar tua bangka mesum. "Wah. Mama kenal sama Pak Marvel? Beliau ini kolega bisnis aku, Ma. Kamu juga kenal Sayang?" tanya Erhan pada Melisa. Tangannya dengan lembut, meraih pinggang Melisa, membawa tubuh ramping Melisa ke sampingnya. Dan merangkul dengan mesra. Melisa hanya mengangguk kecil, sembari merapatkan tubuhnya pada suaminya, Melisa membuang pandangan, dari pria yang ada di hadapannya ini.Jika bukan karena kolega bisnis suaminya, Melisa pasti sudah mengusir pria itu dari hadapan mereka. Belum sempat
"Adek, hari ini jadi pulang kan? Bunda udah kangen banget ini," Ucap Anaya, sesaat setelah mendengar salam dari Arga di ujung telepon. "Jadi Bunda. Ini udah mau otw. Lagi masukin barang-barang ke mobil," Jawab Arga, sambil terus memasukan barang-barangnya ke bagasi mobil. Kapal ferry yang dia tumpangi, akan berangkat satu jam lagi. Jarak pelabuhan ferry dengan mes proyek, lumayan jauh.Karena itu, Arga memilih berangkat lebih awal. Supaya jangan terlalu lama mengantri. "Sampai jumpa yah Bunda. Aku sayang sama Bunda," Ucap Arga, dengan senyum manis menampilkan giginya yang tersusun rapi."Hati-hati, Nak. Pulangnya langsung ke sini yah. Jangan ke apartemen dulu," "Ok Bunda," Anaya menutup teleponnya, mengetik pesan pada Acha. Mengabari, jika Arga pulang hari ini. Dia tidak boleh pulang terlalu malam. Hari ini, Anaya akan memasak untuk suami dan anak-anaknya. Sebenarnya, Anaya ingin ke kantor, dan menanyakan kemajuan dari permasalahan yang sementara dia hadapi sekarang, namun wanit
Ceklek. Lampu ruang tamu yang semula padam, seketika menyala. Ruangan besar itu, terang benderang. Kinan yang berjalan berjingkrak, hendak masuk ke kamarnya, akhirnya ketahuan. Dia pun berhenti sambil menarik nafas pasrah.Guruh duduk di ruang tamu, sambil bersandar di sofa. Wajahnya kusut dan tampak sangat sedih. Guruh membesarkan Kinan, dengan segala daya yang dia punya. Dulu, dia hanya seorang pedagang yang kebetulan menjadi langganan Anaya, membeli bahan-bahan untuk membuat kue. Anaya belajar banyak dari kelihaian Guruh mengatur keuangan. Sebelum istrinya meninggal, Kinan sangat disiplin dan teratur. Dia juga anak yang penyayang. Sikapnya berubah setelah mamanya meninggal. Dia jadi pendiam, dan tidak banyak bicara. Setelah Guruh menikah, sikapnya berubah lagi, dia menjadi susah diatur, kasar dan keras kepala. "Dari mana kamu?" tanya Guruh."Apa peduli Papa?" Kinan balik bertanya. Dengan berani, anak itu melipat tangan di dada, lalu membuang pandangan ke sembarang arah. Sama
"Brengsek. Brengsek. Brengsek," Umpat Awan. Dia menendang kerikil di jalanan sambil mengumpat habis-habisan. Awan baru saja dirampok. Kotak perhiasan milik Mona dan dompet berisi semua kartu atm dan kartu kredit, raib di bawa para preman. Ditambah lagi dengan perutnya yang sakit, akibat mendapatkan dua kali tonjokan dari preman kepala plontos, yang selalu bicara dengan memaki dan mengumpat. Dia bilang apa tadi? "Dasar laki-laki kere. Kalau mau gaya, pake uang sendiri. Gajinya dia hambur-hamburin, giliran mau gaya, malah pake uang istri. Dasar benalu bau apek." Awan meninju udara berkali-kali. Dia sengaja berhenti di salah satu jembatan, yang airnya sedang meluap akibat banjir. Meresapi perkataan preman plontos, membiarkan hatinya sakit dan agar tetap mengingat apa yang terjadi padanya hari ini. Mereka terlalu meremehkan kekuatan Arwana Gazali. Tidakkah mereka tau, jika dia adalah seorang sutradara terkenal? Dia bisa membuat isu, untuk menjatuhkan harga diri mereka. Tapi, siapa
(Lusa acara Kak Luna kan?) (Iya. Setelah acara, kita ke puncak yah. Tanah yang kita incar udah mau dilepas sama pemiliknya. Hanya saja, harganya agak mahal Ze.)(Gak apa-apa, mahal Ga. Yang penting, tempatnya bagus. Emang kamu udah pernah ke sana?) (Belum pernah sih. Cuman aku dah dikirimin foto sama video, yang mereka take dari dron. Menurut aku tempatnya keren.)(Ya udah. Kalo emang bagus, ambil aja. Kan kita patungan. Haha.)(Iya juga sih. Aku kasih tau temen-temen yang lain yah?!)(Nanti mereka juga pada ikut liat tuh tanah?)(Iya dong Ze. Kan kita patungan. Haha)(Ok. Bye Arga.)(Bye Ze)Zea tertegun lama, menatap layar ponsel. Kadang dia sering bingung dengan perasaannya sendiri. Jantungnya sering berdegup saat bersama Arga. Saat bertemu langsung, atau bicara lewat chat. Ada rasa ingin dimiliki oleh pria muda yang cerdas dan baik itu. Dia merasa jika Arga, selalu menaruh perhatian yang lebih padanya. Tapi, tipe seperti Arga, seperti tipe yang membosankan. Tidak menantang ad
"Benar Bunda. Masa Bunda ragu sama kemampuan anak sendiri?" canda Bara pada Nilam. Mereka berdua sedang duduk di taman panti. Sedikit agak menjauh dari kerumunan anak-anak, yang sedang berebut susu kotak dan biskuit, yang baru di bawa Bara. Nilam tersenyum manis. Di usianya yang sudah senja, dia ingin sekali mengetahui keberadaan cucu tunggalnya. Tidak mudah mendekati anak itu, karena ada saja halangan dan rintangan bagi orang yang dia perintahkan.Usaha terakhir Nilam saat ini adalah meminta Bara. Salah satu anak asuhnya yang berhasil menjadi seorang detektif profesional. Ternyata, Bara dulu juga sempat berteman dengan Hendrawan, sebelum pria itu keluar dari dunia rahasia mereka, dan banting stir menjadi seorang pengusaha. Siapa yang akan menduga, jika kemudian Hendrawan menikahi wanita yang anaknya akan menjadi cucu mantu Nilam. Dari Hendrawan pula, Bara mendapatkan informasi, jika Calvin yang adalah menantunya, merupakan cucu dari Nilam. Wanita dengan sejuta misteri. Wanita
"Selamat datang. Lho. Mas Rian?" Arga terkejut, setelah melihat siapa yang digandeng Zea datang ke acara tujuh bulanan Aluna."Arga? Oh. Jadi ini acara tujuh bulanan siapa? Kamu udah nikah?" Tanya Rian beruntun. Pasalnya, Zea tidak memberitahukan Rian, jika mereka akan datang ke acara keluarga Mahendra. Rian sudah terbiasa dengan keluarga ini karena hubungan dekat mereka dengan Arumi, mantan tunangannya. Zea terkejut, mendengar Arga menyapa Rian dengan hangat. Niat untuk mendapatkan perhatian Arga, jadi gagal total. Dia memang tidak tau menahu, jika Rian dan Arga saling kenal. "Lho? Udah kenal toh?" ucap Zea.Arga dan Rian menatap Zea, lalu mengangguk bersama-sama. "Kenal Ze. Mas Rian temennya Kak Luna. Sering hang out bareng kita. Aku lho yang bingung. Kamu kenal Mas Rian di mana?" "Mau aku jadiin istri, Ga. Gimana menurut kamu? Cocok gak?" tanya Rian, sambil tangannya menepuk tangan Zea, yang terus menggandengnya sejak tadi. Tentu saja Arga terkejut. Dari Aluna, Arga tau, Aru